Categories
Berita Media SIPOL slide

LBH Makassar: Pihak Kepolisian Masih Selalu Ingin Menghukum Anak

Usai pembacaan dakwaan pada ARS (14) tahun (anak berhadapan dengan hukum) oleh Jaksa Penuntut, Lembaga Bantuan Hukum Makassar melalui salah seorang advokat publiknya, Ridwan menyesalkan sikap penyidik dan Jaksa yang memaksakan kasus ini sampai ke persidangan anak.

Menurutnya, telah sejak awal kasus ini diupayakan LBH Makassar agar kasus tersebut diselesaikan secara kekeluargaan.

“Kita dari awal sudah meminta agar dilakukan dengan cara kekeluargaan, mengingat ARS punya pengakuan yang bisa meringankan, tapi pihak kepolisian seolah-olah tidak mau mempertemukan orang tua anak dengan Korban, padahal hal tersebut telah berulang kali oleh pihak orang tua meminta kepada penyidik agar bisa dipertemukan dengan korban, sampai kemudian berkas perkaranya dilimpahkan ke kejaksaan dan pihak kepolisian tidak pernah menanggapi hal tesebut,” ujar Ridwan saat dikonfirmasi, Kamis (28/3/2019).

Ridwan menilai, seharusnya berdasarkan sistem peradilan pidana anak (SPPA), pemidanaannya mesti dilakukan sebagai upaya terakhir.

“Olehnya kami menganggap bahwa aparat penegak hukum khusnya pihak kepolisan masih selalu terjebak dalam suasana yang semata-mata bertujuan untuk menghukum para Anak, atau tergesa-gesa memilih tindakan yang mudah dengan mengirim para Anak ke dalam penjara,” ujarnya.

Lebih jauh Ridwan menyebut, saat ini Jaksa telah mendakwakan ARS dengan pasal 365 ayat (1) dan (2) KUHP dengan pemberatan lantaran dilakukan secara bersama-sama dan malam hari.

Hanya saja, menurutnya dalam fakta persidangan ada hal yang menjadi poin, salah satunya terkait ketidak tahuan ARS bahwa FKR (Pelaku utama) memboncengnya untuk menjambret.

“Pada fakta persidangan, ARS diajak untuk mengambil tas gunung karena FKR mengaku ingin mendaki gunung pada keesokan paginya,” ujar Ridwan.

Namun ternyata yang terjadi, FKR malah menarik tas seorang perempuan di wilayah Nipa-Nipa, Manggala, Kota Makassar.

“Kesimpulan kami tetap akan mengupayakan pengembalian pada orang tuanya, tapi kami menunggu bagaimana sikap Jaksa dalam tuntutannya nantinya,” pungkas Ridwan. (dir)

 

*Sebelumnya berita ini telah di muat di media online inikata.com pada edisi 28 Maret 2019

Categories
Berita Media SIPOL slide

Didampingi LBH, Sidang Bocah Tertuduh Curat Dipercepat

Hakim Tindak Pidana Khusus di Pengadilan Negeri Makassar akhirnya mempercepat sidang bocah tertuduh melakukan pencurian dengan pemberatan (Curat) berinisial ARS (14), usai pembacaan dakwaan pagi tadi, Rabu (27/3/2019).

Hal ini diakui ibu ARS, Dg Atik saat dikonfirmasi melalui seluler. Menurutnya kasus anaknya sudah melewati sidang dakwaan dan akan dilanjutkan besok.

“Alhamdulillah sudah disidangkan, bahkan dipercepat,” ujar Dg Atik.

Menurutnya, dengan dipercepatnya persidangan ARS, tentu akan ada jalan keluar, sebab anaknya sudah cukup lama di Lapas Kelas I Makassar.

“Ini mi yang kita harap, mudah-mudahan cepat ada jalan keluar, supaya anakku juga bisa diberi kebijaksanaan, sudah lama mi didalam sel,” ujarnya dengan wajah cemas.

