Categories
SIPOL slide

LPSK Investigasi Kematian SG

Tim dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) gelar investigasi kasus kematian Sugianto di LBH Makassar, merespon surat permintan dari LBH Makassar (15/01).

 

Kasus dugaan penganiayaan atas kematian terduga kasus pencurian Sugianto atau inisial SG terus mendapat perhatian pelbagai pihak. Termasuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Republik Indonesia. Kemarin, ada tiga orang anggota LPSK mendatangi LBH Makassar. Invetigasi. Mereka berupaya mengumpulkan data pendukung atau dugaan penganiayaan yang dilakukan terhadap Sugianto.

Baca Juga:

Wakil Ketua LPSK RI, Edwin Partogi Pasaribu membenarkan timnya datang ke Makassar untuk menginvestigasi dan menelaah atas permohonan perlindungan dalam kasus Sugianto. Hasil investigasi itu nantinya akan menjadi rujukan pimpinan LPSk untuk memutuskan menerima atau menolak perlindungan yang diajukan.

“Ini kasusnya bisa tujuh hari setelah investigasi baru diketahui,” katanya. Pengacara publik LBH Makassar, Edy Kurniawan menuturkan kasus dugaan penganiayaan mengakibatkan kematian Sugianto sudah ada progres. Sisa gelar perkara. Apakah dinaikkan ke tingkat penyidikan atau tidak.

Baca Juga:

“Kami sudah bersurat ke penyidik Polda untuk gelar perkara bersama dan meminta melibatkan keluarga korban dan pengacaranya, mengapa kita minta terlibat karena pertimbangannya karena kasus ini sudah jadi perhatian publik dan selama ini penyelidikan selalu ada pihak yang mempengaruhi keluarga korban,” Ucapnnya.

“Saat ini pihak LPSK sementara melanjutkan memeriksa saksi inisial AN di kediamannya.” Ucapnya.

 

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di koran harian Fajar Edisi 16 januari 2020

Categories
SIPOL slide

Kematian Agung Libatkan Oknum 5 Polisi Polda Sulsel Belum Juga Kelar, LBH Nilai Ada Kejanggalan

Kematian Agung Pranata pada tahun 2016 yang menyeret lima oknum jajaran Polda Sulsel jadi tersangka kini memasuki babak baru. Kasus ini memasuki babak baru, setelah berkas perkara kasus yang sudah bergulir tiga tahun di Polda dikirim ke Kejaksaan.

Tapi, tim Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar menilai, ada kejanggalan dalam berkas kasus yang dikirim ke Kejaksaan.”Ada kejanggalan penerapan pasal,” beber kuasa hukum di LBH, Haerul kepada tribun saat dikonfirmasi, Rabu (15/1/2020) sore.

 

Baca Juga:

Bulan Ini, Polda Sulsel Kirim 5 Oknum polisi Tersangka Penganiayaan Agung Pranata Ke Kejaksaan

Mati Dianiaya Polisi

 

Haerul mengaku, sepanjang kasus Agung bergulir di Polda dalam tiga tahun ini, ada banyak kejanggalan yang bermunculan. Diantaranya itu, pasal yang disangkakan kelima tersangka itu merupakan rumpun kejahatan terhadap nyawa dan tindakan.

Seperti Pasal 338 tentang Pembunuhan kata Haerul, dan Pasal 353 ayat 3, dan lalu Pasal 352 ayat 2 serta Pasal 357 KUHP. “Pasal-pasal kejahatan terhadap nyawa dan penganiayaan yang memiliki ancaman pidana berat tidak di masukkan,” ujarnya.

Pasal 170 ayat 3 tentang penganiayaan berujung kematian, ancaman maksimal 12 tahun penjara, itu juga tidak dimasukkan. Seharusnya lanjut Haerul, penyidik Polda harusnya menambahkan pasal pemberatan karena itu berdasarkan keterangan saksi.

“Ya keterangan dari saksi bahwa korban sebelum meninggal itu sempat dipaksa minum deterjen oleh tersangka,” jelasnya.

 

Baca Juga:

3,5 Tahun Kasus Kematian Agung Mengendap di Polda Sulsel, 5 Polisi Tersangka

Matinya Agung, 5 Polisi Tersangka di Polda Sulsel Tapi Pasal Berat Dihilangkan

 

Namun kata tim LBH, para tersangka tidak dikenakan Pasal 36 ayat 3 dan menambah sepertiga ancaman pidana penjaranya.Selain kejanggalan itu, kelima tersangka adalah anggota polisi aktif, sehingga bisa dikenakan juga didalam Pasal 152 KUHP.

Selain kejanggalan dalam beberapa Pasal, tim pengacara dari LBH juga menilai, lima tersangka itu tidak dilakukan penahanan.

Disamping itu, Haerul menyebutkan, lima tersangka polisi aktif tersebut belum juga dikenakan pelanggaran etik dan disiplin.

