Pada masa Orde baru, pengadaan lahan Hak Guna Usaha (HGU) merupakan modus perampasan hak atas Tanah Rakyat. Berbagai perampasan dan pencaplokan tanah-tanah rakyat dengan mengatasnamakan demi kepentingan umum, namun faktanya pembangunan yang dimaksud hanya untuk kepentingan segelintir orang saja pemegang tampuk kekuasaan. Fenomena ini berlaku secara umum dan sebuah fakta sejarah pada hampir semua tanah-tanah milik perusahaan raksasa perkebunan bersertifikat HGU yang ada sekarang.
Tidak terkecuali dengan Lahan Perkebunan Tebu milik PTPN XIV Kab. Takalar yang sudah berdiri sejak Tahun 1980, dan sebelumnya pada tahun 1978 adalah milik PT. Madu Baru. Berdirinya Lahan tersebut berdasarkan Hak Guna Usaha yang kontraknya selama 30 tahun. Proses penerbitan HGU lahan Tebu tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada pada masa itu, khususnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, Permendagri No. 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan – Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996. Pemerintah daerah mengeluarkan keputusan biaya ganti rugi pembebasan lahan secara sepihak dan memaksa para petani kec. Polongbangkeng utara dan kec. Polongbangkeng selatan kab. Takalar untuk menerima keputusan Pemerintah daerah dengan cara – cara intimidasi, teror, penangkapan, penahan, dan kekerasan sampai mengakibatkan jatuhnya beberapa korban jiwa. Mereka yang melakukan intimidasi dan kekerasan adalah dari kelompok Militer serta para Feodal. Meskipun dalam situasi mencekam, namun petani tetap melakukan upaya – upaya perlawanan, dan tidak lupa mewarisi garis perlawanan pada setiap generasi untuk mereka yang pulang lebih awal.
Pengelolaan perusahaan di bawah Rezim Militer Orde Baru masih sangat kuat, sehingga upaya-upaya perlawanan petani untuk mendapatkan kembali hak-hak mereka tidak menemukan titik terang. Sebagian dari mereka masih bertahan dan tidak sedikit yang meninggalkan kampung halaman untuk mencari nafkah dan menghidupi keluarga mereka. Petani yang memilih tidak meninggalkan kampung, harus rela menjadi buruh tebang Tebu di Perusahaan dengan kerja ekstra berat dan upah yang sangat minim. Diantara mereka ada yang terpaksa menggarap pinggiran lahan tebu dengan resiko penangkapan dan didenda, karena dianggap menyerobot area HGU dan merusak tebu.
Bagi mereka yang memilih meninggalkan kampung halaman untuk mencari kerja layak di daerah lain dan bahkan ke luar Negeri menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) maupun Tenaga Kerja Wanita (TKW). Bagi laki – laki, lebih rela memilih jadi Buruh bangunan, Tukang becak, Buruh angkut. Dan bagi perempuan memilih untuk pindah ke daerah-daerah penghasil beras untuk menjadi buruh tani dengan memungut sisa – sisa padi hasil panen. Tidak sedikit anak – anak dari mereka terpaksa meninggalkan bangku sekolah untuk membantu orangtuanya menghidupi keluarga.
Setelah 30 Tahun kemudian dengan berakhirnya masa HGU. pada tahun 2008, perjuangan Petani kembali memuncak. Kali ini mereka tidak sendiri, beberapa organisasi Civil society sepeti LBH Makassar dan Organisasi pendamping lainnya turut bergabung dalam perjuangan yang kemudian membentuk Organisasi Serikat Tani Polongbangkeng (STP) Takalar. Secara resmi, Organisasi ini baru dideklarasikan dan Musyawarah Besar (Mubes) untuk pertama kali pada tahun 2010 di Benteng Somba opu, Kab. Gowa. Meskipun belum secara Resmi, namun perjuangan petani sudah mulai terkoordinasi dan rapi. Melalui organisasi, secara perlahan para petani anggota STP mulai terdidik, mendapatkan pengetahuan secara luas, membuka akses komunikasi dan informasi dengan Organisasi petani di daerah lain, dan yang paling penting adalah memperoleh kesadaran politik.
Perjuangan petani melalui Organisasi kembali berhadapan dengan kelompok lama. Karena meskipun rezim Orba sudah jatuh melalui gelombang Reformasi, namun masih mewarisi kelompok Aparat, Militer, bahkan gerombolan sipil alyas Freeman (pengangguran/sampah sosial) yang memiliki kesamaan rupa, watak maupun Genetika. Sejengkalpun petani anggota STP tidak mundur dari garis perlawanan, dengan prinsip bahwa, “mundur sudah pasti mati, maka dari pada mati perlahan kelaparan lebih baik mati terhormat berjuang karena hak, dan inilah yang dimaksud mati Syahid sesungguhnya ”.
