Idealnya, dalam Negara hukum, peradilan menjadi tonggak utama dalam menyelesaikan persoalan hukum di masyarakat. Di Indonesia, sistem peradilan menempatkan polisi, jaksa, hakim dan advokat sebagai pilar utama dalam penegakan hukum. Namun, kadangkala sistem peradilan tidak dapat memuaskan semua orang terutama mereka pencari keadilan. Kerap lewat putusannya dianggap mencederai rasa keadilan masyarakat, sehingga memunculkan kekerasan kepada hakim dan pengadilan.
Protes terhadap pengadilan seringkali terjadi, bahkan tidak jarang protes ini berujung pada tindakan kekerasan kepada petugas pengadilan terutama hakim. Bentuk-bentuknya semisal tuduhan hakim menerima suap, putusan dianggap tidak adil, kekerasan fisik dalam ruang siding, teror dan lain sebagainya. Hal ini dianggap sebagai perbuatan merendahkan kehormatan dan keluhuran profesi hakim dan tindakan Contempt of Court (CoC).
Berdasar pada hasil survei yang dilakukan oleh Komisi Yudisial pada tahun 2015 di 6 (enam) kota termasuk kota Makassar, dengan responden sebanyak 330 hakim, diketahui sekitar 27% responden pernah mengalami tindakan yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim dan pengadilan. Persoalan ini umumnya muncul diakibatkan budaya hukum masyarakat yang relatif rendah, perilaku hakim sendiri yang tercela, sistem pengamanan di pengadilan yang kurang, tidak adanya regulasi terkait Contempt of Court, pelayanan pengadilan yang buruk dan lain sebagainya. Akibatnya, pengadilan mulai kehilangan kehormatannya sebagai sebuah institusi yang memegang peran penting dalam penegakan hukum dan keadilan. Kondisi ini jelas dapat berpotensi buruk pada hakim dan pengadilan serta kepada masyarakat pencari keadilan.
FGD Kehormatan Profesi Hakim – Urgensi peningkatan profesionalisme dan Akuntabilitas Aparat Penegak Hukum sebagai upaya pencegahan tindakan Contempt of Court
Diskusi terarah ini dilaksanakan pada Senin, 3 Agustus 2015 dengan dihadiri oleh Ketua Pengadilan Agama Makassar, Kasi Datun Kejari Makassar, Koordinator Penghubung KY, Kasubag Hukum Polrestabes Makassar dan advokat dari Peradi, AAI dan APSI. Sementara itu, diskusi dimoderatori oleh Direktur LBH Makassar, Abdul Azis, SH.
Harus diakui, tingkat kepercayaan masyarakat kepada pengadilan masih rendah. Alhasil, masyarakat kerap melakukan tindakan yang diduga merupakan tindakan yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat pengadilan.
Dalam pembahasan bersama, Drs. Moh. Yasya, SH., MH (Ketua PA Makassar) menerangkan bahwa perlunya pemahaman bersama antara advokat dan masyarakat pencari keadilan mengenai mekanisme komplain terhadap putusan hakim. Dimana tidak perlu melakukan tindakan Contempt of Court melainkan dapat melakukan upaya banding, kasasi dan sebagainya. Selain itu, Moh. Yasya juga menekankan perlunya polisi khusus pengamanan di pengadilan. Pertimbangan lainnya, adalah perlu adanya UU Contempt of Court sehingga terdapat dasar hukum atas berbagai tindakan yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim dan pengadilan.
Terkait pengamanan di pengadilan, Burhan (Kasubag Hukum Polrestabes Makassar) menandaskan pihak kepolisian akan merespon bilamana ada permintaan pengamanan dari pengadilan. Namun, diluar hal tersebut, hal terpenting adalah sinergitas dan koodinasi antara aparat penegak hukum yang rutin untuk membahas masalah kekerasan di pengadilan. Kemudian, tingkat kesejahteraan yang berbeda antara hakim, jaksa dan kepolisian menjadi salah satu tolak ukur dalam mencapai profesionalisme dalam penanganan perkara.
Mengenai regulasi terkait Contempt of Court, Muhajir, SHI (advokat APSI) mengatakan bahwa RUU Contempt of Court telah masuk dalam Prolegnas 2015-2019 dan masyarakat dipastikan akan mengawal materinya agar tidak merugikan masyarakat dan terlalu memberikan privilege dan perlindungan kepada hakim, karena yang harus dilindungi adalah persidangan dan proses peradilannya. Hakim dan perilakunya juga dapat menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya tindakan Contempt of Court. Bahkan, hakim juga dapat menjadi pelaku akibat tindakan yang berlebihan, semisal dalam menyampaikan pertanyaan kepada saksi dan saksi ahli. Moh. Budhi Setyady, SH., MH (advokat AAI) menambahkan dalam konteks pengadilan, tidak hanya hakim yang perlu diawasi tetapi juga panitera karena berkaitan dengan administrasi pengadilan. Pada pendamping hukum (advokat) kerap mengalami kendala akibat ketidak-profesional panitera dalam menangani permintaan administrasi pengadilan.
Pemberitaan media terkait proses pengadilan dan kasus juga menjadi salah satu bahasan dalam diskusi ini. Murlianto, SH., MH (advokat Peradi) mendorong agar media dalam pemberitaannya harus fair dan objektif serta menghormati asas-asas jurnalistik. Rusman Medjang, SH., MH (koordinator penghubung KY) menambahkan ada hal-hal tertentu yang tidak perlu diungkapkan oleh media, selain itu memberitakan kasus yang sementara disidangkan yang mana pemberitaannya biasanya bersifat fakta persidangan kadangkala dapat memengaruhi persepsi masyarakat. Muhajir menyebutkan hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi psikologis wartawan di lapangan.
Abdul Azis, SH (Direktur LBH Makassar) menekankan pentingnya media dan peran-peran sosial-nya dalam melihat dan menyuarakan kondisi masyarakat. Selain itu, dari survei KY, Contempt of Court lebih disebabkan oleh dua faktor yakni budaya hukum masyarakat yang rendah dan perilaku hakim itu sendiri. Inilah yang menjadi perhatian utama, bila masyarakat sudah semakin sadar hukum dan hakim juga semakin professional maka tindakan CoC dan kekerasan akan semakin berkurang.
Diskusi tararah ini menghasilkan beberapa rekomendasi, yakni;
- Perlu adanya polisi khusus di Pengadilan sebagai tenaga pengamanan dan peningakatan sarana dan prasarana penanganan di pengadilan;
- Komisi Yudisial harus mengadakan penyuluhan hukum terpadu kepada masyarakat untuk mencegah tindakan kekerasan dan CoC di pengadilan;
- Komisi Yudisial perlu mengadakan pendidikan hukum khususnya hukum acara kepada wartawan hukum agar pemberitaannya tidak keliru;
- Perlu adanya sinergitas dan koordinasi yang rutin antara sesama aparat penegak hukum untuk mewujudkan peradilan yang bebas dari kekerasan dan CoC;
- Perlu adanya UU Contempt of Court;
- Perlu adanya SOP terkait lamanya petikan putusan seharusnya dikirim ke JPU dan Rutan untuk mencegah perbuatan anarkis dari keluarga terdakwa;
- Perlu adanya jalur evakuasi khusus kepada aparat penegak hukum dan terdakwa kalau terjadi kericuhan di dalam persidangan
Rekomendasi ini menjadi masukan yang akan disampaikan ke Komisi Yudisial sebagai upaya untuk mewujudkan peradilan yang bebas dari kekerasan dan tindakan Contempt of Court
Comments
No comment yet.