
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar yang bekerjasama dengan Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2), The Asia Foundation dan Pemerintah Kecamatan Tamalate melaksanakan diskusi publik Pendekatan Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Tertentu, pada 23 Februari 2019 di Aula Kantor Kec. Tamalate, Makassar. Kegiatan ini merupakan diskusi terakhir yang dilaksanakan ditiap kecamatan kota Makassar. Diskusi ini dihadiri oleh Ketua RT/RW, LPM, Lurah, Tokoh Pemuda, Polsek Tamalate, Babinsa dan Binmas, serta Bakri, S.Sos. S.H, M.Si selaku Personal PK Kementerian Hukum dan Ham Prov. Sulawesi Selatan dan Adrian D.S selaku Kasubsi Eksekusi dan Eksaminasi Kejaksaan Negeri Makassar sebagai Narasumber.
Diskusi ini diawali dengan pengantar dari Moderator, Melisa Ervina Anwar dengan pemaparannya “Masalah kepadatan Rutan
dan Lapas (overcrowd) merupakan persoalan penting yang LBH Makassar soroti dari tahun ketahun karena masalah kepadatan Rutan dan Lapas berdampak pada banyak aspek, termasuk Lembaga Pemasyarakatan.” Ia pun menambahkan “sangat penting untuk melihat kembali cara pandang kita tentang proses peradilan pidana, karena selama ini cara pandang kita ketika ada orang yang melakukan kejahatan selalu dipenjara, khususnya pelaku anak yang berhadapan dengan hukum. Sehingga tujuan kita mengadakan diskusi ini adalah memberikan kesadaran dan pemahaman kepada masyarakat terkait dampak yang ditimbulkan dan penahanan terhadap tersangka dan hukuman pemenjaraan terhadap terpidana dan pentingnya penyelesaian tindak pidana tertentu dengan pendekatan Restorative Justice sebagai upaya menanggulangi dampak overcrowding Rutan dan Lapas.” Setelah moderator memberikan pengantar diskusi terkait Restorative Justice, maka selanjutnya moderator mempersilahkan narasumber pertama Abdul Azis Dumpa untuk memaparkan konsep Restorative Justice dan Perkembangannya di Indonesia.
Narasumber pertama bapak Abdul Azis Dumpa selaku Advokad Publik di LBH Makassar memaparkan “Restorative Justice adalah cara pandang melihat kejahatan lebih dari sekedar merusak hukum, jadi ketika melihat kejahatan ini bukan sekedar melanggar undang-undang yang diatur misalnya kejahatan pencurian, bukan hanya itu tapi kejahatan menyebabkan keburukan pada orang dikatakan buruk pada orang ketika kemudian menyebabkan keburukan pada komunitas sehingga respon terhadap kejahatan harus dengan perlakuan-perlakuan yang tidak manusiawi.” Dalam penjelasannya bapak Abdul Azis Dumpa mencoba untuk menjelaskan kepada masyarakat penanganan kejahatan itu tidak perlu dibalas dengan kejahatan, yang kita lawan adalah kejahatannya dan mengubah sifat dari manusianya, manusia tetap manusia yang harus diperlakukan secara manusiawi, tapi pada kenyataannya pola pikir masyarakat selalu ingin menghukum bahkan ingin pelaku dihukum mati, padahal yang kita lawan itu kejahatannya. Maka perlu merubah cara pandang kita dengan Restorative Justice. “Rasa keadilan yang sebenarnya adalah rasa keadilan karena dia menyeimbangkan, bukan hanya dihukum ketika melanggar undang-undang tapi masyarakat juga merasa adil, seimbang. Kita harus akui, proses peradilan kita sekarang belum seimbang. Kemudian, perubahan kultur sosial dari retributive menjadi restorative, dari pembalasan dendam menjadi pemulihan.” Tambahnya.
