
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar yang bekerjasama dengan Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2), The Asia Foundation dan Pemerintah Kecamatan Panakkukang dalam melaksanakan diskusi publik Pendekatan Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Tertentu, pada 10 Januari 2019 di Kantor Kelurahan Masale, Makassar. Kegiatan ini dihadiri oleh Lurah Karampuang, Lurah Karuwisi, Lurah Masale, Lurah Pandang, Lurah Tamamaung, Lurah Panaikang, Lurah Pampang, Lurah Sinri Jala, perwakilan dari Kecamatan Panakkukang, BINMAS, serta Makmur, S.Sos Ketua TIM Reaksi Cepat Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) Kota Makassar dan Ismail, S.H Kanit PPA Polrestabes Makassar sebagai Narasumber.
Diskusi ini diawali dengan pengantar dari Ady Anugrah Pratama selaku moderator dalam diskusi Restorative Justice ini, ia memaparkan Secara umum Restorative Justice itu adalah upaya penyelesaian tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama, baik itu oleh pelaku kemudian oleh korban, secara umum jika kita ingin memahami Restorative Justice. Terdapat juga fakta bahwa lembaga permasyarakatan kita mengalami overcapacity, terlalu banyak orang di dalamnya. Akibat banyaknya laporan ke polisi akhirnya banyak orang yang terpidana, banyak orang yang di penjara, sehingga lapas/rutan kita menjadi sumpek, terlalu banyak orang di dalamnya. Mekanisme Restorative Justice dapat menjadi solusi untuk menghindari overcroud di lapas. Ada beberapa hal juga yang menjadi penting untuk melihat Restorative Justice sebagai upaya untuk menyelesaikan sebuah persoalan hukum, pertama hak-hak korban itu tidak terpenuhi. Ketika kita melakukan Restorative Justice kita kemudian dapat meminta kepada pelaku tindak pidana untuk memulihkan hak hak korban akibat tindak pidana yang dilakukannya.
Setelah moderator memberikan pengantar diskusi terkait penerapan Restorative Justice, kemudian dilanjutkan dengan pemaparan dari pemateri pertama Makmur, S.Sos. Dalam pemaparannya, ia menjelaskan “Harapan kita adalah tokoh-tokoh masyarakat di kecamatan panakkukang, nantinya harus bersama-sama melakukan profesi ini dengan melibatkan semua unsur yang ada dikelurahan terutama tokoh-tokoh perempuan, tokoh agama, lintas agama itu semua harus kita rangkul termasuk pak lurah ketika dia memberikan arahan sehingga bisa diselesaikan dengan baik.harapan kita adalah tokoh-tokoh masyarakat di kecamatan panakkukang, nantinya harus bersama-sama melakukan profesi ini dengan melibatkan semua unsur yang ada dikelurahan terutama tokoh-tokoh perempuan, tokoh agama, lintas agama itu semua harus kita rangkul termasuk pak lurah ketika dia memberikan arahan sehingga bisa diselesaikan dengan baik.”
Ia pun menambahkan anak dibawah 18 tahun wajib kita lindungi meskipun ia adalah pelaku atau korban. Ketika ada anak-anak yang bermasalah, kebanyakkan tokoh masyarakat mengacuhkan atau mengabaikannya karena anak yang bermasalah tersebut bukan anak mereka, sehingga masyarakat cenderung memojokkan anak tersebut. Padahal meskipun bukan anak kita, kita wajib melindungi mereka. Ketika ada anak yang bermasalah dengan hukum yang patut dituntut adalah orang tuanya karena orang tua memiliki tanggung jawab yang besar dalam hal pengasuhan anak. “Mudah-mudahan kedepannya, kita harus bersama-sama melakukan hal-hal yang terbaik untuk perempuan dan anak” Tutup Makmur.
