Categories
Perempuan dan Anak slide

Apa Kabar Kasus Dugaan Ayah Cabuli Anak di Lutim?

Haswandy Andy Mas/Direktur YLBHI-LBH Makassar

 

Kasus dugaan ayah yang cabuli anak kandung di Luwu Timur (Lutim) masih menunggu gelar perkara. Polres Lutim bersama Polda Sulsel rencananya melakukan gelar perkara pekan depan.

Jadwal pastinya belum ditentukan. Ibu korban bergantung terhadap hasil gelar perkara tersebut. Sebab, dari hasil gelar perkara itu, nantinya kasusnya bisa dibuka dan dilanjutkan penyelidikannya hingga penyidikan.

Kasus ini sudah pernah bergulir di Polres Lutim, namun menghentikan penyelidikan. Sebab, menurut Polres Lutim tidak ada bukti-bukti yang mengarah terjadinya pencabulan terhadap tiga anak itu.

Pendamping hukum korban, masih optimistis kasus ini bisa dibuka kembali dan dilanjutkan ke tahap penyidikan serta menetapkan tersangka dalam kasus itu. Sebab, tiga bocah yang diduga jadi korban masih trauma atas kejadian itu.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, sekaligus koordinator tim pendamping hukum korban, Haswandy Andi Mas pun meminta dilibatkan dalam proses gelar perkara.

Pendamping hukum korban pun telah menyiapkan visum pembanding, yang membuktikan bahwa ketiga bocah itu telah menjadi korban sodomi.

“Kita juga menyiapkan tim ahli yang menguatkan korban,” kata Haswandy.

Selain itu, pendamping hukum korban sudah sangat yakin bahwa unsur gelar perkara kasus ini telah sepenuhnya terpenuhi. Sehingga diharapkan Polda Sulsel segera menetapkan jadwal untuk gelar perkara.

“Unsur gelar perkara terpenuhi tertuang jelas dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana,” paparnya.

Kabid Humas Polda Sulsel Kombes Pol Ibrahim Tompo mengungkapkan alasan sehingga belum dilakukannya gelar perkara oleh penyidik krimum karena berbenturan dengan sejumlah agenda internal.

“Tidak ada kendala. Cuma memang masalah schedule saja,” paparnya.

 

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online news.rakyatku.com pada 18 Januari 2020

Categories
Perempuan dan Anak slide

Sejumlah Ahli Dilibatkan Advokasi Kasus Pencabulan 3 Bersaudara di Lutim

Kasus dugaan pencabulan tiga bersaudara oleh ayah kandungnya berinisial Sa (43) di Kabupaten Luwu Timur (Lutim) menjadi atensi sejumlah pihak. Hal itu diungkapkan oleh Ketua Tim Advokasi, Haswandy Andi Mas, yang menyebut pihaknya akan melibatkan banyak saksi ahli dalam mengawal perkara tersebut.

Haswandi yang juga Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar menyebut saat ini pihaknya tengah menyiapkan saksi ahli dari berbagai latar belakang profesi. Pihaknya juga mencari bukti baru guna melanjutkan kasus yang sudah dihentikan Polres Lutim melalui penerbitan SP3.

“Ahli dari berbagai segmentasi keilmuan, baik psikolog, medis, ahli hukum terkait anak dan perempuan yang berpengalaman menangani kasus seperti itu. Untuk sementara masih di Makassar, tapi ada dukungan dari pihak lain, ada lembaga internasional yang ada perwakilan di sini, itu siap membantu menyediakan saksi ahli,” kata Haswandi.

Dia menyebut kisah pilu yang menimpa tiga bocah di bawah umur masing-masing, Al (8), Mr (6) dan Az (4) terus menjadi perhatian sejumlah pihak bahkan ke LBH Jakarta.

Sejumlah lembaga pemerhati anak sudah menyatakan kesiapan mengadvokasi kasus ini. Di antaranya yakni LBH APIK Makassar, LBH Makassar, LBH PPA Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulsel dan Institut Community Justice (ICJ) Makassar.