Kendati begitu, ia bersyukur kasus anaknya sudah didampingi oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar.

“Alhamdulillah kita didampingi sama LBH, mudah-mudahan ada jalan keluar yang terbaik,” pungkasnya.

Sebelumnya dikabarkan, ARS (14) telah menjalani rehabilitasi yang didampingi oleh TP2A, namun entah dengan alasan apa, pihak penyidik dari Polsek Manggala meminta ARS untuk kembali diserahkan oleh orangtuanya ke Polsek.

Namun setelah itu, Pihak Polsek menahan ARS dan kemudian melimpahkan kasusnya ke Kejaksaan Negeri Makassar tanpa melalui Diversi.

Hasilnya, Jaksa yang menerima berkas tersebut lalu memerintahkan penahanan di Lapas Kelas I Makassar dan hingga saat ini masih berada dalam pengawasan Bapas. (dir)

 

 

*Sebelumnya berita ini telah dimuat di media online inikata.com edisi 27 Maret 2019

Categories
Berita Media EKOSOB slide

DEMA Fakultas Syariah dan Hukum mengadakan Panggung Ekspresi dalam merespon PT PP Lonsum

Dewan  Mahasiswa (DEMA) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar menggelar Panggung Ekspresi di pelataran Fakultas Syariah dan Hukum UINAM, senin (25/03/2018).

Panggung ekspresi ini memiliki beberapa item kegiatan, yakni diskusi, lapak buku, hingga musikalisasi puisi. Kegiatan ini merupakan agenda lanjutan dari aliansi Solidaritas Perjuangan Tanah Untuk Rakyat (SPTR) dalam menggalang solidaritas untuk perjuangan masyarakat adat Ammatoa Kajang yang saat ini tengah berkonflik dengan PT. PP London Sumatera (Lonsum).

Junaid Judda narasumber dari Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) sulsel, mengatakan pernah terjadi pembuangan limbah Lonsum di daerah aliran sungai wilayah lohe. Pada saat pembersihan, terdapat lahan yang memiliki 30 titik mata air ditemukan rusak dan sungai-sungai ikut tercemar akibat aktivitas PT. PP Lonsum. Aliran sungai ini sampai ke  laut, hingga berdampak pada  pencemaran laut, petani rumput laut mendapatkan serpihan-serpihan karet.

“Konflik PT PP Lonsum adalah konflik 100 tahun berdarah bagi masyarakat. Akibatnya, banyak anak-anak yang tak bersekolah. Kondisi pekerja pun sangat riskan, mereka hanya di-upah Rp. 100.000 per-hari”. Tambah Indarto, narasumber dari Konsorium Pembaruan Agraria (KPA).

Semangat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)  dibuat untuk  koperasi milik rakyat.  Serta Undang-undang perpres 86 2018, dimana Masyarakat petani itu memiliki 2 hektar lahan dan nelayan harus memiliki wilayah tangkap sendiri. Kalau konteks Bulukumba, KPA berpendapat bahwa Pemerintah Bulukumba seharusnya melihat Perpres 86 tahun 2018, dimana tidak memberi izin atas Hak Erphak dan Hak Guna Usaha (HGU), bahwa sisa air  sekarang ini hanya 20 persen, dan air bersih lainnya lebih diutamakan perkebunan, perhutanan. maka dari  ” Tidak ada air, tidak ada kehidupan”. Ucapnya kembali.

Narasumber ketiga Rizal karim dari komunitas PKBM CaraBaca, persoalan pertanahan  baru ada pada tahun 1870 yang di sebut agraria swett,  Prinsip agraria swett di dasari  asas domein verklaring yang dibawa oleh Raffles pada saat menjadi gubernur jendral kolonial Belanda pada saat itu, asas ini menganggap daerah-daerah  yang ditaklukkan sifatnya  itu milik,  Bahasa kekuasaan ialah perlindungan dan penguasaan atas sumber-sumber agraria. Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960 ialah cerminan Hak Ulayat masayarakat Indonesia.