Setelah pemateri pertama selesai memaparkan terkait konsep dan penerapan Restorative Justice, selanjutnya beralih ke pemateri kedua yang dibawakan oleh Ismail, S.H terkait hambatan dan tantangan penerapan Restorative Justice pada anak dan tipiter. Menurut pemaparan Ismail secara umum, dasar hukum dalam penerapan Restorative Justice terdapat pada Undang-Undang RI No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang RI No. 17 Tahun 2016 tentang TAP Perpu No. 1 tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Peraturan Pemerintah RI No. 65 tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang belum berumur 12 tahun dan Surat Edaran Kapolri Nomor:SE/8/VII/2018, tanggal 27 Juli 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (restorative Justice) dalam penyelesaian Perkara Pidana. Makmur menambahkan “Padahal dalam praktiknya sudah seringkali kami lakukan, kadang kala ada persoalan hukum yang muncul di masyarakat tidak sampai ke polisi, karena di masyarakat sudah melakukan pendekatan itu, melakukan mediasi mungkin di BINMAS, aparat kelurahan, atau pun tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh agama sehingga tidak menjadi satu laporan polisi. Karena kalo masuk laporan polisi, tentu kita masuk di persoalan hukum yang bergerak pada undang-undang yang mengatur, seperti kasus anak-anak yang menjadi pelaku tindak pidana itu ada batasan maksimal ancaman hukuman yang bisa dilakukan diversi.”
Lebih lanjut, dalam presentasi Ismail menjelaskan terkait hambatan dan tantang Restorative Justice di tingkat sidik seperti; Tindak Pidana yang dilakukan oleh Pelaku Anak diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun keatas (Tidak diisyaratkan untuk dilakukan Diversi), Tindak Pidana yang dilakukan oleh pelaku Anak merupakan atensi masyarakat misalnya: Kasus Pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan Kekerasan atau ancaman kekerasan (BEGAL) pasal 365 KUHP, atau membawa Senjata Tajam/Busur (UU DRT 12/1951), Pelaku Anak merupakan Residivis (pengulangan Tindak Pidana), Diversi Gagal (korban tidak setuju untuk dilakukan Diversi), dan Tindak Pidana Tanpa Korban (Judi, Sajam, Narkoba).
Salah satu peserta memberikan masukan terhadap penerapan Restorative Justice “Saya mengusulkan agar terjadi sinergi untuk memassifkan sosialisasi hukum yang bisa mencerat anak. Kedua pengalamn saya, memperioritaskan tanpa pandang bulu, melalui pendekatan persuasif, ini untuk meminimalisir tindak pidana. Jika terdapat kemauan bersama maka kita dapat memaksimalkan sosialisai ke daerah daerah rawan, dalam bentuk informasi/papan informasi. Sistem pengawasan melekat, kalau anak anak nakal maka saya bergaul dengan mereka tidak mengucilkan dan menghakimi mereka.” Usul Abd. Rahman selaku Kepala LKSAA Kota Makasssar.
Adapun tambahan dari peserta lain terkait sistem peradilan anak “Di flyover hampir dipenuhi anak jalanan, dan ini tidak terlepas dari aktivitas meraka. Mereka pengguna lem, ini bisa jadi karena orang tua mereka tidak cukup peduli dengan mereka. Tidak satupun dari mereka di bina, dididik. Pernah ada yang turun, dia mau bagi sarung, buku, alasan dari komunitas perlindungan anak. Ini akan menjadi pembiaraan kalau di beri jalan.. mereka butuh wadah untuk beraktifitas. Terkait over kapasitas lapas, ini sangat rawan ketika mereka keluar dari tahanan. Meneliti tanahan anak di bawah umur, hampir semua anak yang beda umur, beda tindakan di gabung sehingga dampak mereka saling sharing pengalaman kejahatan. Tidak ada jalan membina anak dalam kondisi over kapasitas lapas. Terdapat kelemahan di masarakat karena cendrug masih menghakimi pelaku tindak pidana anak. Anak persoalannya adalah pendekatan terhadap anak. Paling tidak melakukan sosialisasi di tengah masyarakat, tidak tersentral. Mengadakan pertemuan langsung dengan masyarakat. Reintegrasi sosial menjadi persoalan utama.” Jelas Syarifuddin SE. selaku Lurah Sinri Jala.
Setelah sesi diskusi berakhir, kegiatan ini ditutup oleh moderator dengan pemaparannya “Sebenarnya konsep atau metode Restorarive Justice sebenarnya sudah dipraktekkan, hanya saja kita tidak sadar jika kita sudah mempraktekkan itu, bahwa menyelesaikan tindak pidana itu tidak mesti dengan melapor ke polisi. Yang paling penting dari diskusi kita hari ini ialah soal mindset, soal pengetahuan atau soal paradigma karena kita masih seakan-akan terjebak ketika berhadapan dengan tindak pidana ujung-ujungnya melapor ke polisi, padahal sebenarnya kita masih memiliki perangkat-perangkat masyarakat, pak RT, pak Lurah dan segala macam yang dapat memediasi tindak pidana yang terjadi disekitar kita.” Tutup Ady Anugrah Pratama.
Comments
No comment yet.