Termasuk Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Sulawesi Selatan dan P2TP2A Makassar. Saat ini Ibu tiga anak malang itu, R (41) tengah berada dalam pengawasan P2TP2A Sulsel. “Korban di P2TP2A Provinsi (Sulsel) sekarang, tapi tetap P2TP2A Makassar tidak lepas tengan karena awal laporannya di situ. Namun dikembalikan ke provinsi karena kewenangannya di sana,” ungkapnya.

Sejauh ini upaya timnya untuk meminta Polda Sulsel mengambil alih kasus rudapaksa oleh ayah kandung mulai menemui titik terang. Gelar perkara kasus tersebut akan dilakukan di Mapolda Sulsel.

Hasil visum terbaru, kata Haswandy sudah diserahkan ke Penyidik Ditreskrimum Polda Sulsel, namun hasil visum itu belum bisa dibeberkan ke publik. Terkecuali saat gelar perkara nantinya.

 

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online makassar.sindonews.com pada 30 Desember 2019

Categories
Perempuan dan Anak slide

Difasilitasi LBH, Kasus Dugaan Sodomi Ayah Kandung Diambil Alih Polda Sulsel

Haswandy Andy Mas/Direktur YLBHI-LBH Makassar

 

SP3 yang diterbitkan Polres Luwu Timur tak menghentikan kasus dugaan sodomi oleh ayah kandung. Kini, kasus tersebut tengah berproses di Polda Sulsel.

Kasus tersebut kini didampingi dan difasilitasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar.

“Akan dilakukan gelar perkara ulang oleh Polda. Rencana akan dilakukan pada bulan Januari,” ungkap Direktur LBH Makassar, Haswandi Andy Mas, Rabu (25/12/2019).

Dia mengatakan, kasus ini didampingi LBH Makassar setelah ibu dan korban datang ke kantornya.

“Pengakuan ibu korban dan korban sendiri, kami terima sebagai sebuah keterangan pencari keadilan. Harus kami terima sebagai fakta. Hanya memang harus dibuktikan secara hukum,” tambahnya.

Kasus ini sebelumnya diproses Polres Luwu Timur. Namun, penyelidikan akhirnya dihentikan lantaran penyidik tak menemukan cukup bukti pidana.

“Untuk itu kami akan berupaya untuk membuktikan keterangan korban dan ibunya. Sesuai mekanisme dan peluang hukum yang sesuai peraturan perundang-perundangan,” lanjut Haswandi.

Dari pengakuan korban, terjadi dugaan pelecehan seksual. Hanya saja, Haswandi enggan menjelaskan secara detail, korban mana yang mengaku mengalami pelecehan seksual.

“Yah terjadi pencabulan. Itu saya tidak bisa uraikan karena bukan saya yang wawancarai. Kalau upaya hukum dan perkembangannya memang ke kami sebagai yang mendampingi. Tapi kalau wawancara mendalam terkait keterangan korban adalah P2TP2A,” tambahnya.

Koordinator Tim Reaksi Cepat (TRC) P2TP2A Makassar, Makmur mengatakan, pihaknya masih menunggu kelanjutan kasus tersebut di Polda.

Sambil menunggu kasus ini terus berjalan, Makmur mengatakan pihaknya mengamankan ibu dan para korban.

“Kami mengamankan korban bersama bundanya di rumah yang aman. Supaya perlindungannya kita bisa pantau. Kalau di mes Lutim tinggal, bahaya. Jangan sampai ada orangnya terlapor ke Makassar atau keluarganya,” tambah Makmur.

 

 

Catatan: Berita ini telah terbit dimedia online news.rakyatku.com pada 25 Desember 2019

Categories
Perempuan dan Anak

LBH Terima 20 Aduan Terkait Kekerasan pada Anak dan Perempuan

Sepanjang 2018, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar menerima sebanyak delapan pengaduan tentang kasus kekerasan terhadap anak dan 12 kasus kekerasan terhadap perempuan.

Dari laporan yang masuk tersebut, LBH Makassar juga mendampingi setidaknya enam kasus, dengan spesifikasi kekerasan seksual terhadap perempuan baik dewasa maupun anak perempuan dan empat kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), yang dilakukan suami/laki-laki.

