Categories
EKOSOB

KOBAR: Dakwaan Jaksa Memberangus Serikat Pekerja, Melanggengkan Kejahatan GNI

Poso, 11 Juli 2023. Koalisi Bantuan Hukum Rakyat mengajukan eksepsi atas Surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang dibacakan dalam persidangan sebelumnya terrhadap dua orang buruh PT. Gunbuster Nickel Industri (GNI). Koalisi menilai Dakwaan JPU prematur dan tidak jelas. JPU keliru dalam menarik sebuah kesimpulan bahwa aksi mogok kerja merupakan penyebab terjadinya kerusuhan.

Jaksa Penuntut Umum mencantumkan pasal 160 ayat (1) Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana dan Pasal 14 ayat (1) undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana, namun dalam Surat Dakwaan tidak menguraikan unsur-unsur delik yang dimaksud dalam pengenaan Pasal tersebut diatas, dikaitkan dengan peristiwa hukum yang didakwakan oleh JPU kepada terdakwa. Lebih lanjut JPU mencantumkan nilai Kerugian Rp.52.000.000. Lima Milyar Rupiah) tapi tidak menguraikan nilai kerugian itu apa saja, kerusakan apa saja, dan berdasarkan Uraian Surat Dakwaan tidak ada kesesuaian (kausalitas) antara kronologis peristiwa dan nilai kerugian yang harus ditimpakan kepada Terdakwa.

Dakwaan JPU yang ditujukan kepada Terdakwa sebagai Anggota Pimpinan PSP SPN PT. GNI atas aktivitasnya dalam hal ini mogok kerja dalam memperjuangkan hak-hak Pekerja di PT GNI justru merupakan bentuk   pemberangusan Serikat Pekerja (union busting). JPU jelas keliru dan tidak melihat situasi yang sedang dihadapi oleh Buruh PT. GNI yang dimana sekelumit masalah harian yang terus dialami. Dalam Surat Pemberitahuan aksi pada tanggal 11 s/d 14 Januari 2023 menuntut Hak kerja Layak Kebebasan berserikat, union busting, kepastian kerja, kelangsungan kerja, sistem PKWT, upah yang sering dipotong, tunjangan skill dipotong, sistem K3 yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Sebelumnya telah terjadi sejumlah peristiwa berujung hilangnya nyawa mulai dari Crew Smelter yang terjepit conveyor dan jatuh ke dalam kolam slag, Karyawan terlindas Dump Truk, hingga ledakan Tungku yang menewaskan 2 Pekerja Hoist Crane yang hangus terbakar yakni Alm Nirwana Selle dan Alm. Made.

Hal-hal yang disebut di atas adalah alasan yang berdasar kuat mengapa PSP SPN PT. GNI melakukan aksi mogok. Fatalnya Framing yang digunakan dalam dakwaan JPU yang mengaitkan seolah-olah bentrokan antara Pekerja Indonesia dan pekerja Asing adalah diakibatkan oleh Terdakwa dan oleh aktivitas mogok kerja adalah framing yang “berbahaya”. Sebab Apa yang diperjuangkan dan dituntut oleh Terdakwa dan PSP SPN PT GNI berlaku untuk seluruh pekerja PT GNI baik pekerja Indonesia maupun Pekerja Asing yang memiliki kepentingan yang sama terkait kondisi kerja yang layak dan manusiawi.

Bahwa Proses Hukum dan Dakwaan yang ditujukan kepada Terdakwa justru telah mengaburkan akar masalah sesungguhnya dari bentrokan yang terjadi di PT GNI Pada yang justru diakibatkan oleh Kejahatan Ketenagakerjaan dan buruknya manajemen PT GNI yang terus melakukan pelanggaran undang-undang ketenagakerjaan mengabaikan hak-hak serta kesehatan dan keselamatan kerja (K3) melanggengkan kondisi kerja yang tidak layak dan tidak manusiawi.

Dalam perkara a quo surat dakwaan jaksa penuntut umum bertentangan dengan kewenangan absolut dari Pengadilan Negeri Poso. Sebab perbuatan-perbuatan dituduhkan dan diuraikan dalam dakwaan, adalah murni merupakan wilayah Hukum Perselisihan Hubungan Industrial, hal ini dikuatkan dengan Bukti-bukti yang diajukan JPU yang merupakan bukti surat terkait dengan ketenagakerjaan atau perselisihan hubungan industrial sehingga sepatutnya majelis hakim yang memeriksa perkara ini menyatakan Surat Dakwaan JPU layak untuk ditolak atau setidaknya tidak dapat diterima.