Sebenarnya sumber daya alam kita mencukupi untuk semua orang, tetapi tidak untuk mereka yang serakah. Ucap Rizal kembali.

 

Penulis : ibrahim R.M

 

*Sebelumnya berita ini telah dimuat di media online SINTESIA pada edisi 25/03/2019

Categories
Berita Media SIPOL slide

Lakukan Kekerasan Terhadap Mahasiswanya, Dosen Sinjai Ini Akhirnya Di Vonis Kurungan

Sidang putusan kasus kekerasan akademik yang dilakukan dekan Fakultas Ekonomi dan Hukum Islam (FEHI) Institut Agama Islam Muhammadiyah (IAIM) Sinjai. Kamis, (21/3/19).

Sidang tersebut berlangsung di Pengadilan Negeri Sinjai Jl. Jenderal Sudirman, kabupaten Sinjai.

Dalam persidangan tersebut, dimana Dr. Muh. Anis, M. Hum, sebagai pelaku divonis dan dinyatakan bersalah.

Dengan melanggar pasal 352 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) – Penganiayaan Ringan.

Anis diberi hukuman 1 bulan kurungan masa percobaan, sesuai surat keputusan Pengadilan Negeri (PN) Sinjai, nomor: 4/pid.C/2019/PN.Snj.

Selain sidang putusan, aksi sejumlah mahasiswa juga mewarnai halaman PN Sinjai.

Salah satu orator mengatakan bahwa kasus seperti ini tidak bisa didiamkan.

“Kekerasan akademik tidak boleh terjadi. Kampus harus bersifat akademis tidak boleh ada preman” teriak ihwal dalam orasinya.

Diketahui sebelumnya, dekan FEHI IAIM Sinjai ini melakukan kekerasan fisik dengan memukul salah satu mahasiswanya yakni Sulfadli, pada (15/1/ 2019) lalu saat aksi protes pembayaran kartu ujian. (Fajar Udin)

 

 

*Sebelumnya berita ini telah dimuat di media online jurnalfaktual.com edisi 21/03/2019

Categories
Berita Media SIPOL slide

DR Muh Anis M.Hum Dihukum Lantaran Main Pukul Pada Mahasiswanya

Tak terima dihadiahi jab kanan sang dosen mendarat dipipinya, seorang mahasiswa di FE dan Hukum Islam (FEHI) Institut Agama Islam Muhammadiyah (IAIM) Sinjai, lalu melaporkan kasus ini ke pihak berwajib.

Oleh pihak berwajib laporan yang masuk ditanggapi, karena memang itu salah satu tugas dari kepolisian. Laporan mahasiswa bernama Sulfadli ini diproses sampai dilimpahkan ke Kejaksaan.

Dari kejaksaan kasus dibawa ke meja hijau. Pada tanggal (21/3) Pengadilan Negeri Sinjai memutuskan perkara kasus penganiayaan ringan ini dengan menyatakan sang dosen terbukti bersalah.

Dalam persidangan tersebut, sang dosen bernama Dr. Muh. Anis, M. Hum, sebagai terdakwa divonis dengan hukuman 1 bulan hukuman percobaan.

Dengan hukuman itu Sang dosen tidak jadi masuk LP, namun selama 1 bulan dosen bergelar Doktor ini tak boleh bikin masalah lagi, meskipun hanya mendaratkan jab ayu swing kepada mahasiswanya atau kepada siapa saja.

Perbuatan dosen tersebut melanggar pasal 352 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) – yakni Penganiayaan Ringan.

Anis diberi hukuman 1 bulan kurungan masa percobaan, sesuai surat keputusan Pengadilan Negeri (PN) Sinjai, nomor: 4/pid.C/2019/PN.Snj.

Kendatipun kasus ini sudah sampai ke Pengadilan, namun sejumlah aktifis mahasiswa masih melakukan aksi unjuk rasa di depan Kantor PN Sinjai.