Staf Divisi Perlindungan Anak dan Perempuan LBH Makassar Rezky Pratiwi, menyatakan, pihaknya masih menemukan adanya persoalan berupa korban yang takut melapor.

Persoalan lain adalah aparat penegak hukum belum memiliki perspektif yang memadai dalam hal memenuhi hak-hak korban kekerasan seksual, kemudian memberikan beban pembuktian pada korban, dan kurangnya dukungan untuk pemulihan korban.

“Berdasarkan data hambatan-hambatan yang ada yakni korban takut melapor karena adanya intimidasi dari pelaku maupun lingkungan yang tidak mendukung korban untuk melapor,” ungkapnya saat merilis Catatan Akhir Tahun 2018 di kantornya, Jl. Pelita Raya, Senin (31/12/2018).

Hal lain yang menjadi perhatian LBH Makassar adalah terkait masih rendahnya kesadaran hukum masyarakat dalam membantu pengungkapan kasus, pihak kepolisian juga belum memiliki perspektif yang memadai.

“Aparat kepolisian belum responsif terhadap kondisi korban ataupun tidak secara cepat memberikan perlindungan,” tegasnya.

Dia menilai, hingga saat ini, perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum, masih sulit mendapatkan haknya untuk diperlakukan sama di depan hukum.

“Seperti kasus yang kami tangani yang terjadi di salah satu kampus ternama, korbannya seorang cleaning service. Korban mendapatkan intimidasi berupa ancaman untuk diberhentikan,” terangnya.

Melihat semua hal tersebut, LBH Makassar mendesak untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai instrumen hukum yang responsif terhadap korban.

(sebelumnya berita ini telah di muat di media online sinarkata.media pada 31 Desember 2018)

Categories
Perempuan dan Anak SIPOL slide

Balita Korban Pencabulan Kembali Diperiksa oleh Polres Gowa

Minggu, 23 Juli 2017, Penyidik Polres Gowa melakukan pemeriksaan tambahan terhadap SN (usia 3 tahun), seorang korban pencabulan di Kab. Gowa, dengan didampingi keluarganya dan PBH LBH Makassar selaku Penasehat Hukum korban. Pemeriksaan tersebut dilakukan guna melengkapi alat bukti, setelah pihak Polres Gowa melakukan Gelar Perkara kasus ini pada Rabu, 12 Juli 2017 lalu. Selain memeriksa korban, Penyidik juga melakukan pemeriksaan tambahan terhadap saksi HJ (Ibu Korban).

Kasus yang tengah ditangani oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Gowa ini berawal dari pelaporan HJ atas adanya peristiwa pencabulan yang dilakukan oleh DT (50 tahun) terhadap korban. Terlapor DT yang adalah tetangga korban, juga masih memiliki hubungan kekerabatan, diduga melakukan perbuatan cabul terhadap SN di rumahnya pada sekitar bulan Maret 2017.

Ibu korban pencabulan mengadu ke LBH Makassar
Ibu korban pencabulan mengadu ke LBH Makassar

Penyidik Polres Gowa berencana akan segera merampungkan alat bukti yang dibutuhkan agar dapat meningkatkan status perkara ini dari Penyelidikan menjadi penyidikan. Salah satunya dengan melakukan pemeriksaan psikolog terhadap korban. Hasil pemeriksaan tersebut nantinya dijadikan sebagai salah satu alat bukti yang akan dilampirkan dalam berkas perkara.

Adanya laporan tersebut membuat terlapor diancam dengan tindak Pidana Cabul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E UU No. 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yakni “Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Jo. Pasal 82 ”Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”. ketentuan ini dapat dikenakan pemberatan dengan pidana tambahan berupa pidana tambahan 1/3 dari pidana Pokok, pengumuman identitas pelaku, serta rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.[]

Penulis: Abdul Azis Dumpa (PBH LBH Makassar)

Categories
Perempuan dan Anak SIPOL slide

LBH Pers dan ICJR AjukanKeterangan Tertulis Sebagai Amicus Curiae di Kasus Yuniar

Mendekati akhir proses perkara Yusniar di pengadilan, LBH Pers dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengajukan Keterangan Tertulis Sebagai Amicus Curiae dalam perkara tersebut ke PN Makassar. Amicus Curiae atau Sahabat Pengadilan, merupakan pihak yang berkepentingan terhadap suatu perkara yang memberikan pendapat berdasarkan kapasitasnya atas perkara tersebut ke pengadilan. Meskipun pendapatnya diberikan agar dapat dipertimbangkan oleh hakim, posisi Amicus Curiae berada di luar dari para pihak dalam perkara.

