Categories
Berita Media

Walhi Nilai RTRW Dikebiri

MAKASSAR, BKM– Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Asmar Exwar menilai draft Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makassar akan mengkebiri hak-hak masyarakat pesisir. Dalam draft tersebut hanya menguntungan para investor dan mengabaikan nasib masyarakat.

“Kami menilai Ranperda yang dirancang pemkot dan Pansus DPRD Makassar tidak memiliki landasan hukum tentang HAM sehingga hak-hak masyarakat terkesan diabaikan. Kami tidak melihat point mengenai hak-hak masyarakat di sini (Draf Ranperda),” katanya saat Rapat dengar pendapat di ruang banggar DPRD Makassar, Selasa (5/5).

Ia menyarankan agar Pansus RTRW mensikronisasasikan Ranperda yang akan di sahkan dengan UU Nomor 39 /1999 tentang HAM. Undang-undang ini juga harus menjadi landasan yuridis sehingga masyrakat sekitar memperoleh hak-haknya. “Misalnya ketika ada reklamasi, dimana mereka akan direlokasi dan ganti ruginya ini sesuai dengan UU Nomor 11/2005,” ujarnya.

Asmar Exwar juga menilai selama ini telah terjadi aktivitas ilegal di sepanjang pantai di Makassar. Seharusnya DPRD bersama Pemkot Makassar segera menghentikan aktivitas penimbunan laut tersebut karena ilegal. Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar menjelaskan tidak boleh ada aktivitas reklamasi ketika Perda RTRW masih dalam pembahasan ataupun revisi.

Senada dengan Direktur Walhi, Wakil Ketua LBH Makassar Zulkifli Hasanuddin mengatakan, draft Ranperda yang disusun oleh pemkot bersama Pansus DPRD Makassar ini tidak sesuai dengan reklamasi nasional. Yakni meningkatkan nilai ekosistem laut dan penguatan ekonomi masyarakat sekitar pesisir pantai. “Sementara dalam laporan masyarakat yang masuk di LBH sebanyak 45 kepala keluarga di sekitar Metro Tanjung Bunga digusur oleh pengusaha dan kehilangan tempat tinggal serta tidak direlokasi,” ungkap Zulkifli.

Sementara itu, Arifuddin Akil dari Program Studi Perencaan Wilayah Kota Unhas ini menilai draf RTRW tersebut mengabaikan kawasan wisata budaya. Seperti, tidak menjelaskan secara detail tentang kawasan wisata dan budaya di Makassar. Seperti gedung tradisional, mesjid tradisonal Melayu dan Arab maupun gedung kolonila. “Jadi masih perlu penyempurnaan,” kata Arifuddin.(ita/war/c)

Sumber berita: beritakotamakassar.com

Categories
Berita Media

Aliansi Selamatkan Pesisir Makassar: Stop Reklamasi


Kabar Makassar – Aliansi Selamatkan Pesisir Makassar menilai proyek pembangunan di pesisir pantai Makassar berdalih reklamasi kini semakin tidak jelas, karena tak pernah ada penjelasan yang jelas dari pemerintah terkait payung hukum yang digunakan. Bahkan elemen masyarakat yang terdiri dari, WALHI Sulsel, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Anti-Corruption Committee (ACC), Yayasan Konservasi Laut (YKL), Mangrove Action Project (MAP), Jurnal Celebes, Kontras Sulawesi, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulsel, FIK Ornop Sulsel, UKPM Unhas, BEM Sastra UNHAS, PKBI, Yayasan Jati, dan sejumlah orgnanisasi kemahasiswaa dan individu lainnya menengarai dalam sejumlah proyek reklamasi di pesisir Makassar belum memiliki Amdal.

Ketidakjelasan ini salah satunya bermuara pada carut marut penyusunan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makassar. Penyusunan RTRW yang dilakukan oleh Pansus di dewan tak terdengar rimbanya, padahal ini akan sangat krusial menentukan masa depan pesisir Makassar.

Direktur Walhi Sulsel, Asmar Exwar, mengkritisi upaya pemerintah dan dewan dalam menyusun RTRW yang terkesan ditutup-tutupi dan tidak secara luas melibatkan publik.

“Padahal ini harus dibuka seluas-luasnya. Kita seharusnya tidak bicara di ruang gelap mengenai tata ruang Kota Makassar. Di pesisir misalnya, banyak melibatkan pembangunan-pembangunan dimana ada banyak publik di situ, sehinggga jika ada pembangunan tanpa arah yang jelas berpotesni merugikan publik. Hak publik pada akhirnya menjadi terbatas,” ungkap Asmar, Minggu (25/1/2015).

Apalagi Asmar melihat adanya indikasi Makassar akan tenggelam, ketika sebagian besar kawasan pantai akan mengalami betonisasi.