Dari uraian fakta atau kondisi kerja yang dialami oleh Buruh PT. GNI serta bukti yang diajukan oleh JPU hanya sebatas dokumen ketenagakerjaan. Terang bahwa JPU gagal melihat peristiwa secara utuh dan mendakwa Minggu Bulu dan Amirullah yang sejak awal menuntut hak-hak buruh dan melihat konteks peristiwa kerusuhan itu sama sekali tidak ada kaitan antara aktivitas mogok kerja dan kerusuhan yang dimana terjadi dalam waktu yang berbeda.

Bahkan ketika perkara ini telah dilimpahkan Ke Pengadilan Negeri Poso pada Tanggal 26 Juni 2023, 7 Karyawan PT GNI kembali mengalami kecelakaan kerja, 1 Orang Meninggal dan 6 lainnya Luka-luka akibat Semburan Api dari pabrik Smelter. Sehingga wajar Adanya kami menilai bahwa Dakwaan Jaksa Penuntut Umum telah memberangus Serikat Pekerja dan Melanggengkan Kejahatan PT GNI.

Dalam sidang pembacaan eksepsi, tim kuasa hukum sampai detik ini belum mendapatkan salinan dokumen lengkap perkara dari JPU serta tidak menghadirkan Terdakwa dalam persidangan. Sebelumnya dalam sidang perdana 4 Juli 2023 sudah meminta namun tidak dipenuhi oleh Jaksa Penuntut Umum. Sidang lanjutan akan dilaksanakan pada tanggal 18 Juli 2023 dengan agenda Tanggapan Eksepsi dari Jaksa Penuntut Umum.

11 Juli 2023
Koalisi Bantuan Hukum Rakyat (Kobar)

 

Narahubung:

Ridwan – LBH Makassar (0852-5555-3776) Rizal – PBH Peradi (0852-9807-0897)

Sirul Haq – LKBH Makassar (0853-4010-0081)

Abdul Azis Dumpa – LBH Makassar (0852-9999-9514)

Categories
EKOSOB

Buruh PT. GNI Didakwa Karena Memperjuangkan Hak Pekerja, Ancaman Serius bagi Pembela HAM

Poso – 4 Juli 2023. Kedua korban kriminalisasi atas terjadinya peristiwa kerusuhan di PT. Gunbuster Nickel Industri (GNI), Morowali Utara pada 14 Januari 2023 lalu, mulai menjalani sidang perdana pada 04 Juni 2023 di Pengadilan Negeri Poso. Mereka adalah Minggu Bulu dan Amirullah. Sidang dengan register perkara nomor 202/Pid.B/2023/PN Pso dan 201/Pid.B/2023/PN Pso dengan mendudukan Minggu Bulu dan Amirullah yang merupakan korban kriminalisasi sebagai terdakwa dilangsungkan secara daring (online). Keduanya mengikuti persidangan dari ruangan LAPAS Kelas III Kolonodale, Morowali.

Bermula dari adanya end contract yang dilakukan PT. GNI terhadap beberapa karyawan dengan alasan ikut bergabung menjadi anggota serikat dan melakukan mogok kerja, Minggu Bulu dan Amirullah bersama anggota PSP SPN PT. GNI dan buruh PT. GNI lainnya melakukan aksi mogok kerja lanjutan pada 14 Januari 2023.

Selain menuntut PT. GNI mempekerjakan kembali karyawan yang di and contract, aksi mogok kerja tersebut menuntut pula PT. GNI agar menerapkan prosedur Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), menolak pemotongan upah sepihak oleh PT. GNI serta menuntut pertanggungjawaban PT. GNI atas terjadinya kecelakaan kerja dalam kerja perusahaan yang menyebabkan hilang nya nyawa. Aksi mogok kerja berlangsung secara damai dan berakhir pada pukul 17.00 waktu setempat. Bersamaan dengan selesainya aksi mogok kerja tersebut, Minggu Bulu dan Amirullah langsung pulang ke tempat tinggalnya. Berakhirnya aksi mogok kerja tersebut ikut disaksikan oleh Kapolres Morowali beserta beberapa anggota kepolisian setempat.

Merujuk pada surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Minggu Bulu dan Amirullah didakwa secara terpisah dengan menggunakan pasal yang sama, yaitu Pasal 160 ayat (1) Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke 1 KUHPidana atau Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana.