Praktik terhadap konsep yang berkembang dalam tradisi common law ini di Indonesia dapat dilihat dalam sejumlah kasus, diantaranya; kasus peninjauan kembali kasus Majalah Time versus Soeharto, kasus peninjauan kembali praperadilan atas Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) Bibit-Chandra, kasus penggusuran Papanggo, Jakarta Utara, kasus Prita Mulyasari, serta kasus Upi Asmaradana.

Kasus Yusniar sendiribergulir setelah Yusniar dilaporkan oleh Sudirman Sijaya, anggota DPRD Kota Jeneponto yang tersinggung atas status Facebook Yusniar yang ditulis pada 14 Maret 2017. Status Facebook tersebut dibuat Yusniar setelah peristiwa pengrusakan rumahnya oleh sejumlah orang yang dikomandoi oleh Sudirman Sijaya. Adapun proses perkara Yusniar telah sampai pada pembacaan nota pembelaan tim penasehat hukum di pengadilan (22/2), dan akan dilanjutkan pada Rabu, 8 Maret 2017 dengan agenda pembacaan replik jaksa penuntut umum.[]

Categories
Perempuan dan Anak slide

Ketuk Badan Mobil Karena Kakinya Terinjak Ban, Mahasiswi Dianiaya Pengemudi Hingga Masuk Rumah Sakit

putri

Putri (22 tahun) beberapa kali terlihat meringis kesakitan ketika dimintai keterangan tambahan oleh tim penyidik Polsek Panakukkang yang datang ke Rumah Sakit Pelamonia Makassar, Senin (8/8). Sudah lebih sebulan Putri tidak dapat beraktivitas secara normal karena rasa sakit yang dideritanya pasca penganiayaan terhadapnya pada 2 Juli 2016 lalu. Putri selaku korban sempat diantar petugas untuk melakukan visum setelah membuat laporan polisi di Rumah Sakit Grestelina Makassar, akan tetapi besar kemungkinan untuk dilakukannya visum lanjutan mengingat dampak dari penganiayaan tersebut mengharuskan korban dirawat di rumah sakit.

Berdasarkan keterangan Putri, kejadian terjadi di Jalan Mira Seruni Kota Makassar sekitar pukul 17.00 WITA. Kondisi jalan saat itu sedang macet sehingga Putri, yang saat itu hendak menuju ke Jalan Pengayoman, mengendarai sepeda motornya dengan pelan. Kafrawi Rahman (pelaku/terlapor) yang berada di sisi kiri korban melintas sehingga ban mobil yang ia kemudikan menginjak kaki korban. Korban lalu mengetuk badan mobil dan meminta terlapor memajukan mobilnya karena kakinya terinjak. Namun terlapor justru memundurkan mobilnya, korban yang kakinya semakin terjepit reflek mendorong spion mobil terlapor dan menarik kakinya. Tiba-tiba terlapor keluar dari mobil dan langsung memukul kepala korban hingga korban tersungkur. Belum sempat korban bangkit terlapor langsung menginjak dan menendang korban pada bagian belakang mulai dari kepala, punggung, hingga kaki, juga bagian dada dan perut korban, berkali-kali. Orang-orang pun berdatangan berusaha menahan terlapor, bersama korban ia dibawa ke Polsek Panakukkang untuk diperiksa.

