Categories
EKOSOB slide

Simalakama UUP3H dan Penetapan Kawasan Hutan Soppeng Kembali Menjerat Petani Kecil

Natu’, Ario dan Sabang didampingi Penasehat Hukum di Kantor Kejaksaan Negeri Watansoppeng

 

Setelah enam bulan berproses di Kantor Kepolisian Resort (Polres) Soppeng, kini berkas perkara Satu Keluarga Petani asal Kampung Ale Sewo, Kelurahan Bila, Kecamatan Lalabata, yang dijerat UUP3H telah diserahkan atau dilimpahkan ke tahap 2 (P21) ke Kejaksaan Negeri Watansoppeng, Selasa (01/09/2020).

Mereka adalah Wa’ Natu (75), Ario Permadi (31), Sabang (47), warga kampung Ale Sewo yang sehari-hari bekerja sebagai petani, dilaporkan oleh Dinas Kehutanan Kab. Soppeng atas dugaaan tindak Pidana “melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang”, sebagaiman dalam rumusan Pasal 82 Ayat (1) huruf b Jo Pasal 12 huruf b dan/atau Pasal 82 Ayat (2) Undang-Undang RI No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan (UUP3H).

Pada bulan januari 2020 Wa’ Natu bersama anaknya – Ario Permadi menebang pohon jati di bantu oleh seorang paman Ario yaitu Sabang, dikebun seluas ±26 are yang diwariskan oleh orang tuanya – Takka. Pohon jati ini ditanam oleh Takka sewaktu masih hidup. Kebun ini dulunya pernah ditanami padi ladang dan jenis tanaman lainnya, namun karena struktur tanah yang berbatu membuat hasilnya kurang produktif, sehingga Almarhum Takka memutuskan menanan pohon Jati. Dari kebun jati inilah, keluarga Takka mengambil kayu bakar untuk keperluan acara hajatan seperti pernihanan, khitaman dll, termasuk 2 (dua) saudara Natu membangun rumah dari hasil kayu yang bapaknya tanam.

Ario Permadi sejak menikah masih tinggal dirumah Natu’, yang berada di Kampung Ale Sewo, Kelurahan Bila. Rumah berdinding bambu yang ia tempati sudah dibangun sejak tahun 1982, bahkan Ario lahir dirumah tersebut pada tahun 1988, di sebelah utara sekitar 20 m, masih terdapat Rumah kayu kecil peninggalan Kakeknya –Takka. Di rumah tersebut masih tinggal 2 adik laki-lakinya yang belum berkeluarga. Merasa sudah harus lebih mandiri, terlebih telah memiliki 2 anak perempuan, Ario berencana membangun rumah di sebelah rumah Kakaknya, yang juga masih merupakan tanah kebun peninggalan kakeknya.

Sebagaimana kebiasaan orang Bugis Soppeng, dengan ciri khas rumah kayu. Kayu Jati yang ditanam Kakeknya rencananya akan diolah menjadi bahan perkakas rumah. Pada Bulan Januari ia bersama bapaknya – Natu’ bin Takka kemudian mengerjakan bahan-bahan rumah Ario, mulai dari membuat tiang rumah, pasak, balok dll. Kayunya diambil dari menebang Jati di kebun yang berada di pinggir jalan Ale Sewo yang belum lama di beton melalui program PMPN Mandiri. Jarak kebun ke lokasi rencana rumah akan didirikan berjarak sekitar 50 m, dan sekitar 100 dari rumah Natu’.

Natu’ (75) menandatangani Berita Acara Penyerahan Berkas Perkara Tahap 2 (P21) di Kantor Kejaksaan Negeri Watansoppeng

 

Natu’ termasuk warga Negara yang taat membayar pajak, termasuk pajak kebun Jati yang ia tebang kayunya. Dari bukti SPPT yang tersimpan, tercatat sejak tahun 1997 hingga terakhir 2020, pajaknya masih aktif dibayarkan. Makanya ia sangat kaget saat mendapat panggilan oleh Polres Soppeng dan dituduh melakukan perbuatan Pidana. Apalagi selama ini ia memang tidak mengetahui bahwa wilayah tersebut telah ditetapkan sebagai kawasan Hutan lindung. Pun mendengar kebun dan rumahnya masuk kawasan hutan sontak membuatnya heran dan bertanya-tanya.

Jika dicek Peta kawasan Hutan Kab. Soppeng melalui GPS, berdasarkan perubahan peruntukan fungsi kawasan hutan dan penunjukan bukan kawasan menjadi Kawasan hutan di provinsi Sulawesi Selatan dalam SK 362 /Menlhk/setjen PLA.0/ 05/ 2019, kebun Natu dan Rumah-rumah di Kampung Ale Sewo termasuk rumah Natu dan keluarganya telah masuk klaim kawasan hutan. Sementara itu, mereka tidak pernah mengetahui dan diberi tahu bahwa kebun dan tanah-tanah mereka kuasai secara turun temurun telah dimasukkan klaim kawasan hutan.