Tim Pendamping Hukum menilai bahwa proses hukum dan dakwaan terhadap Minggu Bulu dan Amirullah merupakan upaya kriminalisasi aktivis pembela Hak Asasi Manusia (HAM) dalam bentuk pemberangusan kebebasan menyampaikan pendapat. Selain itu, aksi mogok kerja yang dilakukan oleh Minggu Bulu dan Amirullah bersama dengan anggota anggota PSP SPN PT. GNI lainnya dengan tuntutan yang dibawanya adalah bagian dari memperjuangkan hak – hak buruh yang dijamin dan dilindungi oleh undang – undang yang diduga telah dilanggar oleh PT. GNI.

Di sisi lain, tim Pendamping Hukum melihat upaya kriminalisasi tersebut semakin tampak jelas jika dihubungkan dengan fakta dilapangan. Pada faktanya, aksi mogok kerja sebagaimana disinggung di atas, berakhir pada pukul 17.00 waktu setempat, bersamaan berakhirnya aksi mogok kerja, Minggu Bulu dan Amirullah langsung meninggalkan lokasi aksi. Lagi pula berakhirnya aksi mogok tersebut disaksikan oleh langsung Kapolres Morowali bersama beberapa anggota kepolisian setempat. Sedangkan, dengan mengacu pada uraian surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum, disebutkan bahwa peristiwa kerusuhan terjadi pada sekitar pukul 20.00 WITA hingga pukul 23:00 WITA. Artinya, kerusuhan tersebut terjadi setelah berakhirnya aksi mogok kerja, ditambah lagi Minggu Bulu dan Amirullah tidak berada di lokasi terjadinya kerusuhan tersebut bahkan Minggu Bulu dan Amirullah baru mengetahuinya setelah terjadinya kerusuhan.

Berdasarkan hal – hal tersebut diatas, maka penggunaan Pasal 160 ayat (1) Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke 1 KUHPidana atau Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana untuk mendakwa Minggu Bulu dan Amirullah sangat dipaksakan, oleh karena tidak ada sama sekali hubungan kausalitas antara aksi mogok kerja dan Minggu Bulu serta Amirullah melakukan hasutan sebagai causa terjadinya peristiwa kerusuhan.

Persidangan akan dilanjutkan pada 11 Juli 2023 dengan agenda eksepsi dari Tim Penasehat Hukum. Dalam kesempatannya di persidangan, Tim Penasehat Hukum yang mendampingi Minggu Bulu dan Amirullah yang tergabung dalam Koalisi Bantuan Hukum Rakyat (KOBAR) dalam persidangan meminta agar sidang dilangsungkan secara luring (luar jaringan/offline) agar persidangan berlangsung maksimal tanpa adanya hambatan, terutama hambatan jaringan/sinyal.

 

Narahubung:

Sirul Haq – LKBH Makassar (0853-4010-0081)
Abdul Jamil – PBH Peradi (0813-4250-6409)
Rangga Cahyadi Maulyda – PBH Peradi (0852-9988-8544)
Mirayati Amin – LBH Makassar (0853-4258-9061 )

Categories
EKOSOB

Hakim Pengadilan Negeri Keliru dalam Memutus Perkara, Warga Barabaraya Ajukan Banding

Pada 13 Juni 2023, Majelis Hakim telah memutus perkara dalam hal ini gugatan pihak ketiga (derden verzet) yang diajukan oleh Warga Bara-baraya. Sebelumnya jadwal putusan yang ditetapkan 30 Mei telah ditunda sebanyak dua kali.

Tertuang dalam putusan, Majelis Hakim pada pokoknya telah mengurai beberapa alasan pertimbangan dan memutuskan bahwa menilai Pelawan yakni Warga Bara-baraya adalah bukan Pihak yang sah dalam perkara ini.

Berdasarkan amar dalam putusan perkara No 479/Pdt.Bth/2022/PN Mks dimuat dua poin yakni 1. Menolak perlawanan Pelawan; 2. Menyatakan Pelawan adalah Pelawan yang tidak benar. Dengan melihat pertimbangan Majelis Hakim dan Putusan, maka Warga Bara-baraya bersama jaringan solidaritas termasuk kuasa hukum menempuh upaya hukum berupa banding atas putusan.

Majelis Hakim menimbang bahwa Pelawan bukanlah pihak ketiga yang dimaksud dalam Pasal 195 ayat (6) HIR/Pasal 206 ayat (6) R.Bg, oleh karena Pelawan adalah ahli waris dari Yosef Nago yang merupakan pihak Tergugat dalam perkara a quo.

