Catatan Keberhasilan

Agar Proses Hukum Berkeadilan bagi Korban: Catatan Pendampingan Kasus Perkosaan Perempuan Difabel

Pada tanggal 17 Juli 2020 di Pengadilan Negeri Makassar, telah dibacakan putusan terkait kasus Kekerasan Seksual (Perkosaan) terhadap korban anak berinisial PE (17). PE merupakan anak perempuan difabel tuli yang mengalami kehamilan atas perkosaan tersebut. Pembacaan putusan berlangsung dengan harapan bahwa pelaku akan mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Pelaku didakwa atas tindak pidana Persetubuhan Terhadap Anak sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1), dengan ancaman maksimal pidana penjara 15 tahun, UU No. 17 Tahun 2016 tentang Tap Perpu No.1 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Berdasarkan hasil putusan yang dibacakan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar memutus bahwa, “Sdr Terdakwa AG dijatuhi hukuman pidana penjara 12 tahun, dengan denda sebesar Rp 100 juta atau subsider 2 bulan penjara.”

Sejak awal kasus ini telah melibatkan tim pendamping hukum dari LBH Makassar dan organisasi penyandang difabel, PerDik Sulsel. Meski mendapat pendampingan, proses hukum tidak menjadi mudah bagi korban kekerasan seksual seperti PE. Kasus perkosaan terhadap PE telah bergulir kurang lebih 1 (satu) tahun 7 (tujuh) bulan, sejak masuknya laporan polisi tanggal 03 Desember 2018 hingga putusan 17 Juni 2020.

Di dalam pemeriksaan dilibatkan juru bahasa isyarat yang dihadirkan oleh PerDik sebagai penerjemah. Namun tetap ditemui hambatan sebab PE tidak pernah menempuh pendidikan formal dan diperkenalkan dengan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO). PE berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat ibu dimana kosakata yang ia pahami masih terbatas sehingga proses penerjemahan dalam proses hukum diperlukan penyesuaian. Proses yang berjalan di tingkat kepolisian memakan waktu yang cukup lama yakni 1 (satu) tahun lebih hingga akhirnya perkara dilimpahkan ke Kejaksaan, terhitung pula jeda waktu bagi PE untuk menjalani persalinan.

Di lingkungannya, PE dan keluarga dikucilkan dan nyaris diusir oleh Ketua RT dan warga sekitar. Terlebih di tahap penyidikan AG yang saat itu tersangka belum ditahan dan masih tinggal di lingkungan yang sama. Apa yang terjadi pada PE dianggap aib oleh warga, meski pada akhirnya upaya pengusiran tersebut dapat dicegah oleh tim pendamping hukum, PE dan ibunya memutuskan untuk pindah dari lingkungan tersebut bersama bayi yang telah PE lahirkan.

Sebab itu proses pemulihan bagi PE membutuhkan waktu. Saat ini PE dan ibunya masih menjalani konseling pada salah satu biro psikolog rujukan LPSK di Kota Makassar. Dalam rehabilitasi tim pendamping hukum melibatkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memberikan dukungan rehabilitasi medis, psikis dan sosial bagi PE dan ibunya. Pada proses hukum melalui LPSK juga didorong adanya restitusi bagi PE.

Hukuman terhadap pelaku perkosaan yang menciptakan efek jera, adalah sudah semestinya demi memenuhi rasa keadilan korban. Terlebih dalam kasus ini dilakukan terhadap anak perempuan penyandang difabel. Putusan hakim dalam kasus PE patut disyukuri, mengingat banyak kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak yang bahkan tidak sampai disidangkan karena beragam hambatan yang belum mampu dijawab aturan hukum yang berlaku. Maka negara sudah seharusnya bersikap tegas dalam memerangi kekerasan seksual melalui sistem yang menjamin akses keadilan bagi korban, dengan tidak terbatas pada penindakan pelaku namun juga pemulihan korban dan pencegahan keberulangan.

Oleh: Melisa Ervina/PBH LBH – Makassar

Bagikan

Kegiatan Lainnya

akas 1
Impian Masa Kecil Seorang Tuli menjadi Super Hero
LBH Makassar
Keberhasilan Reklaiming Petani Belapunranga Atas HGU PTPN XIV
Kasus Eks. Buruh PT
Eks. Buruh PT. Gasina Berhasil Paksa Perusahaan untuk Menjalankan Putusan Pengadilan
Skip to content