Salah satu orator mengatakan bahwa kasus seperti ini tidak bisa didiamkan.

“Kekerasan akademik tidak boleh terjadi. Kampus harus bersifat akademis tidak boleh ada preman” teriak ihwal dalam orasinya.

Diketahui sebelumnya, dekan FEHI IAIM Sinjai ini melakukan kekerasan fisik dengan memukul salah satu mahasiswanya yakni Sulfadli, pada (15/1/ 2019) lalu saat aksi protes pembayaran kartu ujian. (*)

 

 

*Sebelumnya berita ini telah dimuat di media online pilarbangsanews.com edisi 21/03/2019

Categories
Berita Media SIPOL slide

Oknum Dosen Pukul Mahasiswa IAIM Sinjai Divonis 1 Bulan Kurungan

Sidang putusan kasus kekerasan akademik yang dilakukan dekan Fakultas Ekonomi dan Hukum Islam (FEHI) Institut Agama Islam Muhammadiyah (IAIM) Sinjai. Kamis, (21/3/2019).

Sidang tersebut berlangsung di Pengadilan Negeri Sinjai Jalan. Jenderal Sudirman, Kabupaten Sinjai.

Dalam persidangan tersebut, dimana Dr. Muh. Anis, M. Hum, sebagai pelaku divonis dan dinyatakan bersalah.

Dengan melanggar pasal 352 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) – Penganiayaan Ringan.

Anis diberi hukuman 1 bulan kurungan masa percobaan, sesuai surat keputusan Pengadilan Negeri (PN) Sinjai, nomor: 4/pid.C/2019/PN.Snj.

Selain sidang putusan, aksi sejumlah mahasiswa juga mewarnai halaman PN Sinjai.

Salah satu orator mengatakan bahwa kasus seperti ini tidak bisa didiamkan.

“Kekerasan akademik tidak boleh terjadi. Kampus harus bersifat akademis tidak boleh ada preman,” teriak Ihwal dalam orasinya.

Diketahui sebelumnya, dekan FEHI IAIM Sinjai ini melakukan kekerasan fisik dengan memukul salah satu mahasiswanya yakni Sulfadli, pada (15/1/ 2019) saat aksi protes pembayaran kartu ujian.

 

*Sebelumnya berita ini telah dimuat di media online portalmakassar.com pada 21/03/2019

Categories
Berita Media slide

Aniaya Mahasiswanya, Oknum Dosen IAIM Sinjai Divonis Kurungan

Sidang putusan kasus kekerasan akademik yang dilakukan dekan Fakultas Ekonomi dan Hukum Islam (FEHI) Institut Agama Islam Muhammadiyah (IAIM) Sinjai. Kamis, (21/3/19).

Sidang tersebut berlangsung di Pengadilan Negeri Sinjai Jl. Jenderal Sudirman, kabupaten Sinjai.

Dalam persidangan tersebut, dimana Dr. Muh. Anis, M. Hum, sebagai pelaku divonis dan dinyatakan bersalah.

Dengan melanggar pasal 352 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) – Penganiayaan Ringan.

Anis diberi hukuman 1 bulan kurungan masa percobaan, menetapkan pidana tersebut tidak perlu dijalani kecuali jika dikemudian hari ada Putusan Hakim yang menentukan Iain disebabkan karena Terpndana melakukan suatu tidak pidana sebelum masa percobaan selama 6 (enam) bulan berakhit, membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sajumlah Rp. 2000 (due nbu ruplah). Sesuai surat keputusan Pengadilan Negeri (PN) Sinjai, nomor: 4/pid.C/2019/PN.Snj.

Selain sidang putusan, aksi sejumlah mahasiswa juga mewarnai halaman PN Sinjai.

Salah satu orator mengatakan bahwa kasus seperti ini tidak bisa didiamkan.