Perkara yang dialami Keluarga Wa’ Natu ini, bukan kasus pertama yang terjadi di Soppeng. Pada Tahun 2017, 3 Petani asal Desa Umpungeng yaitu Jamadi, Sukardi, dan Sahidin juga dijerat oleh UUP3H dengan pasal yang sama dan ditangkap dikebun masing-masing. Namun pada tahun 2018, mereka dinyatakan tidak bersalah dan bebas oleh Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Watansoppeng, karena ketiganya telah mengusai dan mengelolah kebun secara turun temurun dan memanfaatkan hasilnya untuk kebutuhan sehari-hari dan berbagai macam hajatan keluarga.

Dalam putusannya, Hakim menyatakan bahwa ketiganya tak bisa dijerat dengan UUP3H, karena merupakan petani tradisional yang sudah turun temurun mengelola kebun yang diklain masuk kawasan hutan dan memanfaatkan hasil kebun untuk keperluan sehari-hari. Penuntut umum kemudian mengajukan kasasi dan pada bulan Februari 2019 Mahkamah Agung menjatuhkan putusan yang isinya menguatkan putusan PN Watansoppeng.

Sejatinya UU P3H dibuat untuk menjerat pelaku kejahatan pembalakan liar dari kelompok atau korporasi dengan modus operandi canggih untuk kepentingan komersial. Selain itu Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 95/PUU-XII/2014 tertanggal 10 Desember 2015 yang pada pokoknya menyatakan bahwa Ketentuan pidana Kehutanan dikecualikan terhadap masyarakat yang secara turun–temurun hidup didalam kawasan hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersil.

Natu’, Ario dan Sabang didampingi Penasehat Hukum di Kantor Kejaksaan Negeri Watansoppeng

 

Wa’ Natu, Ario Permadi dan Sabang adalah petani kecil di kampung Ale Sewo, dusun Sewo, Kelurahan Bila, Kecamatan Lalabata, kab. Soppeng yang menggantungkan kehidupannya pada hasil hutan dan tanah yang digarapnya secara turun-temurun sejak bertahun tahun lampau.

Sejak awal dipanggil pada bulan Februari 2020, Wa’ Natu, Ario Permadi dan Sabang dihadapan penyidik sudah menerangkan bahwa mereka menabang pohon semata-mata untuk membangun rumah dan lokasi penebangan pohon dilakukan  di kebun milik wa’ Natu sendiri yang telah dikuasai dan dikelolanya secara turun-temurun sementara pohon yang ditebangnya adalah pohon yang ditanam oleh wa’ Natu bersama orang tuanya puluhan tahun lampau.

Tetapi kenyataan tersebut tidak membuat penyidik Polres Soppeng berhenti melakukan penyelidikan/penyidikan dan tetap saja secara terus-menerus melayangkan panggilannya ke Wa’ Natu, Ario Permadi dan Sabang, bahkan ketiganya malah ditetapkan sebagai tersangka menggunakan UU P3H ini. Saat pamanggilan pertama dilayangkan oleh Penyidik Polres Soppeng, bersamaan dengan itu Wa’ Natu, Ario Permadi dan Sabang mulailah dirundung kekhawatiran akan nasibnya, sebab selama ini Wa’ Natu, Ario Permadi dan Sabang tidak pernah berhadapan dengan hukum.

Melihat kenyataan yang dialami oleh Jamadi, Sahidin serta Sukardi dan proses hukum yang menimpa Latu’ Natu, Ario Permadi dan Sabang semakin menguatkan pameo bahwa hukum itu tumpul ketas, tajam kebawah. Hukum yang seyogyanya lahir untuk memberi perlindungan dan mengokohkan Hak Azasi Manusia (HAM), lebih-lebih masyarakat kecil dan rentan, tetapi kenyataannya menjadi alat delegitimasi atas HAM, seratus delapan puluh derajat terbaliknya untuk perlindungan HAM.

Categories
EKOSOB slide

LBH Makassar Ajukan Praperadilan Penangkapan Nelayan “Pak Manre”

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar mengajukan praperadilan atas penangkapan dan penetapan tersangka neyalan Pulau Kodingareng, Manre, oleh Direktorat Polisi Air Polda Sulawesi Selatan.

Pendamping Hukum Manre dari LBH, Edy Kurniawan mengatakan, surat praperadilan telah dilayangkan ke Pengadilan Negeri (PN) Makassar pada Jumat (28/8/2020).

“Suratnya sudah kita layangkan langsung ke Pengadilan Negeri (PN) Makassar,” jelas Edy yang ditemui sejumlah wartawan di kantornya, Jumat.

Dit Polair Polda Sulsel menetapkan Manre sebagai tersangka setelah merobek amplop berisi uang karena menolak aktivitas penambangan pasir laut. Ia dijerat pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

Edy menjelaskan, praperadilan ditempuh karena LBH menilai proses penahanan tersangka Manre dianggap janggal sejak polisi menyelidiki kasus ini.

“Ditahap penyidikan, seharusnya Pak Manre ini dipanggil dulu dua kali. Nanti setelah tidak memenuhi panggilan, baru ada upaya yang dilakukan untuk dijemput paksa,” ujarnya.

