Makassar 7/10/2015. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melaksanakan Focus Group Discussion (FGD) dengan mengundang mitra CSO di Kota Makassar, diskusi dilaksanakan di ruang pertemuan Kantor LBH-Makassar Jln. Pelita Raya VI Blok A.34 No. 9 Kota Makassar.
Komnas Perempuan mengundang mitra di daerah untuk mengevaluasi dan meminta masukan terkait program yang telah dilaksanakan oleh Komnas Perempuan yaitu Program Perempuan Konstitusi dan Hukum Nasional (PKHN) dimana program tersebut dilaksanakan sejak tahun 2011 dan akan berakhir pada juni 2016 (5 tahun Program).
Perwakilan dari Komnas Perempuan Ahmad Suaidi dan Yanti Ratna, menjelaskan program PKHN bertujuan mendorong penghapusan kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas, dengan mengacu pada indikator kebijakan Konstitusional yang dibuat oleh Komnas Perempuan bersama Kementerian Dalam Negeri, kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pemberdayaan Perempuan pada tahun 2014, indikator tersebut sebagai acuan bagi pemerintah daerah untuk mengeluarkan kebijakan.
Di Sulawesi selatan ada beberapa kebijakan yang bernuansa syariat yang justru diskriminatif terhadap perempuan dan melencenga dar indikator kebijakan Konstitusional karena pelaksanaan kebijakan daerah ini membatasi kesempatan perempuan untuk menikmati hak atas kebebasan berbusana sesuai dengan hati nuraninya, adapun beberapa kebijakan daerah di Sulawesi Selatan yang bernuansa syariat seperti Perda Kab. Bulukumba No. 5 Tahun 2003 Tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah di Kab. Bulukumba, Perda Kab. Enrekang No. 6 Tahun 2005 Tentang Busana Muslim, Perda Kab. Maros No. 16 Tahun 2005 Tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah.
Masih banyak kebijakan di daerah yang dianggap diskriminatif terhadap perempuan karena masih kuatnya budaya patriarki mulai dari level masyarakat sampai pada level pengambil kebijakan di daerah seperti eksekutif, Legislatif, pengambil kebijakan daerah selalu berdalih aturan-aturan yang bernuansya syariat justru melindungi perempuan dan sejalan dengan nlai-nilai kearifan lokal yang mayoritas menganut agama islam, atas dalih melindungi perempuan atas nama agama dan moralitas tersebut beberapa Kampus di Makassar mewajibkan mahasiswi menggunakan rok.
Menurut Yanti Ratna (Komas Perempuan) atas adanya kebijakan Pemerintah Daerah yang dinilai diskriminatif tersebut Kemendagri berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah telah melayangkan surat ke Pemerintah Daerah berisi permintaan klarifikasi “ ada sebanyak 700 surat permintaan klarifikasi dari kemendafri ke Pemerintah daerah, hasil klarifikasi akan dilanjutkan dengan Proses Review dan Pembatalan.
Menurut Warida, Pada Nopember 2014 Komnas Perempuan telah melakukan Lokakarya indikator kebijakan konstitusional untuk Pemenuhan HAM dan Konstitusional Perempuan dengan mengundang beberapa stakeholder, namun tidak ada tindak lanjut Komnas Perempuan bersama mitra di daerah untuk mendorong penghapusan Kebijakan yang dinilai diskriminatif, “jadi tidak pernah ada advokasi bersama yang dilakukan oleh mitra di daerah” ujar Warida dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Sulsel.
Sementara Perwakilan Walhi Sulsel berharap agar Komnas Perempuan membangun jejaring yang lebih luas seperti organisasi yang bergerak di Advokasi lingkunganl “bukan hanya organisasi bergerak di isu perempuan sebab banyak juga Konflik Sumber Daya Alam (SDA) yang berakibat diskriminatif terhadap perempuan terutama perempuan yang bekerja di pedesaan.
Beberapa peserta mitra yang hadir dalam diskusi belum mengetahui adanya program PKHN dari Komnas Perempuan dan indikator Kebijakan Konstitusional yang menjadi acuan daerah untuk mengeluarkan suatu kebijakan di daerah.
Comments
No comment yet.