Sebelumnya tim penasehat hukum Putri dari LBH Makassar telah melakukan koordinasi dengan penyidik, termasuk mengirim surat permintaan SP2HP beserta protes pada 2 Agustus lalu dikarenakan tim penyidik dinilai tidak melakukan pelayanan informasi penyidikan secara cepat dan tepat waktu.[Pratiwi]

Categories
Perempuan dan Anak slide

Kekerasan terhadap anak di sekolah, Ibu korban mengadukan ke LBH Makassar

Jumat, 29 April 2016 di Kantor LBH Makassar, seorang Ibu mengadukan seorang guru dari sebuah sekolah negeri di Kabupaten Gowa karena telah menampar dan memukul bagian paha anaknya (9 thn) dengan penggaris sebagai bentuk hukuman karena anak korban tidak menepati janjinya kepada teman kelas. Tidak hanya itu, belum cukup dirasa hukuman yang diberikan, anak korban juga dipermalukan dengan cara menyinggung status sosial orang tuanya di depan kelas dan disuruh mengangkat kakinya hingga jam pulang sekolah. Jadi, anak korban mendapat kekerasan fisik dan psikis dalam waktu yang bersamaan dari gurunya. Atas perlakuan tersebut, anak korban demam, takut ke sekolah dan hingga saat ini anak korban dan ibunya mendapat tekanan dari berbagai pihak. Aduan tersebut tentu menambah daftar panjang kasus kekerasan terhadap anak di Sulawesi Selatan.

Masih segar di ingatan kita kasus pelajar yang melaporkan gurunya di daerah Bantaeng, Sulawesi Selatan. Kasus tersebut menjadi viral di berbagai media online beberapa bulan terakhir. Anda bahkan dapat menemukan meme kasus tersebut dengan mudah. Masyarakat ramai mengomentari bahkan beberapa komentar begitu menyudutkan anak korban. Pasalnya hanya karena cubitan, seorang guru lalu dilapor polisi. Banyak yang menganggap kekerasan semacam itu adalah hal yang wajar dalam dunia pendidikan. Toh mereka sendiri dulu pernah menjadi korban kekerasan guru di sekolah namun tidak mempermasalahkannya. Bahkan beberapa orang meyakini bahwa kekerasan dibutuhkan untuk membentuk mental yang tidak lemah pada murid-murid sejak dulu. Tentu saja, argumentum ad antiquitatem semacam ini tidak berdasar. Belum ada bukti ilmiah yang menyatakan keberhasilan atas argumen tersebut. Budaya kekerasan tidak akan menghasilkan apa-apa.

Perlu diketahui bahwa salah satu hak dasar anak adalah mendapatkan perlindungan dari kekerasan. UU Perlindungan Anak menjamin hal tersebut bahkan secara spesifik Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mewajibkan pendidik, tenaga kependidikan, aparat atau masyarakat untuk memberikan perlindungan di dalam dan di lingkup satuan pendidikan dari tindak kekerasan fisik, psikis, seksual dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik dan/atau pihak lain. Isu kekerasan dalam satuan pendidikan juga ditanggapi serius oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI melalui Permendikbud RI No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Permen tersebut diharapkan mampu meningkatkan penyelenggaraan pembelajaran yang aman, nyaman dan menyenangkan bagi murid.

Berangkat dari hal tersebut di atas, LBH Makassar merespon aduan tersebut dengan memberikan pendampingan terhadap anak korban. Saat ini, kasus anak korban tersebut telah sampai pada tahap pelimpahan berkas pada pihak kejaksaan. Diharapkan kasus ini dapat segera disidangkan dan mendapatkan putusan yang seadil-adilnya agar dapat menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa mewajarkan kekerasan dalam lingkup pendidikan hanyalah sebuah excuse dari keputusasaan pendidik untuk mencari dan menerapkan metode pendidikan yang inklusif.