Penyidik Polair telah menahan nelayan berusia 60 tahun tersebut sesaat setelah penangkapan pada Jumat, 14 Agustus 2020 di kawasan Dermaga Kayu Bangkoa, Jalan Pasar Ikan, Kota Makassar.

Saat itu, Manre dikabarkan hendak ke kantor LBH Makassar untuk berkonsulitasi dengan penasihat hukum.

Terpisah, Direktur Polair Polda Sulsel Kombes Pol Hery Wiyanto menyatakan kesiapan pihaknya menghadapi gugatan yang dilayangkan LBH Makassar.

“Sudah benar jalurnya melalui praperadilan kalau mereka anggap penyidikan kita salah. Itu tidak masalah bagi kami,” kata Hery.

Kata Hery, prosedur penyidikan yang dilakukan pihaknya untuk tersangka Manre diklaim sudah sesuai aturan perundang-undangan. “Kita juga punya ahli dalam pembinaan hukum yang akan menghadapi,” pungkasnya.

 

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online kabar.news pada 28 Agustus 2020

Categories
EKOSOB slide

Soal Kriminalisasi Nelayan, LBH Makassar Tempuh Jalur Praperadilan

Kriminalisasi terhadap nelayan Kepulauan Kodingareng, Kecamatan Sangkarrang, belum menemui titik terang. Upaya hukum demi upaya hukum masih terus dilakukan oleh pendamping hukum nelayan.

LBH Makassar selaku Kuasa Hukum, Mansur Pasang alias Manre memilih menempuh jalur pra peradilan. Permohonan pemeriksaan praperadilan itu telah diajukan ke Pengadilan Negeri (PN) Makassar, berdasarkan nomor pendaftaran perkara 15/Pid.Pra/2020/PN Mks, dengan termohon Kepala Kepolisian Republik Indonesia Cq. Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan Cq. Direktorat Kepolisian Perairan dan Udara Polda Sulawesi Selatan, Jum’at (28/08/2020)

Manre (55) seorang Nelayan Pulau Kodingareng saat ini sedang ditahan di Polda Sulsel sejak tanggal 14 Agustus 2020. Sudah dua minggu lamanya, ia ditahan dengan tuduhan melakukan tindak pidana perusakan uang yang didadarkan pada pasal 35 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

Manre ditetapkan tersangka, karena telah merobek amplop yang berisi uang. Pada tanggal 16 Juli 2020, beberapa warga Kodingareng dihebohkan dengan adanya amplop pemberian dari Perusahaan yang masih terkait tambang pasir laut.

Warga yang saban hari semakin kesal dengan keberadaan aktivitas tambang pasir laut di wilayah tangkap mereka, mendapat barang dalam bentuk apapun yang bersumber dari perusahaan, akan ditolak sebagai respon atas upaya pelemahan penolakan mereka selama ini.

Manre yang dikriminalisasi dengan dalih telah merendahkan kehormatan rupiah sebagai simbol Negara ini dinilai cukup dipaksakan, selain itu penetapan tersangka terhadapnya juga dinilai banyak kejanggalan.

Terdapat dugaaan pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam proses penyidikan, yaitu sejak pembuatan laporan Polisi; surat-surat pemanggilan; penerbitan surat perintah penyidikan; penangkapan; penetapan tersangka dan penahanan, sehingga penetapan tersangka terhadap Manre dinilai dilakukan secara tidak sah dan menyalahi peraturan yang ada.

Dari Keseluruhan rangkaian proses hukum yang dilakukan oleh Penyidik Dit. Polairud Polda Sulsel berdasarkan bukti dokumen surat yang ada, Advokat LBH Makassar  mAdy Anugrah menilai Laporan Polisi (LP) model A yang mendasari tindakan penyidik terhadap Manre tidak memiliki kepastian hukum karena dibuat secara sewenang-wenang.

“Ke dua, pemanggilan dan tindakan penangkapan terhadap Manre dilakukan secara sewenang-wenang dengan melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tiga, dengan demikian penetapan tersangka terhadap Manre tidak sah karena prosesnya secara nyata dilakukan dengan sewenang-wenang,”

Ditambah lagi, kata Ady Anugrah, penahanan terhadap Pak Manre menunjukkan ketidakpekaan Dit. Polairud Polda Sulsel terhadap kondisi masyarakat di masa pandemi Covid-19. Terlebih, pasal yang disangkakan, dinilai tidak melibatkan adanya kekerasan, yang seharusnya menjadi pertimbangan untuk tidak memprioritaskan penahanan.

“Apalagi secara usia, Pak Manre (55 tahun) sangat rentan terpapar Covid-19,” tegasnya.

Upaya pemeriksaan Praperadilan ini, menurut Ady, diajukan demi memastikan pihak kepolisian dalam penegakan hukum tidak dilakukan secara semena-mena yang kecenderungannya melawan hukum.

“Dan berhenti menggunakan kewenangan yang dimilikinya dalam melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat kecil-Nelayan yang sedang berjuang mempertahankan hak atas ruang penghidupannya,” tutupnya.

