Dari Makassar Untuk Mary Jane, Korban Perdagangan Manusia Yang Segera Dieksekusi Mati

Mary Jane adalah korban proses hukum yang tidak fair trial. Ia divonis mati melalui proses hukum yang tidak memenuhi prinsip peradilan yang objektif dan imparsial. Mary Jane Fiesta Veloso adalah Buruh Migran kewarganegaraan Filipina yang menjadi korban perdagang orang (trafficking). April 2010, Mary Jane direkrut teman mantan suaminya bernama Kristina P. Sergio, untuk bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga di Malaysia. Aril 2010, bersama Kristina berangkat ke Malaysia. Tiba di Malaysia, ia tidak langsung diperkejakan. Alasannya karena calon majikannya sedang berada di luar negeri. Ia kemudian diinapkan di sebuah hotel selama 3 hari.

Di Malaysia, kepada Kristina, Mary Jane minta dibelikan tas pakaian. 24 April 2010, Mary Jane diajak Kristina menemui temannya dan dibelikan sebuah koper. Karena berat, Mary Jane bratanya, kenapa kopernya berat? Menurut Kristina, koper baru memang berat.

Kristina kemudian menyuruh Mary Jane ke Indonesia selama seminggu untuk menemui temannya. Kepada Mary Jane, Kristina berjanji bahwa setelah kembali dari Indonesia, ia dapat langsung bekerja. 25 April 2015, Mary Jane berangkat ke Indonesia. Tiba di Bandara Adi Sucipto Yogyakarta, Mary Jane ditangkap membawa 2,6 Kg heroin di dalam tasnya.

Mary Jane pun diproses secara hukum. Sepanjang proses hukum yang dijalaninya, Mary Jane tidak mengerti kesalahan yang dituduhkan padanya karena terkedala masalah bahasa: ia tidak begitu memahami bahasa Ingris.

Pada persidangan akhir, ketika ditanya Majelis Hakim “are you regret?”, ia langsung menjawab “no” karena keterbatasan bahasa Inggrisnya, ia mengira hakim bertanya “apakah kamu mengakui perbuatanmu?”. 10 Oktober 2010, Pengadilan Negeri Sleman menjatuhkan hukuman mati kepadanya.

10 Februari 2011, Pengadilan Tinggi Yogyakarta menolak banding yang diajukan Penasehat Hukum Mary Jane. 31 Mei 2011, Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan Penasehat Hukumnya dan tetap menghukum mati Mary Jane. 30 Desember 2014, Presiden Jokowi menolak grasi yang diajukan Mary Jane. 16 Januari 2015, Penasehat Hukumnya mengajukan Peninjauan Kembali ke MA dengan bukti baru soal penerjemah yang tidak sesuai kebutuhan Mary Jane. Namun, pada 25 Maret 2015, MA menolak PK yang diajukan dan tetap pada vonis mati terhadap Mary Jane.

Solidaritas untuk Mary Jane

Malam ini 27 April 2015 pukul 22.00 wita, puluhan aktivis dari lembaga pembela hak asasi manusia berkumpul di Baruga Paralegal, Makassar. Para Aktivis ini berkumpul dan membakar lilin serta mengadakan renungan dan doa bersama untuk Mary Jane Fiesta Veloso yang akan dieksekusi mati.

“Yang kita perjuangkan adalah, jika orang bersalah, bukan berarti orang itu pantas dihukum mati”, ucap Nur Aeni Gee Simen La Husae, Koordinator Aliansi HAM untuk AIDS Sulsel, membuka malam renungan dan solidaritas untuk Mary Jane. “Kita tidak mendukung perdagangan narkoba, tapi begitu banyak alasan dibalik kenapa orang terlibat dalam perdagangan narkoba, dan itu yang selama ini luput serta tidak dipertimbangkan secara hukum”, tegas perempuan dengan sapaan Gege itu.

Gege kemudian membuka kesempatan kepada sesama aktivis lain untuk menyampaikan pandangan dan sikap mereka terkait kasus Mary Jane. “Mary Jane adalah korban human trafficking!”, kata Ana. “Dan selain itu, Indonesia harus ingat bahwa ada 227 orang buruh migran Indonesia sedang terancam dihukum mati di negara lain”, lanjut Perempuan yang pernah menjadi korban human trafficking dan buruh migran ini. “Saya ikut bersolidaritas kepada Mary Jane malam ini karena saya tahu persis, seperti apa menderitaan korban human trafficking dan orang yang bekerja sebagai buruh migran”, jelas Ana, mengakhiri testimoninya.

