Persekusi terhadap minoritas Rohingya di Myanmar telah berlangsung sejak rezim militer mengeluarkan Rohingya dari suku-suku yang diakui berdasarkan Undang-undang Kewarganegaraan Myanmar tahun 1982. Sejak saat itu, minoritas Rohingya dipandang sebagai imigran di negerinya sendiri dan mengalami diskriminasi yang berkelanjutan.
Pembantaian, penghancuran pemukiman, serta pengusiran paksa terhadap orang-orang Rohingya, dilakukan oleh massa intoleran yang difasilitasi oleh pemerintah dan pasukan keamanan Myanmar.
Pada 2012, diperkirakan 140.000 orang Rohingya mengungsi dinegerinya sendiri, sementara hampir 86.000 orang Rohingya melakukan perjalanan mengerikan untuk pergi dari persekusi di Myanmar dan mencari tempat aman bagi mereka untuk melanjutkan hidup.
Pada dua kesempatan, di tanggal 10 dan 15 Mei 2015, kapal-kapal pengangkut pengungsi Rohingya terdampar pesisir Aceh Utara dan Langsa. Nelayan lokal mempelopori penyelamatan 700 orang pengungsi dari kapal yang hampir tenggelam dan pemerintah daerah mengerahkan aparatnya untuk membantu. Mereka menarik perahu-perahu pengungsi tersebut kedaratan dengan menggunakan kapal milik nelayan lokal.
Para pengungsi yang berada di kapal umumnya dalam kondisi kritis dan membutuhkan pertolongan segera. Pemerintah Aceh Utara dan Lhokseumawe mengambil kebijakan yang ramah terhadap para pengungsi Rohingya yang terdampar. Pemerintah pusat akhirnya bersedia menampung para pengungsi dengan batas waktu paling lama satu tahun atas desakan banyak pihak.
Meskipun ditempatkan di penampungan, para pengungsi Rohingya tidak dapat secara bebas bergerak. Mereka tidak diperkenankan melakukan kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhannya. Beredar opini negatif mengenai keberadaan pengungsi Rohingya di tengah-tengah masyarakat sekitar. Bantuan kemanusiaan yang mereka peroleh dipandang melebihi apa yang didapat oleh masyarakat sekitar dari pekerjaan mereka sehari-hari. Tak jarang beberapa dari pengungsi mengalami tindak perampasan atau bahkan pelecehan. Beberapa pengungsi muda didapati terlibat dalam tindak kejahatan, seperti penggunaan ganja. Selain itu, para pengungsi secara umum juga sangat rentan menjadi korban trafficking.
Pengalaman dengan pengungsi Rohingya merupakan kali kedua bagi Indonesia kedatangan gelombang pengungsi dalam jumlah besar dalam waktu yang singkat, setelah Indonesia menjadi tuan rumah bagi pengungsi Vietnam di pulau Galang tahun 1979.
SUAKA (Indonesian Civil Society Network for Refugee Rights Protection) sebagai lembaga yang berfokus pada perlindungan dan pemajuan hak pengungsi dan pencari suaka, dan didukung oleh American Friends Service Committee melakukan penelitian di beberapa daerah salah satunya di Makassar tentang penanganan pengungsi Rohingya di Indonesia. SUAKA juga melakukan FGD dengan tema ‘Penelitian Awal: Situasi dan Kondisi Pengungsi Rohingya di Indonesia’ sebagai bagian dari aktivitas pengumpulan data untuk kepentingan penelitian dimaksud. FGD tersebut dilaksanakan di Baruga Paralegal LBH Makassar pada Senin, 15 Agustus 2016 yang dihadiri oleh perwakilan Dinas Sosial Kota Makassar, LBH APIK Makassar, ICJ Sulsel, PBHI Sulsel, YLBHM, Kontras Sulsel, FIK Ornop, SP Anging Mammiri, LPA Sulsel dan LBH Makassar.
Diskusi dimulai dengan pemaparan dua fasilitator dari SUAKA mengenai hukum pengungsi internasional secara umum, proses RSD (Penentuan Status Pengungsi) UNHCR. Dilanjutkan dengan mengidentifikasi penanganan pencari suaka dan pengungsi Rohingya di Makassar yang telah dilakukan selama ini. Hal yang berkembang dalam diskusi antara lain selama ini Dinas Sosial Kota Makassar telah mendirikan shelter untuk para refugee yang sayangnya belum banyak diketahui oleh NGO, OBH dan masyarakat sehingga refugee yang menghadapi masalah hukum misalnya, tidak dapat mendapatkan pendampingan dengan maksimal. Ketidak-terbukaannya pihak yang menangani para pengungsi di Makassar mengakibatkan sejumlah lembaga non-pemerintah yang semestinya dapat berkontribusi untuk melakukan pendampingan akhirnya tidak dapat mengakses informasi dan perkembangan yang dialami oleh para pengungsi. Tidak hanya itu, masyarakat sekitar shelter pun tidak mengetahui akan keberadaan shelter sebagai tempat tinggal para pengungsi.
Di akhir diskusi tematik ini, para peserta menyepakati untuk membentuk sebuah koalisi advokasi untuk para pengungsi di Makassar, yang mana dapat bekerja sama dengan SUAKA maupun menjalin komunikasi intens dengan pihak Dinas Sosial Kota Makassar guna melihat apa yang dapat dilakukan untuk para pengungsi di Makassar, yang tentunya sesuai dengan kapasitas dan mandat tiap lembaga yang tergabung dalam koalisi tersebut.[Aulia]
Comments
No comment yet.