 

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online infosulsel.com pada 28 Agustus 2020

Categories
EKOSOB slide

LBH Makassar Ajukan Praperadilan Atas Penangkapan Nelayan Kodingareng

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar mengajukan praperadilan atas penangkapan dan penetapan tersangka neyalan Pulau Kodingareng, Mansur Pasang alias Manre, oleh Direktorat Polisi Air Polda Sulawesi Selatan.

Prapradilan ke Pengadilan Negeri (PN) Makassar, berdasarkan nomor pendaftaran perkara 15/Pid.Pra/2020/PN Mks, dengan termohon Kepala Kepolisian Republik Indonesia Cq. Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan Cq. Direktorat Kepolisian Perairan dan Udara Polda Sulawesi Selatan, Jum’at (28/08/2020).

Kuasa hukum Manre (55)dari LBH Makassar, Edy Kurniawan mengatakan Manre ditahan di Polda Sulsel sejak tanggal 14 Agustus 2020.

Menurutnya, Manre ditahan dengan tuduhan melakukan tindak pidana ‘setiap orang dengan sengaja merusak, memotong, menghancurkan dan atau mengubah rupiah dengan maksud merendahkan kehormatan Rupiah sebagai simbol Negara’ dalam pasal 35 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

“Manre ditetapkan tersangka, karena telah merobek amplop yang berisi uang pada tanggal 16 Juli 2020, beberapa warga Kodingareng dihebohkan dengan adanya amplop pemberian dari perusahaan yang masih terkait tambang pasir laut. Warga yang saban hari semakin kesal dengan keberadaan aktivitas tambang pasir laut di wilayah tangkap mereka, mendapat barang dalam bentuk apapun yang bersumber dari perusahaan, akan ditolak sebagai respon atas upaya pelemahan penolakan mereka selama ini,” katanya melalui rilis yang diterima tribun-timur.com, Jumat (28/8/20).

Manre yang dikriminalisasi dengan dalih telah merendahkan kehormatan rupiah sebagai simbol Negara ini dinilai cukup dipaksakan, selain itu penetapan tersangka terhadapnya juga dinilai banyak kejanggalan.

“Terdapat dugaaan pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam proses penyidikan, yaitu sejak pembuatan laporan Polisi, surat-surat pemanggilan, penerbitan surat perintah penyidikan, penangkapan, penetapan tersangka dan penahanan, sehingga penetapan tersangka terhadap Manre dinilai dilakukan secara tidak sah dan menyalahi peraturan yang ada,” jelasnya.

Dari Keseluruhan rangkaian proses hukum yang dilakukan oleh Penyidik Dit. Polairud Polda Sulsel berdasarkan bukti dokumen surat yang ada, LBH Makassar menilai Laporan Polisi (LP) model A yang mendasari tindakan penyidik terhadap Manre tidak memiliki kepastian hukum karena dibuat secara sewenang-wenang.

Pemanggilan dan tindakan penangkapan terhadap Manre dilakukan secara sewenang-wenang dengan melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan demikian penetapan tersangka terhadap Manre tidak sah karena prosesnya secara nyata dilakukan dengan sewenang-wenang.

Edy mengatakan, penahanan terhadap Manre menunjukkan ketidak pekaan Dit. Polairud Polda Sulsel terhadap kondisi masyarakat di masa pandemi Covid-19.Terlebih, pasal yang disangkakan, sama sekali tidak melibatkan adanya kekerasan, yang seharusnya menjadi pertimbangan untuk tidak memprioritaskan penahanan. Apalagi secara usia, Pak Manre (55 tahun) sangat rentan terpapar Covid-19.

“Upaya pemeriksaan Praperadilan ini, diajukan demi memastikan Kepolisian dalam penegakan hukum tidak dilakukan secara semena-mena secara melawan hukum dan berhenti menggunakan kewenangan yang dimilikinya dalam melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat kecil-Nelayan yang sedang berjuang mempertahankan hak atas ruang penghidupannya,” paparnya.

Catatan: Berita ini telah terbit di media online makassar.tribunnews.com pada 28 Agustus 2019

Categories
EKOSOB slide

Aksi Protes di Darat dan Laut Tolak Tambang Pasir Laut PT Royal Boskalis

Masyarakat Kodingareng Lompo terus menolak tambang pasir PT Royal Boskalis. Setelah berhenti menambang selama beberapa hari, perusahaan tambang pasir asal Belanda ini kembali beroperasi.

Masyarakat yang mayoritas bekerja sebagai nelayan mengalami dampak langsung dari aktivitas pertambangan. Hari ini, perempuan menyerbu rumah jabatan Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan (23/07).

Warga yang diselimuti amarah berteriak di depan halaman kantor Gubernur Sulsel, mereka meminta bertemu dengan Gubernur dan mendesaknya untuk menghentikan aktivitas tambang pasir laut PT. Royal Boskalis.

Akibat adanya aktivitas tambang pasir laut, wilayah tangkap nelayan menjadi rusak. Hal ini berbanding lurus dengan menurunnya hasil tangkapan nelayan untuk mereka konsumsi dan juga menjadi nilai penghasilan ekonomis guna bertahan hidup di situasi krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Kesedihan dan amarah yang bercampur baur kemudian terlontar lantang keluar dari mulut massa aksi dengan teriakan “hentikan aktivitas PT. Boskalis, habis nanti pulau”.