“Kekerasan akademik tidak boleh terjadi. Kampus harus bersifat akademis tidak boleh ada preman” teriak Ihwal dalam orasinya.

Diketahui sebelumnya, dekan FEHI IAIM Sinjai ini melakukan kekerasan fisik dengan memukul salah satu mahasiswanya yakni Sulfadli, pada (15/1/ 2019) lalu saat aksi protes pembayaran kartu ujian.

 

 

*Sebelumnya berita ini telah dimuat di media online suarajelata.com (21/03)

Categories
Berita Media

Rilis Catahu 2018, LBH Makassar Terima Pengaduan Luar Sulsel

Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Makassar mencatat, selama tahun 2018 ada 166 laporan warga yang diproses.Catatan itu adalah Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2018, dirilis LBH Makassar di kantor LBH Jl Pelita Raya 6, Rappocini, Makassar, Senin (31/12/2018) siang.

Kepala Operasional LBH, M Fajar Akbar mengaku, tahun 2018 ada 175 pemohon tapi diterima hanya ada 166, termaksud juga laporan dari media sosial (Medsos). “Untuk media sosial ada 49 pemohon, pemohon yang melalui media sosial ini berasal dari luar sulsel. Seperti Polman Sulawesi Barat (Sulbar),” kata M. Fajar.

Lalu, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Bukit Tinggi Sumatera Barat, Kendari Sulawesi Utara (Sultra), Palu Sulawesi Tengah, Denpasa Bali, dan DKI Jakarta. Sementara itu, untuk 13 Kabupaten dan Kota yang berada di Sulsel diantaranya, Makassar, Gowa, Maros, Takalar, Sidrap, Parepare, Enrekang, Bone dan Seppeng.

“Ada juga Wajo, Luwu Timur, Pinrang, Bulukumba dan Selayar. Berdasar sifat kasus 76 adalah kasus struktural, dan non struktural 90 kasus,” lanjut Fajar. Rilis Catahu 2018 ini, dihadiri Kepala Divisi Hak Sipil dan Keberagaman LBH, Abdul Azis Dumpa, dan Kepala Divisi Perempuan Anak LBH Ratna Kahali. (*)

(sebelumnya berita ini telah di muat di media online trinunnews.com pada 31 Desember 2018)

Categories
Berita Media SIPOL

Soal Penyekapan 3 Bocah, LBH Makassar: Ini Kejahatan Serius

Rakyatku.Com – Dugaan perlakuan tak manusiawi terhadap 3 bocah di Makassar, terus menjadi sorotan. DV (7), FN (2,5) dan AW alias OW (10), ditemukan dengan kondisi fisik penuh luka diduga akibat penganiayaan.

Atas kasus tersebut, Advokasi Publik LBH Makassar Azis Dumpa mengatakan, tindakan tersebut sebagai kejahatan serius.

“Kekerasan terhadap anak tidak bisa ditoleransi sama sekali. Setiap anak harus dipastikan terbebas dari tindakan tidak manusiawi, apalagi sampai nengalami penyekapan dan penganiayaan. Sehingga sudah sehrusnya pelaku diproses hukum pidana dan diberikan hukuman maksimal,” ungkap Azis, Senin (17/9/2018) malam.

Kasus tersebut menurut Azis, harus dituntaskan secara hukum. Namun psikologi para korban pun harus tetap menjadi perhatian pihak terkait.

“Kami berharap kasus ini tidak hanya berakhir pada proses hukum. Sebab ketiga anak tersebut, harus segera mendapatkan penanganan medis dan psikis. Karena tentu anak akan mengalami trauma. Dan membutuhkan  penanganan khusus agar pulih kembali,” tambahnya.

Pihaknya juga mendukung upaya yang dilakukan tim Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Makassar, yang dengan cepat memberikan perlindungan terhadap korban.

“Kami juga mendorong, agar kasus ini diungkap secara menyeluruh. Apa motif pelaku melakukan penyekapan dan penganiayaan terhadap anak. Termasuk kemungkinan dugaan perdagangan anak,” tambahnya.

