“Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili kasus Reklamasi CPI harus banyak belajar hukum lingkungan” – Dr. Hamzah Baharuddin (Majelis Eksaminasi)
Makassar, 18 Mei 2017, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulawesi Selatan, yang tergabung dalam Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP) Makassar, melakukan Launching Hasil Eksaminasi Putusan PTUN Makassar Kasus Reklamasi CPI. Hal ini dilakukan sebagai respon publik atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Makassar (tertanggal 28 Juli 2016), maupun Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Makassar (tertanggal 11 Januari 2017), yang tidak mencerminkan keadilan social dan keadilan ekologis
Acara ini dilakukan di Coffee-shop Mr. Coffee, kompleks Topaz Raya. Dalam acara ini, hadir 2 (dua) anggota Majelis Eksaminasi; Prof. Marwan Mas (Guru Besar Universitas Bosowa) dan Dr. Hamzah Baharuddin (Akademisi UMI). Sementara 2 Majelis lain, Dr. Herlambang Wiratraman (Akademisi UNAIR) dan Mas Achmad Santosa (Paraktisi hukum lingkungan), mengonfirmasi tidak dapat menghadiri acara. Selain itu, hadir juga para penanggap putusan Majelis Eksaminas yakni Zulkifli Hasanuddin (Praktisi Hukum), Abdul Azis (Praktisi Hukum), Asram Jaya (Praktisi Sosial), Asmar Exwar (Praktisi lingkungan dan Tata Ruang), dan Yusran Nurdin (Praktisi Kelautan dan Ekosistem laut), Edy Kurniawan Wahid (Kuasa Hukum WALHI). Adapun + 50 orang peserta kegiatan ini berlatar belakang CSO, Media/Jurnalis, dan Mahasiswa.
Majelis Eksaminasi Prof. Marwan Mas memberikan kritik tajam atas putusan Majelis Hakim PTUN Makassar, dimana Hakim tidak mempertimbangkan kasus reklamasi CPI secara substansif dalam hal ini dampak sosial reklamasi yang sudah menggusur nelayan di pulau Gusung (tanah timbul), potensi korupsi, dan adanya potensi besar kerusakan lingkungan dan ekosistem wilayah pesisir secara permanen. Ia juga mengungkapkan keanehan dalam acara pemeriksaan perkara, Hakim melakukan pemeriksaan hingga pada pokok perkara berupa pelanggaran perizinan maupun dampak lingkungan, akan tetapi ujung-ujungnya semua proses tersebut tidak dipertimbangkan karena putusannya hanya melihat aspek formil yakni tenggang waktu pengajuan gugatan dan Legal Standing Penggugat (WALHI). Jika hanya mempertimbangkan aspek formilnya, maka semestinya dari awal Hakim sudah harus memutus pada putusan sela.
Senada dengan pandangan Dr. Hamzah yang mengatakan bahwa Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara reklamasi CPI tidak memiliki perspektif lingkungan hidup. Demi melindungi lingkungan hidup dan menegakkan keadilan ekologis, semestinya hakim mengesampingkan aspek formil gugatan. Apalagi sebelumnya sudah banyak yurisprudensi yang mengakui Legal Standing WALHI sebagai Penggugat. Dalam perkara TUN sebagai peradilan administrasi, WALHI tidak mesti membuktikan adanya kerusakan lingkungan karena peradilan TUN bersifat sebagai upaya preventif (pencegahan), jadi tidak mesti menunggu adanya kerusakan lingkungan.
Dalam kesimpulannya, Majelis Eksaminasi memberikan pandangan kritis serta beberapa rekomendasi sebagai berikut :
-
Mendesak KPK untuk segera naikkan pengusutan reklamasi CPI ke tingkat penyidikan, karena telah terang dan jelas reklamasi CPI telah memenuhi unsur perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang, merugikan keuangan negara, dan menguntungkan diri sendiri, pihak tertentu dan atau korporasi;
-
Mendesak Mahkamah Agung untuk; Pertama, Membatalkan putusan PTUN tingkat pertama dan Banding, mengabulkan gugatan Walhi, dan mencabut surat izin gubernur Sulawesi Selatan. Kedua, memproses dugaan pelanggaran kode etik hakim PTUN tingkat pertama dan banding yg memeriksa dan mengadili gugatan Walhi terkait izin reklamasi; dan
-
Mendesak KLHK & KKP untuk; Pertama, Melakukan audit lingkungan atau uji tuntas lingkungan terkait reklamasi CPI. Kedua, penghentian reklamasi dan proses perizinan IUP tambang laut di Makassar dan takalar karena tdk sejalan syarat dan prinsip2 yg termuat dalam UU PPLH No 32/2009.
Penulis : Edy Kurniawan (PBH YLBHI-LBH Makassar)
Lampiran:
Comments
No comment yet.