Setelah narasumber pertama selesai memaparkan terkait konsep Restorative Justice dan perkembangannya, selanjutnya beralih ke narasumber kedua yang dibawakan oleh Bakri dengan materi Peran Pemasyarakatan dalam Implementasi RJ. Bapak Bakri memaparkan “Kalau menurut saya, RJ ini kalau tidak berhasil yah akan tambah parah sehingga kita harus punya komitmen bersama untuk keberhasilan RJ ini. Nah ini kalau orang masuk di Lapaskan sekarang sistemnya pembinaan dulu penjerahan, tetapi pengalaman saya, saya melihat malah lebih enak, kalau mau keluar malahan mau kemana? Termasuk anak-anak di Lapas lebih seratus orang lebih betah sepertinya di dalam. Tapi memang sulit kalau anak tidak di tempatkan di LPKA, pengalaman saya dulu itu satu kantor anak-anak semua isinya.” Bakri pun menambahkan “Terkait bentuk implementasi RJ dalam sistem pemasyarakatan, saya jelaskan yang pertama, kita tidak memperlakukan narapidana dengan tidak manusiawi, mendukung narapidana menjadi warga yang patuh hukum ketika kembali ke masyarakat, kita lakukan pembinaan untuk itu selama mereka di Lapas. Kemudian tugas Pembimbing Kemasyarakatan yang meliputi pembimbinga narapidana yang mendapat pembebasan bersyarat yang sekarang dikenal dengan cuti bersyarat. Baik dewasa maupun anak dapat CB.”
Setelah narasumber memaparkan presentasinya terkait Peran Pemasyarakatan dalam Implementasi RJ, selanjutnya narasumber ketiga yaitu bapak Adrian terkait Penerapan RJ dalam Kasus anak berhadapan dengan hukum. Dalam pemaparannya Adrian menjelaskan “Terkait RJ dan anak, anak sebagai korban. Dalam UU SPPA ditekankan diversi pada anak sebagai pelaku, meski diselesaikan di luar pengadilan tetap berperkara. Perlu diingat, bahwa dalam UU dikenal dua delik yaitu delik biasa yang dilaporkan oleh korban, yang meskipun RJ ditingkat penyidikan berhasil ada yang namanya hukuman, yang paling ringan dengan anak dikembalikan ke orang tua tapi itu harus lewat proses peradilan atau dengan penetapan pengadilan dan delik aduan. Anak sebagai pelaku, ketika laporan sudah masuk dan diregiater oleh penyidik, itu tidak berhenti proses hukumnya, dengan diversi.” Dalam pemaparan tersebut, bapak Adrian lebih membicarakan terkait proses hukum yang ditempuh anak yang merupakan pelaku tindak pidana, ia pun menambahkan “Dikejaksaan pun kami juga mengusahakan diversi sebagai RJ. Mohon diingat bapak ibu untuk memperhatikan anaknya. Bagaimana-pun ada Bapas yang melakukan penelitian apakah layak anak dikatakan sebagai korban juga. Sekali lagi, kalau dalam hal ini tindak pidana ada korban, tidak berarti dikepolisian sudah selesai, selesai itu lewat pengadilan. Maka itu gunanya RJ di luar pengadilan, meaki di luar pengadilan tetaoi pengadilan tetap berwenang menetapkan apakah perkara tersebut selesai atau tidak. Kalau selesai dimasyarakat saya kira itu bukan selesai secara hukum, karena RJ ini istilah hukum kalau istilah masyarakat itu musyawarah mufakat.”
Setelah sesi diskusi selesai, kegiatan tersebut ditutup oleh Moderator dalam kegiatan diskusi publik Restorative Justice “Sangat penting penerapan RJ ini, tidak hanya keterlibatan pengacara, aparat penegak hukum, tokoh masyarakat tapi kita semua terutama orang tua terkait anak yang berhadapan dengan hukum. Kita semua sangat berperan untuk berhasilnya penerapan RJ ini untuk meminimalisir adanya overcrowding di Lapas dan Rutan.” Tutupnya.
Comments
No comment yet.