Info Kegiatan

Bantuan Hukum untuk Keadilan Sosial

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar yang bekerjasama dengan International Development Law Organizatio (IDLO) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) telah menyelenggarakan Workshop Bantuan Hukum untuk Keadilan Sosial pada 25-26 Oktober 2018 di Hotel Almadera Makassar. Workshop tersebut diisi oleh Haswandy Andy Mas (direktur LBH Makassar), Rosmiati Sain (direktur LBH APIK Makassar) dan Maria Un (ketua HWDI Sulsel) sebagai Narasumber yang masing-masing secara berurutan membawakan materi Sosial Justice dan HAM dalam Pemberian Layanan Bantuan Hukum, Pemenuhan Hak Perempuan dan Anak dalam Layanan Bantuan Hukum di Sulsel, dan Pemenuhan Hak Disabilitas dalam Layanan Bantuan Hukum di Sulsel. Selain itu, workshop ini juga diisi oleh Abdul Azis (mantan direktur LBH Makassar) sebagai fasilitator dan pesertanya terdiri dari beberapa Organisasi Bantuan Hukum (OBH) dan Nongovernment Organization (NGO).

Ini merupaka upaya untuk membentuk Jaringan Organisasi Bantuan Hukum di Sulawesi Selatan yang memiliki perspektif inklusi dan keadilan sosial dalam memberikan layanan bantuan hukum terhadap para pencari keadilan, serta mampu memetakan isu-isu strategis, dan membangun kesepahaman bersama dalam mengadvokasi kebijakan bantuan hukum di tingkat Provinsi Sulawesi Selatan. Layanan bantuan hukum dimaksud tidak terbatas kepada kelompok masyarakat miskin secara ekonomi, tetapi juga kepada kelompok-kelompok rentan khususnya perempuan, anak, dan disabilitas. Serta membangun sinergitas untuk memperkuat kapasitas dan kualitas layanan bantuan hukum dalam jaringan organisasi bantuan hukum melalui kerja-kerja advokasi kasus bersama dan sinergitas dalam mengawal pembuatan kebijakan bantuan hukum di tingkat provinsi sulawesi selatan.

Salah satu konsekuensi logis dari negara hukum adalah pemenuhan terhadap hak asasi warga negaranya. Salah satu hak dasar itu adalah yang dikenal sebagai Equality Before The Law atau persamaan di muka hukum. Ini juga dimuat dalam pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Pemerintah dalam melaksanakan amanah konsitusi tersebut salah satunya dengan berupaya menyelenggarakan layanan bantuan hukum kepada warga negara. Layanan bantuan hukum yang merupakan hak konstitusional itu idealnya melekat kepada setiap warga negara tanpa membedakan suku, agama, ras, jenis kelamin, pandangan politik dan lain-lain sebagai sebuah upaya dalam mewujudkan salah satu tujuan negara yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Dalam artian pemenuhan HAM adalah bagian terpenting dari keadilan sosial, karena tanpa HAM maka keadilan sosial tidak akan terwujud. Berbagai pasal yang ada dalam konstitusi, khususnya yang terkait dengan pasal HAM merefleksikan kehendak untuk menegakkan keadilan sosial. Bahkan sila kelima Pancasila menyebut secara tegas “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dengan demikian, keadilan sosial merupakan konsepsi yang tidak terbantahkan sebagai dasar dan spirit bagi pembentukan dan penyelenggaraan negara.

Saat ini layanan bantuan hukum yang diselenggarakankan oleh negara diatur melalui UU No. 16 tahun 2011. Undang Undang ini lahir tidak lepas dari advokasi kebijakan yang terus dilakukan oleh YLBHI dan LBH kantor serta organisasi-organisasi masyarakat sipil yang melaksanakan advokasi HAM. Perjuangan panjang tersebut tentu saja dengan harapan bahwa layanan bantuan hukum dapat menjadi salah satu sarana mewujudkan keadilan sosial. Namun, pelaksanaan UU Bantuan Hukum ini masih menuai kritikan karena dianggap melenceng dari semangat dan perspektif dari bantuan hukum yang berkeadilan sosial yang memegang prinsip-prinsip seperti non diskriminasi.