Di bawah koordinasi organisasi, para petani mencoba melakukan upaya Recklaiming/pendudukan kembali dengan memasuki lahan untuk mengelola dan mencoba mengambil alih kembali lahan yang selama ini di bawah penguasaan Ptpn xiv. Merespon gerakan petani, Ptpn xiv tidak tinggal diam. Ptpn kemudian mengerahkan aparat secara besar – besaran untuk menghalau massa, sehingga terjadi letupan besar yang menimbulkan banyak korban petani. Insiden ini lebih dikenal dengan “peristiwa Pakkawa”. Pakkawa merupakan nama kampung di kelurahan parang luara di Blok-S lokasi perkebunan PTPN XIV. Dari insiden tersebut, beberapa petani mengalami luka tembak, sebagian ada yang ditangkap, ditahan, dikriminalisasi dan diproses secara hukum.
Ketegangan konflik terus berlanjut, petani anggota STP kembali menghimpun kekuatan untuk kembali melakukan langkah Reclaiming. Perebutan lahan antara petani dengan karyawan PTPN XIV terus berlanjut dengan eskalasi konflik yang tinggi, bahkan gesekan secara fisik tidak bisa dihindari. Aparat kembali melakukan penyisiran ke kampung – kampung untuk melakukan penangkapan terhadap beberapa petani. Aksi yang dilakukan aparat kepolisian ini membuat suasana di kampung – kampung mencekam dan masyarakat menjadi resah.
Melalui perjuangan secara organisasi, upaya-upaya Reclaiming terus dilakukan dan secara perlahan berhasil menguasai lahan. Pada tahun 2012, anggota STP Takalar berhasil menguasai kurang lebih 1/3 luas lahan HGU PTPN XIV Takalar. Penguasaan tersebut merupakan capaian tertinggi petani dalam melakukan Reclaiming selama berjuang.
Dampak ekonomi-sosial-politik setelah Reclaiming
Setelah menguasai lahan HGU, Kini masyarakat mengelola sebagai lahan pertanian. hasil – hasil pertanian memberikan manfaat secara ekonomi bagi petani. orang – orang yang dahulu meninggalkan kampung demi mencari pekerjaan di daerah bahkan Negara lain, kini mereka telah kembali. bukan cuma masyarakat yang mengelola, banyak yang lain seperti supir yang mengangkut hasil panen, para pedagang yang dipasar juga menjual hasil panen masyarakat, dan banyak sektor lain yang tentunya sangat memberikan kontribusi yang jelas kepada pendapatan daerah. Anak – anak dari mereka mulai memakai baju seragam sekolah untuk menikmati pendidikan sebagaimana dengan yang dinimati anak-anak lainnya.
Penguasaan lahan tersebut dibarengi dengan gelombang kesadaran dan kekuatan petani yang semakin meningkat. Setiap tahun, jumlah Ranting desa dan anggota STP semakin bertambah. Kerja – kerja Organisasi mulai dijalankan secara Progresif seperti; Mubes secara Rutin untuk melakukan evaluasi kerja, tantangan, ancaman, dan capaian Organisasi, serta untuk menjalankan roda organisasi dengan memilih kembali pimpinan kolektif organisasi secara demokratis, sistem administrasi dan keuangan Organisasi perlahan mulai efektif dengan diberlakukannya iuran anggota untuk menopang keberlangsungan organisasi.
Peningkatan kekuatan organisasi petani, berbanding terbalik dengan PTPN XIV yang semakin melemah dan tersudutkan. Bahkan, beberapa sumber informasi mengatakan bahwa, setiap tahunnya PTPN XIV selalu mengalami penurunan produksi dan mengalami kerugian. PTPN XIV kesulitan mendapat dana untuk tetap beroperasi. Akan tetapi, Pemerintah pusat tetap memberikan suntikan dana, sehingga sampai sekarang masih tetap bertahan. Di sisi lain, managemen internal PTPN XIV semakin kacau balau yang berujung pada mencuatnya kasus korupsi.
Pihak lain yang turut memiliki kepentingan atas konflik HGU adalah Pemerintah Kab. Takalar sebagai perpanjangan tangan Negara. Kepentingan tersebut berupa fungsi kewenangan untuk mengatur pemanfaatan dan peruntukan lahan setelah berakhirnya HGU sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah daerah kemudian beberapa kali menawarkan kepada STP untuk menjalin kerjasama dengan sistem kemitraan tebu rakyat antara Pemkab-PTPN XIV dan anggota STP Takalar . Akan tetapi, STP menolak mentah tawaran tersebut, karena dianggap merugikan Petani. Anggota STP merasa dirugikan karena tawaran tersebut akan memberikan ruang besar bagi kelompok feodal untuk mengambil keuntungan besar dari sistem tebu rakyat.
