Makassar – Pimpinan KPK Non Aktif Bambang Widjojanto (BW) Jumat 27 Maret 2015 berkunjung ke kantor LBH Makassar. Pada kunjungannya kali ini mantan Ketua Badan Pekerja Yayasan LBH Indonesia ini menyempatkan berdiskusi terkait perkembangan nasional Indonesia terutama berhubungan dengan isu-isu korupsi dan pembangunan gerakannya.
Diskusi kali ini digelar dalam dua sesi. Sesi pertama dimulai sejak pukul 10.00 wita yang diikuti oleh mayoritas anggota LBH, mulai dari unsur pimpinan, koordinator bidang, hingga volunteer. Sesi kedua digelar selepas shalat jum’at yang dihadiri oleh para undangan seperti aktivis dari berbagai lembaga seperti, ACC, WALHI, masyarakat dampingan LBH Makassar, jurnalis, dan kalangan kampus serta aktivis pro demokrasi.
Pada sesi pertama, BW memaparkan bahwa perjuangan anti korupsi saat ini berhadapan dengan oligarkhi dan kartel politik dari pusat hingga daerah. Oligarkhi dan kartel politik ini dibangun dan dipertahankan salah satunya melalui politik anggaran, misalnya di daerah dengan menggunakan APBD terutama dana bantuan sosial, hibah, dan perizinan. Jadi bicara anti korupsi sudah tidak bisa lagi bicara kasus per kasus. Menurutnya, anti korupsi pemaknaannya adalah gerakan perjuangan yang terbangun di basis masyarakat dan tumbuh bersama perjuangan melawan ketidakadilan dan penyelewengan kekuasaan politik dan ekonomi. Hal ini penting dipahami kalau ingin perjuangan yang kuat dan panjang umur.
Oleh karena itu, sebagai alumni LBH, BW mengingatkan bahwa kader-kader LBH harus dipersenjatai dengan analisis struktural dan dimulai dengan praktek pembangunan gerakan berbasis masyarakat, kader-kader tidak boleh lupa bahwa konstituen LBH adalah masyarakat bawah. Selain itu, LBH harus berada pada posisi untuk menyambungkan perjuangan yang berlabel aktivisme dari berbagai sektor dalam masyarakat. Saat ini gerakan semacam ini sudah cukup berkembang, misalnya gerakan anti korupsi, selain sektor mahasiswa, sudah ada sektor perempuan, sektor pekerja seni, dan lain-lain. Namun aktivisme tersebut tidak boleh dibiarkan berdiri sendiri, melainkan harus dikuatkan melalui pesatuan dan dituntun melalui penguatan analisis situasi dan teori gerakan.
BW mengungkapkan bahwa dalam hal gerakan anti korupsi penting untuk menganalisisis perkembangan nasional Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, seperti gencarnya liberalisasi dan demokratisasi. Indonesia sebagai negara yang sangat kaya akan sumber daya alam menjadikan daya tarik bagi investor. Namun Liberalisasi selama ini menurut BW telah menjadi alat bagi para pejabat korup untuk mengambil keuntungan melalui tawar-menawar kebijakan, menggunakan semua instrumen negara untuk mengambil keuntungan dan tidak akan peduli dengan kesejahteraan dan keadilan masyarakat bawah.
Pada sesi kedua, BW mempresentasekan slide terkait masa depan pemberantasan korupsi di masa depan yang dibagi ke dalam tiga bagian yaitu pertama kondisi Indonesia baik kekuatan dan kelemahannya, kedua problem pemberantasan korupsi, dan ketiga strategi mengatasi problem tersebut.
Indonesia memiliki kekayaan SDA yang luar biasa diantaranya dengan 127 juta Ha hutan tropis, berarti kita menyumbang oksigen ketiga terbesar di dunia, hutan mangrove 4,5 juta Ha, nomor 1 di dunia, terumbu karang juga demikian. Klaim kita sebagai negara maritim terbesar di dunia adalah hal yang tepat, dan oleh karena itu seharusnya orientasi pembangunan kita berada di sektor maritim. Namun pada kenyataannya, sampai sekarang infrastruktur kita seperti pelabuhan sangat tidak memadai, hanya sekitar 150 pelabuhan yang baik, selebihnya sekitar 450 biasa disebut “pelabuhan tikus”. Sehingga sangat wajar bila berbagai kejahatan terjadi di wilayah laut. Laut Indonesia telah menjadi pusat penyelundupan kekayaan alam, dalam hal ini, negara kita menempati nomor 1 di dunia.