Padahal secara internal Polri, itu dianggap telah mengakui ada tindakan pidana oleh aparat melalui surat penetapan tersangka. “Ini kan telah jelas, karena berkas perkara sudah ada dalam tanggyng jawab jaksa, kita harap tim jaksa teliti,” kata Haerul.

Diketahui, LBH juga melakukan persuratan ke KOMJAK, POLRI, BPSK dan KOMNAS HAM atas kejanggalan kasus Agung ini.

Diberitakan, penyidik Ditreskrimum Polda tetapkan lima oknum polisi jadi tersangka dalam kasus penganiayaan Agung Pranata.

Lima polisi tersangka, empat dari Polsek Ujung Pandang, Bripka Cn, As, Ar, Aiptu Sa. Dan di Polres Jeneponto, Aiptu Js.

 

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online tribunnews.com pada 15 Januari 2020

Categories
SIPOL slide

Kasus Ayah Cabuli Anak di Lutim, Korban Minta Dilibatkan Gelar Perkara

Korban pencabulan yang diduga dilakukan oleh ayah kandung di Luwu Timur (Lutim), meminta untuk dilibatkan dalam proses gelar perkara hasil visum yang diagendakan digelar Polda Sulawesi Selatan pekan ini.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, sekaligus koordinator tim pendamping hukum korban, Haswandy Andi Mas mengatakan, korban mempunyai hak untuk mengetahui jelas hasil gelar perkara visum pembanding nantinya.

“Termasuk ahli yang menguatkan korban. Ahli-ahli yang sudah kita juga siapkan dalam perjalanan kasus ini,” kata Haswandy saat dikonfirmasi, Selasa (14/1).

1. Pendamping hukum berpendapat unsur gelar perkara telah terpenuhi

Polda Sulsel sebelumnya telah mengagendakan pada pekan ini untuk menggelar perkara visum pembanding yang dilayangkan korban melalui pendamping hukum. Namun kata Haswandy, informasi pasti kapan gelar perkara akan dilakukan belum juga disampaikan kepada pihaknya.

Padahal menurut dia, unsur gelar perkara kasus ini telah sepenuhnya terpenuhi. “Ada pengaduan dari pihak pelapor dan kasus ini menjadi sorotan publik. Kemudian berdasarkan haknya korban juga untuk dilibatkan dalam proses gelar perkara nantinya,” ucap Haswandy.

Permintaan untuk pelibatan korban dalam gelar perkara, kata Haswandy, tertuang jelas dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.

2. Polda Sulsel diminta untuk memberitahukan informasi tiga hari sebelum gelar perkara dimulai

Selain itu, Haswandy juga meminta agar penyidik Polda Sulsel memberitahukan informasi kepada pendamping dan korban, minimal tiga hari sebelum pelaksanaan gelar perkara dilaksanakan.

“Jadi sebaiknya diinformasikan memang. Jangan nanti tiba-tiba satu hari sebelum gelar perkara baru disampaikan. Ini standar dalam sebuah pemanggilan dalam proses hukum, minimal tiga hari sebelumnya,” ujar Haswandy.

Sejauh ini, lanjut Haswandy, pihaknya intens berkoordinasi dengan penyidik Polda Sulsel untuk mengetahui kejelasan informasi waktu, kapan gelar perkara akan dimulai.

3. Alasan Polda Sulsel belum tentukan kejelasan waktu gelar perkara pekan ini

Terpisah, Kabid Humas Polda Sulsel Kombes Pol Ibrahim Tompo mengatakan, belum dilakukannya gelar perkara oleh penyidik kriminal umum karena berbenturan dengan sejumlah agenda internal.

Ibrahim menampik rumor soal kendala yang dihadapi penyidik sehingga gelar perkara belum dilakukan. “Tidak ada kendala. Cuman memang masalah schedule saja,” ujar mantan Kabid Humas Polda Sulawesi Utara ini.

Menyoal permintaan pihak pendamping dan korban soal pelibatan dalam proses gelar perkara nanti, menurut Ibrahim tergantung dari pertimbangan penyidik. “Intinya kita atensi kasus ini. Dan kita open terhadap permasalahan yang terjadi. Segala hal kita berusaha ungkap dengan kebenaran,” ungkapnya.

Diketahui, pengusutan dugaan pencabulan yang diduga dilakukan SA (43) ayah kandung kepada dua anaknya, AL (8) dan AZ (4) itu dihentikan jajaran penyidik Polres Luwu Timur, beberapa waktu lalu. Penghentian ditandai dengan diterbitkannya Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3) pada 10 Desember 2019.

Tidak ditemukannya tanda-tanda kekerasan seksual di alat vital korban, jadi dalih mendasar penyidik Polres Luwu Timur menghentikan perjalanan kasus ini.

 

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online sulsel.idtimes.com pada 14 Januari 2020

Categories
SIPOL slide

Mati Dianiaya Polisi

Agung Pranata (26) ditemui keluarga dalam keadaan tidak sadar di Rumah Sakit (RS) Bhayangkara, Makassar pada 29 September 2016 lalu. Di sekujur tubuhnya sudah penuh luka lebam, lehernya patah, saraf telinga tidak berfungsi dan telah dibantu alat pernafasan. Dalam keadaan kritis demikian, esoknya pada siang hari Agung dinyatakan meninggal oleh pihak rumah sakit.