Sebelumnya, anggota Polsek Panakkukang bersama dengan P2TP2A mendatangi TKP penyekapan 3 anak di Jalan Mirah Seruni Ruko FF pada Minggu (16/9/2018) sekitar pukul 23.00 Wita, setelah ditemukan dua orang anak-anak  yang diamankan oleh ibu RT setempat.

Ahmad mengatakan, anggota P2TP2A melakukan koordinasi dengan anggota Polsek Panakkukang untuk mendatangi TKP, lantaran menurut informasi dari warga setempat, masih ada anak yang disekap di dalam ruko FF.

Saat anggota Polsek Panakkukang bersama anggota P2TP2A mendatangi dan melakukan pengecekan di Ruko FF di jalan Mirah Seruni, pemilik ruko FF, tidak ada di rumahnya.

Categories
Berita Media EKOSOB

Paralegal Training for Parking Attendants

Parking attendants in Makassar were given paralegal training by the Makassar Legal Aid Institute. The program aims to improve legal awareness and embolden participants to fight corruption.

Tempo Media Grup – EVERY time he talks about current affairs concerning the law and politics, Syam­sudin—known as Aco—will inevitably get fired up. Oc­casionally he will contribute his own analyses. Once in a while, he will refer to laws that are relevant to whatever the issues being discussed, both criminal and civil, even laws on marriage.

The 51-year-old resident of Parang Tambung in Makassar, South Sulawe­si, says the comments he makes often surprise his conversation partners—perhaps because he is a “mere” park­ing attendant at a mall in Jalan Pengay­oman, Makassar. Aco has directed park­ing at the mall for 15 years, after trying his hand at various jobs upon finishing middle school. “Before, I was complete­ly blind about legal matters,” he said.

Aco explained that he began studying the law in a paralegal training program organized by the Makassar Legal Aid Institute (Makassar LBH) in 2015. Those who made presentations in the training program included representatives from the Makassar LBH, Indonesian Wom­en’s Legal Aid for Justice (LBH APIK), the Anticorruption Commission (ACC) and the South Sulawesi Information and Communication Forum for Non-gov­ernmental Organizations (Fikornop).

Besides parking attendants such as Aco, farmers as well as representatives from customary and coastal communi­ties also participated in the one-month training. “Daeng (honorific for a respected man in the Makassar tradition) Ngawing and I represented the Makas­sar Parking Attendants Union (SPJM),” said Aco.

The paralegal training did not only widen Aco’s horizons on legal affairs; it also gave the father of three courage. Through the program, Aco learned to recognize and fight attempts at intim­idation, both by law enforcement offi­cers and ordinary citizens using the ser­vices of parking attendants. Now, park­ing attendants who participated are bold enough to negotiate.

Last year, for example, Aco and Mursalim aka Ngawing led an audience between the SPJM, PD Parkir (regional parking enterprise) and the Makassar Regional People’s Representative Coun­cil (DPRD) to discuss the implementa­tion of smart parking, which would re­quire parking attendants to take photos of vehicles using their services.

According to the initial plan, PD Parkir would be receiving 60 percent of profits, while the rest would go to the parking attendants. The SPJM refused the plan. “On the field we’re exposed to the heat and rain. It would be unfair to receive a smaller portion of the earn­ings,” said Aco. The plan has not yet been implemented.

Aco says after the training, he and Ngawing served as confidantes for their peers at the SPJM, not only on parking affairs, but occasionally also for per­sonal matters such as divorce and do­mestic violence. They come to Aco and Ngawing because the around 300 SPJM members know that Aco and Ngawing also learned about domestic violence and gender issues in the paralegal train­ing program. “We’re thankful we can assist friends who are involved in legal issues,” he said. “If they run into a wall, then we’ll ask for the LBH’s help.”