Namun yang patut untuk diketahui bahwa Perlawanan yang dilayangkan oleh Warga jelas berdasarkan gugatan perkara asal yang menarik Pewaris yang telah meninggal dunia. Dengan kata lain meninggalnya Pewaris tersebut, maka subjek hukum keperdataan yang melekat pada dirinya beralih ke PEMBANDING selaku ahli waris.

Fakta lain adalah, tertera dalam putusan bahwa Majelis Hakim keliru dalam menilai dan mempertimbangkan bukti Pelawan dengan bukti yang telah diajukan oleh Terlawan.

Terakhir, Majelis Hakim keliru dan tidak secara utuh mempertimbangkan seluruh fakta yang terungkap dalam persidangan in casu, khususnya fakta yang menunjukkan tentang penguasaan PEMBANDING terhadap objek sengketa secara turun temurun dengan itikad baik.

Termaktub dalam ketentuan Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria jo. Pasal 24 ayat (2) a PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah mengatakan bahwa:

“Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembuktian hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahuluan-pendahulunya, dengan syarat: a. penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya”.

Categories
EKOSOB

Reklamasi Pulau Lae-lae Mewarisi Derita CPI

Pada tahun 2014 Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan memberikan izin reklamasi Center Point of Indonesia (CPI) kepada KSO PT Ciputra – PT Yasmin Bumi Asri dengan luas reklamasi mencapai 157,23 hektar. Hasil reklamasi tersebut rencananya dibagi dua antara Pemprov Sulawesi Selatan dan KSO Ciputra-Yasmin Bumi Asri. Pemprov Sulawesi Selatan memperoleh bagian 50,47 hektar, sementara pihak pengembang proyek CPI mendapatkan 106,76 hektar.

Sejak awal perencanaan proyek reklamasi CPI telah mendapat penolakan namun tetap dipaksakan berjalan dengan menggusur 43 keluarga nelayan dan menghancurkan wilayah tangkap komunitas nelayan di Pulau Lae-Lae, Panambungan, Lette, Mariso, Bontorannu. Reklamasi CPI bukan hanya memberikan penderitaan bagi warga yang tergusur, tetapi juga masyarakat nelayan pesisir Galesong Kabupaten Takalar yang wilayah tangkapnya dijadikan sebagai lokasi penambangan pasir laut untuk kebutuhan material reklamasi.

Dampak buruk reklamasi dan tambang pasir laut membuat penolakan masyarakat semakin membesar, sehingga pada akhirnya proyek CPI gagal diselesaikan sesuai dengan perencanaan. Kegagalan reklamasi ini kemudian memberikan konsekuensi terhadap perjanjian antara pemerintah provinsi dan KSO Yasmin-Ciputra terkait dengan pembagian lahan hasil reklamasi.

Agustus 2020, pemerintah dalam hal ini Gubernur Sulawesi Selatan mengeluarkan surat 593.6/5522/BKAD perihal penetapan lahan penganti 12,11 hektar. Lalu pada Januari 2023, Pemprov Sulawesi Selatan dan PT Yasmin Bumi Asri melakukan addendum IV atas perjanjian terkait bagi lahan hasil reklamasi. Keduanya bersepakat, atas kekurangan lahan pemerintah di CPI akan dipindahkan di Pulau Lae-lae. Namun, perjanjian ini sama sekali tidak pernah dikonsultasikan kepada masyarakat Pulau Lae-lae yang notabene merupakan pihak yang paling terdampak dan berkepentingan atas segala kegiatan pembangunan di pulau tersebut.

Masyarakat nelayan Pulau Lae-lae menolak rencana reklamasi ini karena wilayah rencana reklamasi merupakan daerah tangkap. Mereka juga menganggap bahwa sejak awal proyek yang tidak pernah dikonsultasikan ini penuh dengan manipulasi. Contohnya, dalam isi draft AMDAL, penyusun mengatakan bahwa 99 persen masyarakat setuju dengan rencana reklamasi ini. Faktanya masyarakat tidak pernah setuju. Olehnya itu, pada 17 Mei 2023, ratusan nelayan melakukan aksi penolakan di DPRD Provinsi dan Kantor Gubernur.

Terbaru, pada 15 Juni, pemerintah provinsi yang dikawal oleh Polrestabes Kota Makassar mencoba melakukan kunjungan ke lokasi rencana reklamasi Pulau Lae-lae. Rombongan pemerintah tersebut dihadang oleh masyarakat Pulau Lae-lae yang menjadi bukti kuat bahwa masyarakat pulau lae-lae tegas menolak rencana reklamasi.