Dua hari sebelum kematiannya (28/9), Agung ditangkap polisi dari Polsek Ujung Pandang di rumahnya di Minasaupa. Kesaksian ibu Agung, Mawar mengatakan bahwa rumahnya didobrak oleh polisi pada pukul 02.00 dini hari. Saat itu, kata Mawar, anaknya ditangkap dan digebuki di depan sang istri. Ia diketahui ditangkap atas dugaan penggunaan narkotika.

Pasca penangkapan, pihak keluarga tak diberi informasi jelas oleh pihak polisi mengenai keberadaan Agung. Pihak keluarga pun mendatangi sejumlah kantor polisi di Kota Makassar, namun tak ada kabar. Keberadaan Agung akhirnya diketahui di RS Bhayangkara dengan sekujur tubuh luka-luka yang mengantarnya pada kematian. Agung diduga kuat telah dianiaya hingga berujung kematian saat proses penangkapannya.

Kasus seperti itu tak hanya dialami oleh Agung. Dalam laporan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, untuk tahun 2019, pihaknya telah menangani tiga kasus kekerasan dan penyiksaan berujung kematian oleh polisi.

Korbannya yakni Sugianto (23), warga Bantaeng yang meninggal setelah ditangkap polisi atas tuduhan pencurian pada awal November 2019. Sugianto meninggal dengan tiga luka tembak di kakinya. Dilansar dari SindonewsAziz Dumpa, Kepala Divisi Hak Sipil dan Keberagaman mengatakan bahwa setelah ditangkap, Sugianto mendapatkan serangkaian penyiksaan, tangan terikat lakban dan dipukuli saat masih berada di atas mobil.

“Dalam kasus ini, Sugianto tewas diduga akibat penyiksaan oleh aparat kepolisian, di mana pada jasad Sugianto ditemukan luka lebam dan luka bakar diduga akibat penyiksaan, berikut adanya tiga luka tembak pada bagian betis kiri dan kanan serta dibagian kanan lutut,” ungkap Azis.

Kasus serupa juga dialami Rawal (37) warga Luwu Utara. Dia adalah DPO kasus narkotika yang kabur. Dia kemudian ditembak mati satuan Reserse dan Narkoba Polres Luwu Utara.

“Luka tembak di bagian perut, tapi ada juga luka di tubuh. Sehingga diduga terjadi penganiayaan dan penyiksaan sebelumnya,” katanya.

Korban ketiga yakni Riswan alias Ciwang (21). Dia dituduh DPO begal dengan 43 TKP. Ciwang ditembak Resmob Polda Sulsel pada 20 juni 2019. Dengan tuduhan berusaha merebut senjata api saat penangkapan. Tiga peluru bersarang di dada kiri dan meninggal di RS Bhayangkara.

Mereka berempat adalah korban yang diduga mengalami kekerasan dan penyiksaan berujung kematian saat penangkapannya.

 

Kasus Mengendap dan Pasal Dinilai Ringan

Meski kematian Agung dianggap ganjil, namun butuh tiga tahun lebih lamanya bagi pihak kepolisian untuk bisa mengusut kasus kematian tersebut. Pada awal Januari 2020 ini, kelima polisi yang melakukan penganiayaan kepada Agung akhirnya resmi ditetapkan sebagai tersangka. Meski begitu, dalam proses hukum penanganannya dinilai masih menuai kejanggalan.

Andi Haerul Karim, Divisi Anti Korupsi dan Reformasi Birokrasi LBH Makassar menilai, pasal yang disangkakan kepada tersangka masih terlalu ringan. Kejanggalan tersebut karena tersangka hanya disangkakan melakukan tindak pidana yang bertentangan dengan pasal 351 ayat 1 dan pasal 3 serta pasal 359 KUHP.

Padahal, berdasarkan fakta serta keterangan saksi yang diperiksa oleh kepolisian, seharusnya polisi dan jaksa bisa menyangkakan pasal yang lebih banyak dan berat.

Pasal yang disangkakan terhadap para tersangka adalah rumpun kejahatan terhadap nyawa dan tindak pidana penganiayaan. Namun, pasal-pasal yang memiliki ancaman pidana berat seperti pasal 338 tentang pembunuhan, 353 ayat 3, 352 ayat 2 pasal 357 KUHP justru tidak dimasukkan. Pun termasuk pasal 170 ayat 3 yang memiliki ancaman pidana maksimal 12 tahun penjara.

“Seharusnya, kepolisian menambahkan pasal pemberatan karena berdasarkan keterangan saksi bahwa korban sebelum meninggal sempat dipaksa meminum diterjen oleh tersangka,” terangnya Kamis (10/1/2020) dalam keterangan tertulisnya.