Nonetheless, Aco does not deny that a number of problems are caused by the parking attendants’ own mistakes, for example parking fees that are too ex­pensive at certain locations. Usually, Aco or Ngawing would attend to such problems using a more personal ap­proach. “We’ll talk some sense into such ‘gangster’ parking attendants over cof­fee.”

THE various problems experienced by parking attendants are why the Makas­sar LBH held the paralegal training pro­gram. Another reason, said Makassar LBH Director Haswandy Andy Mas, was the disproportionate number of avail­able attorneys and paralegals com­pared to people in the community who need but cannot afford legal aid.

The LBH then brainstormed ways to empower the community, to effect structural changes in the legal sphere, by providing paralegal training on ba­sic legal knowledge. “We want the com­munity to be able to defend and fulfill their rights as citizens,” said Haswandy, known as Wawan.

Coincidentally, in 2010-2011, the LBH and Fikornop began advocating on be­half of parking attendants. At the time, PD Parkir had implemented fees for ve­hicles parked on public roads. Accord­ing to Wawan, the regulation could po­tentially harm parking attendants’ earnings as they must also deposit money to the owners of the property or buildings they work on, say restaurant and shop owners.

Because of this development, park­ing attendants began to be involved in routine discussions at the LBH office, also attended by representatives from the low-income urban community, such as street vendors, those living in slum neighborhoods, and victims of evic­tion. In the discussions, the LBH did not only perform legal mentoring, but also accustomed participants to addressing the public and speaking their minds.

The discussion sessions encouraged the LBH to hold paralegal training in 2015. The program was joined by 20 in­dividuals, Aco included. In the program, the LBH applied the standard nation­al curriculum for paralegal training, which, among others, covers topics such as gender equality, child protection, the environment, human rights and a num­ber of international conventions. “We also provided material on labor rights, in line with the problems they most of­ten encounter,” said Wawan.

Wawan said the organizers did have issues when they presented the materi­al, especially because none of the par­ticipants had any legal background and most had only completed middle school. Furthermore, participants did not truly understand the goal of the training pro­gram at first. “Some thought the train­ing was to help them evade the Police Mobile Brigade,” said Wawan, laugh­ing heartily. There were also partici­pants who claimed to feel “nauseated” because the material was too heavy.

Because of these issues, topics were always delievered contextually. When teaching about gender equality, say, the LBH’s team introduced the topic by discussing household problems. When teaching about the duties and author­ities of government institutions, the team would discuss issues experienced by the community. “So, they know their position and rights, for example when the parking fee is raised by the govern­ment,” said Makassar LBH’s division head of labor rights and rights of the poor, Firmansyah, known as Charlie.

According to Charlie, after the train­ing program was completed, partici­pants were still given indirect assis­tance by the LBH and Fikornop, espe­cially during legal predicaments.

Ngawing says the LBH’s paralegal training has improved his self-confi­dence. Although he is “only” a middle school graduate, Ngawing now has the courage to mediate issues, negotiate with law enforcement and accompany his colleagues who are involved in prob­lems with the police. “I had actually been wanting to do something about in­justices [for a long time], but only now do I have the courage, because I’ve learned a little bit about legal procedures,” said the 50-year-old.

But Ngawing still has two nagging concerns. First, the Makassar LBH has not provided follow-up paralegal train­ing for old participants—only for new ones. Meanwhile, Ngawing feels that he and alumni of the first program still need something of a refresher course. He believes that the discussions held at the LBH office are still insufficient for expanding his knowledge of the law.

The second concern is the lack of ini­tiative from young parking attendants to learn about the law. Ngawing says un­til today not one SJPM youth has shown interest in participating in the parale­gal training program. As a result, Ngaw­ing and Aco can only attempt to share their knowledge in routine SJPM meet­ings every Monday. They will occasion­ally invite LBH activists and Fikornop to speak at these meetings. “My hope is that more parking attendants will be in­creasingly vocal and critical,” he said.[]

Sumber : Majalah Tempo Edisi 20 Agustus 2018