UU Bantuan Hukum cenderung hanya melihat kemiskinan dari satu aspek yaitu hanya dari aspek ekonomi saja. Sehingga kelompok marjinal dan rentan lainnya yang juga sangat membutuhkan layanan bantuan hukum seperti sulit mendapat jangkauan, termasuk perempuan, anak, dan disabilitas, serta kelompok minoritas agama dan penghayat keyakinan maupun minoritas etnis, dll. Padahal mereka merupakan korban dari struktur sosial yang menindas sehingga cenderung mendapatkan kesulitan dalam menerima layanan negara.

Masalah kebijakan bantuan hukum ini juga sampai ke daerah-daerah. Permasalahan ini dapat jelas terlihat dari Perda-perda di tingkat kabupaten/kota yang tidak jauh berbeda dengan UU Bantuan Hukum dimana Perda bantuan hukum yang ada juga belum mengakomodir kepentingan kelompok rentan. Misalnya dalam penanganan kasus-kasus seperti yang melibatkan perempuan, anak, maupun disabilitas membutuhkan penanganan non litigasi yang lebih banyak, namun hal ini belum begitu diperhatikan oleh pembuat kebijakan bantuan hukum di daerah. Bahkan di salah satu daerah kabupaten di Sulawesi Selatan, Perda Bantuan Hukum yang telah ditetapkan hanya mengatur layanan bantuan hukum melalui penanganan perkara secara litigasi saja, non litigasi diabaikan.

Selain itu, belum ada kebijakan yang secara spesifik terkait peningkatan kapasitas kelembagaan organisasi bantuan hukum agar dalam pemberian layanan bantuan hukumnya dapat dilandaskan pada pemahaman social justice. Organisasi Bantuan Hukum sebagai pemberi layanan bantuan hukum masih terkendala dengan kurangnya perspektif inklusi dalam memberikan layanan kepada para pencari keadilan. Indikator sederhana salah satunya dapat terlihat dari tidak semua organisasi bantuan hukum memiliki Standard Operating Procedure (SOP) Penanganan Perkara untuk kasus-kasus tertentu misalnya anak, perempuan, dan disabilitas.

Dalam upaya mewujudkan layanan bantuan hukum yang inklusi berlandaskan pada keadilan sosial, salah satunya dibutuhkan kerja bersama antar sesama organisasi bantuan hukum maupun antar organisasi bantuan hukum dengan organisasi masyarakat sipil yang mengadvokasi isus-isu HAM. Kerja bersama ini juga akan memudahkan berbagi pengetahuan dan pengalaman bantuan hukum yang mengarah pada advokasi berbasis keadilan sosial dan hak asasi manusia. Selama ini belum terlihat signifikan adanya advokasi bersama terhadap kasus kasus yang perlu penaganan khusus seperti perempuan, anak, disabilitas, dll.

Layanan bantuan hukum juga tidak hanya diatur dalam UU Bantuan Hukum saja, tapi juga diatur dalam UU Advokat. Advokat memiliki kewajiban sosial secara profesi untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma atau probono kepada para pencari keadilan yang datang padanya sebagaimana mandat UU Advokat dan kode etik advokat. Sebagai Officium Nobile, advokat diwajibkan melakukan hal yang terhormat, murah hati, dan bertanggungjawab, dimana hal ini hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mulia. Dengan demikian, kepekaan sosial harusnya bukanlah sesuatu yang berat, dalam hal ini bantuan hukum sebagai salah satu bentuk pelayanan sosial harusnya sudah menyatu dalam aktivitas advokat. Advokat dalam melakukan pembelaan dilakukan tanpa memperhatikan latar belakang individu yang bersangkutan baik jenis kelamin, suku, agama, keturunan, warna kulit, keyakinan politik, dll. Peradi sebagai organisasi advokat juga telah membuat kebijakan melalui mandat kepada seluruh struktur organisasi baik nasional maupun daerah untuk membentuk PBH Peradi Pro Bono. Namun, hingga kini pun kebijakan ini belum berjalan efektif.

Bagikan

Kegiatan Lainnya

Urgensi RKUHAP
Urgensi Penguatan Akses Keadilan pada Hukum Acara Pidana dalam Rangka Menyongsong Pemberlakuan KUHP Nasional
PKH-
Petani Polongbangkeng Takalar Mengadakan Pendidikan Hukum Kritis, Memperkuat Pengetahuan Merebut Kembali Tanah Yang dirampas PTPN
pelatihan-1024x717
LBH Makassar, LBH Masyarakat dan BPHN Menggelar Pelatihan, Mempersiapkan Fasilitator untuk Diklat Paralegal
Skip to content