Categories
EKOSOB slide

Simalakama UUP3H dan Penetapan Kawasan Hutan Soppeng Kembali Menjerat Petani Kecil

Natu’, Ario dan Sabang didampingi Penasehat Hukum di Kantor Kejaksaan Negeri Watansoppeng

 

Setelah enam bulan berproses di Kantor Kepolisian Resort (Polres) Soppeng, kini berkas perkara Satu Keluarga Petani asal Kampung Ale Sewo, Kelurahan Bila, Kecamatan Lalabata, yang dijerat UUP3H telah diserahkan atau dilimpahkan ke tahap 2 (P21) ke Kejaksaan Negeri Watansoppeng, Selasa (01/09/2020).

Mereka adalah Wa’ Natu (75), Ario Permadi (31), Sabang (47), warga kampung Ale Sewo yang sehari-hari bekerja sebagai petani, dilaporkan oleh Dinas Kehutanan Kab. Soppeng atas dugaaan tindak Pidana “melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang”, sebagaiman dalam rumusan Pasal 82 Ayat (1) huruf b Jo Pasal 12 huruf b dan/atau Pasal 82 Ayat (2) Undang-Undang RI No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan (UUP3H).

Pada bulan januari 2020 Wa’ Natu bersama anaknya – Ario Permadi menebang pohon jati di bantu oleh seorang paman Ario yaitu Sabang, dikebun seluas ±26 are yang diwariskan oleh orang tuanya – Takka. Pohon jati ini ditanam oleh Takka sewaktu masih hidup. Kebun ini dulunya pernah ditanami padi ladang dan jenis tanaman lainnya, namun karena struktur tanah yang berbatu membuat hasilnya kurang produktif, sehingga Almarhum Takka memutuskan menanan pohon Jati. Dari kebun jati inilah, keluarga Takka mengambil kayu bakar untuk keperluan acara hajatan seperti pernihanan, khitaman dll, termasuk 2 (dua) saudara Natu membangun rumah dari hasil kayu yang bapaknya tanam.

Ario Permadi sejak menikah masih tinggal dirumah Natu’, yang berada di Kampung Ale Sewo, Kelurahan Bila. Rumah berdinding bambu yang ia tempati sudah dibangun sejak tahun 1982, bahkan Ario lahir dirumah tersebut pada tahun 1988, di sebelah utara sekitar 20 m, masih terdapat Rumah kayu kecil peninggalan Kakeknya –Takka. Di rumah tersebut masih tinggal 2 adik laki-lakinya yang belum berkeluarga. Merasa sudah harus lebih mandiri, terlebih telah memiliki 2 anak perempuan, Ario berencana membangun rumah di sebelah rumah Kakaknya, yang juga masih merupakan tanah kebun peninggalan kakeknya.

Sebagaimana kebiasaan orang Bugis Soppeng, dengan ciri khas rumah kayu. Kayu Jati yang ditanam Kakeknya rencananya akan diolah menjadi bahan perkakas rumah. Pada Bulan Januari ia bersama bapaknya – Natu’ bin Takka kemudian mengerjakan bahan-bahan rumah Ario, mulai dari membuat tiang rumah, pasak, balok dll. Kayunya diambil dari menebang Jati di kebun yang berada di pinggir jalan Ale Sewo yang belum lama di beton melalui program PMPN Mandiri. Jarak kebun ke lokasi rencana rumah akan didirikan berjarak sekitar 50 m, dan sekitar 100 dari rumah Natu’.

Natu’ (75) menandatangani Berita Acara Penyerahan Berkas Perkara Tahap 2 (P21) di Kantor Kejaksaan Negeri Watansoppeng

 

Natu’ termasuk warga Negara yang taat membayar pajak, termasuk pajak kebun Jati yang ia tebang kayunya. Dari bukti SPPT yang tersimpan, tercatat sejak tahun 1997 hingga terakhir 2020, pajaknya masih aktif dibayarkan. Makanya ia sangat kaget saat mendapat panggilan oleh Polres Soppeng dan dituduh melakukan perbuatan Pidana. Apalagi selama ini ia memang tidak mengetahui bahwa wilayah tersebut telah ditetapkan sebagai kawasan Hutan lindung. Pun mendengar kebun dan rumahnya masuk kawasan hutan sontak membuatnya heran dan bertanya-tanya.

