Perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia pengungsi yang tinggal di Indonesia menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah. Tak terkecuali hak atas persamaan di muka hukum dan hak atas bantuan hukum. Mengingat keberadaan para pengungsi di wilayah dan di tengah masyarakat Indonesia dalam jangka waktu yang cukup lama, membuat pengungsi memiliki potensi yang sangat besar bersinggungan dengan masalah hukum.
Untuk itu, United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) Indonesia mengambil inisiatif untuk membangun kemitraan yang berkelanjutan dengan berbagai stake holder (NGO dan Instansi Pemerintah) untuk memberikan bantuan hukum dan / atau nasihat hukum bagi pengungsi yang berhadapan dengan hukum. Salah satunya di kota Makassar yang menjadi rumah bagi 1.842 orang pengungsi.
Sebagai langkah awal, UNHCR Indonesia perwakilan Makassar melaksanakan training “Perlindungan Internasional dan Hukum Pengungsi” di Mile’s co Working Space, Makassar pada Senin, 9 Juli 2018. Pelatihan ini diikuti oleh perwakilan LBH Makassar, LBH Apik Makassar, KontraS Sulawesi, LKBH UIN Alauddin dan P2TP2A Pemerintah Kota Makassar.
Novi Putri Primanda, perwakilan UNHCR Indonesia di Makassar yang bertindak sebagai fasilitator mengharapkan peserta memiliki pengetahuan komprehensif tentang aspek hukum perlindungan pengungsi baik di tingkat internasional maupun nasional. Sebagai bekal dalam mengadvokasi masalah-masalah pengungsi di Indonesia khususnya di Makassar, termasuk advokasi kebijakan hukumnya.
Perlindungan Hukum Bagi Pengungsi
Dalam kerangka hukum internasional, dasar hukum utama dalam pengaturan tentang pengungsi diatur dalam Konvensi PBB Tahun 1951 dan Protokol 1967 Mengenai Status Pengungsi. Konvensi tersebut Memberikan Definisi kriteria pengungsi yakni: 1. Berada di luar negara asal/negara kebangsaannya. 2. Memiliki ketakutan yang mendasar akan menerima persekusi. 3. Karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan terhadap kelompok sosial tertentu, dan pendapat politik, serta. 4. Tidak dapat, dikarenakan ketakutannya tersebut, atau tidak ingin untuk memperoleh perlindungan dari negara asal.
Novi menjelaskan bawa Pengungsi tidak dapat disamakan dengan imigran, sebab imigran berada di luar negara asal karena berbagai alasan yang tidak terkait dengan persekusi. Seperti mencari pekerjaan atau kehidupan ekonomi yang lebih baik. Selain itu, imigran mendapat perlindungan hukum dari negara asal, baik selama di negara lain (di luar negara asal) dan/atau ketika kembali ke negara asal.
Kriteria pengungsi sebagaimana didefiniskan di atas, dikecualikan berdasarkan Pasal 1 (F) Konvensi 1951 apabila terdapat alasan serius untuk menganggap bahwa orang tersebut telah melakukan/terlibat dalam hal-hal berikut sebelum berada di negara suaka yakni: 1. Kejahatan atas perdamaian, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, 2. Kejahatan serius yang bersifat non-politik, 3. Segala kegiatan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip PBB.
Adapun Prinsip utama hukum pengungsi dalam Konvensi 1951 yakni: Non-Refoulement (Ps. 33), Pengungsi dan pencari suaka tidak boleh dikembalikan secara paksa ke wilayah di mana nyawanya dan/atau kebebasannya akan terancam, Non-Penalization (Ps. 31), Pengungsi dan pencari suaka tidak boleh dikenai sanksi/hukuman karena memasuki wilayah negara suaka untuk mencari perlindungan tanpa disertai dokumen yang lengkap, Non-Diskrimination (Ps. 3), Perlakukan terhadap pengungsi dan pencari suaka tidak boleh dibeda-bedakan berdasarkan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu, atau pandangan politik.
Selain itu, beberapa instrumen internasional lain yang mengatur pengungsi, yakni Instrumen HAM Internasional yang dikenal di antaranya: DUHAM, ICCPR, CEDAW, CRC, CAT. Juga Konvensi Jenewa 1969. Novi Primanda Putri, memperkenalkan kerja-kerja UNHCR yang berdiri di Indonesia sejak 1979. Ia menjelaskan, di Indonesia UNHCR berperan melayani pencari suaka dan memberikan status pengungsi, sebagaimana negara lainnya yang belum meratifikasi Konvensi PBB 1951 mengenai Status Pengungsi. Sedangkan di negara yang telah meratifikasi, UNHCR biasanya hanya menjadi supervisi sehingga negara tersebut mampu menerapkan sistemnya sendiri dalam menerima dan memberikan status pengungsi.
Meskipun Indonesia belum Meratifikasi Konvensi PBB 1951, namun Indonesia memiliki instrumen hukum nasional yang menyinggung masalah pengungsi yakni Pasal 28 G ayat 1UUD 1945 yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.” Selain itu juga diatur dalam UU keimigrasian dan ratifikasi berbagai kovenan HAM Internasional.
Hanya saja, payung hukum tersebut dianggap belum memadai dalam memberikan perlindungan hukum bagi pengungsi karna tidak mengatur secara khusus. Satu-satunya Undang-Undang yang menyingggung penanganan pengungsi asing dalam hukum nasional Indonesia adalah UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yang memandatkan untuk mengatur kemudian lewat Peraturan Presiden. Baru di tahun 2016 ditindaklanjuti dengan Peraturan Presiden RI No. 125 Tahun 2016 tentang penanganan pengungsi dari luar negeri.
Novi sebagai perwakilan UNHCR Indonesia, menegaskan substansi dari Peraturan Presiden tersebut, “Pada pokoknya Perpres ini menegaskan pengakuan hukum internasional dalam penanganan pengungsi, menjadikan UNHCR sebagai rujukan dalam penanganan pengungsi, tidak membedakan antara pengungsi dan pencari suaka, pengungsi ditempatkan di penampungan dengan wajib lapor bulanan, anak dan keluarga rentan dapat ditempatkan di luar penampungan, serta memprioritaskan perhatian dan penanganan pengungsi anak” jelasnya.
Novi menambahkan Perpres tersebut juga memberikan ruang penanganan pengungsi kepada Pemerintah Daerah dan pihak kepolisian. Sehingga, persoalan pengungsi tidak hanya ditangani oleh pihak imigrasi. Harapannya, penanganan Pengungsi dilakukan dengan komprehensif karna ditangani banyak pihak serta mengurangi potensi penyalahgunaan wewenang, ataupun penanganan yang tidak relevan ataupun tidak manusiawi, seperti pendetensian pengungsi.
Kerentanan dan Masalah Pengungsi di Makassar
Dalam sesi selanjutnya, Bambang Hartadi Perwakilan UNHCR Indonesia di Makassar yang bertindak sebagai co-Fasilitator, memberikan pemahaman terkait dengan kerentanan pengungsi. Menurutnya pengungsi secara umum berada dalam kondisi rentan, yang dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti, trauma dari negara asal, trauma dalam perjalanan ke negara tujuan, keterbatasan sumber daya, keterbatasan hak, dan perbedaan budaya dan bahasa. Sehingga penting untuk mengidentifikasi dan menganalisis kerentanan pengungsi. Untuk menentukan apakah ada intervensi atau perlindungan khusus yang sifatnya mendesak, jangka panjang, ataupun solusi komperhensif bagi individu pengungsi.
Salah satu masalah yang menjadi perhatian UNHCR adalah penempatan pengungsi di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) yang dianggap tidak seharusnya dilakukan. Data UNHCR Juni 2018 mencatat terdapat 119 Orang Pengungsi Makassar ditempatkan di Rudenim Bolangi, termasuk 7 wanita, 5 anak dan 2 anak berusia di bawah 5 tahun. Dengan berbagai alasan seperti menunggu penempatan di akomodasi, melakukan pelanggaran tata tertib yang ditetapkan oleh Imigrasi/rudenim di rumah akomodasi atau adanya dugaan pelanggaran pidana yang dilakukan oleh pengungsi.
Menurut Bambang, pendetensian (penahanan) yang dilakukan terhadap pengungsi tidaklah tepat, sebab pengungsi bukan orang yang melanggar UU keimigrasian yang layak ditempatkan di Rumah Detensi Imigrasi. Ia menambahkan, pengungsi selayaknya ditempatkan di penampungan atau akomodasi sementara, jika pengungsi melanggar tata tertib yang diberlakukan di rumah akomodasi, maka masih ada alternatif lain yang sesuai dan manusiawi, salah satunya wajib lapor. Sedangkan jika pengungsi diduga atau terlibat tindak pidana, maka berlaku hukum pidana, sehingga seharusnya diproses secara pidana, bukan didetensi (penahanan) oleh pihak Imigrasi.
Selain itu UNHCR memberikan perhatian khusus kepada pengungsi anak, yang rentan tidak mendapatkan hak-haknya sebagaimana dalam UU perlindungan anak, seperti, hak atas pendidikan, jaminan kesehatan, kerentanan terhadap tindak pidana kekerasan dan pelecehan seksual, termasuk kekerasan oleh orang tua dan Juga masalah pendaftaran anak dari perkawinan campur.
Lebih lanjut, Bambang menjelaskan bahwa ada tren negatif di isu pengungsi di seluruh dunia, yakni kuota yang tersedia untuk pengungsi mendapatkan suaka di negara ketiga hanya mencapai ± 75.000 orang sementara jumlah pencari suaka di seluruh dunia mencapai ± 1.000.000 orang. Olehnya itu para pengungsi akan tinggal lebih lama di wilayah Indonesia, sehingga kebutuhan yang lebih besar adalah memastikan hak asasi manusia para pengungsi dilindungi dan dipenuhi. Kerentanan pengungsi bersinggungan dengan masalah hukum, membuat mereka memerlukan bantuan hukum, dan pemahaman yang cukup terkait dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Termasuk memberikan pemahaman bagi masyarakat setempat, tentang hak-hak pengungsi agar mereka dapat diterima dengan baik di tengah masyarakat.
“UNHCR berharap para peserta sebagai perwakilan lembaga yang konsen dalam bantuan hukum dan pemenuhan hak asasi manusia, kedepannya dapat bersama-sama dalam mengadvokasi kasus maupun kebijakan terkait penanganan pengungsi khususnya di Makassar.” Tutup Novi Putri Primanda.