Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar yang bekerjasama dengan Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2) dan The Asia Foundation telah melaksanakan diskusi publik Konsep Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana, pada 27 Desember 2018 di Aula Kantor Kecamatan Manggala, Makassar. Kegiatan ini dihadiri oleh perwakilan dari Paralegal LBH LPA Sulsel, Paralegal LBH APIK Makassar, Paralegal KPI Cabang Makassar, Shelter Warga Batua, Shelter Warga Tamangapa, Shelter Birma, Shelter Biring Romang, Polsek Manggala, Perwakilan RT/RW dan Kelurahan di Kecamatan Manggala, serta Dr. Hijrah Adhyanti Mirzana, S.H.,M.H. Dosen Hukum Pidana Universitas Hasanuddin dan Makmur, S.Sos Ketua TIM Reaksi Cepat Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) Kota Makassar sebagai Narasumber.
Kegiatan ini diawali dengan pengantar dari Rezky Pratiwi selaku moderator dalam diskusi publik tersebut memaparkan masalah kepadatan rutan dan lapas merupakan permasalahan yang penting yang kami soroti karena persoalan ini dari tahun ke tahun membawa dampak pada banyak aspek termasuk dalam hal pembangunan. Penting untuk melihat kembali bagaimana cara pandang kita terhadap proses peradilan pidana yang selama ini kita lihat karena selama ini cara pandang kita, ketika orang melakukan kejahatan tempatnya mendapat hukuman dipenjara. Padahal dalam prosesnya penting untuk melihat bahwa ketika seorang terpidana menjadi warga binaan ada proses yang dia lalui sehingga dia bisa kembali ke masyarakat dan menjalankan fungsi sosialnya untuk kembali ke masyarakat. Fungsi lembaga kemasyarakatan tidak akan bisa efektif untuk melakukan itu ketika ada kepadatan yang ekstrem seperti saat ini. Setelah memberikan pemaparan sekaligus pengantar diskusi publik, moderator mempersilahkan pemateri pertama untuk menjelaskan konsep Restorative Justice dalam penyelesaian tindak pidana.
Stelah moderator memnerikan pengantar, diskusi kemudian dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh Hijrah Adhyanti Mirzana . Dalam pemaparannya, Ia menjelaskan Restorative Justice dapat diterjemahkan menggunakan dua istilah yaitu keadilan restorative atau pemulihan, penyembuhan dan perbaikan, sedangkan justice ada peradilan dan keadilan. Jika berbicara terkait keadilan berarti substansi sedangkan peradilan adalah proses penyelesaian masalah atau sengketa. Jadi, restorative justice artinya peradilan restorative atau peradilan yang menyembuhkan, peradilan yang memperbaiki, memperbaiki hal-hal yang sudah hancur karena adanya masalah sengketa dalam tindak pidana. Ia pun menekankan Restorative Justice bukan barang impor atau produk luar, tetapi sebuah pendekatan yang sudah ada sejak zaman nenek moyang kita dalam menyelesaikan masalah tanpa masalah dengan musyawarah mufakat. Setelah pemateri pertama selesai menjelaskan pemaparannya terkait konsep Restorative Justice, maka selanjutnya beralih ke pemateri kedua yang akan membahas tentang penerapan Restorative Justice dalam perlindungan Perempuan dan Anak yang berhadapan dengan hukum.
Makmur menyatakan bahwa dalam implementasinya, tentu penerapan Restorative Justice tidak selamanya berjalan dengan lancar atau berujung pada perdamaian antara pihak pelaku maupun korban, ada pun juga yang permasalahannya masih berlanjut sampai saat ini, karena pihak korban yang belum memaafkan pihak pelaku. Ia pun menambahkan, upaya yang telah dilakukan oleh pihak TIM Reaksi Cepat Dinas P2TP2A Kota Makassar seperti mediasi dengan mengumpulkan tokoh masyarakat, korban dan pelaku sebagai bentuk implementasi Restorative Justice dalam menyelesaikan masalah sekaligus tindakan pencegahan kelebihan jumlah penghuni lapas (overcrowding).
Lebih lanjut, dalam presentasi Makmur selaku ketua TIM Reaksi Cepat Dinas P2TP2A Kota Makassar mengadakan sebuah program yaitu Reintegrasi. Reintegrasi merupakan upaya untuk membangun kembali kepercayaan dan modal sosial, walaupun bukanlah sebuah proses yang mudah, cukup sulit, dan memakan waktu yang lama dalam perwujudannya. Reintegrasi bisa berhasil ketika komponen berbeda termasuk lingkungan tempat tinggal mereka aman dan terlindungi, akses terhadap standar hidup yang layak, kesejahteraan mental dan fisik, pengembangan pribadi, sosial, ekonomi, akses dukungan sosial dan emosi. Sehingga perlunya keterlibatan para aktor utama seperti Shelter warga (Forum warga), tokoh masyarakat, tokoh agama, RT, RW, tokoh adat, orang tua korban, orang tua pelaku, BINMAS, BABINSA semuanya akan terlibat secara intens dan substantif di dalam penyelesaian kasus perempuan dan anak, yang didahului dengan pemahaman akan model keadilan restoratif yang menjadi pilihan peradilan anak. Adapun proses atau pendekatan untuk mencapai suatu reintegrasi yang baik seperti; tahap persiapan, asessment, perencanaan alternatif, pemformulasikan rencana aksi, pelaksanaan program atau kegiatan, evaluasi dan terminasi.
Adapun tambahan dari Polsek Manggala terkait implementasi Restorative Justice, Polsek Manggala telah membuat ruangan solusi. Jika ada masyarakat yang ingin melaporkan tindak pidana, polisi tidak bisa serta merta membuatkan laporan karena laporan kepolisian memiliki nilai pertanggung jawaban hukum. Setiap laporan masyarakat yang masuk ke kantor polisi ditangani berdasarkan PERMA NO. 130 Tahun 2014 yang memerintahkan kepolisian untuk menerbitkan Surat Pemberitahuan dimulainya Penyidikan ke Kejaksaan setelah 7 hari kerja dari diterimanya laporan. Polisi juga menggunakan tiga tujuan hukum dalam penanganan perkara pidana yang ditanganinya.
Hasil yang diharapkan dalam diskusi publik ini memberikan pengetahuan dan kesadaran kepada masyarakat terkait dampak yang ditimbulkan dari Penahanan kepada Tersangka dan hukuman pemenjaraan terhadap terpidana serta pentingnya penyelesaian kasus tindak pidana tertentu dengan pendekatan restorative justice sebagai upaya mengatasi masalah dan dampak overcrowding di Lapas atau Rutan. Diskusi ini akan tetap berlangsung selama 6 (enam) kali dengan topik yang sama dan lokasi yang berbeda. Setelah sesi dialog atau tanya jawab berakhir, diskusi ini ditutup oleh moderator “Pentingnya untuk membangun sistem di masyarakat untuk menyikapi konflik dan meminimalisir dampak negatif dari proses peradilan pidana, dengan kerjasama beberapa pihak dan utamanya partisipasi masyarakat.” Tutup Resky Pratiwi.