Dalam konteks investasi, kelemahan besar Indonesia karena kita tidak mampu menghitung berapa potensi kekayaan SDA kita yang sedang atau akan digarap oleh investor, sehingga dampaknya adalah kita tidak tahu persis berapa nilai bagi hasil dari suatu investasi. Padahal investasi selama ini telah merugikan kita tidak hanya dalam hal penerimaan negara yang kecil, tetapi juga dampak bagi alam kita. Misalnya, di sektor kehutanan setiap menit hutan kita rusak seluas 6 kali luas lapangan sepak bola, bahkan dalam 50 tahun terakhir Indonesia telah kehilangan 60 juta Ha hutan atau 40% dari jumlah sebelumnya. Kelemahan lain di sektor masyarakat seperti jumlah kematian ibu, jumlah anak putus sekolah, pengangguran, dan lainnya masih cukup besar.
Dalam hal problem pemberantasan korupsi, selain harus berhadapan dengan oligarkhi dan kartel politik, salah satu problem mendasar lainnya adalah paradigma pemberantasan korupsi yang cenderung hanya fokus pada pengeluaran atau pembiayaan negara, dan mengabaikan bagian penerimaan negara, seperti pajak.
Dalam hal mempertahankan ritme pemberantasan korupsi agar tetap berjalan, menurut BW kita tetap harus memainkan strategi yang lebih fleksibel. Salah satunya adalah dengan tetap mendorong pentingnya menarik orang-orang yang terlibat kasus korupsi agar berbalik untuk berpihak pada pemberantasan korupsi, yang kita kenal selama ini dengan whistle blowing system. Hal lain yang perlu untuk terus didiskusikan adalah soal reward bagi masyarakat yang berhasil membongkar kasus korupsi, bukan sekedar diberi selembar sertifikat tanda penghargaan. BW bahkan mengusulkan agar reward tersebut sebesar 20% dari hasil pengembalian kerugian negara.
Selain itu, untuk mengembangkan gerakan, perlu dicermati bahwa para pelaku kejahatan korupsi selama ini juga telah memiliki cyber army, oleh karenanya penting bagi gerakan anti korupsi untuk menggunakan fasilitas media-media online bikinan sendiri untuk mempertarungkan data-data dan gagasan. Hal ini juga terkait dengan kecenderungan media-media mainstream selama ini yang tunduk di bawah konglomerasi yang hanya mencari sensasi dalam pemberitaan sehingga mereka melakukan distorsi informasi yang pada akhirnya membingungkan dan merugikan masyarakat.
Tentu saja gerakan anti korupsi juga harus tetap berdiri untuk mengawal dan memperkuat lembaga anti korupsi. Hal ini kembali terkait dengan kepentingan politik kaum oligarkhi yang ingin mengamankan proses-proses politik ke depan, dan itu berarti semua lembaga-lembaga penegak hukum, tak terkecuali KPK, harus mereka kuasai.
Dalam kondisi saat ini gerakan yang dibangun harus merupakan gerakan yang bernas, dalam arti berpikir, bertindak dan berperilaku dengan pertimbangan yang matang agar keberpihakan kita tidak terjebak pada figur orang tetapi pada value atau nilai. BW juga mengkritisi “internal” aktivis dan organisasi yang klaimnya anti korupsi tetapi tidak menunjukkan sikap tegas terhadap elit politik dan pejabat korup, misalnya dengan tetap membangun relasi, menyediakan panggung dan kesempatan kepada mereka untuk menebar senyum dan sambutan-sambutan pada ruang-ruang publik atau aktivis yang mengaku anti korupsi tetapi bila tertangkap razia lalu lintas dan ditemukan pelanggaran, mereka tetap membayar atau melegitimasi praktek pungli. Maka seharusnya pihak-pihak seperti ini harus di delete dari gerakan anti korupsi. BW juga mengkritisi aktivis anti korupsi yang selama ini juga masih sangat mengandalkan dalil-dalil dan argumen hukum semata-mata dan lantas menyerahkan harapan keluarnya keadilan dari bawah kerangkeng sistem hukum yang koruptif.
Propaganda gerakan anti korupsi juga harus terus mengembangkan upaya-upaya pemiskinan terhadap koruptor, dengan pendekatan cara pandang bahwa nilai kerugian negara tidak hanya dihitung pada besarnya transaksi dana yang dilakukan oleh koruptor yang menyebabkan kerugian negara, tetapi juga kewajiban penggantian keuangan negara oleh koruptor harus dihitung dengan keseluruhan nilai kerugian (dampak) yang ditimbulkan kejahatan korupsi itu, dan potensi kerugian yang dihasilkannya, misalnya dalam kasus korupsi kehutanan, koruptor juga harus dibebani tanggung jawab untuk melakukan recovery hutan.
Sebagai penutup BW menyerukan agar gerakan anti korupsi harus tahu siapa kawan dan lawannya dan membangun gerakan dalam bentuk aliansi lintas sektoral. “Kalau orang-orang baik tidak bekerja sama, maka sempurnalah kegelapan.”