“Peran Strategis Bantuan Hukum Struktural dalam Upaya Membenahi Problematika Demokrasi, Penegakan Hukum dan HAM di wilayah Sulawesi Selatan”
“LBH Makassar akan terus eksis sebagai lembaga yang konsisten dalam mendorong penegakan hokum, HAM dan demokrasi; menangani dan mendampingi berbagai macam isu kasus dan tidak hanya sekedar mendampingi masyarakat miskin yang bermasalah dengan hukum, melainkan juga melakukan advokasi pemenuhan dan perlindungan HAM terhadap kelompok-kelompok masyarakat termarjinaplkan”.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Haswandy Andy Mas, Direktur LBH Makassar, sebagai prolog seminar “Penyusunan Rencana Strategis LBH Makassar”, pada Selasa 24 Januari 2017 lalu, di Hotel Jolin, Makassar, Sulawesi Selatan. Seminar menghadirkan 4 (empat) narasumber dan dipadati dengan kehadiran sejumlah peserta dari Stakeholder (kementrian hukum dan HAM, Pemkot Makassar), Jaringan kerja CSO, dan Komunitas/ Organisasi Rakyat serta para pencari keadilan yang selama ini didampingi oleh LBH Makassa. Keempat narasumber tersebut merupakan representasi dari pemerintah, YLBHI, praktisi hukum dan mitra LBH Makassar, dengan dimoderatori oleh A.M Fajar Akbar, Wakil Direktur bidang Monitoring dan Evaluasi.
Puguh Wiyono (Tim Penyuluh Hukum – Kanwil Hukum dan HAM Sulawesi Selatan) memulai diskusi seminar dengan memaparkan tentang “Over Kapasistas Lapas”, dimana terpidana seumur hidup dan hukuman mati menambah muatan lapas. Pihak Pemerintah da Kanwil Hukum dan HAMM Sulawesi Selatan berupaya mengatasi kendala tersebut dengan memindahkan terpidana ke lapas penyangga, dimana Lapas Kelas I dikhususkan bagi terpidana 1 tahun dan di atas 1 tahun ditempatkan di Lapas yang berada di Gunung Sari, sementara terpidana 2-5 tahun berada di Lapas kelas II. Upaya lain mengatasi over kapasitas ini juga melalui JP PP dan remisi.
Mappinawang (praktisi hukum, alumnus LBH Makassar), dalam paparannya menegaskan pentingnya koalisi masyarakat sipil dalam menguatkan kerja-kerja bantuan hukum. Menilik pada pengalamannya saat aktif di LBH Makassar, setiap kasus yang ditangani tidak hanya dilihat dari aspek hukum melainkan juga hak-hak mereka yang didampingi, baik hak sipil politik maupun hak ekonomi, sosial, budayanya. Lebih jauh, konsep “Bantuan Hukum Struktural” yang diterapkan LBH dalam aktivitas pendampingannya menjadikan ia tetap harus ikut ambil bagian dalam penanganan sejumlah kasus walaupun sejumlah lembaga/ organisasi bantuan hukum bertebaran di Sulawesi Selatan namun tidak menerapkan konsep tersebut.
Bertalian dengan Bantuan Hukum Struktural (BHS), Asfinawati (Ketua Yayasan Bantuan Hukum Indonesia) menyebutkan kehadiran konsep tersebut karena adanya gerakan developmentalist dan bantuan hukum hanya sebagai pemberian jasa hukum yang karatatif. BHS menggunakan teori struktural dengan melihat perilaku manusia dalam hubungannya dengan sistem atau struktur. Sisi positifnya, individu determinan terhadap struktur. BHS bisa dinilai satu sisi sebagai dokumen solid namun sisi lain juga mati. Dunia sudah berganti rupa dari pola produksi menjadi pola konsumtif teknologi perkembangan media informasi. Sedangkan teori sosio-struktural yang menjadi landasan BHS sudah berkembang menjadi post struktural dan post modernism. Dengan kata lain, BHS berperan sebagai strategi agar LBH tidak menjadi lembaga “pemadam kebakaran” atas sejumlah kasus yang diadukan ke LBH, melainkan BHS harus menggunakan multi-pendekatan disamping pengorganisasian-penguatan basis masyarakat juga tetap dilakukan dengan mengikuti perkembangan yang ada.
Dalam sejumlah kerja-kerja bantuan hukum tentunya terakselerasi dengan adanya dukungan pendanaan yang baik. M. Doddy Kusandrianto (Direktur Program Hukum TAF Indonesia) menggambarkan situasi dimana peluang dan tantangan LBH Makassar dalam pemanfaatan alternatif-alternatif pendanaan yang tidak menutup kemungkinan menjadi sokongan keberlanjutan layanan bantuan hukum dan eksistensi peranan penting LBH Makassar.
Seminar diakhiri dengan antusias peserta melayangkan sejumlah pertanyaan dan tanggapan kepada keempat narasumber. Diantaranya, Bunga (GSBN) yang berharap agar LBH Makassar dapat menjaring seluruh serikat buruh dalam sebuah gerakan bersama guna mendorong pemenuhan hak-hak buruh; Nur (Aspek-5), disamping mengapresiasi kehadiran LBH yang terus membantu persoalan yang dihadapi komunitas pedagang kaki lima di Makassar mall. Disamping itu, ia juga mempertanyakan kesan pemerintah daerah yang menegasikan keberadaan para pedagang kaki lima padahal seyogyanya para pedagang kaki lima membutuhkan aturan yang mengakomodir keberadaan mereka bukan aturan yang menggusur mereka dari area pemenuhan kebutuhan kesehariannya. Kadir Sijaya, secara personal mengapresiasi pendampingan hukum yang diberikan LBH kepadanya terkait kasus kriminalisasi melalui UU ITE. Antusias dari para peserta ini menunjukkan LBH Makassar mempunyai tanggungjawab besar untuk kedepannya.[]
Comments
No comment yet.