Aksi tanpa kekerasan oleh masyarakat ini justru direpresi oleh aparat kepolisian. Satu nelayan dan dua mahasiswa ditangkap tanpa alasan yang jelas. Aparat kepolisian harus menghentikan segala bentuk intimidasi terhadap warga Pulau lae-lae yang saat ini sedang memperjuangkan Hak-nya.

Reklamasi Pulau Lae-lae bila tetap dipaksakan berjalan hanya akan memicu pelanggaran HAM dan konflik sosial berkepanjangan antara masyarakat dengan pemerintah dan pihak pengembang. Masyarakat merasa telah cukup sejahtera dengan cara mengelola SDA yang saat ini berjalan. Bilapun pemerintah punya keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan melalui kegiatan pembangunan dalam bentuk apapun, maka sudah seharusnya setiap rencana tersebut dibicarakan secara terbuka dan partisipatif dengan masyarakat dan menghormati hak-hak mereka yang selama ini mengelola dan memanfaat laut sebagai sumber kehidupannya.

Atas situasi tersebut di atas, Masyarakat Pulau Lae-Lae bersama Koalisi Lawan Reklamasi (KAWAL) Pesisir menuntut:

  • Kepolisian untuk menghentikan segala bentuk intimidasi dan represi terhadap perjuangan masyarakat Pulau Lae-Lae;
  • Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan segera membatalkan rencana proyek reklamasi di Pulau Lae-Lae;
  • Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan untuk menghentikan segala proses perizinan terkait rencana reklamasi Pulau Lae-lae;
  • Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan menghormati hak-hak Masyarakat Pulau Lae-Lae.
Categories
EKOSOB

Mencoreng Nama Institusi Pendidikan, STIMI YAPMI Makassar Melanggar Hak Dosen

Hendrayani Kadir adalah seorang tenaga pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen (STIMI) Makassar, institusi pendidikan dibawah YAPMI Makassar. Hal ini tertuang dalam Surat Keputusan No. 51/SK/YAPMI/V/2018 tentang Pengangkatan Dosen Tetap STIMI YAPMI Makassar Tertanggal 14 Mei 2018.

Dalam Surat Keputusan, Hendrayani Kadir diupah sebesar Rp. 2.750.000 (Dua Juta Tujuh Ratus Lima Puluh Rupiah) dan mengajar mata kuliah Studi Kelayakan Bisnis, Strategi Pemasaran, Perilaku, Konsumen, dan Keselamatan Kerja.

Selama bekerja sebagai dosen tetap di STIMI Makassar, ia hanya mendapatkan tunjangan mengajar sebagai dosen sebesar Rp. 600.000,00 untuk Satu Mata kuliah setiap Semester (6 bulan).

Masalah yang menimpa Hendrayani tidak berhenti sampai disitu. Pada tanggal 26 Agustus 2021, ketua Yayasan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja secara sepihak kepada Hendrayani berdasarkan Surat Keputusan No.03/SK/YAPMI/VIII/2021 tentang Pemberhentian Dosen Tetap Yayasan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Indonesia (STIMI) Makassar, dengan alasan melanggar kode etik.

Tidak ada penjelasan terkait pelanggaran kode etik yang telah dilakukan Hendrayani. Hendrayani telah mengupayakan penyelesaian masalah ini dan bertemu dengan Pihak Yayasan (Bipartit) hingga Dinas Ketenagakerjaan Kota Makassar telah mengeluarkan anjuran No. 1477/Disnaker/565/VII/2022 tertanggal 11 Juli 2022 agar pihak kampus mengembalikan data base Dosen, merehabilitasi nama baik, dan membayarkan hak-hak pekerja sesuai UU Ketenagakerjaan, namun anjuran tersebut tidak dilaksanakan oleh Pihak Kampus.

Tertanggal 7 Juni 2023, Hendrayani melalui kuasa hukum LBH Makassar telah mengajukan upaya gugat di Pengadilan Hubungan Industrial dan telah terdaftar dengan nomor perkara 18/Pdt.Sus-PHI/2023/PN Mks.