Pasang surut perjuangan Organisasi
Di tengah gelombang pembangunan kesadaran politk anggota STP, PTPN XIV juga tidak berhenti menebar teror dan terus berupaya mengambil alih pengelolaan paksa lahan yang selama ini sudah digarap oleh petani anggota STP. Baru-baru ini tepatnya bulan Oktober 2014, petani anggota STP kembali diuji. PTPN XIV mengerahkan seluruh kekuatan dan elemen yang ada untuk menghantam gerakan organisasi STP. Jika sebelum-sebelumnya, dalam beberapa konflik penguasaan lahan, PTPN XIV menjadi leading yang berhadap-hadapan langsung dengan petani anggota STP, sementara yang lainnya hanyalah aktor pendukung. Akan tetapi, berbeda dengan yang baru-baru terjadi. Para aktor lama banyak belajar tentang kegagalan melawan petani, sehingga pada kejadian baru-baru ini seolah mereka tampil dengan wajah baru. Tidak sekedar itu, Pola-pola perampasan tanah yang selama ini digarap petani pun ikut berubah. Relasi di lingkaran kekuasaan politik Daerah dengan PTPN XIV semakin sulit terkontrol.
Keterlibatan aktor politik (ketua DPRD Takalar) di lapangan yang langsung memimpin pengelolaan paksa. Aktor ini merupakan feodal lama dan dikenal sebagai bekas pimpinan massa yang kejam dan memiliki banyak gerombolan pengikut yang dikenal dengn istilah preman bayaran. Secara psikologi, warga tertekan dengan ulah aktor ini. Ia kemudian mengerahkan ratusan massa bahkan mendatangkan dari luar Takalar untuk mengawal karyawan PTPN XIV dalam pengelolaan paksa. Bahkan beberapa petani melihat ulah anggota DPRD melakukan tindak kekerasan terhadap beberapa orang perempuan yang pada saat itu sedang menghalau pengelolaan. Padahal, keberadaan aktor tersebut sama sekali tidak berdasar.
Aparat Polres Takalar dan Brimob tidak mau kalah tampil garang di lapangan. Satuan Brimob ini langsung di bawah koordinasi Polda Sulselbar. Keberadaan Brimob tidak sekedar mengamankan petani yang berusaha menghalau pengelolaan. Akan tetapi, justru mengoperasikan langsung mobil traktor dan menodongkan moncong senjata laras panjang ke arah petani.
TNI Kodim/koramil turut pasang badan menakut-nakuti petani dan mem-back up para gerombolan preman sewaan dalam melakukan penyisiran ke kampung-kampung, merusak, meneror dan menangkap para petani. Warga kembali resah karena aparat yang harusnya menciptakan situasi aman terkendali, namun justru mereka yang menciptakan suasana tidak aman dan tidak terkendali
Pada akhirnya, sebagian lahan petani anggota STP yang selama ini sudah dikuasai/digarap, terpaksa diambil alih kembali oleh PTPN XIV. Akan tetapi, STP tetap melakukan perlawanan dengan terus memperkuat organisasi, memperkuat jaringan dengan organisasi pendamping baik di wilayah maupun di Nasional.
Peranan LBH Makassar dalam kerangka Bantuan Hukum Struktural (BHS)
“Keberhasilan dalam upaya Litigasi hanyalah kemenanga-kemenangan kecil, dan kemenangan sesungguhnya adalah ketika Petani sudah memiliki kesadaran hukum kritis, mandiri secara politik, ekonomi dan sosial”(Haswandy AM,PBH LBH Makassar)
Sejak awal masuknya LBH Makassar mendampingi Petani adalah memperjuangkan hak petani untuk mendapatkan kembali HAK ATAS TANAH. Dimulai dengan pengorganisasian, penyadaran petani secara politik maupun hukum kritis sampai dengan upaya – upaya Reclaiming, serta perjuangan untuk mendapatkan legalitas kepemilikan tanah oleh petani. Yang paling penting adalah, petani tetap menjadi aktor utama dalam perjuangan merebut kembali HAK ATAS TANAH. Namun, di tengah – tengah meningkatnya eskalasi konflik yang sudah mengakibatkan beberapa korban kriminalisasi, maka LBH Makassar sangat berperan penting dalam hal Pendampingan terhadap korban kriminalisasi. Hal ini bertujuan untuk tetap menjaga semangat dan psikologi perlawanan petani. Selain itu, LBH Makassar juga sangat berperan untuk penyusunan rencana bersifat taktis maupun strategis. Advokasi non-litigasi mesti menjadi prioritas kerja utama. Hal ini dimaksud agar kekuatan massa tetap terjaga dalam kondisi apapun, serta yang paling penting adalah agar upaya Litigasimendapat dukungan untuk melakukan Preasure politik pada lembaga Negara terkait yang tidak berpihak kepada Petani.
ditulis oleh : Edy Kurniawan (salah seorang PBH LBH Makassar)