
Pada periode tahun 2015-2018, LBH Makassar banyak menerima pengaduan terkait kasus-kasus struktural yang berhubungan dengan proyek pembangunan infrastruktur. Dan yang tak kalah penting menjadi perhatian adalah banyaknya korban yang dirugikan dari proyek-proyek tersebut. Sebagai contoh kasus pembebasan lahan proyek pembangunan Bendungan Pamukkulu Kab. Takalar, Bendungan Pasellorang di kabupaten Wajo, Bendungan Karalloe di kabupaten Gowa dan pembangunan PLTA di kabupaten Luwu Utara, yang jika dijumlahkan sekitar 808 Kepala Keluarga (KK) mengalami ketidakadilan dalam proses ganti rugi. Selain itu, untuk memuluskan jalannya proyek tersebut, kadang kala perangkat-perangkat pemerintah maupun korporasi menerapkan intrik-intrik “busuk” seperti kriminalisasi, ancaman dari preman dan lain sebagainya, yang memperpanjang sistem penindasan.
Ketidakadailan dalam ganti rugi dan pemaksaan atas penolakan warga terhadap pembangunan infrastruktur menyebabkan terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap masyarakat. Ganti rugi yang seharusnya meenjadi modal untuk mewujudkan ksesejahteraan keluarga, berubah menjadi kesengsaraan, yang menjauhkan masyarakat dari kesejahteraan. Terlebih lagi jika warga menolak pembangunan sepenuhnya. Hal tersebut telah melanggar cita-cita Negara Republik Indonesia sebagaimana tertuan dalam Undang-undang dasar (UUD) 1945 dan menandakan bahwa kemiskinan merupakan gejala sosial yang massal, yang bukan disebabkan oleh perbuatan atau sikap perorangan, melainkan oleh struktur-struktur sosial dan oleh kondisi-kondisi struktural.
Kemiskinan dan ketidakadilan struktural adalah permasalahan yang sampai saat ini belum terselesaikan. Ada banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut, salah satunya adalah belum terorganisirnya gerakan massa rakyat dengan rapi dan massif.
YLBHI-LBH Makassar yang merupakan organisasi Bantuan Hukum dengan konsep Bantuan Hukum Struktural (BHS) kembali gelar Karya Latihan Bantuan Hukum (KALABAHU) ke VIII yang digelar di Kenari Tower Hotel Makassar pada 22-26 Juli 2019, atas dukungan dan kerjasama Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan International Law Development Organization (IDLO). Kegiatan KALABAHU ini didahului dengan Seminar yang dengan topik bahasan mengenai korelasi bantuan hukum struktural dengan gerakan sosial dalam menyelesaikan problem kemiskinan dan keidakadilan struktural.
Topik seminar kali ini disesuaikan dengan kondisi yang telah diuraikan di atas dan dimaksudkan untuk menyebarkan gagasan tentang bantuan hukum, khususnya bantuan hukum struktural, Membedah kemiskinan dan ketidakadilan struktural dalam hubungannya dengan problem pembangunan infrastruktur prokapitalisme, problem investasi destruktif dan tidak berkeadilan, merumuskan korelasi bantuan hukum struktural dengan gerakan sosial, serta memperluas pemahaman akan pentingnya membangun tradisi gerakan sosial melalui kerja-kerja bantuan hukum dalam praktik melawan rezim Developmentalizm di Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel).
Selain itu, seminar ini dihadiri oleh Alwy rachman (akademisi/budayawan), Taufik Kasaming (aktivis/praktisi) dan Muh. Haedir (wakil direktur LBH Makassar) sebagai Narasumber, serta Peserta KALABAHU, Organisasi Bantuan Hukum (OBH), jaringan NGO dan organisasi rakyat sebagai peserta.