Kata Haerul, tersangka pun masih bebas dan tidak dilakukan penahanan. Padahal pasal yang disangkakan terhadap para tersangka seharusnya dilakukan penahanan. Selain itu, para tersangka belum dikenakan sanksi pelanggaran etik dan disiplin dari institusi kepolisian Polda Sulsel.

“Padahal secara internal kepolisian dianggap telah mengakui ada tindakan pidanan yang dilakukan oleh aparatnya melalui surat penetapan tersangka,” jelasnya.

Untuk itu, pihaknya meminta kepada Jaksa yang menangani kasus untuk dapat memeriksa ulang kasus tersebut, dan menambahkan pasal berdasarkan analisis fakta dan keterangan saksi.

Kasus penanganan Agung cukup beruntung, meskipun pengusutan kasus membutuhkan waktu yang lama. Namun, untuk pengusutan kasus korban kekerasan lain bisa jadi tak semulus itu.

 

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online aksaraintimes.id pada 14 Januari 2020.

Categories
SIPOL slide

3,5 Tahun Kasus Kematian Agung Mengendap di Polda Sulsel, 5 Polisi Tersangka

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar mrnyebut bahwa kejanggalan menaungi proses hukum kasus kematian Agung Pranata.

Setelah 3,5 tahun kasus kematian laki-laki yang akrab disapa Agung ini mengendap di Polda Sulsel. Kepolisian akhirnya mentersangkakan 5 polisi aktif yang melakukan penangkapan terhadap korban Agung hingga berujung kematian.

“Kini kasus tersebut memasuki babak baru, berkas kasus tersebut telah dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, tetapi masih tahap P21 tahap 1,” kata Divisi Anti Korupsi dan Reformasi Birokrasi LBH Makassar, Andi Herul Karim, SH. Jum’at, (10/1).

Menurutnya, kejanggalan tersebut karena tersangka hanya disangkakan melakukan tindak pidana yang bertentangan dengan pasal 351 ayat 1 dan pasal 3 serta pasal 359 KUHP.

Padahal, berdasarkan fakta serta keterangan saksi yang diperiksa oleh kepolisian, “seharusnya polisi dan jaksa bisa menyangkakan pasal yang lebih banyak dan berat,” imbuhnya.

Pasal yang disangkakan terhadap para tersangka adalah rumpun kejahatan terhadap nyawa dan tindak pidana penganiayaan. Namun, pasal-pasal yang memiliki ancaman pidana berat tidak dimasukkan.

“Seharusnya, kepolisian menambahkan pasal pemberatan karena
berdasarkan keterangan saksi bahwa korban sebelum meninggal sempat dipaksa meminum diterjen oleh tersangka,” terangnya.

Juga tidak dilakukan penahanan sejak ditetapkan sebagai tersangka. Selain itu, para tersangka belum dikenakan sanksi pelanggaran etik dan disiplin dari institusi kepolisian Polda Sulsel.

“Padahal secara internal kepolisian dianggap telah mengakui ada tindakan pidanan yang dilakukan oleh aparatnya melalui surat penetapan tersangka,” pungkasnya.

LBH Makassar berharap agar Jaksa yang menangani kasus ini dapat memeriksa, meneliti dan mengembankan kasus tersebut, sehingga ada penambahan pasal berdasarkan analisis fakta dan keterangan saksi.

“Kita akan melakukan persuratan ke Komisi Kejaksaan (Komjak) RI, Polri, LPSK dan Komnas HAM atas kejanggalan dan pelanggaran disiplin, etik dan HAM kasus ini. Selain itu, apabila kasus ini telah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri (PN) Makassar, kita pun akan melakukan persuratan ke Komisi Yudisial untuk di pantau, demi penegakan hukum,” kunci Herul sapaan akrabnya.

 

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online suarajelata.com pada 10 Januari 2020

Categories
SIPOL slide

Matinya Agung, 5 Polisi Tersangka di Polda Sulsel Tapi Pasal Berat Dihilangkan

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar mrnyebut bahwa kejanggalan menaungi proses hukum kasus kematian Agung Pranata.

Setelah 3,5 tahun kasus kematian laki-laki yang akrab disapa Agung ini mengendap di Polda Sulsel. Kepolisian akhirnya mentersangkakan 5 polisi aktif yang melakukan penangkapan terhadap korban Agung hingga berujung kematian.

“Kini kasus tersebut memasuki babak baru, berkas kasus tersebut telah dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, tetapi masih tahap P21 tahap 1,” kata Divisi Anti Korupsi dan Reformasi Birokrasi LBH Makassar, Andi Herul Karim, SH.

Menurutnya, kejanggalan tersebut karena tersangka hanya disangkakan melakukan tindak pidana yang bertentangan dengan pasal 351 ayat 1 dan pasal 3 serta pasal 359 KUHP.

Padahal, berdasarkan fakta serta keterangan saksi yang diperiksa oleh kepolisian, “seharusnya polisi dan jaksa bisa menyangkakan pasal yang lebih banyak dan berat,” imbuhnya.