Teriakan-teriakan tersebut tidak jarang berulang. Itu adalah buah dari sakit hati warga akibat tidak adanya penanganan secara serius dari pemerintah untuk menghentikan aktivitas tambang pasir laut PT. Royal Boskalis.

Aktivitas tambang pasir laut PT. Royal Boskalis sempat berhenti selama 5 hari setelah kapal pengangkut pasirnya dihadang oleh para nelayan. Namun pada 22 Juli 2020 sekitar pukul 17.30 Wita, aktivitas kapal kembali berlangsung dan melintas di sekitar pulau Kodingareng Lompo. Hal inilah yang membuat warga dan para nelayan menjadi gusar.

Jika perempuan mendatangi rumah jabatan gubernur, para laki-laki menghadang kapal Boskalis yang akan membawa pasir ke lokasi proyek Makassar New Port. Perempuan dan laki-laki telah sepakat kembali tugas. Kapal Boskalis yang dihadang warga memutar arah hingga tak bisa sampai ke lokasi penimbunan.

Warga akan terus menghadang kapal tersebut sampai benar-benar berhenti. Mereka tak akan membiarkan kapal Boskalis menambang pasir.

Masyarakat Kodingareng Lompo berharap pemerintah hadir dalam masa lah ini. Tindakan penolakan mereka karena pemerintah tak hadir dalam menyelesaikan masalah ini. Selain tetap melakukan aksi penolakan, masyarakat berharap pemerintah segera mengambil tindakan sebelum kerugian masyarakat semakin besar dan terjadi korban jiwa.

Categories
EKOSOB slide

Putusan Sidang Warga Paselloreng Tidak Dapat Diterima, LBH Makassar akan Ajukan Kasasi

Pada hari rabu (15/07/20), puluhan warga Paselloreng beramai-ramai kembali memadati ruang sidang Cakra Pengadilan Negeri Sengkang dengan antusias ini mendengarkan langsung pembacaan keputusan, dimana sebelumnya telah dijadwalkan pukul 10.00 Wita.

Ketegangan begitu jelas terlihat menyelimuti saat pembacaan putusan, orang-orang yang hadir mendengarkan putusan oleh hakim dengan amat hormat dan sopan.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sengkang dipimpin langsung oleh Hakim Ketua Nurmawati, SH.,MH dengan anggota Fithriani, SH.,MH dan Muh.Gazali Arief, SH.,MH., di dalam putusannya dibacakan pada hari Rabu (15/07/20) memutus perkara dengan amar: “Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima” (niet ontvankelijke verklaard) dengan pertimbangan hukum bahwa “syarat formil tidak terpenuhi dalam hal ini Kementerian PUPR Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan Jeneberang Sulawesi Selatan tidak diajukan sebagai pihak terkait”.

Tidak diterimanya gugatan ini tentu tidak menyurutkan semangat masyarakat Paselloreng sebab mereka berjuang tidak sendiri selama kurang lebih 5 tahun secara konsisten bersama Kuasa Hukum hukum YLBHI-LBH Makassar.

Perkara ini sudah masuk tahun ke lima sejak januari 2015, dengan nomor perkara perdata 20/Pdt.G/2020/Pn.Skg. Melibatkan Hj.Andi Tanra dkk selaku penggugat melawan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Wajo. Sejak awal bergulirnya perkara ini, sudah melibatkan YLBHI-LBH Makassar selaku kuasa Hukum, Semangat dan antusias masyarakat begitu solid menghadapi diskriminasi dan ketidakadilan atas tanah mereka hingga setiap digelarnya sidang mereka selalu hadir.

Adapun tuntutan masyarakat Paselloreng yaitu meminta nilai ganti yang adil sesuai dengan yang pernah dibayarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Wajo.

Sebab memang ada kesalahan, ada hal yang tidak masuk akal ketika terdapat perbedaan harga sementara objek sama peruntukannya tetapi dalam proses penilaiannya itu berbeda bahkan menurut ahli di sidang sebelumnya itu tidak masuk akal.

“Kami menerima apapun keputusan dari Majelis Hakim dan kami akan tetap melakukan upaya hukum yaitu Kasasi”.Tegas Ridwan SH.,MH, selaku Kuasa Hukum.

 

Sengkang, 15 Jui 2020

Ridwan, S.H.,M.H./Advokat Publik YLBHI – LBH Makassar

Categories
Berita Media EKOSOB slide

Sidang Gugatan Warga Paselloreng Terhadap BPN Wajo, Saksi Ungkap Ada Potongan Uang Ganti Rugi

Sidang gugatan masyarakat Desa Paselloreng terhadap BPN Wajo kembali digelar di Pengadilan Negeri Sengkang, Senin (29/6/2020).

Sidang permohonan gugatan keberatan ganti kerugian dengan agenda pembuktian. Tim Kuasa Hukum masyarakat Desa Paselloreng dalam persidangan menghadirkan dua orang saksi fakta.

