Diskusi Publik; Implikasi Kodifikasi Terhadap Kejahatan Luar Biasa dan Terorganisir dalam RKUHP

LBH Makassar bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Bosowa (Unibos) Makassar, Anti Corruption Commite (ACC) Sulawesi, FIK ORNOP Sul-sel dan WALHI sulsel menyelenggarakan diskusi publik dengan tema “Implikasi Kodifikasi Terhadap Kejahatan Luar Biasa dan Terorganisir dalam RKUHP” yang dilaksanakan pada 16 April 2018, pukul 13.30-16.30 Wita, bertempat di Unibos Makassar. Diskusi ini dimoderatori oleh Haswandy Andi Mas (Direktur LBH Makassar) dan diisi oleh beberapa narasumber dengan tema masing-masing, yakni La Ode M. Syarif, Ph.D. (Wakil Ketua KPK) dengan fokus bahasan “Implikasi Kodifikasi RKUHP terhadap Masa Depan Pemberantasan Korupsi”, Prof. Dr. Marwan Mas, S.H., M.H. (Guru Besar UNIBOS) dengan fokus bahasan “Kodifikasi terhadap Tindak Pidana Khusus dan Masalah Kompatibilitasnya di Indonesia”, Boy Sembiring (Manager Kajian Kebijakan Seknas WALHI) dengan fokus bahasan “Problematika Kejahatan Lingkungan Hidup dalam RKUHP”, Dr. Supardi, S.H., M.H. (Kasibdit Perundang-undangan Badan Narkotika Nasional) dengan fokus bahasan “Problematika Kodifikasi Kejahatan Narkotika dalam RKUHP”, Dr. Asep Iwan Iriawan, S.H., M.H. (Mantan Hakim/Akademisi Universitas Parahyangan) dengan fokus bahasan “Problematika Kodifikasi Tindak Pidana Korupsi dalam RKUP”. Selain itu, diskusi ini juga dihadiri oleh berbagai elemen mulai dari Mahasiswa, organisasi kemahasiswaan dan pemuda, NGO dan OBH, Organisasi masyarakat sipil, serta Media Massa.

Dalam pemaparannya, La Ode mengatakan bahwa KPK telah mengirim surat ke pemerintah supaya Undang-undang terkait tindak pidana korupsi (tipikor) tidak dimasukkan dalam RKUHP. Mengapa kita harus mewaspadai, ada beberapa hal yang berbeda, salah satunya berupa biaya tambahan yang ada di undang-undang Tipikor. Dalam RKUHP tidak mengatur pembayaran uang pengganti. Selain itu ada keringanan tipikor dalam RKUHP. Marwan pun mengatakan di dalam pemaparannya tentang kodifikasi terhadap tindak pidana khusus bahwa Integrasi tindak pidana khusus ke dalam RKUHP juga mengakibatkan hilangnya ketentuan pidana bersifat khusus yang ada dalam undang-undang masing-masing tindak pidana khusus tersebut. Lebih lanjut, Asep mengatakan bahwa untuk kejahatan-kejahatan luar biasa, tidak hanya memerlukan kodifikasi, melainkan juga memerlukan memerlukan aturan tersendiri terkait personalnya, prosedurnya dan aturannya.

Selanjutnya, Supardi mengatakan bahwa kalau Narkotika dimaksukkan dalam RKUHP, artinya BNN tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penegakan. Dalam RKUHP dijelaskan hanya penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika secara umum. Mengapa harus ada rumusan aturan di luar KUHP, karena jika sekiranya hal tersebut tidak ada, maka tidak ada kewenangan untuk penegakan. Terakhir Supardi menegaskan bahwa Tindak Pidana penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika harus diatur di luar RKUHP. Lebih lanjut lagi, Boy mengatakan bahwa Kodifikasi bukan satu-satunya cara untuk melakukan pembaruan hukum pidana.

