The Center for Human Rights Multiculturism and Migration – Universitas Jember (CHRM2-UNEJ), The Westminster Foundation for Democracy (WFD) dan Kementerian Perdagangan Luar Negeri (DFAT) Canada bekerjasama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Makassar dan Fakultas Hukum (FH) Universita Hasanuddin (Unhas) menggelar Workshop Pemantauan, Peninjauan dan Pengawasan Peraturan Daerah Berperspektif HAM melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), di Gedung FH Unhas pada 27 Januari 2020.
Workshop ini dihadiri oleh anggota DPRD Kabupaten Bulukumba, masyarakat sipil bulukumba, Civil Society Organization (CSO) dan beberapa dari Akademisi.
Selain itu, juga menghadirkan narasumber dari Kementerian Dalam Negeri, Rozi Beni yang mentransformasikan materi Pemantauan dan Peninjauan Perda: Praktik dan Tantangannya dan Dr. Iin Kartika Sakharina, S.H., M.H. (Dosen FH Unhas) dengan muatan materi Mengembangkan Daerah Inklusif HAM di Era Otonomi: Peluang dan Tantangan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh CHRM2-UNEJ, salah satu permasalahan yang saat ini menjadi perhatian penting bagi masyarakat Indonesia adalah banyaknya Peraturan Daerah (Perda) yang dinilai bermasalah. Baik itu dilihat dari sudut pandang perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), menyalahi asas yuridis, maupun mengakomodir nilai diskriminaif terhadap perempuan, penyandang disabilitas dan kelompok-kelompok minoritas lainnya.
Pengkajian kali ini dikhusukan pada Perda yang dinilai diskriminatif ataupun bermasalah oleh beberapa organisasi pro demokrasi dan HAM maupun masyarakat sipil yang ada di kabupaten Bulukumba, yaitu Perda Berbusana Muslim dan Muslimah, Pengarusutaman Gender (PUG) dan Pajak Burung Walet.
Saat Forum diskusi materi berlangsung, yang paling banyak menjadi perhatian peserta adalah Perda Berbusana Muslim dan Muslimah. Banyak yang menganggap bahwa Perda tersebut dinilai sangat diskriminatif dan jauh dari nilai dan prinsip HAM. Bahkan perda tersebut melanggar asas Yuridis, termasuk Undang-undang Dasar 1945.
Terlebih lagi bahwa di dalam beragama tidak boleh ada pemaksaan keyakinan. Keyakinan merupakan hak mutlak yang melekat pada diri setiap indvidu sejak Ia dilahirkan.
“Kalau kita melihat Perda berbusana Muslim, harus kita lihat apa tujuan Perdanya. Kalau tujuan Perdanya supaya orang taat beragama, maka ketaatan beragama itu sifatnya individu dan di dalam HAM itu adalah hak yang mutlak bagi individu karena pertanggungjawaban individu kepada Tuhan. Kedua adalah problem yang terjadi di masyarakat ketika ada Perda bermasalah maka orang gampang dinilai dari busananya bahwa tidak beriman atau berkurang keimanannya kalau tidak berbusana muslim. Sehingga akan mudah terjadi praktik-praktik yang kemudian menghakimi orang-orang yang tidak berbusana muslim”. Kritik Lusia Palulungan dari Yayasan BaKTi.
Yuli (KPI Bulukumba) mengatakan bahwa Perda Berbusana Muslim dan Muslimah ini sangat diskriminatif. Ia juga mengungkapkan kasus, dampak dari adanya Perda tersebut.
“Tahun 2016 teman saya di Jakarta yang akan pindah domisili ke Bulukumba saya bawa ke Capil (catatan sipil) namun ditolak oleh petugasnya karena tidak memakai Jilbab, disuruh pulang waktu itu,” ungkapnya.
“Saya sempat berdebat, kalau pakai jilbab itu berdasarkan Perda itukan berbusana muslim tidak diwajibkan untuk orang nonmuslim. Jadi sekali lagi saya mengatakan bahwa Perda ini diskriminatif.”
Dua tanggapan di atas kemudian ditanggapi oleh anggota DPRD Kabupaten Bulukumba, Fahidin. “Sebenarnya Perda Berbusana Muslim dan Muslimah itu oleh masyarakat Bulukumba tidak dianggap diskriminatif, tapi pandangan aturannya mungkin. Sehingga itulah yang menyebabkan Perda itu bertahan. Karena itu kami bukan menolak kata diskriminatif itu, tapi kami juga mau melakukan perubahan-perubahan karena tidak semestinya ada himbauan, ada yang wajib.”
Kemudian Ia menambahkan bahwa, perda ini awalnya diterapkan untuk pegawai negeri dan juga Perda berbusana Muslim dan Muslimah ini adalah hasil komunikasi dengan Masyarakat.
“Tidak bisa juga kita nafikan bahwa perda ini adalah hasil komunikasi dengan masyarakat secara perlahan-lahan. Ekspektasi masyarakat pada waktu itu tidak ingin kelihatan “apalah itu-itu”. Jadi mulailah dari keteladanan dan pada saat itu keteladan yang paling tinggi adalah pegawai negeri. Jadi kalau ada meminta ini untuk dihapus, saya tidak mau dihapus karena masyarakat senang dengan adanya Perda ini.”
Menurut Fahidin, adapun itu kasus yang dialami oleh kerabat Yuli adalah perbuatan oknum pegawai Capil yang tidak memahami regulasi. Ia mengatakan bahwa oknum pegawai capil tersebut akan ditindaki kalau masih ada yang berbuat demikian.
Hasil kajian beberapa lembaga telah menemukan 431 Perda diskriminatif terhadap perempuan1 dan 53 Perda diskriminatif terhadap kelompok agama tertentu2 (1laporan Komnas Perempuan pada Oktober 2016 dan 2Setara Institute bulan Juni 2016).
Hal tersebut membuktikan bahwa proses harmonisasi dan evaluasi rancangan Perda oleh DPRD, Pemerintah Provinsi dan Kementerian Dalam Negeri masih memiliki celah lolosnya Perda bermasalah.
Sebelumnya Kementerian Dalam Negeri memiliki kewenangan guna membatalkan Perda yang terbukti bermasalah. Namun sejak ditetapkannya keputusan Mahkamah Konstitusi No.137/PUU-XIII/2015 dan No. 56/PUU-XIV/2016, kewenangan tersebut tidak ada lagi. Sehingga, pengujian dan pembatalan Perda hanya bisa dilakukan melalui mekanisme Judicial Review di Mahkamah Agung yang notabene memiliki alur panjang.
Tindakan yang paling memungkinkan dilakukan adalah mendorong DPRD untuk menjalankan fungsi sebagaimana yang dilakukan oleh Badan Legislasi (Baleg) dan Komisi-komisi di DPR-RI. Sehingga DPRD dapat berperan melaksanakan “Peninjauan dan Pemantauan serta Pengawasan terhadap Perda/Perkada. Hal tersebut telah didorong oleh Kementerian Dalam Negeri kepada DPRD.
Upaya memaksimalkan peranan DPRD dalam memantau dan meninjau serta mengevaluasi Perda/Perkada sejalan dengan amanat PP No.12 tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD, pada pasal 21 ayat (3).
Namun dalam regulasi tersebut masih terdapat kendala karena belum ada mekanisme fungsi pengawasan. Hal ini ditegaskan oleh Uddin Hamzah, Anggota DPRD Bulukumba yang menyambung penjelasan dari Lusia Palulungan bahwa memang saat ini mekanismenya belum ada.