Seminggu terakhir di bulan September 2016 ini, kembali terjadi aksi penyerangan dan pengepungan terhadap sejumlah gereja di kota Makassar, Sulawesi Selatan. Kembali maraknya tindakan intoleran ini mengingatkan kembali masih sulitnya melaksanakan salah satu tugas penting dalam upaya demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara sejak Reformasi 1998, yaitu mendorong Negara mematuhi prinsip-prinsip hak asasi manusia yang telah menjadi hak konstitusional warga negara. Sebagai hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara, jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan menuntut Negara untuk secara terus menerus meningkatkan jaminan kebebasan itu dengan menghapuskan segala bentuk intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan atas nama agama.
Sabtu, 17 September 2016, sekitar pukul 04.00 WITA, Gereja Katolik Paroki Santa Perawan Maria Diangkat Ke Surga di Jl. Tupai dilempari batu oleh orang tak dikenal, yang mengakibatkan 2 (dua) kaca jendela pecah. Berselang tak lama, Gereja Toraja yang terletak di Jl. Anuang juga dilempari. Kedua gereja ini berlokasi cukup berdekatan.
Jumat, 23 September 2016, Gereja Toraja Klasis Makassar Jemaat Bunturannu di Jalan Cendrawasih III dikepung oleh sejumlah massa FPI dan masyarakat yang mengaku diri sebagai warga kompleks Patompo. Pengepungan ini terjadi tak lama setelah shalat jumat selesai. Dalam aksinya, FPI menolak pembangunan gereja dengan alasan IMB (Izin Mendirikan Bangunan) gereja adalah palsu. Massa memasang sejumlah poster penolakan di pagar gereja bahkan di pintu masuk ruang ibadah gereja. Selain itu juga merobek keterangan IMB gereja yang ditempel di dinding gereja. Tindakan ini mengakibatkan ketakutan dari para pekerja bangunan dan jemaat yang berada di gereja.
Minggu, 25 September 2016, sekitar pukul 19.00 WITA, terjadi pelemparan terhadap Gereja Toraja di Jl. Gunung Bawakaraeng oleh sekitar 10-15 orang tak dikenal. Tindakan tersebut mengakibatkan rusaknya pagar gereja. Penjaga gereja sempat menangkap salah seorang pelaku, namun terpaksa dilepas akibat diancam dengan senjata tajam berupa busur. Kejadian ini terjadi saat jemaat Gereja sedang beribadah.
Aksi penolakan IMB Gereja Toraja Klasis Makassar sangat tidak beralasan dikarenakan pihak gereja telah menyelesaikan proses dari tahun 2014, mendapat rekomendasi dari pihak kecamatan dan lurah setempat, dan diterbitkannya IMB sejak awal tahun 2016 oleh Dinas Tata Ruang dan Bangunan Pemerintah Kota Makassar. Selain itu, Gereja tersebut telah ada dan digunakan sejak tahun 1960-an.
Dalam peristiwa itu, juga diketahui bahwa pihak kepolisian telah mengetahui bahwa akan adanya aksi pengepungan, namun pihak kepolisian yang berada di lokasi tak mampu melakukan apa-apa, ketika massa mulai memasang poster hingga menempel paku sebuah poster di pintu masuk ruang ibadah dan merobek lembaran Surat IMB yang ditempel di dinding gereja.
Kami mengapresiasi respon Pemerintah Kota, dalam hal ini Walikota Danny Pomanto yang melakukan pertemuan bersama antara pihak Gereja Toraja dan FPI pada Minggu, 25 September 2016. Seyogyanya pertemuan tersebut menandaskan posisi Pemerintah Kota melakukan kewajibannya dalam pemenuhan dan perlindungan hak jemaat gereja toraja atas hak beribadah dengan tenang dan nyaman.
Persoalan atas agama ini ditandai oleh radikalisasi sentimen agama dan kebencian terhadap kelompok agama tertentu dan hal ini tidak lahir bgitu saja, namun merupakan hasil turunan dari kebijakan politik negara yang ambigu. Di satu sisi berbagai kebijakan formal, termasuk konstitusi dan undang-undang nasional banyak yang pro-HAM sebagai buah gerakan reformasi. Di sisi lain, pemerintah pusat tampak gamang ketika terdapat kebijakan turunan atau kebijakan lokal yang justru bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM dan kebebasan berkeyakinan.
Padahal secara mendasar, Negara telah meneguhkan komitmennya melalui Pasal 28 E Ayat (1 & 2) UUD Negara RI 1945. Jaminan yang sama juga tertuang dalam UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 12/2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik. Namun demikian, politik pembatasan terhadap hak ini masih terus terjadi, baik menggunakan Pasal 28 J (2) maupun melalui peraturan perundang-undangan yang diskriminatif. Parameter lain yang digunakan juga adalah Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Keyakinan (Declaration on The Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based On Religion Or Belief) yang dicetuskan melalui resolusi Sidang Umum PBB No 36/55 pada 25 November 1981.
Oleh karena itu, sebagai lembaga yang konsen dalam penegakan hukum, HAM, dan Demokrasi, LBH Makassar menyatakan desakan kepada pihak-pihak sebagai berikut :
-
Secara umum, Negara melalui aparatusnya agar memberi perhatian dan menjalankan pengawasan serius terhadap implementasi hak konstitusional warga untuk bebas beragama berkeyakinan;
-
Secara khusus, Pemerintah daerah agar mengambil langkah konkrit penyelesaian masalah ini untuk mencegah meluasnya berbagai tindakan diskriminatif, baik atas nama agama, kepercayaan, ras dan suku. Langkah konkrit yang dimaksud tak lain sebagai kewajiban Negara dalam pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia;
-
Aparat Penegak Hukum, terutama pihak kepolisian agar segera mencegah Eskalasi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok vigilante (intoleran) dengan mengatasnamakan agama karena hanya akan menimbulkan tumbuh suburnya rasa intoleransi di antar masyarakat. Disamping itu, menindak tegas para pelaku intoleran;
-
Segenap masyarakat khususnya di Makassar agar tenang dan tidak terprovokasi karena dikhawatirkan masalah ini bisa melebar ke horizontal kedaerahan, kesukuan, atau yang lainnya.
Makassar, 27 September 2016
A. MUH FAJAR AKBAR, S.H.
Wakil Direktur bidang Monitoring dan Evaluasi
David Fau
Informasi dan Pendokumentasian
narahubung : David (0895-0110-6463)
Comments
No comment yet.