————————————-

Pasal 54 UU No 35 TAHUN 2014 tentang PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK: (1). Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak Kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. (2). Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau Masyarakat

Categories
Perempuan dan Anak

Pengacara LBH-Makassar mendampingi orang tua korban melapor di Unit PPA Polres Pangkep

DSC_1265

Kab. Pangkep (5/9/2015). Tim Pengacara LBH – Makassar bersama orang tua korban melaporkan Wakil Kepala sekolah  salah satu SLTP Kec. Balocci Kab. Pangkep, ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Pangkep  dengan laporan Pelecehan terhadap Anak. Pada saat melapor orang tua korban didampingi Pengacara LBH Makassar yaitu Aulia Susantri, SH dan Ayu Husnul Hudayah,SH dan Ainil Ma’sura,SH sedangkan dari Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Propinsi Sulsel diwakili oleh Ibrahim,SH.  Awalnya orang tua korban mengetahui Kejadian tersebut pada saat korban tida mau lagi masuk sekolah, setelah diinterogasi oleh  ibunya barulah korban bercerita penyebab ia tidak berani masuk sekolah.

Sebelum melapor ke Unit PPA Polres Pangkep, Pengacara LBH Makassar yang diwakili Aulia Susantri, SH dan Ayu Husnul Hudayah,SH bersama Perwakilan (P2TP2A) Propinsi Sulsel telah menemui korban pada hari Selasa, (25/8) di Kec. Balocci Kab. Pangkep, guna mengumpulkan bukti  dan keterangan saksi saksi yang menguatkan laporan korban.

Korban ZA (14 th) mengalami tindakan pelecehan berulang kali dengan modus diminta oleh Pelaku untuk piket membersihkan ruanganya dimana pelaku yang juga menjabat sebagai  wakil Kepala sekolah, orangtua korban juga menjelaskan bahwa pihak sekolah tidak  memberikan upaya perlindungan terhadap korban terbukti ketika orang tua korban meminta pertanggung jawaban dari pihak sekolah justru pihak sekolah  menyarankan agar korban pindah sekolah.

Pengacara LBH Makassar bersama Perwakilan P2TP2A Propinsi Sulsel dan P2TP2A Kab. Pangkep akan terus mengawal proses hukum yang menimpa ZA dan memperjuangkan hak-hak hukum korban. ** [Ainil Ma’sura]

DSC_1267aDSC_1269a

Categories
Perempuan dan Anak

Tim Advokasi Korban Pelecehan Seksual Anggota DPRD Majene Tuntut Penuntasan Kasus

IMG_20150414_170059Kasus pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh Asriadi, SH salah satu Anggota DPRD Kab. Majene, terkuak ke publik saat Asriadi dilaporkan ke Polres Majene oleh perempuan korban yang berinisial NA (22 tahun)  staf honorer di Kantor DPRD Kab. Majene Sulawesi Barat. Korban telah melaporkan pelecehan seksual yang dialaminya sejak 28 Januari 2015 lalu, namun dalam perkembanganya laporan tersebut masih dalam status penyelidikan dan terlapor sampai saat ini belum ditetapkan menjadi tersangka oleh Penyidik Polres Majene.

Pelecehan seksual yang dialami oleh NA terjadi pada 26 Januari 2015, tepatnya hari Senin sekitar pukul 15.30. wita. Saat itu korban dan beberapa staf anggota DPRD Kab. Majene menemani 2 Anggota DPRD Kab. Majene atas nama Asriadi, SH dan Antoni dalam rangka kunjungan kerja ke Kab. Mamuju. Pelecehan seksual  yang menimpa korban terjadi di dalam mobil, di daerah sekitar Tappalang dalam perjalanan pulang dari Kab. Mamuju menuju Kab. Majene.

Penyidik Polres Mejene belum meningkatkan laporan tersebut  ke proses Penyidikan dengan alasan belum cukup bukti untuk ditingkatkan proses hukumnya. Penyidik telah mengambil keterangan korban dan saksi-saksi yang pada saat itu berada satu mobil dengan korban, namun diduga saksi-saksi yang diambil keterangannya menyembunyikan fakta-fakta yang sebenarnya karena memiliki relasi yang cukup dekat dengan terlapor.

