Bagi negara agraris, masalah tanah pada hakikatnya adalah masalah fundamental. Sepanjang sejarah, sejak nenek moyang kita berburu di hutan, mengumpulkan hasil hutan, kemudian bertani sampai kepada bercocok tanam secara menetap, penguasaan dan pemanfaatan tanah seringkali menimbulkan sengketa. Setelah hidup bermasyarakat dan bercocok tanam, maka masalah tanah menjadi masalah yang sangat mendasar, karena sejak itu tanah mempunyai fungsi pokok kehidupan yaitu sebagai tempat tinggal, fungsi sosial, fungsi religius, serta menjadi faktor produksi yang utama. Masalah – masalah itu terjadi karena tanah – tanah yang subur semakin dikuasai oleh segolongan kecil pemilik tanah yang memiliki kekuatan politik, atau kaum “raja uang” yang merampas tanah – tanah petani untuk kepentingan industri.
Dinamika Perubahan Politik
Melalui proses yang panjang, terbentuklah Undang – Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Dasar Dasar Pokok Agraria (UUPA) yang disahkan pada tangal 24 September 1960. Dimana UUPA adalah sebuah kebijkan politik hukum agraria yang berpihak pada petani. Politik hukumnya dapat dilihat dengan adanya upaya untuk merealisasikan kehendak kemerdekaan dan kesejahterakan rakyat melalui penghapusan praktek – paraktek eksploitatif pemerintah kolonial, baik kaum kapitalis asing maupun kaum feodal.
Tujuan UUPA pada dasarnya adalah : pertama, untuk menghapuskan sistem hukum kolonial melalui peletakkan dasar – dasar hukum agraria nasional. Kedua, untuk membuat suatu payung hukum agraria yang bersifat nasional. Ketiga, untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak – hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya dengan penerbitan sertifikat sebagai tanda bukti pemegang hak.
Namun, peristiwa politik 30 September 1965 telah memicu perubahan konstelasi politik secara drastis. Puncak dari gelombang itu adalah tumbangnya presiden Soekarno yang mengakibatkan adanya perubahan pokok politik agraria dari populisme (sosialisme ala Indonesia) menuju kapitalisme. Sebagai antitesa dari reformasi agraria, rezim orde baru kemudian mendengungkan revolusi hijau melalui swasembada pangan, eksploitasi hutan dan agro-industri. Beberapa fakta sejarah menunjukkan bahwa swasembada pangan ala revolusi hijau tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan setiap rumah tangga petani di pedesaan. Program ini pada gilirannya mengangkat kembali sistem eksploitasi yang dilakoni oleh kaum kapitalis dan feodal.
Tantangan Masa Depan Petani
Hingga saat ini, masalah agraria khususnya masalah tanah sudah semakin akut. Berbagai jenis sengketa tanah berlangsung dalam frekuensi dan intensitas yang mengkhawatirkan. Data BPS (Badan Pusat Statistika) tahun 2013 menunjukkan terjadinya penurunan drastis jumlah rumah tangga petani (RTP) dalam kurun waktu 10 tahun (2003-2013) dari 31,17 juta menjadi 26,13 juta RTP. Sebagian besar (55,33%) merupakan petani gurem yakni hanya memiliki tanah 0,5 hektar atau petani penggarap yang tidak memiliki tanah (tunakisma). Salah satu faktor penyebabnya adalah berkurangnya tanah pertanian akibat alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian.
Faktor lain misalnya yang terjadi di Sul-sel, sejak tahun 1980-an hingga sekarang tidak kurang dari 600 KK (kepala keluarga) petani di Kecamatan Polongbangkeng Utara, Kabupaten Takalar kehilangan lahan produktif akibat masuknya PT. Perkebunan Nusantara XIV Takalar yang memiliki konsesi ± 7400 hektar. Nasib serupa juga dialami oleh ratusan keluarga petani di Keera, Kabupaten Wajo dan di Maiwa, Kabupaten Enrekang.
Konkritnya, struktur pemilikan dan penguasaan tanah saat ini semakin timpang, penguasaan sumber daya agraria hanya terkonsentrasi pada sekelompok kecil pengusaha maupun korporasi, monopoli – monopoli agraria, serta konflik – konflik agraria yang berkepanjangan. Namun, apa yang terjadi sesungguhnya pada sengketa tanah, bukanlah kelangkaan sumber daya tanah semata. Tetapi yang utama adalah terjadinya ekspansi dan penetrasi modal secara massif yang difasilitasi oleh hukum dan kebijakan pemerintah.
Reforma Agraria Sebagai Jawaban
Dalam situasi krisis menyeluruh seperti ini, reforma agraria (land reform) harus dijadikan agenda mendesak bangsa. Dalam buku Setiawan dan Bachriadi (Ed; 1999), berpandangan bahwa tanpa land reform, fondasi ekonomi nasional akan keropos dan setelahnya perekonomian akan mengalami kontradiksi permanen dan menciptakan keterbelakangan.
Sebagaimana dalam agenda prioritas Nawaciata mengamanatkan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan dengan mendorong reforma agraria. Maka dalam mewujudkan penataan kembali penguasaan dan pemilikan tanah diluncurkan program redistribusi lahan seluas ± 9 juta hektar.
Pertanyaannya adalah : pertama, benarkah apa yang akan dilaksanakan itu merupakan reforma agraria sejati? ataukah hal itu dilakukan sekedar menggugurkan janji Nawacita. Kedua, apakah perangkat birokrasi khususnya di daerah sudah memiliki komitmen politik untuk mewujudkan reforma agraria? Dua pertanyaan tersebut saling berkaitan. Namun menurut saya, kontestasi politik saat ini belum memungkinkan dilakukannya reforma agraria sejati, karena terdapat beberapa prasyarat penting belum terpenuhi. Pertama, kepentingan bisnis harus terpisah dari elite politik. Sedangkan yang kita tahu bahwa tidak sedikit elite nasional maupun daerah saat ini adalah “businessmen”. Kedua, dukungan militer yang secara tulus dan antusias belum nampak. Sebab, pengalaman sejarah di berbagai negara seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Ethiopia, dan Cuba membuktikan bahwa reforma agraria yang berhasil adalah yang didukung, atau bahkan diprakarsai oleh militer.
Meskipun kita tidak menafikan bahwa beberapa elite kita khususnya yang ada di BPN (Badan Pertanahan Nasional) memang mempunyai niat tulus. Namun yang harus dihadapi adalah realitas politik saat ini, membuat keadaan dilema antara reformasi agraria sejati atau tidak sama sekali. Akan tetapi, setidaknya untuk sementara dapat dikompromikan. Biarlah untuk sementara ini Reforma Agararia “setengah hati” saja sebagai tahap pendahuluan, daripada tidak sama sekali.*
Penulis : Edi Kurniawan Wahid (PBH LBH Makassar)
sumber foto cover : republica.co.id
Comments
No comment yet.