Pasal yang disangkakan terhadap para tersangka adalah rumpun kejahatan terhadap nyawa dan tindak pidana penganiayaan. Namun, pasal-pasal yang memiliki ancaman pidana berat tidak dimasukkan.

“Seharusnya, kepolisian menambahkan pasal pemberatan karena
berdasarkan keterangan saksi bahwa korban sebelum meninggal sempat dipaksa meminum diterjen oleh tersangka,” terangnya.

Juga tidak dilakukan penahanan sejak ditetapkan sebagai tersangka. Selain itu, para tersangka belum dikenakan sanksi pelanggaran etik dan disiplin dari institusi kepolisian Polda Sulsel.

“Padahal secara internal kepolisian dianggap telah mengakui ada tindakan pidanan yang dilakukan oleh aparatnya melalui surat penetapan tersangka,” pungkasnya.

LBH Makassar berharap agar Jaksa yang menangani kasus ini dapat memeriksa, meneliti dan mengembankan kasus tersebut, sehingga ada penambahan pasal berdasarkan analisis fakta dan keterangan saksi.

“Kita akan melakukan persuratan ke Komisi Kejaksaan (Komjak) RI, Polri, LPSK dan Komnas HAM atas kejanggalan dan pelanggaran disiplin, etik dan HAM kasus ini. Selain itu, apabila kasus ini telah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Makassar kita pun akan melakukan persuratan ke Komisi Yudisial untuk di pantau, demi penegakan hukum,” kunci Herul sapaan akrabnya.

 

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online publikasionline.id pada 10 Januari 2020

Categories
SIPOL slide

Kasus Sugianto, Pria Diduga Dianiaya Hingga Tewas oleh Oknum Polisi Masih Diselidiki Polda Sulsel

Dugaan penganiayaan berujung tewasnya Sugianto (22), dilakukan oknum di Polres Bantang, kini masih didalami Polda Sulsel. Sugianto merupakan salah satu tahanan Polres Bantaeng. Korban meninggal setelah diduga dianiaya pada 9 November 2019.

Kasus ini pun ditangani Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar. Kemudian dilapor ke SPK Polda Sulsel pada, Selasa (19/11).

Tetapi, sejak kasus ini dilaporkan hingga kini, Sabtu (27/12/2019) menurut aktivis LBH Makassar, belum ada progres kasus.

Edy Kurniawan, salah satu kuasa hukum LBH Makassar mengakui, sampai hari ini (Sabtu) pihaknya belum mendapat SP2HP. Padahal, Selasa (24/12), LBH sudah minta Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) laporan tersebut.

“Kita sudah meminta SP2HP dengan cara menyurati, tapi sampai kini belum ada itu,” jelas Edy kepada tribun timur.com, sore.

Tujuan LBH meminta SP2HP ke penyidik, agar mengetahui progres kasus ini sampai dimana, apakah terlapor sudah diperiksa?.

Kata Edy, seharusnya Polda Sulsel sudah menaikan status kasus ini ke penyidikan, mengingat kasus sudah sebulan di Polda. “Harusnya itu penyidik sudah menetapkan tersangka dalam kasus ini, karena tindak pidananya sangat terang,” ungkap Edy.

Karena menurut Edy, penyidik seharusnya juga menyampaikan perkembangan kasus ini, karena ini menyangkut nyawa orang. “Dan pelakunya juga sudah teridentifikasi melalui keterangan dua saksi yang sudah diambil keterangan kemarin,” tambah Edy.

Kasus meninggalnya Sugianto ini, diduga lantaran mendapat penyiksaan dari oknum aparat kepolisian dari Polres Bantaeng.

Karena menurut Edy, penyidik seharusnya juga menyampaikan perkembangan kasus ini, karena ini menyangkut nyawa orang. “Dan pelakunya juga sudah teridentifikasi melalui keterangan dua saksi yang sudah diambil keterangan kemarin,” tambah Edy.

Kasus meninggalnya Sugianto ini, diduga lantaran mendapat penyiksaan dari oknum aparat kepolisian dari Polres Bantaeng

Selain empat polisi, ternyata ada Sugianto. Dia (Sugianto) dalam keadaan terborgol, matanya Sugianto ditutupi dengan lakban. Bahkan, menurut penjelasan Aan didalam kronologi itu. Dia melihat ada beberapa luka memar warna hijau diwajah Sugianto.

Aan dan Sugianto pun dibawa menuju ke lorong rumah Sugianto. Disana, salah satu polisi memukul wajah Sugianto pakai batu. Tak lama kemudian, salah satu polisi pun turun dari mobil Avanza itu dan memanggil Iin, istri Sugianto yang berada di rumah.

Mendengar itu, Iin pun keluar dan menuju ke mobil itu. Tiba di mobil Avanza, korban Sugianto pun mengaku, Iin adalah istrinya.

Setelah itu mereka bergerak menuju Pos Polisi Terpadu di Jl Kartini, sementara Iin diminta ikut dengan menggunakan motor.