“Jangan-jangan berlarut-larutnya penyusunan RTRW ini disengaja secara politik agar kegiatan-kegiatan pengembangan di kota tidak punya legitimasi yang kuat dan bisa seenaknya dibangun,” tambah Asmar.

Secara tegas Asmar meminta agar seluruh proyek pembangunan di kawasan pesisir dihentikan sebelum adanya aturan pembangunan yang jelas.

“Harus dihentikan seluruhnya. Kalau mau dilanjutkan harus memperhatikan keberlanjutan ekosistem pesisir dan keberadaan masyarakat yang ada di sana. Inilah yang harus dibicarakan kembali sebelum pembangunan dilanjutkan.”

Irham dari Yayasan Konservasi Lingkungan (YKL) Sulsel membenarkan perlunya keterlibatan publik dalam penyusunan RTRW, khususnya terkait pembangunan kawasan pesisir.

Menurutnya, jika reklamasi tetap dilanjutkan maka akan terjadi perubahan lingkungan secara luas, karena dengan reklamasi pasti ada konversi peruntukan lahan pesisir, belum lagi sedimentasi secara luas yang akan terjadi. Ini seharusnya menjadi masukan bagi pemerintah dalam penyusunan RTRW.

“Kondisi sekarang dengan adanya reklamasi terindikasi adanya kerusakan lingkungan di pesisir Makassar yang semakin banyak dan selama ini hal tersebut tidak dihitung sebagai kerugian lingkungan,” ungkap Irham.

Hal nyata yang bisa dilihat saat ini, menurut Irham adalah hilangnya ekosistem mangrove. Dampak lainnya pada semakin hancurnya eksosistem terumbu karang, yang dampaknya mencapai pulau-pulau terluar Makassar.

Kadir dari Anti-Corruption Committee (ACC) Makassar, mencurigai adanya indikasi politik transaksional yang dimainkan oleh anggota dewan terkait berlarut-larutnya penyusunan Perda RTRW ini.

“Kalau mau serius, persoalan ini dapat diselesaikan dengan cepat. Namun ini malah memperpanjang pembahasan RTRW. Potensinya cukup kuat untuk memainkan anggaran,” katanya.

Hal lain yang harus diperhatikan dalam RTRW terkait kawasan pesisir adalah masa depan masyarakat yang tinggal di sekitarnya.

Menurut Niar dari Solidaritas Perempuan (SP) Angingmamiri, dampak yang dirasakan warga adalah hilangnya mata pencarian mereka yang tadinya nelayan, kini banyak mereka tak bisa lagi melaut dan berubah profesi menjadi tenaga buruh harian.

“Selama ini suami istri mereka bisa menjadi nelayan. Kini tidak ada lagi hasil laut yang bisa diharapkan. Karena akses ke sana sudah dangkal dan bukan lagi jalan perahu untuk masuk. Jadi mereka tinggal menerima ikan kiriman dari Bone.”

Nelayan pencari kerang pun kini semakin berkurang, tidak hanya karena kurangnya hasil tangkapan tapi juga kualitas kerang yang telah tercemari limbah buangan sejumlah industri dan hotel-hotel yang ada di sekitar pantai.

Penulis: Mad/RLS
Editor: Hexa
Sumber berita: kabarmakassar.com

Categories
Berita Media

Bangun Kawasan Industri dan Wisma Negara, Nelayan Makassar Diusir, Kampung Dihancurkan

Rencana Pemerintah Sulawesi Selatan (Sulsel) membangun Center Point Indonesia (CPI) di kawasan Delta Tanjung Makassar, menyisakan sejumlah masalah. Salah satu, pengusiran nelayan secara paksa dari lokasi tanpa kompensasi pada 10 Maret 2014. Sejumlah aturan perundang-undangan pun dinilai dilanggar demi pemaksaan pembangunan kawasan industri termasuk wisma negara ini. Tak pelak, sekitar 43 keluarga kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian. Kini, mereka diungsikan di pelataran Gedung Celebes Convention Center (CCC) Makassar.

Daeng Bollo, perempuan 64 tahun warga yang terusir menceritakan,  pengusiran paksa pagi hari, ketika hampir seluruh warga berada di laut mencari kerang, ikan dan kepiting. Tak ada pemberitahuan mengenai penggusuran.

“Itu terjadi pagi-pagi sekali, sekitar pukul delapan pagi, saya hanya berempat dan perempuan semua karena semua warga laki-lakinya melaut. Tiba-tiba datang tentara dari Koramil, Polisi dan Satpol PP dan perusahaan PT Yasmin membongkar paksa pakai mobil eskavator,” kata Daeng Bollo.

