Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) gelar Konsultasi Publik tentang Rancangan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sulsel tentang Bantuan Hukum bagi Masyarakat Miskin yang bertempat di Hotel Tree Kota Makassar, pada 28 November 2020. Kegiatan ini dihadiri oleh Firmansyah sebagai moderator, Muhammad Haedir, S.H (Direktur LBH Makassar). dan Andi Alfattah, S.H., M.H. (Biro Huku Pemprov Sulsel) sebagai narasumber, serta berbagai perwakilan Komunitas, Organisasi Masyarakat Sipil dan Nongovernment Organization (NGO).
Kegiatan ini mula-mula dibuka oleh moderator diawali dengan kata sambutan yang disampaikan oleh Ir. Selle KS Dalle, Ketua Komisi A DPRD Sulsel. Dalam sambutannya Ia mengatakan bahwa konsultasi publik ini baru di DPRD sulsel. Hal itu dikarenakan kritik, saran dan masukan dari berbagai elemen terhadap kinerja anggota DPRD. Selain itu, Ia juga mengatakan bahwa secara internal di DPRD menyadari bahwa dalam melahirkan produk-produk hukum seperti Peraturan Daerahtolak ukurnya tidak hanya sebatas kuantitas, melainkan mengedepankan kualitas perda yang dilahirkan. Salah satu prosesnya yang secara perlahan dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas Ranperda, dibuka ruang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk terlibat.
Setelah penyampaian sambutan oleh Ketua Komisi A DPRD Sulsel, moderator kemudian mempersilakan narasumber pertama untuk memulai prentasi materinya. Kesempatan pertama diberikan kepada Andi Alfattah dengan muatan materi Peranan Pemerintah Daerah dalam Penyelenggaraan Bantuan Hukum bagi Masyarakat Miskin. Materi yang dibawakan oleh Andi Alfattah membahas mengenai tugas-tugas dan peran pemerintahan. Selain itu, Dalam membahas mengenai Ranperda Bantuan Hukm bagi rakyat miskin, Ia menjelaskan bahwa terdapat perdebatan mengenai sasaran, apakah hanya diperuntukkan untuk rakyat miski, orang tidak mampu ataupun juga dimasukkan bagi kelompok rentaan. Masing-masing memiliki pengertian dan makna yang berbeda. Hal-hal tersebut tentunya juga nanti akan berpengaruh terhadap kebutuhan anggaran Daerah.
Masuk pada sesi kedua, materi yang disampaikan oleh Muhammad Haedir adalah Pentingnya Perda Bantuan Hukum Provinsi Sulsel dengan muatan-muatan materi Bantuan Hukum dalam penegakan Hak Asassi Manusia, bantuan hukum bagi kelompok rentan, kendala-kendala dalam pelaksaan bantuan hukum nasional, serta peran pemerintah daerah.
Direktur LBH Makassar menjelaskan bahwa dalam Undang-undang No. 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang ada saat ini belum mengakomodir kelompok rentan seperti Perempuan, anak dan Disabilitas sebagai penerima manfaat Bantuan Hukum yang pemenuhan hak asasi manusianya harus dijamin oleh Negara. Selain itu, juga menjelaskan bahwa masih terdapat kendala dalam pelaksanaan Bantuan Hukum Nasional, yaitu BPHN Hanya menanggung biaya pelaksanaan kegiatan Nonlitigasi dan Penanganan Kasus Litigasi, biaya peningkatan kapasitas OBH seperti peningkatan kapasitas Advokat dan Paralegal tidak dianggarkan; BPHN tidak menanggung biaya operasional kantor, termasuk biaya operasional penanganan perkara seperti biaya administrasi peradilan hingga biaya transportasi; BPHN tidak mengakomodir pendampingan terhadap korban, juga tidak mengakomodir pendampingan terhadap kelompok rentan, sementara dalam UU yang mengatur masing-masing kelompok rentan telah menyebutkan hak bantuan hukum kepada mereka; dan terakhir Jenis layanan Perda Bantuan Hukum di Kabupaten/Kota tidak terstandar, khususnya pada jenis layanan, di Makassar dan Takalar misalnya hanya mengakomodir 2 layanan nonlitigasi yaitu Konsultasi dan Mediasi, sementara Sinjai sama sekali tidak mengakomodir kegiatan Nonlitigasi.
Urgensi pengesahan Perda Bantuan Hukum provinsi Sulsel juga didasarkan pada data jumlah orang miskin di Sulsel untuk tahun 2020 sebesar 767,80 ribu jiwa sedangkan jumlah Organisasi Bantuan Hukum (OBH) yanga ada di Sulsel hanya ada 20 (dua puluh) OBH yang terakreditasi, masing-masing tersebar di beberapa Kota/Kabupaten, yaitu 2 OBH di Kabupaten Jeneponto, 2 OBH di Kabupoaten Wajo, 2 OBH di Kabuoaten Bulukumba, 3 OBH di Kabupaten Pinrang, 1 OBH masing – masing di kabupaten Luwu Utara, Bantaeng dan takalar, sedangkan 7 OBH Lainnya ada di Kota Makassar. Dengan demikian, data persebaran OBH belum merata di semua kabupaten kota. OBH lebih banyak menumpuk di kota-kota. Sementara menurut data BPS, kemiskinan 2019 masih mendominasi di desa (sebanyak 78% dari total penduduk miskin).
Data yang dihasilkan dari Survey yang dilakukan oleh MAPPI FH UI juga menunjukkan urgensitas pengesahan Perda Bantuan Hukum Sulsel. Dari 1200 koresponden yang berasal dari 3 Kabupaten/Kota (Makassar, Sinjai dan Takalar) 77,20% Pernah bermasalah hukum. 25,56% diantaranya mencari bantuan hukum, sedangkan 73% diantaranya tidak mencari bantuan. Mereka yang mencari bantuan mayoritas mencari bantuan hukum kepada keluarga/teman/kenalan yang tidak bekerja di bidang hukum (74,2%).
Terakhir dalam penyampaian materi, Direktur LBH – Maksssar memberikan rekomendasi kepada pemerintah daerah dalam mengatasi kendala yang dihadapi dalam Penyelenggaraan Bantuan Hukum Nasional. Rekomendasi tersebut meliputi perluasan jangkauan bantuan hukum, baik dalam rangka mengatasi persebaran OBH maupun perluasan penerima manfaat dengan sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur bantuan hukum kepada masyarakat rentan; Mendorong peningkatan kualitas layanan dengan menambah kapasitas dan Jumlah Pengabdi Bantuan Hukum (Advokat dan Paralegal); dan Mendorong standarisasi Perda Bantuan Hukum di Kabupaten/Kota.
Pada sesi taanya jawab dan memberikan respon, Direktur LBH APIK Makassar, Rosmiati sain menjelaskan mengapa kelompok rentan mesti diakomodir dalam Perda Bantuan Hukum Sulsel. Ia mengatakan bahwa LBH APIK banyak mendampingi Korban kasus kekerasan. Kita juga harus memperhatikan kelompok rentan. Walaupun mereka mampu secara ekonomi, namun belum tentu mereka paham bagaimana memperoleh akses keadilan demi penegakan HAM.