Dalam perjalan, di dalam mobil, Sugianto terus dipaksa mengaku, wajah dihantam menggunakan pantat pistol milik polisi. Sementara Aan tidak mengaku, karena ia tidak lakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya, Aan bahkan terus menangis.

Tiba di pos, keduanya dibawa masuk ke dalam ruangan. Aan buka sedikit lakban untuk mengintip situasi dalam ruang itu. Dalam ruangan itu, Ia lihat secara samar seorang membawa balok dan memukul Sugianto, dari bagian kepala hingga kaki.

Setelah itu, polisi berjumlah empat orang berinisial TR, KH, AM dan NK. Kemudian masuk ke ruangan memukuli Sugianto.

Disana juga terlihat seseorang Satpol PP yang sedang menyaksikan aksi keempat polisi itu, menghantam korban Sugianto.

Aan juga dipukuli, seorang polisi meminta Aan memukul Sugianto. Karena diancam Polisi, akhirnya ia ikut memukul Sugianto. Tapi pengakuan Aan, dia memukul korban Sugianto dengan pukul ringan. Karena itu, Aan dipukul oleh polisi dengan balok kayu.

Aan dipukul pada bagian tangannya, dan tangannya semakin membiru. Akhirnya lakban ditangan Aan pun dilepaskan polisi. Setelah itu, Aan dibawa oleh KH memakai mobil ke Mapolres Bantaeng. Setibanya di Polres, Aan dimasukkan ke sel tahanan.

Sementara Sugianto masih tinggal di Pos Polisi. Sekitar 04.00 Wita, Sugianto dibawa masuk ke sel tanahan tempat Aan berada.

Aan melihat Sugianto, itu dalam keadaan babak belur dan luka pada bagian betis dan lutut atas kanan, diduga luka tembak. Luka tembak tersebut tidak terjahit, hanya dibalut perban. Hampir satu jam, Sugianto terus berteriak kesakitan meminta obat.

Aan yang melihat seorang polisi di depan sel, memelas minta obat, namun polisi itu mengatakan, biarkan mati seorang pencuri. Tapi, seorang penjaga sel memberikan 1 biji obat Amoxilin, obat yang diberikan itu kemudian dimuntahkan oleh Sugianto. Seolah tubuh Sugianto tidak mau terima obat tersebut. Sugianto terus berteriak kesakitan, luka lututnya alami pendarahan.

Melihat Sugianto mengalami pendarahan, Aan kemudian berteriak kepada petugas agar membawa Sugianto ke Rumah Sakit. Seseorang polisi meminta salah seorang tahanan untuk mengangkat Sugianto ke dalam mobil, saat itu pukul 05.00 Wita.

Dari keteranga tahanan yang mengangkat Sugianto sudah tak sadarkan diri. Sempat dibangunkan, tetapi tidak sadarkan diri.

Pada Sabtu (9/11/2019) pagi pukul 07.00 Wita, Iin mendapat informasi dari seorang tukang becak, Sugianto telah meninggal. Sugianto meninggal di RSUD Bantaeng. Iin, bergegas menuju ke RSUD, tepat di UGD, Iin mendapati Sugianto tidak bernyawa lagi.

Salah seorang perawat menyampaikan kepada Iin, Sugianto dibawa ke RS sekitar 05.00 Wita, dengan tiga luka tembak.

 

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online makassar.tribunnews.com pada 27 Desember 2019

Categories
SIPOL slide

Aksi Kamisan ‘Santuy’ di Makassar Dibubarkan Paksa

Aliansi Rakyat Melawan Oligarki (RMO) menggelar aksi ‘Kamisan Santuy (santai)’ di pertigaan Jalan AP. Pettarani – Bluevard, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, berlangsung pukul, 16.00 WITA. Kamis, (26/12).

Terlihat aksi tersebut diikuti sekitaran 50-an orang massa, “Sesuai kesepakatan aliansi, aksi Kamisan Santuy ini hanya membentangkan spanduk dan petaka sambil bagi-bagi selebran. Kalau ada yang mau orasi itu kita sediakan toa, selebihnya menyanyi-nyanyi,” kata Wardah, Jenderal Lapangan (Jenlap).

Tuntutan Aliansi Rakyat Melawan Oligarki (RMO)

Mereka mendesak agar dituntaskan pelanggaran HAM masa lalu dan adili penjahat HAM; Pulihkan hak-hak korban segera; Hentikan perampasan hak Rakyat; Hentikan kriminalisasi Rakyat dan Aktivis HAM; Hentikan diskriminasi dan persekusi terhadap kelompok minoritas dan keberagaman SOGIESC.

Massa meminta agar dijalankan supremasi Sipil; Tolak TNI dan Polri menempati jabatan Sipil; Stop militerisme di Papua dan daerah lain, bebaskan tahanan politik (Tapol) Papua segera tanpa syarat; Menolak paket kebijakan yang tidak pro Rakyat – RKUHP, RUU pertambangan minerba, RUU pertanahan, RUU permasyarakatan, RUU ketenagakerjaan; mendesak disahkannya RUU PKS dan RUU perlindungan pekerja rumah tangga.