Seluruh bangunan rumah di pemukiman nelayan itu  rata dengan tanah. Tak banyak bisa diselamatkan warga. Sejumlah peralatan rumah tangga, termasuk pakaian tak dapat diselamatkan karena langsung dibakar di lokasi. Tempat tinggal darurat mereka terlihat berantakan, berada di sisi luar salah satu gedung CCC. “Kalau siang panas dan kalau hujan pasti semua basah.”

Pilihan mengungsi di gedung CCC, atas suruhan PT Yasmin. “Mereka bilang disini dulu tinggal, besok kita bertemu gubernur. Tapi sampai sekarang belum ada apa-apa,” katanya.

Dia bersama suami sudah menempati kawasan pesisir di Kelurahan Maccini Sombala, Kecamatan Tamalate, sejak 37 tahun lalu. Mereka menggantungan hidup dari mengumpulkan kerang, ikan dan kepiting.

Seluruh keluarga, termasuk enam orang anak menantu dan cucu yang berjumlah belasan orang tinggal di daerah itu sebagai nelayan. Setelah pengusiran, mereka belum memiliki alternatif mata pencaharian. Sebagian besar barang yang sempat diselamatkan satu persatu dijual, termasuk perhiasan emas.

“Sampai sekarang saya sudah jual lemari. Emasku juga sudah 50 gram yang saya jual. Semua untuk biaya hidup karena tak ada lagi sumber mata pencaharian. Belum ada yang cari kerja karena masih bingung dan masih stres semua,” ucap Daeng Bollo.

David, juru bicara Solidaritas Masyarakat Pesisir Anti Penggusuran (Somasi), Rabu (16/4/14), mengatakan, pengusiran paksa ini mengabaikan asas-asas kemanusiaan dalam UUD 1945. Mereka menuntut pertanggungjawaban dari Pemprov Sulsel.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, turut mengecam tindakan pengusiran paksa ini. Haswansi Andy Mas, Kabid Internal LBH mengatakan, tindakan ini berdampak pada kehilangan mata pencaharian nelayan, dan tidak ada jaminan pendidikan dan kesehatan. Struktur sosial yang lama ada di kawasan itu juga hilang. “Mereka mengalami sejumlah kerugian materil akibat penggusuran paksa melalui aparat Brimob dan TNI.”

LBH Makassar menilai, keberadaan warga di kawasan itu sah. Selama 35 tahun secara fisik mereka dilengkapi surat hak garap dari pejabat setempat.

Reklamasi wilayah pesisir yang dilakukan PT. Yasmin Bumi Asri sangat bertentangan dengan asas kesejahteraan masyarakat.

“Harus tetap diingat, tujuan itu sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Jadi harus dijamin semua upaya pemerintah Sulsel tidak bersinggungan dengan kewajiban negara mensejahterakan rakyat dan tak menimbulkan pelanggaran HAM.”

CPI merupakan megaproyek Pemerintah Sulsel. Awalnya proyek ini akan dibiayai APBN dan APBD.  Dalam perkembangan, pemerintah pusat menolak membiayai proyek bernilai Rp200 miliar ini.

Tanpa dukungan pusat, Sulsel tetap membangun dengan pertimbangan kawasan itu potensial. Tahun 2014, misal, dianggarkan dalam APBD Rp39 miliar.

“Pengembangan kawasan CPI ini sangat potensial. Kalau pusat tidak mau, banyak investor yang berminat. Jadi buat apa kita bergantung pusat,” kata Syahrul Yasin Limpo, Gubernur Sulsel dikutip dari Harian Fajar, Jumat (4/4/14).

Pemerintah Sulsel menggandeng swasta dalam tahap awal reklamasi di lahan seluas 157 hektar, dari 1.500 hektar yang direncanakan. Dengan perjanjian, 157 hektar, 57 hektar diserahkan kepada provinsi menjadi area publik. Selebihnya, 100 hektar dikelola PT Yasmin Bumi Asri, sebagai kawasan industri.

Permasalahnnya, di lahan 157 hektar itu, terdapat pemukiman nelayan, diperkirakan seluas 17-20 hektar. Provinsi menuding mereka pemukim liar karena berlokasi di tanah timbul, sesuai PP No. 16 2004 tentang Penatagunaan Tanah disebut sebagai tanah negara.

Sebelum eksekusi, provinsi sudah tiga kali memberi peringatan agar warga meninggalkan lokasi.

Akhirnya pada pertemuan evaluasi antara sekretaris provinsi, Abdul Latief dengan kordinator pembangunan CPI, Soeprapto, pada 3 Maret 2014, disepakati penertiban paksa.

Eksekusi melibatkan aparat gabungan dari Satpol PP, Brimob Polda dan TNI, pada 10 Maret 2014, sekitar pukul 8.00 pagi, ketika sebagian besar warga berada di laut.