Saksi, Baso Iskar menyebutkan, dasar permohonan gugatan keberatan ganti kerugian itu lantaran ada perbedaan harga tanah sawah pompanisasi yang dibayarkan pada 2018 lalu dengan milik para pemohon.

Dipaparkannya, pada 2018 ada tanah sawah pompanisasi milik warga bernama Malaing dengan luas 464 m2 sebesar Rp 305.200.000.

“Jika dibagi rata-rata harganya kurang lebih 70 ribu per meter, sementara tanah milik pemohon berbatasan langsung dengan milik Malaing, tanahnya juga sawah pompanisasi tapi harganya kalau dirata-ratakan harganya sekitar 45 ribu per meter,” katanya.

Pada sidang tersebut juga terkuak jika pada saat proses pencairan ganti rugi di bank ada potongan yang harus disetor pemilik tanah yang berdasarkan aturan pemerintah desa.

“Tidak dijelaskan peruntukanya untuk apa dan nanti dipotong oleh pihak bank,” katanya.

Pada 2018 lalu, saat saksi menerima undangan dari pihak BPN Wajo, selaku panitia pengadaan tanah tidak menjelaskan rincian apa saja yang bayarkan, tapi hanya surat undangan yang diterima dan di dalam undangan itu baru ada harga tapi tidak dirinci.

Hal sama juga diungkapkan oleh saksi lainnya, yakni Furqan. Tanah sawah tadah hujan milik Maseati dengan luas 464 m2 dengan harga Rp 35.865.000. Atau jika dibagi maka akan mendapat harga sekitar Rp. 77.000 per meternya.

Pendamping hukum masyarakat Paselloreng asal YLBHI-LBH Makassar, Ridwan menyebutkan, ada kejanggalan dari proses perhitungan dan pembayaran ganti rugi lahan warga untuk proyek Bendungan Paselloreng di Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo.

“Jadi berdasarkan bukti-bukti baik surat dan dikuatkan oleh keterangan saksi-saksi setidaknya mulai terlihat memang ada yang aneh dalam perkara ini baik dari proses penentuan nilai ganti kerugian hingga proses pencairan,” katanya.

Lebih lanjut, perkara perdata dengan nomor registrasi nomor 20/G/Pn.Skg itu akan kembali dilanjutkan pada Kamis (2/7/2020) mendatang.

 

 

Catatan: Berita ini telah diterbitkan di media online makassar.tribunnews.com edisi 30 Juni 2020

Categories
EKOSOB slide

BPN Wajo Tidak Transparan dan Diskriminasi Ganti Rugi Lahan Warga

Pembebasan lahan Bendungan Passeloreng, Gilireng Kab. Wajo, kini telah memasuki persidangan kedua (senin, 29/06/20), dengan agenda penyerahan alat bukti tambahan oleh masing masing pemohon dan termohon dalam hal ini adalah BPN Kab Wajo.

Selain agenda penyerahan alat bukti tambahan oleh para pihak dalam persidangan kali ini pemohon menghadirkan saksi untuk diperiksa di Pengadilan Negeri Sengkang.

Dalam persidangan kali ini, kuasa hukum pemohon menghadirkan dua saksi untuk menguatkan dalil permohonan. Dua saksi yang dihadirkan atas nama Muhammad Al Furqan dan Baso Iskar.

Saksi Al Furqan menjelaskan terkait proses pembayaran ganti rugi pembebasan lahan yang diperuntukkan untuk pembangunan Bendungan di Passelloreng, Gilireng. Dalam keterangannya saksi Al Furqan menerangkan bahwa ada diskriminasi dalam hal jumlah pembayaran ganti rugi terkait tanah yang dibebaskan. Diskriminasi tersebut terungkap dalam keterangan Al Furqan dihadapan persidangan bahwa ternyata ada pembayaran yang lebih tinggi yang diterima oleh warga dibanding warga lainnya tanpa melihat produktivitas tanah, misalnya dalam hal pembayaran ganti rugi sawah tadah hujan dengan produktivitas panen setahun sekali yang lebih tinggi menerima ganti rugi dibanding sawah pompanisasi yang produktivitas panen dua hingga tiga kali setahun.

Tidak hanya diskriminasi pembayaran ganti rugi pembebasan lahan, saksi Al Furqan juga menjelaskan soal pihak Termohon (BPN Kab. Wajo) tidak transparan dalam menentukan ganti rugi pembebasan lahan. Hal ini terungkap bahwa BPN Kab. Wajo hanya mengundang warga dan memperlihatkan harga yang diterima BPN Kab. Wajo dari apresial tanpa berdiskusi terlebih dahulu dengan warga terkait jumlah ganti rugi.

Senada dengan saksi sebelumnya, keterangan Baso Iskar juga menjelaskan perihal diskriminasi pembayaran tanah dalam hal pembayaran yang sama tapi luas dan produktivitas tanah yang berbeda.

Terkait dengan ganti rugi, menurut saksi Baso Iskar bahwa BPN Kab. Wajo megundang warga Passelloreng dan memberikan harga tanah yang telah ditaksir apresial tanpa menjelaskan harga apa saja yang dibebaskan di atas objek tanah yang nantinya akan diberikan ganti rugi.