Elemen Pemuda dan Mahasiswa Sulbar Bentuk AMPERA

Selain membentuk tim hukum, untuk mengawal proses hukum di Polres Majene berjalan secara adil dan objektif maka pemuda dan mahasiswa Sulawesi Barat memutuskan membentuk aliansi untuk mengawal penuntasan kasus tersebut. Langkah ini juga ditempuh sebagai bentuk keprihatinan masyarakat Majene atas kasus-kasus sejenis yang dilaporkan sebelumnya dan tidak mendapat tindaklanjut yang memadai. Hal tersebut juga menjadi suatu bentuk akumulasi kekecewaan atas laporan kasus hukum terhadap Asriadi sebelumnya yang juga tidak pernah diusut tuntas.

Tahun lalu tepatnya, 19 April 2014, Asriadi juga dilaporkan ke Polres Majene terkait dengan dugaan menyetubuhi anak  di bawah umur. Saat itu, yang melapor adalah korban dan orang tuanya langsung. Atas laporan tersebut, Polres Majene menetapkan Asriadi, SH sebagai tersangka dengan dugaan melanggar pasal 81 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Namun, dalam perkembanganya laporan tersebut dihentikan penyidikannya oleh Polres Majene, dengan alasan korban telah mencabut laporannya di Polres Majene dan penyidik tidak mengetahui lagi keberadaan korban. Walau ada informasi lain, korban mencabut laporannya karena Asriadi berhasil membujuk keluarga korban untuk mencabut laporan dengan memberikan imbalan puluhan juta rupiah.

Padahal laporan tentang menyetubuhi anak di bawah umur bukan merupakan delik aduan, sehingga proses hukum tidak boleh dihentikan dengan adanya pencabutan laporan oleh Korban dan keluarganya. Namun, penyidik Polres Majene menghentikan proses hukumnya.

Sebagai bentuk keprihatinan dan kekecewaan terhadap Polres Majene atas penanganan kasus hukum Asriadi, yang tidak bisa dijerat oleh hukum dan proses penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di Polres Majene yang tidak berpihak kepada korban dan rasa keadilan masyarakat Majene, beberapa elemen pemuda dan mahasiswa di Sulbar membentuk Aliansi Mahasiswa Pemuda Untuk Perjuangan Rakyat (AMPERA). Aliansi akan mengawal agar kasus hukum Asriadi yaitu dua kasus yang dilaporkan pelecehan seksual dan kasus kekerasan terhadap anak diproses secara adil dan profesional.

Sementara untuk mengawal proses hukum dan pendampingan hukum korban kekerasan seksual di Kab. Majene, LSM dan OBH telah membentuk Tim Hukum. Tim Hukum terdiri dari LBH-APIK, LBH-Makassar, FIK ORNOP, YLBHM, LBHP2i dan ICJ. Tim ini dibentuk untuk menyikapi laporan dan permintaan korban dan AMPERA, agar bisa mengawal kasus tersebut terutama dari sisi pendampingan hukumnya. Untuk menguatkan laporan korban, tim hukum telah berkoordinasi dengan penyidik Polres Majene agar bukti SMS yang pernah dikirimkan kepada korban beberapa saat setelah peristiwa, yang bisa menguatkan laporan korban, segera diminta di Grapari Telkomsel Makassar.

Perwakilan tim hukum korban NA yang juga Pekerja Bantuan Hukum LBH Makassar, Suharno, SH dan Ayu Husnul Hudayah, SH telah bertemu dengan penyidik yang menangani kasus pelecehan seksual di Polres Majene dan mempertanyakan perkembangan kasus yang dilaporkan, tanggal 7 April 2015 lalu. Informasi dari Penyidik, laporan belum ditingkatkan ke Proses Penyidikan karena semua saksi yang berada satu mobil dengan korban tidak menguatkan keterangan korban. Pihak Telkomsel juga kabarnya telah menolak permintaan penyidik terkait  Data Call Record (DCL) karena tidak memiliki alasan hukum yang kuat.

Belum adanya perkembangan yang berarti dari hasil penyelidikan Polres Majene, serta beberapa kendala lainya, Tim Hukum memastikan membicarakan kembali langkah-langkah hukum yang harus dilakukan agar laporan tersebut  bisa ditingkatkan ke proses Penyidikan. Kampanye penuntasan semua kasus pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan di Sulbar juga akan terus-menerus digalakkan oleh aliansi.[Suharno]