Hentikan pembakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera yang dilakukan oleh Korporasi, dan pidanakan Korporasi pembakar Hutan, serta cabut Izinnya; Hentikan pemberian grasi terhadap terpidana Koruptor.

Cabut PP 78 dan hentikan politik upah murah; Hentikan Tambang Bermasalah Di Sulawesi Selatan; Stop perampasan dan penggusuran Tanah Rakyat (Bara-Baraya, Kakatua, Petani Polongbangkeng Vs PTPN XIV).

Stop pelarangan jam malam di Kampus (UINAM, UNHAS, UMI, UNIFA, STIEM Bongayya); Hormati, lindungi dan penuhi Hak Perempuan Buruh Migran di Sulsel dan Hentikan reklamasi pantai Kota Makassar yang memiskinkan Perempuan.

Massa Aksi Kamisan Santuy Direpresif

Tak berlangsung lama, tiba-tiba kurang lebih 10 orang mendatangi demonstran, “Mereka meminta agar kami membubarkan diri. Sementara kami mencoba berkomunikasi secara persuasif dan menjelaskan tujuan aksi, yaitu kampanye kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi dalam rentan tahun 2019, serta gagalnya negara menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. Mereka merampas atribut aksi aksi kami, berupa spanduk dan poster, hingga sobek,” ujar Jenlap.

“Ormas yang mengaku sebagai Brigade Muslim Indonesia (BMI) datang dan menuduh kita Organisasi Papua Merdeka (OPM), karena mereka tidak sepakat kalau dikampnyekan pelanggaran HAM, khususnya yang di Papua,” terang Wardah.

Tak hanya itu,  kata Wardah, massa aksi Kamisan juga dituduh anti NKRI, “Padahal sebenarnya aksi ini berusaha mengkampanyekan pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia supaya kedepannya pemerintah belajar bahwasanya banyak kebijakan yang tidak pro-demokrasi,” pungkasnya.

Peran Aparat dalam menjaga kebebasan menyampaikan pendapat

Perwakilan LBH Makassar, Salman yang ikut dalam aksi tersebut mengatakan bahwa aparat kepolisian yang berada di lokasi justru terkesan lebih mengintervensi massa RMO, “Aparat meminta massa membubarkan diri, bukan malah mengamankan agar aksi tetap berlangsung secara damai,” kesalnya.

Salman menilai bahwa hal ini menunjukkan kepolisian tidak cukup profesional dalam menjalankan tugas pengamanan dan perlindungan terhadap kebebasan menyampaikan pendapat di hadapan umum.

“Terlebih kami sudah menyampaikan pemberitahuan aksi sejak tanggal 24 Desember 2019, lalu dalam Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998,” tegasnya.

Salman menerangkan, tindakan Ormas itu jelas melanggar Pasal 18 ayat (2) UU No.9/1998 yang menyatakan bahwa “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang telah memenuhi ketentuan Undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun,” imbuhnya.

Aliansi Rakyat Melawan Oligarki menyatakan sikap

Massa menyesalkan sikap anggota kepolisian di lapangan yang tidak tegas memberikan perlindungan dan cenderung melakukan pembiaran terhadap tindakan kekerasan dan intimidasi oleh sekelompok orang yang mendaku dari ormas BMI terhadap massa aksi yang melakukan aksi secara damai.

“Kepada Kapolrestabes Makassar untuk melakukan evaluasi dan mengambil tindak tegas atas dugaan pelanggaran etik dan disiplin anggota polisi dibawah jajarannya yang tidak memberikan perlindungan kepada aksi yang berlangsung secara damai,” tandas Jenlap.

Mereka mendesak Kepolisian melakukan proses hukum pidana terhadap oknum kelompok dan atau perorangan yang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap massa aksi.

“Inilah bentuk krisis demokrasi di Indonesia,” kunci Jenderal Lapangan.

 

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online suarajelata.com pada 26 Desember 2019

Categories
SIPOL slide

Misteri Kematian Tahanan Polres Bantaeng, Hari Ini Sang Istri Diperiksa Polisi

Hari ini Istri Sugianto, tahanan Polres Bantaeng yang diduga tewas dianiaya oknum polisi, bernama Iin dipanggil penyidik Polda Sulsel.

Hal ini diungkapkan oleh, Kuasa Hukum korban dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Edy Kurniawan, Minggu (1/12/2019). Ia mengatakan dalam kasus kematian Sugianto (22), sang istri akan dimintai keterangannya sebagai saksi Senin (2/12/2019) hari ini.

“Rencana Jam 13.00 Wita, Iin diperiksa oleh Penyidik,” ucap Edy Kurniawan.

Kata dia, selain Iin, rekan dari Sugianto yang ditahan di Polres Bantaeng, juga akan menjalani pemeriksaan sebagai saksi.

“Aan juga akan diminta keterangannya besok (hari ini.red). Kasus ini sudah dalam tahap proses penyelidikan,” tuturnya.