Categories
EKOSOB

Bipartit Gagal, kasus Pelanggaran Hak Buruh PT. Singvlar Furniture Indonesia Dilanjutkan ke Tripartit

Maros, 7 Juni 2023 – LBH Makassar bersama dengan 15 belas orang perwakilan Buruh telah mengadakan perundingan Bipartit kedua yang dilaksanakan di Kantor PT. Singvlar Furniture Indonesia. Sebelumnya pada tanggal 12 Mei 2023 telah disepakati bahwa pihak perusahaan akan segera melunasi tunggakan upah yang belum di bayarkan. Dalam pertemuan tahap pertama, perusahaan telah memberikan bukti berupa slip gaji yang didalamnya tertuang rincian upah yang belum diberikan.

Perundingan kedua berakhir tidak ditemukan kesepakatan antar dua pihak. Dalam pertemuan yang berlangsung pada pukul 14.00 Wita, telah dihadiri oleh Pimpinan perusahaan yakni Ian Huang Tsan. Mereka terus menghindar dan memberikan alasan bahwa perusahaan mereka berhenti melakukan ekspor barang sehingga perusahaan tidak memiliki pemasukan dana.

Pimpinan perusahaan menawarkan untuk melunasi upah selama satu setengah bulan sebanyak enam kali atau selama 9 bulan. Tawaran ini ditolak keras oleh Buruh PT. Singvlar Furniture Indonesia, pasalnya permasalahan ini sudah berlarut dan perusahaan terus ingkar untuk melakukan pelunasan.

Dalam Risalah Bipartit, pihak Buruh menuntut agar perusahaan segera melunasi upah dalam tenggat waktu selama 30 hari yang terhitung sejak tanggal 7 Juni s.d 7 Juli 2023. Bilamana dalam tenggat waktu tersebut belum menemukan titik terang maka perundingan Bipartit dianggap gagal dan akan mendorong penyelesaian masalah ini ke Dinas Ketenagakerjaan Kota Maros.

Dalam proses perundingan, Ian Huang Tsan menolak untuk menandatangani risalah perundingan dan akan meminta waktu untuk mempertimbangkan kesimpulan perundingan.

Categories
EKOSOB

Perusahaan PT. Singvlar Furniture Tidak Memberi Upah Penuh Buruh Selama Bertahun-tahun

M bersama 18 Buruh lainnya merupakan buruh di PT. Singvlar Furniture Indonesia (SFI) yang dimiliki oleh Lay Huang Tzan (WNA Taiwan), yang berada di kawasan Pattene Business Park, tepatnya beralamat di Kelurahan Pa’bentengang, Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros.

Perusahaan ini bergerak pada bidang Pengolahan Kayu, sekaligus merupakan perusahaan yang melakukan ekspor barang berupa perabotan dan sejenisnya ke beberapa negara. Sebelumnya, sejak tahun 1995, perusahaan ini berlokasi di Kawasan Industri Makassar (KIMA). Namun berpindah tempat ke Pattene Business Park sejak tahun 2018.

Buruh PT. SFI juga ikut berpindah tempat mengikuti lokasi perusahaan. Mereka direkrut ulang dengan status pekerja baru pada tahun 2018. Bermula pada tahun 2021, M dan buruh lainnya tidak mendapatkan upah penuh dari PT. SFI. Selama bekerja disana, mereka tidak pernah mendapatkan Tunjangan Hari Raya sepeserpun oleh Perusahaan.

M bersama 18 orang buruh masing-masing diupah secara tidak penuh oleh perusahaan. Beberapa diantara mereka memperoleh upah harian sebesar 100 ribu rupiah dengan pembayaran perbulan. Fatalnya, dengan kondisi kerja yang serba tidak pasti, selama bertahun-tahun mereka diupah tidak pernah mencapai nominal 1 juta rupiah setiap bulannya.

Tunggakan upah terus membengkak. 19 buruh PT. SFI telah melakukan upaya persuasif berupa audiensi dengan pimpinan perusahaan, termasuk menuntut transparansi tunggakan upah berupa bukti Slip Gaji mereka namun tidak mendapatkan hasil apa-apa melainkan janji.

Pada Kamis, 11 Mei 2023 bertempat di kantor PT. SFI. 19 orang buruh PT. SFI bersama dengan LBH Makassar telah melakukan perundingan. Pimpinan Perusahaan terus berkelit, namun semua buruh masing-masing memberikan pendapat dan bersaksi bahwa betapa buruknya manajemen perusahaan.

Perundingan berujung pada sebuah pengakuan. Pimpinan PT. SFI membenarkan tunggakkan upah tersebut. Mereka akhirnya membuka catatan upah berupa nominal upah yang belum dibayarkan kepada buruh PT. SFI. Perundingan akan dilanjutkan pada 31 Mei 2023.

Categories
EKOSOB

Bupati Bulukumba Hanya Tahu Menggusur, Menunjukkan Rendahnya Komitmen Pemenuhan HAM

Warga korban penggusuran Pantai Merpati kelurahan Terang-Terang, Kecamatan Ujung Bulu, Bulukumba kembali merasakan intimidasi dilokasi pengungsian. Senin, 21 Maret 2022, mereka didatangi Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang meminta agar warga mengosongkan lokasi pengunsian.

Ini bukan pertama kali, warga mengalami pengusiran. Sebelumnya pada tanggal 9 Maret 2022 warga didatangi oleh petugas Dinas Tata Ruang dan Perumahan bersama Satpol PP yang mencoba mengusir mereka yang mengungsi di lokasi sentra kuliner Bulukumba. Upaya itu gagal dan mereka mengancam akan kembali datang untuk mengusir warga yang masih bertahan.

Setidaknya terdapat 22 KK warga yang berada dipengungsian selama hampir 2 bulan lamanya, sejak rumah mereka diratakan dengan alat berat pada 31 Januari 2022, demi ambisi Bupati Bulukumba merealisasikan pembangunan Water Front City. Terdapat ratusan warga yang mengalami penggusuran dan harus kehilangan tempat tinggal.

Mereka tidak punya pilihan selain tetap berada di lokasi pengungsian. Selain tidak memiliki tempat tinggal, warga juga masih menggantungkan mata pencaharian sebagai pemulung rumput laut. Selama berada dilokasi pengungsian pun, warga tidak mendapat bantuan dan perhatian yang layak dari Pemerintah Bulukumba.

Upaya pengusiran warga ini menjadi penanda bahwa Bupati Bulukumba sebagai penanggung jawab Pemerintahan di Kabupaten Bulukumba, memang  tidak memiliki komitmen terhadap pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia dan tidak bisa menjalankan pemerintahan sebagaimana mestinya. Bahkan mengorbankan dan menelantarkan masyarakatnya sendiri.

Bupati Bulukumba hanya tahu menggusur, tapi tidak bisa memberi solusi atas penggusuran yang telah dilakukannya. Selama puluhan hari warga di lokasi pengungsian, harusnya Bupati hadir dan memberi solusi atas masalah ini.

Sementara itu, Rapat Dengar Pendapat (RDP) telah dilakukan pada senin, 15 Maret 2022 yang dihadiri oleh Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), organisasi perangkat daerah dan warga korban penggusuran.

Dalam rapat tersebut disepakati bahwa tidak akan ada pengusiran dari lokasi pengungsian sebelum adanya kepastian relokasi/hunian sementara sembari menunggu realisasi rumah nelayan yang dijanjikan pemerintah daerah Bulukumba pada tahun 2023.

Upaya pengusiran yang kembali dilakukan menunjukkan bahwa hasil RDP dan kesepakatan semua pihak diingkari begitu saja oleh Pemerintah Bulukumba.

Categories
EKOSOB slide

Saksi dalam Sidang Kasus UU P3H Soppeng Katakan Bahwa Tidak Ada Sosialisasi ke Masyarakat Mengenai Batas-Batas Kawasan Hutan

Sidang Tiga petani Ale Sewo Kabupaten Soppeng yaitu Natu bin Takka, Aryo Permadi dan Sabang yang dijerat Undang-undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengerusakan Hutan (UU P3H) kembali digelar dengan agenda pemeriksaan saksi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). Kali ini JPU menghadirkan Lurah Kelurahan Bila yaitu Nurul Azmi, S.Ip., M.M sebagai saksi.

Dalam sidang lanjutan pemeriksaan saksi JPU, para terdakwa didampingi oleh Ridwan, S.H. dan Ady Anugrah Pratama, S.H. sebagai Penasehat Hukum dari YLBHI – LBH Makassar.

Saat proses pemeriksaan dilakukan, Penasehat Hukum terdakwa mengajukan keberatan kepada Majelis Hakim terkait saksi yang dihadirkan oleh JPU dengan alasan bahwa keterangan saksi tidak objektif dikarenakan saksi sebelumnya telah hadir mengikuti persidangan pemeriksaan saksi yang dihadirkan JPU, yang pada saat itu menghadirkan pihak Kehutanan Kabupaten Soppeng sebagai saksi.

 

Baca Juga:

Dituduh Merusak Hutan, Satu keluarga Disidangkan

Simalakama UU P3H dan Penetapan Kawasan Hutan Soppeng Kembali Menjerat Petani Kecil

 

Keberatan yang diajukan oleh penasehat hukum ditampung oleh Majelis Hakim dan setelahnya, Majelis Hakim kemudian melanjutkan proses pemeriksaan.

Dalam keterangan saksi, ia menjelaskan bahwa tidak pernah ada sosialisasi mengenai batas-batas kawasan hutan yang disampaikan kepada masyarakat. Selain itu, Ia (saksi) yang merupakan pejabat setempat juga tidak mengetahui mengenai batas-batas kawasan hutan dan jenis kawasan hutan yang tersebar di daerah Kelurahan Bila.

Dari penyampaian keterangan oleh Saksi, memuat fakta bahwa proses pemidaan ketiga terdakwa sangatlah dipaksakan dan juga menambah jejak kriminalisasi terhadap rakyat kecil yang berupaya untuk melakukan pemenuhan terhadap hak-hak dasar mereka. Menampilkan penegakan hukum yang tajam ke bawah tumpul ke atas.

Sebelumnya pada tahun 2018, juga terdapat tiga orang petani Soppeng, yaitu Sukardi, Jamadi dan Sahidin yang dikriminalisasi dengan Undang-undang yang sama. Mereka dituduh melakukan pengrusakan dengan menebang pohon dalam kawasan hutan lindung. Namun, ketiga petani tersebut melakukan penebangan pada kebun masing-masing (yang dianggap masuk dalam kawasan hutan lindung) hanya sebatas untuk keeperluan pemenuhan kebutuhan sandang, papan dan pangan. Sehingga Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Watansoppeng memvonis bebas para terdakwa. Kemudian, Jaksa mengajukan Kasasi, dan putusan Kasasipun menguatkan Putusan Hakim di PN Watansoppeng. Seharusnya, kasus ini menjadi preseden kepada para penegak hukum agar tidak asal melakukan kriminalisasi masyarakat kawasan hutan.

Categories
EKOSOB slide

Dituduh Merusak Hutan, Satu Keluarga Resmi Disidangkan

Tiga orang petani Ale Sewo Kabupaten Soppeng resmi disidangkan (Selasa/29/09/2020). Ketiganya dikriminalisasi dengan tuduhan menebang pohon dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat berwenang, sebagaimana ketentuan dalam pasal 82 ayat 1 dan 2 junto pasal 12 hurup B Undang-undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengerusakan Hutan (UU P3H).

Ketiga petani tersebut adalah Natu bin Takka, Aryo Permadi dan Sabang. Ketiganya adalah keluarga. Natu adalah orang tua dari Aryo Permadi. Sedangkan Sabang adalah ipar dari Natu.

Sidang pertama ini dengan agenda pembacaan dakwaaan dari penuntut umum. Pembacaan dakwaan dilakukan di gedung sidang utama Pengadilan Negeri Watansoppeng. Sidang selanjutnya akan dilanjutkan selasa pekan depan dengan agenda pembuktian.

Persidangan ini dipimpin langsung oleh Ketua Pengadilan Negeri Soppeng, Muhammad Ismail sebagai hakim ketua dan Fitriani dan Willfrid sebagai anggota.

Ahmad Ismail dan Fitriani adalah hakim yang sama yang pernah mengadili perkara tarkait pengerusakan hutan di Kabupaten Soppeng. Sukardi, Sahidin dan Jamadi adalah petani Soppeng yang pernah dikriminalisasi dengan UU yang sama. Ismail dan fitriani memutus bebas ketiganya.

Natu adalah seorang petani berusia lanjut. Umurnya kini memasuki usia 75 tahun. Ia berniat membangun rumah untuk anak laki-lakinya, Aryo Permadi. Natu kemudian menebang jati yang ia tanam di kebun milikinya yang lokasinya tak jauh dari tempat tinggalnya. Jati tersebut untuk dijadikan bahan membangun rumah.

Di lokasi tersebut, Natu menanam jahe, lengkuas, kemiri dan pangi. Kebun tersebut sudah ia kuasai secara turun temurun dari keluarganya. Setiap tahunnya ia membayar pajak atas tanah tersebut. Natu kaget, tiba-tiba ia dipanggil Polisi karena menebang jati yang ia tanam sendiri.

Natu , Aryo dan Sabang tak tahu kalau kebun Natu masuk dalam kawasan hutan. Jadi ketiganya benar-benar tak menyangka diproses gara-gara menebang jati yang ditanamnya sendiri.