Hj. P Binti P (53 tahun) warga Belopa Kab. Luwu adalah istri dari DR H. H., SE., MM, anggota DPRD Provinsi Sulsel Komisi B yang juga anggota Badan Kehormatan DPRD Sulsel. Keduanya (P dan H) menikah pada 14 Febaruari 1998 di Kec. Belopa Kab. Luwu.
Pada 29 Oktober 2016, DR H. H., SE., MM menikah secara siri tanpa persetujuan istri sahnya (P Binti P) di sebuah hotel mewah di Makassar. Ketika itu, gugatan cerai DR H. H., SE., MM terhadap istrinya sedang bergulir di Pengadilan Agama (PA) Palopo yang hingga kini masih berlanjut ke tingkat kasasi di Mahkama Agung (MA) karena upaya perlawanan yang dilakukan Hj. P Binti P dan hingga kini belum ada putusan inkracht van Gewijsde.
Pada 19 Januari 2017 Hj. P didampingi kuasa hukumnya dari LBH Makassar telah melaporkan suaminya di Polda Sulsel atas tindakan penelantaran istri dan atau menikah tanpa izin istri sah-nya sebagaimana dimaksud pasal 49 UU No. 23/2004 tentang Penghapusan KDRT jo. Pasal 279 KUH Pidana. Selain itu, Hj. P juga telah mengadukan masalah ini sebagai pelanggaran etik yang dilakukan DR H. H., SE., MM ke ketua DPRD Provinsi Sulsel Cq. Badan Kehormatan Dewan Provinsi Sulsel.
Kedua laporan tsb dilakukan atas dasar dan pertimbangan sebagai berikut:
-
Bahwa Pengadu dan Teradu adalah suami istri yang sah, menikah pada 14 Februari 1998 di Belopa, Luwu. Pada tanggal 25 Januari 2016 Teradu mengajukan permohonan cerai talak di PA Palopo dengan register perkara Nomor 64/Pdt.G/2016/PA Plp;
-
Bahwa Pasal 34 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyebutkan;
“Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh Pegawai Pencatat, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.”
-
Bahwa dalam perkara cerai talak antara Pengadu dan Teradu belum diperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap (incrahtvangewisde) dengan adanya permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tinggi Agama Makassar Nomor 131/Pdt.G/2016/PTA, yang telah diajukan Pengadu pada 15 November 2016.
-
Bahwa dengan demikian antara Pengadudan Teradu masih terikat perkawinan dimana melekat hak dan kewajiban dalam perkawinan.
-
Bahwa sejak Teradu mengajukan permohonan cerai talak di PA Palopo, Teradu tidak pernah lagi memberikan biaya nafkah kepada Pengadu termasuk membayar hutang bersama di Bank BRI Cab. Belopa sebesar Rp177.543.000,00 dengan cicilan kredit per bulannya sebesar Rp 2.113.500,00 dengan perjanjian masa kredit selama 7 (tujuh) tahun. Bahwa dana pinjaman dari Bank BRI Cab. Belopa sebesar Rp 177.543.000,00 tbt dibuat atas kesepakatan bersama untuk membiayai kampanye Teradu saat mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Provinsi Sulsel. Bahwa cicilan kredit di Bank BRI tersebut selama ini ditanggung sendiri oleh Pengadu.
-
Bahwa selain melalaikan kewajibanya sebagaimana dalam poin 3 (tiga), Teradu juga telah melakukan perkawinan dengan perempuan yang bernama SM, S.Kom., M.C.s pada 29 Oktober 2016 di sebuah hotel di Makassar dan mengadakan resepsi di Kab. Pangkep pada tanggal 7 November 2016.
-
Bahwa dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, menurut ketentuan UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, suami wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Bahwa untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana dimaksud, haruslah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan Pasal 5 UU No. 1/1974, diantaranya; a) adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; b) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; c) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
-
Bahwa sebagai seorang yang masih terikat perkawinan Teradu tidak pernah menyampaikan ataupun meminta persetujuan tentang keinginannya untuk beristri lagi kepada Pengadu sebagai istri Teradu.
-
Bahwa kawin siri yang dilakukan Teradu dengan perempuan SM, S.Kom., M.C.s sebelum adanya perceraian antara Teradu dan Pengadu adalah tindak Pidana Perzinahan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 284 KUHPidana.
-
Bahwa tindakan dan atau perbuatan yang dilakukan oleh Teradu terhadap Pengadu sebagaimana yang diuraikan diatas merupakan Pelanggaran Kode Etik selaku anggota DPRD sebagaimana yang diatur Pasal 25 Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulsel Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Anggota DPRD Provinsi Sulsel:
“Anggota DPRD tidak patut bersikap, berprilaku dan berucap yang bertentangan dengan norma kesusilaan, kesopanan, adat istiadat, dan budaya daerah”
-
Bahwa tindakan menikah siri sebelum adanya Putusan Perceraian merupakan bentuk Pelanggaran Etik, Pelanggaran atas asas legalitas dan moralitas yang seharusnya menjadi pedoman dan nilai yang melekat pada kehidupan dan prilaku anggota DPRD Sulsel.
-
Bahwa tindakan yang dilakukan oleh Teradu sebagai anggota DPRD Prov. Sulsel sama sekali tidak terpuji dan sewenang-wenang yang seharusnya menjaga harkat dan martabatnya serta memberikan contoh teladan bagi masyarakat.
Makassar, 13 Maret 2017
LBH Makassar dan LBH APIK Makassar
Comments
No comment yet.