Sementara itu, Ino dari Komunitas SEHATI menyoroti hukuman mati yang kemudian didukung Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu. Menurutnya, hukuman mati kemudian menemukan legitimasi moral mayoritas karena didukung institusi keagamaan. Selain itu, menurutnya sistem peradilan Indonesia juga masih rapuh, maka hukuman mati tidak tepat dipraktekkan.

Sedangkan Suharno dari LBH Makassar menjelaskan bahwa sejak awal Mary Jane memang diperlakukan tidak adil. Menurutnya, Mary Jane hanya seorang ibu yang tidak paham sama sekali soal bahasa, dan ketika polisi menanyakan kasusnya, dia hanya menjawab apa adanya. “Dia hanya korban yang dimanfaatkan bosnya yang menaruh paket heroin ke dalam kopernya”, terang Harno. “dan publik tidak paham bahwa Mary Jane adalah korban perdagangan manusia, yang mereka tahu hanya narkoba”, lanjut Suharno. Ia menambahkan, “Di sisi lain, Kejaksaan sebagai eksekutor, akan menutup mata untuk ini, kalau tidak ada upaya paksa dari publik untuk merespon kasus ini”.

Nasrum dari Kontras Sulawesi mengatakan, “hukuman mati adalah simbol peradaban masa lalu, yang tidak layak lagi dipertahankan di masa sekarang. Apalagi di beberapa kasus, ada terpidana mati yang telah dieksekusi, namun di kemudian hari terbukti bahwa yang bersangkutan tidak bersalah”. “Yang dikhawatirkan juga adalah jangan-jangan hukuman mati yang dilakukan dengan mudahnya oleh pemerintah Indonesia, mengisyaratkan di sisi lain akan lemahnya komitmen terhadap perlindungan hukum bagi warga negara Indonesia yang juga terancam hukuman mati di negara lain, seperti yang terjadi terhadap Siti Zaenab”, lanjut Wakil Koordinator Kontras Sulawesi ini.

“Saya tidak tahu sebelumnya Mary Jane ini siapa”, kata perwakilan dari Solidaritas Perempuan Anging Mammiri, Nur Asiah. “tapi saya kemudian tahu bawa dia ini Buruh Migran yang hampir diperkosa, dan dia melawan percobaan pemerkosaan itu”, lanjutnya . Menurutnya, ia hadir malam ini untuk mendoakan, semoga Tuhan menggugah hati Presiden Jokowi dan membebaskan Ibu 2 anak itu.

Para pembela hak asasi manusia yang hadir pada malam solidaritas ini bersepakat bahwa perlindungan buruh migran adalah hak warga negara. Oleh karena itu, mereka akan mendesak DPR/DPR untuk membuat regulasi yang melindungi buruh migran.

Sebelum mengakhiri, Gege kembali mempertegas penolakan terhadap hukuman mati. “siapapun, jika melakukan kesalahan, kesalahan itu tidak berarti dia boleh dihukum mati!”, tegas Gege.

Malam solidaritas ini ditutup dengan doa universal pada pukul 23.00 wita. Pada akhirnya, para aktivis menegaskan komitmen mereka untuk terus mendesak agar pemerintahan Jokowi berubah pikiran dan bisa menyelamatkan Mary Jane dengan cara memberikan Grasi.

Bagikan

Kegiatan Lainnya

IMG-20250315-WA0032 (1)
LBH Makassar bersama Balang Institute Membuka Posko Bantuan Hukum, Memperkuat Layanan Perlindungan Hak Warga Terdampak Smelter KIBA
IMG_3683
Menggantung Harapan, Serikat Tani Soppeng Selenggarakan Pendidikan Hukum Kritis
WhatsApp Image 2024-10-21 at 16.20
LBH Makassar Temui Pjs Walikota Makassar, Pembentukan Gugus Tugas Layanan Pendukung Keadilan Restoratif akan Dipercepat
Skip to content