Jika dicek Peta kawasan Hutan Kab. Soppeng melalui GPS, berdasarkan perubahan peruntukan fungsi kawasan hutan dan penunjukan bukan kawasan menjadi Kawasan hutan di provinsi Sulawesi Selatan dalam SK 362 /Menlhk/setjen PLA.0/ 05/ 2019, kebun Natu dan Rumah-rumah di Kampung Ale Sewo termasuk rumah Natu dan keluarganya telah masuk klaim kawasan hutan. Sementara itu, mereka tidak pernah mengetahui dan diberi tahu bahwa kebun dan tanah-tanah mereka kuasai secara turun temurun telah dimasukkan klaim kawasan hutan.

Perkara yang dialami Keluarga Wa’ Natu ini, bukan kasus pertama yang terjadi di Soppeng. Pada Tahun 2017, 3 Petani asal Desa Umpungeng yaitu Jamadi, Sukardi, dan Sahidin juga dijerat oleh UUP3H dengan pasal yang sama dan ditangkap dikebun masing-masing. Namun pada tahun 2018, mereka dinyatakan tidak bersalah dan bebas oleh Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Watansoppeng, karena ketiganya telah mengusai dan mengelolah kebun secara turun temurun dan memanfaatkan hasilnya untuk kebutuhan sehari-hari dan berbagai macam hajatan keluarga.

Dalam putusannya, Hakim menyatakan bahwa ketiganya tak bisa dijerat dengan UUP3H, karena merupakan petani tradisional yang sudah turun temurun mengelola kebun yang diklain masuk kawasan hutan dan memanfaatkan hasil kebun untuk keperluan sehari-hari. Penuntut umum kemudian mengajukan kasasi dan pada bulan Februari 2019 Mahkamah Agung menjatuhkan putusan yang isinya menguatkan putusan PN Watansoppeng.

Sejatinya UU P3H dibuat untuk menjerat pelaku kejahatan pembalakan liar dari kelompok atau korporasi dengan modus operandi canggih untuk kepentingan komersial. Selain itu Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 95/PUU-XII/2014 tertanggal 10 Desember 2015 yang pada pokoknya menyatakan bahwa Ketentuan pidana Kehutanan dikecualikan terhadap masyarakat yang secara turun–temurun hidup didalam kawasan hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersil.

Natu’, Ario dan Sabang didampingi Penasehat Hukum di Kantor Kejaksaan Negeri Watansoppeng

 

Wa’ Natu, Ario Permadi dan Sabang adalah petani kecil di kampung Ale Sewo, dusun Sewo, Kelurahan Bila, Kecamatan Lalabata, kab. Soppeng yang menggantungkan kehidupannya pada hasil hutan dan tanah yang digarapnya secara turun-temurun sejak bertahun tahun lampau.

Sejak awal dipanggil pada bulan Februari 2020, Wa’ Natu, Ario Permadi dan Sabang dihadapan penyidik sudah menerangkan bahwa mereka menabang pohon semata-mata untuk membangun rumah dan lokasi penebangan pohon dilakukan  di kebun milik wa’ Natu sendiri yang telah dikuasai dan dikelolanya secara turun-temurun sementara pohon yang ditebangnya adalah pohon yang ditanam oleh wa’ Natu bersama orang tuanya puluhan tahun lampau.

Tetapi kenyataan tersebut tidak membuat penyidik Polres Soppeng berhenti melakukan penyelidikan/penyidikan dan tetap saja secara terus-menerus melayangkan panggilannya ke Wa’ Natu, Ario Permadi dan Sabang, bahkan ketiganya malah ditetapkan sebagai tersangka menggunakan UU P3H ini. Saat pamanggilan pertama dilayangkan oleh Penyidik Polres Soppeng, bersamaan dengan itu Wa’ Natu, Ario Permadi dan Sabang mulailah dirundung kekhawatiran akan nasibnya, sebab selama ini Wa’ Natu, Ario Permadi dan Sabang tidak pernah berhadapan dengan hukum.

Melihat kenyataan yang dialami oleh Jamadi, Sahidin serta Sukardi dan proses hukum yang menimpa Latu’ Natu, Ario Permadi dan Sabang semakin menguatkan pameo bahwa hukum itu tumpul ketas, tajam kebawah. Hukum yang seyogyanya lahir untuk memberi perlindungan dan mengokohkan Hak Azasi Manusia (HAM), lebih-lebih masyarakat kecil dan rentan, tetapi kenyataannya menjadi alat delegitimasi atas HAM, seratus delapan puluh derajat terbaliknya untuk perlindungan HAM.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *