MAKASSAR – Mestinya sebuah Peraturan Perundang-undangan tak terkecuali di tingkat daerah, harus dilakukan proses uji publik sebelum masuk pada Program Legislasi Daerah (Prolegda). Sebab, uji publik merupakan mekanisme yang mesti dilewati dalam perjalanan perumusan peraturan perundang-undangan. Hal ini untuk memastikan terlaksananya prinsip Transparansi dan Partisipatif dalam perumusan kebijakan strategis menyangkut hajat hidup orang banyak. Namun, berbeda dengan proses penyusunan Ranperda RTRW Kota Makassar yang kurang lebih sudah 4 (empat) tahun berjalan. Sampai sekarang sepengetahuan masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP) sama sekali belum pernah dilakukan mekanisme uji publik. Sehingga, keadaan ini menjadi janggal dan menghawatirkan semua pihak pemangku kepentingan. Sebab, Ranperda RTRW yang nantinya disahkan menjadi Perda akan menjadi fondasi pada setiap kebijakan strategis dalam jangka waktu 15 (lima belas) tahun ke depan. Tepat tidaknya dan pahit manisnya akan dirasakan masyarakat Kota Makassar, khususnya masyarakat miskin dan marjinal.
Merespon keadaan tersebut, pada Sabtu, 23/05/2015 LBH Makassar dan WALHI Sulsel serta puluhan organisasi lain yang tergabung dalam ASP menggelar Dialog Publik Ranperda RTRW Kota Makassar. Dialog dlakukan di Warkop Poenam, Jl. Boulevard, Makassar. Kegiatan ini dilakukan agar semua masyarakat tahu khususnya di kota Makassar tentang Ranperda RTRW yang tengah berjalan di Pansus DPRD, serta untuk menampung masukan semua pihak pemangku kepentinagan demi memastikan tegaknya keadilan dan tidak merugikan masyarakat Kota Makassar. Sejalan dengan kekhawatiran itu, Wahab Tahir ketua Pansus RTRW yang secara terbuka menyatakan bahwa dari awal sudah mencium aroma busuk dalam Ranperda RTRW, menurutnya selama ini ia paling getol menentang Ranperda RTRW. Khusus Reklamasi, ia menyampaikan kepada peserta dialog terkait kedatangan Jokowi ke Makassar sehari sebelumnya. Menurutnya, Jokowi sudah memberikan dukungan penuh untuk kegiatan Reklamasi. Sehingga, kegiatan Reklamasi merupakan kegiatan yang terkoordinasi langsung dari pusat.
Selain Wahab Tahir, ASP juga mengundang beberapa Narasumber antara lain ; Abdul Azis Direktur LBH Makassar, Asmar Exwar Direktur Eksekutif Walhi Sulsel, dan Syafri Akademisi dari Universitas Bosowa 45. Kegitan ini dihadiri oleh puluhan peserta yang terdiri dari Mahasiswa perwakilan semua Kampus, CSO dan Masyarakat Kec. Mariso serta Kec. Tamalate, korban Reklamasi yang tengah berjalan. Peserta memadati ruangan dialog, sebagian yang tidak kebagian kursi harus melantai, ada pula yang lainnya memilih mendengarkan diskusi dari luar kaca ruangan. Namun suasana padat ruangan tidak menyurutkan antusiasme peserta dalam menyimak diskusinya. Hal itu juga terlihat dari banyaknya peserta yang mengacungkan tangan untuk menyampaikan pendapat. Akan tetapi, berhubung dengan waktu yang membatasi maka moderator hanya mempersilahakan 6 (enam) orang penanggap yang mewakilai masing-masing disiplin ilmu dan komunitasnya. Penanggap mewakili akademisi, pemerintah bidang tata ruang, CSO, perwakilan masyarakat korban reklamasi.
Direktur LBH Makassar Abdul Azis menilai bahwa Ranperda RTRW Makassar tidak berwawasan HAM. Dalam Konsideran RTRW tidak terlihat satu pun instrumen HAM, seperti Hak-hak Ekonomi Sosial Budaya (Ekosob). Padahal, Indonesia telah meratifikasi Covenan Internasional melalui UU No. 11 tahun 2005 tentang EKOSOB. Reklamasi selama ini sangat sarat pelangaran Ekosob sebagaimana yang telah dialami oleh Masyarakat Mariso dan Tamalate. Lebih lanjut ia menentang adanya ketentuan Pidana dan Perdata dalam Ranperda RTRW. Hal ini akan menjadi pintu masuk kriminalisasi terhadap nelayan dan pencari kerang, karena unsur dari ketentuan pidana dalam RTRW tidak jelas, sehingga sangat rawan multitafsir oleh penegak hukum dan seperti yang kita ketahui profesionalitas penegak hukum sangat diragukan. Selanjutnya, adanya penyebutan langsung proyek COI dalam RTRW bertentangan dengan asas umum peraturan perundang-undangan, karena penyebutan tersebut turut melegalkan secara langusng proyek COI yang mestinya tidak perlu disebutkan secara spesifik dalam RTRW.
Salah satu narasumber dari akademisi Universitas Bosowa 45 mengatakan bahwa kemelut RTRW yang berlangsung lama mengakibatkan pelanggaran pembangunan semakin massif. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa harusnya RTRW secepatnya disahkan agar tidak ada lagi pelanggaran dan semua pembangunan di Kota makassar mendapat basis legal. Akan tetapi, khusus reklamasi yang menjadi sorotan publik, untuk sementara dikeluarkan dalam pembahasan RTRW. Direktur Walhi Asmar Exwar yang juga memiliki disiplin ilmu bidang tata ruang mengatakan bahwa pemanfaatan ruang dalam RTRW sangat tidak adil khususnya terhadap masyarakat kecil, hal ini dapat dilihat dengan alokasi peruntukan ruang.
Salah satu penanggap menyampaikan bahwa harusnya jangan terburu-buru menetapkan RTRW, mestinya Pemerintah mengambil langkah cepat dan tepat dengan memidanakan para pelaku reklamasi dan memulihkan kembali wilayah pesisir serta hak-hak masyarakat pesisir yang digusur akibat reklamasi. Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa sampai saat ini sebanyak 22 Kabupaten/kota tengah melakukan reklamasi dan tidak satupun menguntungkan masyarakat lokal dan tradisional seperti yang disebutkan dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Reklamasi dilihat dari sisi manfaat tidak ada yang menguntungkan masyarakat lokal dan tradisional pesisir kerena kerangka reklamasi yang masuk dalam bagian pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil adalah sudut lingkungan dan ekonomi sosial.
Setelah dialog berakhir, beberapa kelompok masyarakat pesisir menyatakan akan bergabung dalam ASP serta para perwakilan organisasi mahasiswa akan bergabung dalam gerakan Tolak Reklamasi.
Laporan: Edy Kurniawan