Dinas Sosial (Dinsos) Kabupaten Bulukumba selenggarakan Focus Group Discussion (FGD) yang diinisiasi oleh LBH Makassar bersama Konsorsium pada 26 Januari 2021, bertempat di Ruangan Asisten I Kantor Bupati Bulukumba. Kegiatan ini dari hadiri oleh perwakilan dari Dinsos Kab. Bulukumba, Kepala Bagian (Kabag) Hukum Pemerintah Daerah (Pemda) Bulukumba, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kab. Bulukumba, YLBH Sinar Keadilan, serta perwakilan dari Tim Penyusun Draf Perbub. FGD dibuka secara resmi oleh A. Buyung, Asisten I Setda Kabupaten Bulukumba.
Data berbagai lembaga telah menunjukkan betapa penyandang disabilitas sangat rentan berhadapan dengan hukum dan umumnya menjadi korban kekerasan, sebagaimana data Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) yang mencatat sebanyak 132 kasus kekerasan yang dialami oleh penyandang disabilitas di sebelas Provinsi di Indonesia dalam rentan waktu tahun 2017 – 2019, didominasi dengan kasus kekerasan seksual dengan jumlah 132 kasus atau 93 persen dan 50 kasus di antaranya tidak terekspos atau tidak jelas penangananya. Hal tersebut disebabkan oleh tidak terpenuhinya layanan dan sarana serta prasarana bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum, sehingga mengakibatkan mereka kehilangan hak-haknya dalam proses peradilan.
Senada dengan catatan tahunan Komnas Perempuan RI, melalui rilisnya pada tanggal 6 Maret 2020 menyebutkan bahwa dalam rentan waktu 2019 – maret 2020, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas meningkat sebanyak 47% dibandingkan tahun lalu dan korban terbanyak adalah disabilitas intelektual[1]. Demikian juga dengan data tahun 2019 – 2020 dari LBH Makassar, terdapat 6 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas, 3 diantaranya usia korbannya masih anak-anak. Dalam konteks Sulawesi Selasatan, HWDI Sulawesi Selatan mencatat terdapat 9 (sembilan) kasus kekerasan terhadap penyandang disabilitas yang terjadi di Sulawesi Selatan sepanjang 2017, terutama kekerasan seksual terhadap disabilitas anak perempuan. Kasus-kasus tersebut terjadi di lima kabupaten/kota. Kabupaten Bone dengan tiga kasus, Makassar tiga kasus, di Takalar satu kasus, di Sopeng satu kasus, dan satu kasus di Bulukumba. Dari ragam disabilitas. gangguan intelektual hambatan komunikasi paling rentan mengalami kekerasan.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas (UN CRPD) melalui Undang-Undang No. 19 tahun 2011, menyusul pengesahan UU No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang didalamnya telah menjamin dan mengakui secata tegas sejumlah hak-hak penyandang disabilitas terkait pemenuhan hak atas keadilan dalam proses hukum salah satunya adalah Layanan Bantuan Hukum (Pasal 29 dan Pasal 95).
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS telah meluncurkan Strategi Nasional Akses pada Keadilan (SNAK) 2016 – 2019 yang salah satu sasaran utamanya adalah “Terpenuhinya akses masyarakat terutama yang rentan atau terpinggirkan pada sistem bantuan hukum yang mudah diakses, berkelanjutan dan kredibel” dengan salah satu kelompok sasarannya adalah penyandang disabilitas.
Sejalan dengan itu, salah satu capaiannya adalah dengan adanya jaminan hak atas layanan bantuan hukum bagi penyandang disabilitas yang diatur dalam Pasal 29 UU RI Nomor 8 tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas (UU Penyandang Disabilitas), yang berbunyi: “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan bantuan hukum kepada Penyandang Disabilitas dalam setiap pemeriksaan pada setiap lembaga penegak hukum dalam hal keperdataan dan/atau pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Ketentuan ini kemudian telah ditindaklanjuti oleh berbagai daerah melalui Peraturan Daerah (Perda) baik level provinsi maupun Kota dan Kabupaten, yang juga telah menjamin hak atas bantuan hukum bagi penyandang disabilitas
Pada tahun 2020 telah pula disahkan PP No. 39 Tahun 2020 tentang akomodasi yang layak untuk penyandang disabilitas dalam proses peradilan. Dalam hal ini mencakup penyediaan pelayanan dan sarana prasarana. Salah satu hal yang ditekankan dalam PP ini penilaian personal untuk menentukan hambatan yang dihadapi serta pendekatan seperti apa yang dibutuhkan oleh penyandang disabilitas dalam menghadapi proses peradilan. Permintaan Penilaian personal diajukan kepada dokter atau tenaga kesehatan lainnya, dan/atau psikolog atau psikiater. Selain itu, dalam konteks layanan bagi penyandang disabilitas berhadapan hukum perlu disediakan pendamping disabilitas, penerjemah, yang dapat dikerjasamakan dengan pemerintah daerah.