Diskusi tersebut dilaksaknakan berangkat dari problem yang hadir dalam perumusan untuk memasukkan pengaturan tindak pidana khusus ke dalam RKUHP. Dalam Bab Tindak Pidana Khusus Buku Kedua RKUHP dimasukkan beberapa tindak pidana khusus yang sebelumnya diatur dalam undang-undang di luar KUHP, yaitu antara lain tindak pidana korupsi, tindak pidana berat hak asasi manusia (HAM), tindak pidana pencucian uang, tindak pidana lingkungan hidup, serta tindak pidana narkotika dan psikotropika. Dimasukkannya sebagian tindak pidana dalam undang-undang pidana khusus ke dalam RKUHP membuat salah satu tujuan kodifikasi yaitu penyatuan semua ketentuan hukum pidana ke dalam satu kitab undang-undang menjadi tidak terpenuhi, karena suatu tindak pidana khusus diatur dalam dua undang-undang yang berbeda. Contohnya, tindak pidana korupsi yang diatur dalam dua undang-undang yaitu UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan RKUHP, membuat tujuan penyatuan hukum pidana tersebut tidak terpenuhi.

Integrasi tindak pidana khusus ke dalam RKUHP juga mengakibatkan hilangnya ketentuan pidana bersifat khusus (lex specialis) yang telah ada dalam undang-undang masing-masing tindak pidana khusus tersebut. Contohnya, RKUHP mengatur tentang pembatasan penjatuhan pidana secara kumulatif, yang tidak ada dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001), UU Pengadilan HAM (UU No. 26/2000), UU Narkotika (UU No. 35/2009), dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 32/2009). Dalam konteks tindak pidana berat HAM, UU Pengadilan HAM mengatur kekhususan dalam pemidanaannya, yaitu antara lain batas pidana penjara maksimum selama 25 tahun, tidak adanya daluarsa tindak pidana, serta dapat diberlakukannya asas retroaktif terhadap tindak pidana berat HAM yang terjadi sebelum UU Pengadilan HAM diundangkan, sedangkan RKUHP tidak mengatur tentang kekhususan tersebut dalam rumusannya. Kemudian, dalam konteks tindak pidana lingkungan hidup, RKUHP mengatur bahwa rumusan tindak pidana lingkungan hidup memiliki unsur melawan hukum, serta tidak memiliki ancaman pidana minimum khusus, dua hal yang tidak dikenal dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Begitupun dengan pengaturan RKUHP terhadap tindak pidana narkotika yang tidak mengenal sistem rehabilitasi terhadap pengguna sebagaimana telah diatur dalam UU Narkotika.

Dalam konteks tindak pidana korupsi, RKUHP mengatur hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu antara lain: tidak adanya pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti, percobaan, pembantuan, dan permufakatan jahat tindak pidana korupsi yang ancaman pidananya dikurangi 1/3 dari maksimum pidana, ancaman pidana denda menurun drastic, definisi korporasi dalam RKUHP lebih sempit dari UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; dan ketidakjelasan konsep Ketentuan Peralihan.

Meskipun dalam RKUHP dimasukkan beberapa ketentuan tindak pidana korupsi yang bersumber dari United Nations Convention against Corruption (UNCAC), hal tersebut sebenarnya merupakan upaya yang kontraproduktif karena kaidah pemidanaan RKUHP yang bertentangan dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi cenderung menghilangkan sifat keluarbiasaan tindak pidana korupsi. Dengan demikian, tindak pidana korupsi dari UNCAC seharusnya dimasukkan ke dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bukan RKUHP, agar memiliki kaidah pemidanaan yang sama dengan tindak pidana korupsi yang telah ada dalam undang-undang tersebut. Selain hal hukum pidana materiil sebagaimana diuraikan di atas, RKUHP juga dapat memberikan efek negatif terhadap penegakan hukum antikorupsi, karena berpotensi menghilangkan kewenangan KPK, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan dalam menangani tindak pidana korupsi.
Berangkat dari latar belakang tersebut, adalah suatu keperluan mendesak untuk menyelenggarakan diskusi publik yang fokus membahas hal-hal seputar problematika dimasukkannya pengaturan tindak pidana khusus ke dalam RKUHP.

Bagikan

Kegiatan Lainnya

WhatsApp Image 2024-10-21 at 16.20
LBH Makassar Temui Pjs Walikota Makassar, Pembentukan Gugus Tugas Layanan Pendukung Keadilan Restoratif akan Dipercepat
2024h
LBH Makassar Melaksanakan Pelatihan Mediator Keadilan Restoratif bagi Pemberi Layanan Hukum di Kota Makassar
Urgensi RKUHAP
Urgensi Penguatan Akses Keadilan pada Hukum Acara Pidana dalam Rangka Menyongsong Pemberlakuan KUHP Nasional
Skip to content