Penulis : Wahyu Chandra
Sumber berita: mongabay.co.id

Categories
EKOSOB

Aksi Somasi Tolak Pembangunan Centre Point of Indonesia (CPI)

img_20140404_155007Makassar, Selasa, 1 April 2014, warga korban penggusuran di kawasan delta tanjung Makassar (tanah timbul depan rumah sakit Siloam) melakukan aksi demonstrasi di kantor DPRD Provinsi Sulawesi Selatan. Aksi dilaksanakan dalam rangka menolak dan mengutuk keras rencana Pemprov Sulsel untuk membangun kawasan Centre Point Of Indonesia yang dinilai adalah bentuk privatisasi dengan merampas hak-hak warga setempat. Sehingga, untuk memuluskan rencana pembangunan tersebut maka, Pemprov Sulsel melakukan penggusuran sewenang-wenang dan cara-cara premanisme dengan mengerahkan sejumlah aparat dari Satpol PP, Kepolisian dan TNI. Penggusuran dilakukan dengan tudingan sepihak Pemprov Sulsel bahwa warga yang bermukim di kawasan tersebut tidak mengantongi izin menguasai lahan dan mendirikan bangunan. Padahal, warga sudah tinggal menguasai lahan dan mempertahankan hidup di atas tanah timbul tersebut selama 37 tahun dengan surat Hak Garapandari Lurah Maccini Sombala.

Dalam aksi tersebut, warga yang tergabung dalam SOMASI (Solidaritas Masyarakat Pesisir Anti Penggusuran) dengan melibatkan beberapa organisasi mahasiswa maupun LSM. Adapun organ yang tergabung dalamSOMASI adalah ; LBH Makassar, ACC Sul-sel, WALHI Sul-sel, FOSIS UMI, FMN Makassar, AGRA Sul-sel, HMJ Pend. Sejarah UNM, MAPAN STIMIK DIPANEGARA, HIMAHI UNHAS, PMII FAI, BEM FAI UMI.

Sekitar pukul 10.00 wita, Sekitar 150 Massa berkumpul di bawah jembatan layang fly over dengan membentangkan spanduk aksi, melakukan orasi politik dan membagi – bagi selebaran pernyataan sikap. Setelah kurang lebih 1 jam kemudian, massa bergerak berjalan kaki menuju titik aksi di DPRD Provinsi.

Tiba di titik aksi, massa langsung masuk ke dalam pagar dan membentuk barisan di depan pintu masuk utama ruangan DPRD. Kemudian, mereka kembali menggelar orasi politik secara bergiliran sembari membagikan selebaran. Dengan dipimpin oleh coordinator lapangan, massa aksi terus berteriak mendesak anggota DPRD untuk membuka ruang aspirasi terkait tuntutan warga. Tidak lama kemudian, salah satu perwakilan DPRD dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) atas nama Rudy P.Gony keluar untuk menemui massa dan mengarahakn massa ke ruang aspirasi yang bereda di samping kantor DPRD tidak jauh dari titik aksi. Kemudian, sesi dialog dibuka untuk mendengar tuntutan warga.

Dialognya berjalan dialektif, dimana massa melontarkan beberapa tuntutan dan mendesak anggota DPRD tersebut untuk segera mengambil tindakan tegas terkait nasib warga yang sudah 3 minggu terlantar di pelataran gedung Celebes Convention Centre (CCC). Adapun tuntutan warga adalah :

  1. Menolak upaya Pemerintah provinsi Sul-sel membangun kawasan privatisasi Centre Poin Of Indonesia
  2. Menuntut ganti kerugian warga di kawasan delta tanjung Makassar karena, telah digusur secara sewenang – wenang
  3. Menuntut agar Pemerintah Provinsi Sul-sel segera memberikan tempat tinggal yang layak kepada warga 43 KK yang sudah 3 minggu terlantar di sekitaran pelataran gedung CCC
  4. Mendesak pemerintah provinsi sul-sel agar menarik aparat dalam kawasan delta tanjung Makassar
  5. Menuntut Pemerintah Provinsi Sul-sel agar memberikan hak hidup yang layak kepada warga delta tanjung Makassar
  6. Menolak perampasan tanah atas nama Negara

Setelah dialog berlangsung beberapa jam dan semua aspirasi dan tuntutan telah disampaikan, maka akhirnya mencapai titik kesepakatan. Anggota DPRD Provinsi yang diwakili  Rudy P. Goni menerima semua tuntutan warga, kemudian berjanji akan segera menindaklanjuti dan menyampaikan kepada anggota yang lain untuk segera melakukan rapat serta melakukan upaya pemanggilan terhadap pihak – pihak terkait, termasuk Gubernur Sul – sel untuk mengklarifikasi dan mendengar tanggapan Gubernur terhadap tuntutan warga. Maka, sesi dialog berakhir dan coordinator lapangan mengarahkan massa kembali ke posko untuk dilakukan evaluasi aksi. [Edy Kurniawan]