MAKASSAR – Memasuki orde reformasi, program Reformasi Agraria menjadi hiasan kampanye setiap rezim. Akan tetapi, semangat pelaksanaan Reformasi Agraria sama sekali belum menyentuh substansi. Di bawah rezim SBY, pelaksanaan Reformasi Agraria hanyalah formalitas dengan melakukan sertifikasi tanah secara massal. Sementara objek tanah dan penerima manfaat yang disertifikasi bukan berasal dari tanah konflik eks Hak Guna Usaha. Belakangan tercium bahwa program sertifikasi tersebut merupakan agenda terselubung Bank Dunia untuk kepentingan investasi asing.
Lahirnya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960 dulu dianggap bisa menjadi payung hukum urusan agraria dengan landasan semangat Reformasi Agraria. Namun, menurut salah satu Narasumber dari KPA bahwa UUPA telah melahirkan ego sektoral lintas instansi, khususnya Kehutanan dan Pertanahan. Hal ini bisa dilihat dengan menjamurnya peraturan Perundang-undangan yang saling tumpang tindih kewenangan sesama instansi terkait pengaturan sektor agraria, khususnya mengenai Tanah. Parahnya lagi, masing-masing instansi terus mempertahankan aturannya sendiri, sehingga rakyat menjadi bulan-bulanan karena tidak mendapatkan kepastian hukum. Akibatnya, rakyat menjadi kehilangan hak-hak dasar mereka seperti hak atas tanah, hak mendapat lingkungan yang bersih dan sehat, serta hak untuk hidup layak.
WALHI Sul-sel bersama Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) menggelar Dialog Publik dengan tema “Redistribusi Tanah Untuk Rakyat Dan Penyelesaian Konflik Tenurial Kawasan Hutan Dalam Kerangka Pelaksanaan Reformasi Agraria Di Sulawesi Selatan”. Diskusi ini dilaksanakan dalam rangka menyambut kebijakan rezim Jokowi-JK yang kembali memampang Program Reformasi Agraria dengan menghadirkan Narasumber dari Kanwil Badan Pertanahan Nasional, Akademisi Prof. Farida Patittinggi, S.H., M.Hum. (Dekan Fakultas Hukum Unhas), serta Dewi mewakili Konsorsium Pembaharuan Agraria. Sedangkan peserta yang hadir berasal dari kalangan CSO, Mahasiswa, Petani Korban perampasan Tanah dan Organisasi Rakyat lainnya.
Menurut pemaparan salah satu narasumber dari KPA, rencana redistribusi lahan sebanyak 9 juta Ha harus mendapat pengawalan ketat dari kalangan CSO untuk memastikan objek dan subjek penerima tepat sasaran. Selain itu, ekonomi petani harus ikut dikuatkan dengan beberapa program seperti, bank tani, koperasi tani, bantuan pupuk murah, bibit murah, dan lain-lain. Saat ini juga sedang dibahas RUU Agraria yang mendorong adanya pengadilan khusus agraria.
Laporan: Edy Kurniawan
Comments
No comment yet.