Info Kegiatan

Mempersiapkan Calon Peserta Paralegal Inklusif bagi Masyarakat Desa

Kamis, 06 Oktober 2022, LBH Makassar Kembali melanjutkan aktivitas pelaksanaan advokasi program Perluasan Akses Keadilan bagi Penyandang Disabilitas melalui Layanan Hukum Inklusif, khususnya disabilitas berhadapan hukum. Kali ini, LBH Makassa melaksanakan FGD Konsorsium untuk Seleksi Calon Peserta Pelatihan Paralegal Inklusi bagi Masyarakat Desa yang dilaksanakan secara virtual via zoom. FGD ini merupakan langkah awal untuk menentukan kriteria dalam pemilihan calon peserta yang akan diikutkan pada kegiatan pelatihan paralegal desa nantinya.

Selain melibatkan konsorsium (PPDI Sulsel, HWDI Sulsel dan KPI Sulsel), FGD ini juga melibatkan organisasi jaringan LBH Makassar yang juga mengadvokasi kasus-kasus kelompok rentan maupun organisasi yang memiliki program yang berkaitan dengan isu-isu pedesaan. LBM Lakra di Bone, Perkumpulan Oase Bulukumba dan RKBH STAI AL Ghazali Bone adalah organisasi jaringan yang dilibatkan pada FGD ini.

Sebelum mendengarkan berbagai masukan dari peserta, A. M. Fajar Akbar yang merupakan Manager Program LBH Makassar terlebih dahulu memberikan penjelasan tentang program Perluasan Akses Keadilan bagi kempok rentan merupakan program Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2), dimana salah satu outcomes-nya melahirkan 12 orang paralegal inklusif yang berbasis di desa.

Secara kuantitatif, jumlah paralegal inklusif masih terbilang minim. Meskipun LBH Makassar telah melaksanakan pelatihan paralegal inklusif pada tahun 2019 dan 2020, namun kuantitas jumlahnya perlu ditingkatkan. Hal ini didasarkan jumlah penanganan kasus yang terbilang meningkat, berbanding terbalik dengan kuantitas paralegal bantuan hukum saat ini yang berada di kabupaten Bone dan Bulukumba.

Dari tahun 2018 hingga April 2022, LBH Makassar bersama konsorsium, advokat dan paralegal inklusif telah melakukan pendampingan sebanyak 53 kasus kelompok rentan di 2 (dua) kabupaten, yaitu kabupaten Bulukumba dan Bone. 14 kasus di antaranya merupakan penyandang disabilitas baik itu sebagai korban, pelaku maupun saksi.

Selain itu, data pendampingan menunjukkan banyak perkara kelompok rentan berhadpaan hukum khususnya penyandang disabilitas terjadi di desa-desa. Sedangkan paralegal dan Advokat inklusif yang telah dilatih saat ini bermukim di ibu kota kabupaten. Sehingga menjadi penting untuk melahirkan paralegal yang berbasis di desa-desa.

Fajar Akbar juga menyampaikan bahwa paralegal yang nantinya dilatih diharapkan tidak hanya mampu untuk memberikan layanan pendampingan kasus, tapi lebih luas lagi, paralegal juga ditargetkan mampu mengadvokasi kebijakan perangkat daerah pada tingkat desa atau kelurahan, kabupaten, bahkan pada tingkat provinsi. Hal ini jualah yang dijadikan salah satu standar kompetensi pada pelatihan paralegal ini.

Standar kompetensi lainnya yang hendak dicapai adalah: 1) mampu memahami dan mengidentifikasi kondisi dan kelompok kepentingan dalam masyarakat, serta bagaimana hukum mengatur; 2) mampu melakukan penguatan masyarakat dalam memperjuangkan hak asasi manusia dan hak-hak lain yang dilindungi oleh hukum; 3) terampil dalam melakukan pembelaan dan dukungan terhadap masyarakat yang lemah untuk mendapatkan hak-haknya antara lain dengan konsultasi hukum, investigasi kasus, penelitian hukum, mediasi, negosiasi, pendampingan di luar pengadilan dan drafting dokumen.

Beragam input yang diperoleh dari peserta FGD dalam menentukan calon peserta. Mulai dari pelibatan kelompok rentan penyandang disabilitas, tidak membatasi kategori usia (di luar kategori anak), mencari peserta yang memiliki pengalaman bekerja pada program pendampingan masyarakat desa maupun pendampingan kasus, membangun komunikasi dengan perangkat desa untuk memberikan rekomendasi peserta dengan pertimbangan bahwa perangkat desalah yang mengetahui kondisi dan kebutuhan desa, memperhitungkan keterwakilan geografis, serta memilih calon peserta yang mempunyai komitmen dalam melakukan kerja-kerja sosial.

Selain itu, terdapat juga rekomendasi agar peserta merupakan orang-orang yang baru dalam artian belum pernah ada pengalaman pendampingan kasus maupun terlibat dalam program yang berkaitan dengan isu pedesaan. Hal ini diutarakan dengan alasan untuk menambah sumber daya manusia (SDM) pada tingkat desa.

Hal yang menjadi hambatan yang diutarakan berdasarkan pengalaman peserta FGD, keberadaan paralegal dianggap menakutkan di beberapa tempat karena dianggap “pengganggu” ketentraman bagi masyarakat desa. Hal ini dikarenakan anggapan bahwa masih rendahnya perspektif dalam penyelesain masalah di kalangan masyarakat desa dan kurangnya pemahaman tentang apa dan pentingnya peran paralegal. Ini akan menjadi tantangan tersendiri.

Bagikan

Kegiatan Lainnya

Urgensi RKUHAP
Urgensi Penguatan Akses Keadilan pada Hukum Acara Pidana dalam Rangka Menyongsong Pemberlakuan KUHP Nasional
PKH-
Petani Polongbangkeng Takalar Mengadakan Pendidikan Hukum Kritis, Memperkuat Pengetahuan Merebut Kembali Tanah Yang dirampas PTPN
pelatihan-1024x717
LBH Makassar, LBH Masyarakat dan BPHN Menggelar Pelatihan, Mempersiapkan Fasilitator untuk Diklat Paralegal
Skip to content