Baso Iskar dalam keterangannya juga menjelaskan bahwa dalam hal pembayaran ganti rugi yang diterima masyarakat yang diambil dari bank, terdapat potongan beberapa persen yang kemudian disetor ke desa.

Penyetoran beberapa persen ke desa, menurut Baso Iskar dijelaskan pada saat pertemuan bersama kepala desa dan pihak BPN. Penyetoran ini bersifat sukarela karena beberapa warga yang telah dibayarkan ganti rugi tanahnya, tidak semua menyetor ke desa.

 

Wajo, 29 Juni 2020

 

Narahubung:

Firmansyah 0852-4042-0751

Ridwan 0852-5555-3776

Categories
Berita Media EKOSOB slide

Petani Parapa Wonomulyo Polman Datangi Polres, Berikut Empat Tuntutannya

Puluhan petani dari kampung Parapa, Desa Rappang, Kecamatan Wonomulyo, Kabupaten Polman, mendatangi Polres Polman.

Mereka mengatasnamakan Aliansi Pertani Parapa Bersatu, Rabu (24/6/2020).

Mereka menyampaikan aspirasi ke pihak penegak hukum karena mengaku dikriminalisasi atas penguasaan tanah yang mereka kelola selama ini.

Salmia (50) salah satu petani yang dilaporkan kepolisi dengan tuduhan menyerobot tanah sawah yang berada di Parapa, Desa Rappang.

Padahal, tanah sawah yang dituduhkan diserobot adalah tanah sawah yang dibuka, dikelola secara turun-temurun oleh keluarganya. Ia tak pernah menjual, menghibahkan atau dikelola orang lain.

Hal serupa dialami Pinda (65). Dia mengaku juga dilaporkan dengan tuduhan yang sama dengan Salmia, yakni menyerobot tanah yang sudah dikuasai selama puluhan tahun.

Padahal, selain menguasai tanah, Pinda juga mengaku telah melaksanakan kewajiban dengan membayar pajak bumi setiap tahun kepada pemerintah.

“Kedua petani Parapa ini sudah berulang kali dilaporkan dan ditetapkan menjadi tersangka. Proses hukum yang mereka hadapi selalu dihentikan karena tak ditemukan unsur tindak pidana. Berdasarkan penguasaan lahan dan dokumen penguasaan, keduanya adalah pemilik tanah yang dituduhkan melakukan penyerobotan,”kata Ady Anugrah Pratama dari LBH Makassar yang mendampingi petani Parapa meminta keadilan kepada Tribun-Timur.com, Rabu (24/6/2020).

Dia menambahkan, kedua petani tersebut berulang kali dilaporkan dengan berbagai cara pelapor karena ingin menguasai lahan sawah Salmia, Pinda dan warga Parapa lainnya.

“Pertama kali dilaporkan tahun 2006. Tahun tersebut ia ditetapkan menjadi tersangka. Tahun 2012, 2013 dan 2016 ia dilaporkan lagi. Namun prosesnya berhenti karena tak cukup alat bukti. Yang terakhir, keduanya kembali dilaporkan pada Desember 2019 dan berproses sampai saat ini,”tuturnya.

Pelapor sering menggunakan putusan pengadilan untuk perkara perdata yang telah dieksekusi tahun 2005 sebagai dasar melaporkan kedua petani tersebut.

Namun, tanah yang dikuasai oleh Salmia, Pinda dan warga di Parapa bukalanlah tanah yang masuk dalam putusan tersebut sebagaimana batas-batas objek yang terdapat dalam putusan.

“Proses hukum yang saat ini dijalani oleh Salmia dan Pinda adalah hal yang sangat dipaksakan, termasuk penetapan tersangka. Sebelum melanjutkan proses hukum ke Pengadilan, harusnya aspek kepemilikan sudah jelas dan selesai,”katanya.

Menurutnya, laporan dugaan penyerobotan lahan yang dituduhkan ke Salmia dan Pinda sebenarnya lebih berdimensi perdata (sengketa kepemilikan).

Harusnya, kata dia, perkara ini diselesaikan dengan jalur keperdataan sebelum melaporkan keduanya pada ranah hukum pidana.

“Jika merujuk pada Perma Nomor 1 tahun 1951 dan SEMA Nomor 4 tahun 1980 yang bunyinya menyebutkan bahwa perkara pidana yang berdimensi perdata, harusnya perkara pidana dikesampingkan sambil menunggu suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang ada atau tidak adanya hak perdata lain,”jelasnya.

Kejaksaan Agung Republik Indonesia melalui surat edarannya Nomor B-230/Ejp/01/2013 Perihal Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum yang objeknya berupa tanah menghimbau kepada penegak hukum agar tidak tergesa-gesa untuk melakukan penuntutan.

“Namun penyidik yang memeriksa perkara ini tak mempertimbangkan aspek keperdataan (kepemilikan) yang belum selesai, sehingga melanjutkan proses hukum kasus ini,”ucapnyan

Kriminalisasi kedua petani Parapa, kata dia, akan menyebabkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini bisa dilihat jika merujuk pada ketentuan Undang-undang Dasar 1945: pasal 27 ayat (2).

“Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, Pasal 28 A “setiap orang berhak untuk hidup dan serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupanya,”katanya.

Hal ini juga diatur dalam ketentuan pasal 9, 36, dan pasal 40 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM yang berbunyi : Pasal 9 ayat (1) “Setiap orang berhak untuk hidup, dan mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.

Selanjutnya, dalam ketentuan pasal 11 ayat (1) UU No. 11 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob) menyebut bahwa; “Negara pihak pada kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus.

Demi penegakan hukum yang bebas dan merdeka, pemenuhan HAM dan keadilan bagi warga Negara, kami dari Aliansi Petani Parapa Bersatu meminta:

  1. Meminta penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan Negeri Polewali Mandar menghentikan proses hukum karena kasus ini bukanlah sebuah tindak pidana;
  2. Hentikan kriminalisasi terhadap petani Parapa, termasuk Salmia dan Pinda;
  3. Hentikan diskriminasai hukum terhadap petani Parapa;
  4. Berikan kepastian hukum atas tanah Petani Parapa.

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online makassar.tribunnews.com pada 24 Juni 2020

Categories
Berita Media EKOSOB slide

2 Petani Polman Dikriminalisasi, LBH Makassar-Aliansi Tuntut Penghentian Perkara

Aliansi Petani Parapa Bersatu yang turut didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, menuntut penghentian kriminalisasi petani Polman, Sulawesi Barat.

Menurut salah satu tim advokasi Aliansi Petani Parapa Bersatu, Ady Anugrah Pratama menyebutkan, kedua petani yang dikriminalisasi yakni, Salmia (52) kembali dikriminalisasi dengan tuduhan menyerobot tanah sawah yang berada di Parapa, Desa Rappang, Kecamatan Tapango, Polewali Mandar.

“Tanah sawah yang dituduhkan diserobot Salmia adalah tanah sawah yang dibuka, dikelola secara turun-temurun oleh keluarganya. Ia tak pernah menjual,menghibahkan atau dikelola orang lain,” ujar Ady, melalui siaran persnya yang diterima, Rabu (24/6/2020).

Sementara, petani lainnya yakni Pinda (65) dilaporkan dengan tuduhan yang sama dengan Salmia, menyerobot tanah yang sudah  dikuasai selama puluhan tahun, dituduh menyerobot tanah mereka sendiri. Selain menguasai tanah tersebut, Pindah membayar pajak bumi dan bangunan setiap tahun kepada Pemerintah.

Lanjut, Ady, kedua petani Parapa ini sudah berulang kali dilaporkan dan ditetapkan menjadi tersangka. Proses hukum yang mereka hadapi selalu dihentikan karena tak ditemukan unsur tindak pidana. Berdasarkan penguasaan lahan dan dokumen penguasaan, keduanya adalah pemilik tanah yang dituduhkan diserobot.

“Melapor penyerobotan tanah adalah cara yang sering sekali digunakan. Namun, tak pernah terbukti,” tegas Ady.

Ady merinci, keduanya pertama kali dilaporkan tahun 2006. Tahun tersebut ia ditetapkan menjadi tersangka.Tahun 2012, 2013 dan 2016 ia dilaporkan lagi. Namun, prosesnya berhenti karena tak cukup alat bukti. Yang terakhir, keduanya kembali dilaporkan pada Desember 2019 dan berproses sampai saat ini.

Pelapor sering menggunakan putusan pengadilan untuk perkara perdata yang telah dieksekusi tahun 2005 sebagai dasar melaporkan kedua petani tersebut. Namun, tanah yang dikuasai oleh Salmia, Pinda dan warga di Parapa bukalanlah tanah yang masuk dalam putusan tersebut sebagaimana batas-batas objek yang terdapat dalam putusan.

“Proses hukum yang saat ini dijalani oleh Salmia dan Pinda adalah hal yang sangat dipaksakan, termasuk penetapan tersangka. Sebelum melanjutkan proses hukum ke Pengadilan, harusnya aspek kepemilikan sudah jelas dan selesai,” papar Ady.

Laporan dugaan penyerobotan lahan yang dituduhkan ke Salmia dan Pinda sebenarnya lebih berdimensi perdata (sengketa kepemilikan). Harusnya perkara ini diselesaikan dengan jalur keperdataan sebelum melaporkan keduanya pada ranah hukum pidana.

Kriminalisasi kedua petani Parapa akan menyebabkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).  Demi penegakan hukum yang bebas dan merdeka, pemenuhan HAM dan keadilan bagi warga Negara, kami dari Aliansi Petani Parapa Bersatu meminta empat poin, yakni, penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan Negeri Polewali Mandar menghentikan proses hukum karena kasus ini bukanlah sebuah tindak pidana; Hentikan kriminalisasi terhadap petani Parapa, termasuk Salmia dan Pinda; Hentikan diskriminasai hukum terhadap petani Parapa; dan Berikan kepastian hukum atas tanah Petani Parapa.

 

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online sulselekspres.com pdaa 24 Juni 2020