Terkhusus bagi Perempuan dan Anak Penyandang Disabilitas korban kekerasan, UU Disabilitas secara tegas memberikan kewajiban kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk: menyediakan unit layanan informasi dan tindak cepat (Psl. 125), memberikan Pelindungan khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Psl. 126), menyediakan rumah aman yang mudah diakses (Psl. 127). Termasuk kewajiban untuk menyediakan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh Penyandang Disabilitas sesuai dengan kebutuhan dan ragam disabilitasnya (Pasal 65), dan menjamin ketersediaan pelayanan rehabilitasi medis sesuai dengan kebutuhan dan ragam disabilitasnya (Pasal 66). Selain itu, Undang-Undang No 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, khsusunya dalam Pasal 71 telah mengatur bahwa seorang yang diduga Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) harus mendapatkan pemeriksaan kesehatan jiwa sebelum diperiksa oleh Aparat Penegak Hukum.
Pada akhir 2019, LBH Makassar bersama konsorsium dan AIPJ2 Makassar bekerjasama dengan Pemerintah Daerah melalui Dinas Sosial dan Bagian Hukum telah menyelenggarakan Seminar dan Lokakarya guna membangun Sinergitas antar stakeholder guna Mewujudkan Layanan Peradilan yang Inklusi, yang dilaksanakan di Kabupaten Bulukumba. Kegiatan ini melibatkan Intitusi penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan organisasi perangkat daerah seperti Dinas Kesahatan, Rumah Sakit Daerah, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak, P2TP2A, Organisasi Penyandang Disabilitas, Organisasi Bantuan Hukum dan Paralegal.
Dalam kegiatan tersebut ditemukan sejumlah hambatan dan tantangan dalam mewjudkan sistem layanan peradilan inklusi, yakni antara lain Aspek koordinasi dan sinergitas yang belum efektif dan simultan antar institusi peradilan sebagai penyedia layanan peradilan dengan insitusi SKPD/UPT dan Lembaga Profesi terkait sebagai penyedia layanan pendukung seperti layanan bantuan hukum oleh Advokat/ OBH lokal dan Paralegal, pendamping disabilitas dari organisasi Penyandang Disabilitas (OPD), pendampingan/ layanan P2TP2A untuk perempuan dan anak disabilitas korban kekerasan, Tim Profil Assesment yang seharusnya disediakan oleh rumah sakit daerah (RSUD) setempat dengan dukungan profesi Psikolog dan psikiater.
Salah satu kesulitan membangun koodinasi dan sinergi antar pemangku kepentingan di atas karena meskipun di Kabupaten Bulukumba telah terdapat Perda yang mengatur perlindungan dan pelayanan bagi penyandang disabilitas namun belum efektif dijalankan oleh setiap organisasi perangkat daerah yang terkait, karena belum adanya peraturan teknis pelaksanaan dalam bentuk Peraturan Bupati (Perbup), sehingga sangat penting untuk mendorong lahirnya Perbup yang mengatur terkait teknis pemberlindungan dan pemberian layanan bagi penyandang penyandang disabilitas khususnya yang berhadapan dengan hukum
Berdasarkan hal tersebut di atas, menjadi penting untuk mempertemukan semua pemangku kepentingan untuk merancang draft peraturan pelaksana Perda Disabilitas Kab. Bulukumba khususnya yang terkait layanan bagi penyandang disabilitas berhadapan hukum. Dimana Perda Disabilitas Kab. Bulukumba mengamanatkan untuk mengatur lebih jauh terkait tata cara penyediaan pelayanan pendampingan hukum bagi penyandang disabilitas berhadapan hukum melalui Peraturan Bupati.