Diketahui kasus tersebut bermula saat korban Sugianto, diamankan aparat kepolisian Polres Bantaeng atas dugaan kasus tindak pidana pencurian.

Setelah diamankan, korban dibawa ke suatu tempat. Disana ia diduga mendapat penyiksaan dari aparat kepolisian untuk mengakui perbuatannya tersebut.

Sekitar pukul 04.00 Wita, setelah salat subuh, Sugianto dibawa polisi masuk ke dalam sel tahanan yang juga ditempati Aan. Aan melihat Sugianto dalam keadaan babak belur dan terluka pada bagian betis dan lutut atas kanan. Luka tersebut diduga merupakan luka tembak yang tidak terjahit, hanya dibalut perban.

Hampir satu jam, Sugianto terus berteriak kesakitan meminta obat. Aan yang melihat seorang polisi di depan ruangan kemudian memelas meminta obat, namun polisi tersebut hanya mengatakan “Seorang pencuri, biarkan saja mati”

Tak berlangsung lama, seorang penjaga sel memberikan 1 biji obat merek Amoxilin. Namun obat yang diberikan
dimuntahkan kembali. Seolah tubuh Sugianto tidak mau menerima obat tersebut, ia pun terus menjerit kesakitan dan terus mengeluarkan darah hitam yang kental.

Saat itupun salah satu tahanan diminta untuk mengangkat sugianto ke atas mobil dan dibawa ke rumah sakit dengan keadaan yang sudah tidak sadarkan diri.

Sekitar pukul 07.00 Wita salah seorang tukang becak mengabarkan kepada pihak keluarga bahwa Sugianto telah meninggal dunia dan sudah berada di RSUD Bantaeng.

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online inikata.com pada 2 Desember 2019

 

Categories
SIPOL slide

Tahanan Meninggal Diduga Disiksa Polisi, LBH Makassar Bersurat ke Presiden

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar menyangkan sikap Kepolisian Resort (Polres) Bantaeng yang diduga melakukan penyiksaan terhadap salah satu pencurian hingga meregang nyawa didalam sel tahanan.

Tim Penasehat Hukum korban, Edy Kurniawan mengatakan, pihaknya menganggap sikap Polres Kota Bantaeng sangat bertentang dengan Norma Hak Asasi Manusia (HAM).

“Menyiksa orang yang dalam kondisi tak melawan meski korban diduga adalah pencuri,” jelasnya, Minggu (14/11/2019).

Olehnya, itu pihaknya akan menyurati pihak Presiden RI, Joko Widodo agar memerintahkan Kapolri, Idham Azis segera turun tangan menyelidiki kasua tersebut.

“Terkait meninggalnya Sugianto besok kami akan surat lembaga negara dalam hal ini, Presiden agar memerintahkan segera Kapolri turun tangan usut ini,” ucapnya.

Kata dia, hingga saat ini pihaknya telah melaporkan kejadian tersebut kepihak Kepolisian Daerah (Polda) Sulsel untuk melakukan penyelidikan terkait hal tersebut dan menindaki para oknum polisi penyiksa tersebut.

“Kami mendorong penegakan hukum, HAM dan demokrasi mendesak Kabareskrim Polri dalam hal ini Reskrim Polda Sulsel, untuk segera turun tangan melakukan penyelidikan, penyidikan terkait peristiwa,” tuturnya.

Diketahui kasus tersebut bermula saat korban bernama Sugianto (22) diamankan aparat kepolisian Polres Bantaeng atas dugaan kasus tindak pidana pencurian.

Saat diamankan, pelaku dibawah disuatu tempat dan diduga dilakukan penyiksaan oleh aparat kepolisian untuk mengakui perbuatannya tersebut.

Sekitar pukul sekitar pukul 04.00 Wita, setelah shalat subuh, Sugianto dibawa polisi masuk ke dalam sel tanahan tempat Aan berada.

Aan melihat Sugianto dalam keadaan babak belur dan luka pada bagian betis dan lutut atas kanan, diduga luka tembak dan luka tersebut tidak terjahit, hanya dibalut perban.

Hampir satu jam, Sugianto terus berteriak kesakitan meminta obat. Aan yang melihat seorang polisi di depan ruangan kemudian memelas meminta obat, namun polisi tersebut hanya mengatakan biarkan saja mati seorang pencuri.

Lalu seorang penjaga sel memberikan 1 biji obat Amoxilin, namun obat yang diberikan
dimuntahkan kembali, seolah tubuh Sugianto tidak mau menerima obat tersebut dan terus menjerit kesakitan dan terus mengeluarkan darah hitam yang kental.

Saat itupun salah satu tahanan diminta untuk mengangkat sugianto keatas mobil dibawah kerumah sakit dengan keadaan yang sudah tidak sadarkan diri.

Sekita pukul 07.00 wita yang dikabarkan oleh seorang tukang becak sugianto telah meninggal dunia dan sudah berada dirumah sakit RSUD Bantaeng.

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online inikata.com pada 24 November 2019