Kepolisian merupakan bagian dari aparatur sipil yang dipersenjatai yang juga merupakan pranata umum sipil yang mengatur tata tertib (orde) dan hukum. Oleh karenanya, salah satu amanah reformasi pasca pemisahan TNI-Polri yaitu merubah kultur Kepolisian dari militeristik ke arah demokratik, sehingga aktifitas kepolisian di tengah masyarakat dapat dilaksanakan secara terkendali.
Presiden Jokowi pada pelantikan Kapolri baru Juli lalu telah menitipkan reformasi Polri khususnya reformasi kultural agar menjadi prioritas. Kapolri baru telah menyusun 10 program salah satunya, memantapkan reformasi Polri, terutama pada 3 masalah kultural yang mendasar yaitu perilaku korup, kekerasan eksesif, dan sikap arogan.
Namun, menengok ke realita, Reformasi Polri sebagaimana banyak kebijakan di negara ini, masih ambigu dan cenderung inkonsisten. Di satu sisi, berbagai kebijakan formal, baik undang-undang, peraturan pemerintah, hingga peraturan kapolri, telah ditetapkan. Namun, Kepolisian tampak gamang dan cenderung tidak serius menegakkan hukum ketika aparat kepolisian sendiri yang melanggar. Terutama bila terjadi kekerasan di tahap penyelidikan dan penyidikan serta dalam proses penangkapan dan penahanan, dimana sering terjadi penyalahgunaan kewenangan oleh Kepolisian, melalui penggunaan kekerasan eksesif dan senjata api berlebihan. Walau dalam Perkap No 8/2009 pasal 11 ayat (1) huruf J telah disebutkan dengan jelas, “Setiap petugas/anggota Polri dilarang : menggunakan kekerasan dan/atau senjata api yang berlebihan”. Faktanya memang kekerasan masih terus terjadi, tanpa itikad baik untuk menindak para pelaku. Padahal Polri juga telah membuat MoU dengan Komnas HAM dan Ombudsman untuk membangun sinergisitas dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM dan penyalahgunaan kewenangan anggota Polri.
Dasar-dasar normatif reformasi polri telah lama dibuat dalam rangka pengendalian pelaksanaan kewenangan dalam tugas-tugas kepolisian di dalam masyarakat. Akan tetapi kepatuhan terhadap hukum, memang masih teramat jauh wujudnya di lembaga yang salah satu tugas pokoknya adalah penegakan hukum ini. Penegak hukum tak taat hukum, masih menjadi sebuah kultur yang sulit dirubah. Fakta dari beberapa kasus yang masih banyak terjadi, menunjukkan masih rendahnya komitmen melaksanakan reformasi kepolisian dan memenuhi prinsip2 HAM.
Sepanjang tahun 2016 ini, LBH Makassar telah menerima 14 (empat belas) Kasus kekerasan yang diduga dilakukan oleh aparat kepolisian dari 9 (Sembilan) Pengaduan/ Permohonan bantuan hukum dari masyarakat/korban . Kasus-kasus kekerasan aparat Polri tersebut, diduga dilakukan dengan pola-pola Penembakan (5 kasus), Penganiayaan (7 Kasus), dan Penyiksaan (7 Kasus). Oleh karenanya, oknum-oknum aparat kepolisian yang terlibat patut diduga telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana ketentuan yang diatur Pasal 33 UU No. 33 Tahun 1999 tentang HAM.
Bahwa atas adanya dugaan telah terjadi tindak pelanggaran HAM dalam kasus ini, maka oknum-oknum Anggota Polri yang terlibat harus pula diberikan sanksi pidana, Perdata dan Administrasi. Hal ini sangat jelas diatur dalam beberpa ketentuan hukum yang berlaku :
-
Penjelasan umum UU No. 33 Tahun 1999 tentang HAM, yang berbunyi: “Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia ini adalah merupakan payung dari seluruh peraturan perundang-undangan tentang hak asasi manusia. Oleh karena itu, pelanggaran baik langsung maupun tidak langsung atas hak asasi manusia dikenakan sanksi pidana, perdata, dan atau administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”;
-
Protokol PBB Tahun 1980 tentang Prinsip-Prinsip Dasar Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Aparat Penegak Hukum yang telah dijadikan dasar penerbitan dan pemberlakukan Protap Kapolri No. 1 Tahun 2010. Dimana Prinsip 7 Protokol PBB tersebut menyatakan: “eenyalahgunaan atau penggunaan kekerasan dan senjata api sewewenang-sewenang oleh petugas penegak hukum harus dihukum sebagai pelanggaran hukum domestik (pidana)”.
-
Ketentuan pidana sebagaimana yang diatur dalam KUHP, antara lain : Pasal 351 ayat (1) dan ayat (2) KUHP tentang penganiayaan yang mengakibatkan korban luka ringan dan luka berat.; Pasal 351 ayat (3) KUHP tentang penganiayaan yang mengakibatkan korban meninggal; Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dengan ancaman hukuman penjara selama lima belas tahun; Pasal 359 KUHP tentang karena kelalaian yang mengakibatkan matinya korban.
Dalam merespon beberapa pengaduan dan kasus tersebut, tentunya LBH Makassar secara kelembagaan akan menempuh serangkaian upaya hukum, antara lain :
-
Mekanisme penegakan hukum Pidana melalui Pelaporan di Reskrim Polda Sulsel,
-
Pelaporan atas dugaan pelanggaran Kode Etik dan Peraturan Disiplin Anggota Polri melalui Propam Polda Sulsel.
-
Serta upaya permohonan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terkait beberapa kasus yang sementara didampingi.
Selain itu, mengingat beberapa kasus-kasus kekerasan yang telah ditangani oleh LBH Makassar pada tahun-tahun sebelumnya menunjukkan ketidakseriusan pihak Kepolisian dalam penanganannya, maka tentunya LBH Makassar akan mempersiapkan beberapa upaya lainnya yakni :
-
Mengajukan pelaporan Pelanggaran HAM baik secara nasional di Komnas HAM, secara regional melalui Komisi HAM Asean, dan melalui mekanisme internasional yang berada di bawah naungan PBB.
-
Selain itu, kami juga akan menyiapkan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) atas rangkaian perilaku kekerasan aparat Kepolisian.
Dalam konteks upaya preventif/ upaya dini guna meminimalisir tindakan-tindakan kekerasan sejenis maka LBH Makassar dengan ini menyatakan sikap, sebagai berikut :
-
Mendesak jajaran institusi Kepolisian RI mulai tingkat Mabes Polri hingga tingkat Polsek untuk : Pertama, Secara serius menjalankan reformasi Polri sesuai dengan prinsip-prinsip HAM sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan peraturan Perundang-undangan dan beberapa Peraturan Kapolri serta ketentuan teknis yang telah berlaku di internal Polri tersebut; Kedua, Melakukan pengawasan ketat pelaksanaan fungsi penegakan hukum Polri, terutama di tahap penyelidikan, penyidikan yang sangat rawan terjadinya kekerasan eksesif dan penggunaan senjata yang berlebihan; dan Ketiga, Melaksanakan audit kinerja Polri, khususnya dalam penegakan hukum.
-
Menghimbau kepada masyarakat luas untuk berpartisipasi mempercepat terwujudnya reformasi Polri, salah satunya melalui keberanian untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya.
Makassar, 7 Oktober 2016
LBH Makassar
Haswandy Andi Mas, SH
Direktur
Cp : Haerul Karim (0813 – 4398 – 5796)
Comments
No comment yet.