Alwy Rachman memberikan penjelasan kemiskinan yang dikutip dari beberapa sumber. Salah satunya menggunakan “A Pyramid of Property concept” (Baulch: 1996) di mana kemiskinan dihitung berdasarkan konsumsi perorangan, propeti, ketersediaan komoditas, aset, martabat dan otonomi. “Negara harus merespon piramida kemiskinan sampai di mana? Apakah sampai pada tahap keempat (konsumsi perorangan, propeti, ketersediaan komoditas, aset )? Paling-paling Negara hanya merespon sampai dua (konsumsi perseorangan dan properti).” Ia melanjutkan pada penjelasan bahwa dalam melihat kemiskinan, ada 3 paradigma kesadaran; yaitu paradigma konservatif (magis), yang melihat kemiskinan merupakan takdir dari Tuhan; Paradigma Liberal (naif), melihat bahwa kemiskinan merupakan masalah dari individu itu sendiri (malas untuk berusaha); terakhir adalah paradigma pendidikan kritis (kesadaran kritis), memandang bahwa ada kemiskinan itu terjadi karena ada kebijakan yang tidak berkeadilan. “jadi kesadaran kriris itu adalah sebuah kesadaran yang bisa melihat melihat apa-apa saja yang memiskinkan orang. Misalnya kalau saya bangun hotel di sana (pinggiran pantai) apakah tidak memiskinkan nelayan? Kira-kira sepeti itu. Ketiga konsep kesadaran itu dibahas oleh Poulo Freire dalam buku “pendidikan kaum tertindas”, tegasnya.
Dalam melihat realitas yang ada, kesadaran kritis dalam memandang kemiskinan merupakan hal yang wajib dipahami dan disebarkan kepada rakyat, terutama kepada rakyat tertindas. Mengapa kesadaran konservatif dan Liberal harus ditinggalkan? Krena itu merupakan kesadaran yang keliru. Pertama, Bahwa kemiskinan tidak diberikan oleh Tuhan. Bahkan dijelaskan pada kitab suci bahwa sumber daya alam itu dibeikan untuk manusia dan dinikmati bersama. Namun karena keserakahan segelintir manusia yang mengeksploitasi sumber daya alam yang begitu banyak, sehingga banyak orang yang tidak dapat menikmatinya (miskin). Jadi miskin itu ada dan yang melahirkannya adalah menusia itu sendiri. Sehingga kemiskinan yang merupakan takdir dari Tuhan adalah kesadaran yang keliru. Kedua, untuk melihat kemiskinan bukan karena kemalasan (kesadaran Liberal), kita ambil saja contoh perampasan-perampasan lahan yang dari beberapa data yang diuraikan di atas. Sebelumnya, masyarakat memiliki tanah yang dapat diolah sehingga memiliki produksi yang paling tidak bisa digunakan untuk memnuhi kebutuhan Primer dan Sekunder. Namun karena ada kebijakan pembangunan Infrastruktur, terjadi perampasan lahan yang mengarah pada kemiskinan dan pelanggaran HAM.
“Saat ini, Ideologi Hijau adalah Ideologi kita bersama”, ujar Taufik Kasaming. Ia mengajak kita untuk memulai gerakan dengan melakukan gerakan hijau. Gerakan hijau membawa manusia memahami hakikatnya bahwa Ia adalah bagian yang tidak terpisahkan dai Kosmos. Pemahaman ini membawa manusia membentuk paradigma bahwa seharusnya manusia tidak membuat kerusakan terhadap alam semesta yang akan melahirkan bencana dan bencara tersebut akan melahirkan kerugian. Bencana atas rusaknya alam, menghilangkan harta benda masyarakat, sehinggan membuat mereka menderita kemiskinan. Jika dikaitkan dengan kondisi rezim Developmentalism saat ini yang tidak memiliki perspektif lingkungan dan berkeadilan, maka wajarlah jika hal tersebut memberi dampak yang buruk kepada manusia.
Konsep gerakan yang masih relevan saat ini digunakan untuk mengentaskan probelem-problem di atas adalah dengan adanya gerakan Bantuan Hukum Struktural (BHS) yang digaungkan oleh YLBHI-LBH. Haedir menjelaskan, “Kemiskinan ini bukan karena keinginan orang itu mau miskin, tapi karena ada hal yang menghambat. Kalau LBH (YLBHI) menyebutnya sebagai sebuah kemiskinan struktural. Kemiskinan yang terjadi karena ada ketimpangan struktur.” Konsep BHS tidak hanya memandang permasalahan ataupun kasus berdasarkan hukum positif, namun melihat satu kesatuan sistem yang utuh (Substansi, Struktur dan Kultur). Dari cara pandang itulah BHS melihat sebuah ketimpangan dan dari itu pula akan hadir sebuah solusi kongkrit dari problem kemiskinan masyarakat. Rezim Developmentalism saat ini menyebabkan banyak masyarakat yang kehilangan lahan, tempat tinggal, perkerjaan, pendidikan dan lain-lain, yang melahirkan banyaknya pemohon bantuan hukum. Maka, YLBHI-LBH melalui konsep BHS hadir memperjuangakn pemenuhan hak-hak masyarakat tertindas, sehingga BHS juga mampu membawa kesejahteraan terhadap masyarakat.
Comments
No comment yet.