Categories
EKOSOB slide

Pasca tertundanya aksi 3.000 nelayan, GERTAK mendatangi Kantor Polda Sulsel

galesong.8.2017.03

Tertundanya rencana aksi “68” (6 Agustus 2017) di lokasi proyek reklamasi Centre Point of Indonesia (CPI) yang melibatkan ± 3.000 nelayan tradisional di Kecamatan Galesong, Sanrobone dan Tanakeke Kab. Takalar tidak serta merta menyurutkan semangat perjuangan para nelayan. Pada Senin, 7 Agustus lalu, para pimpinan/perwakilan nelayan bersama mahasiswa dan pendamping yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Tolak Tambang Pasir Laut Takalar (GERTAK) mendatangi kantor Polda Sulsel untuk memenuhi panggilan Kapolda yang sebelumnya sudah berjanji kepada nelayan untuk melakukan mediasi antara nelayan dan pihak penambang serta pemerintah provinsi Sulawesi Selatan.

Pertemuan dilakukan di Direktorat Intelkam Polda Sulsel, dimana turut diundang para Kepala Desa pesisir yang mengalami dampak langsung akibat tambang pasir laut, yaitu Desa Kaluku Bodo, Desa Kobo, dan Desa Bontomarannu. Sementara dari pihak Polda yang menerima adalah H. Parinringi (Kasubdit. Sosbud.), AKBP. Akbar Nur (Kasubdit. Politik), dan H. Abubakar (Kasubdit. Kamneg.). PBH LBH Makassar untuk sektor Ekosob, yakni Edy Kurniawan Wahid dan Firmansyah, sebagai pendamping para nelayan Galesong juga hadir dalam pertemuan tersebut.

Edy dan Firmansyah meminta kepada Polda Sulsel untuk melakukan peninjauan kembali perizinan tambang pasir laut Takalar serta menghentikan sementara aktivitas tambang selama proses peninjauan kembali. Tidak hanya itu Edy juga mendesak pihak Polda untuk segera melakukan penyelidikan terkait adanya dugaan tindak pidana lingkungan hidup. Hal ini diungkapkan berdasarkan keterangan dari beberapa nelayan terkait meningkatnya tingkat abrasi, banyaknya lumba-lumba dan jenis ikan lainnya yang secara tiba-tiba ditemukan mati terdampar di pantai Galesong sejak aktivitas tambang berlangsung. Alat tangkap nelayan seperti jaring, keramba, rompong juga ikut hilang, dan nelayan menduga kapal penyedot pasir menambang di luar konsesi tambang.

Di pihak lain, para Kepala Desa menuturkan bahwa sudah beberapa kali meminta kepada pihak perusahaan dan Dinas Lingkungan Hidup Sulsel untuk turun langsung kepada masyarakat untuk melakukan sosialisasi. Akan tetapi sampai hari ini tindak kunjung turun. Ini semakin nyata membuktikan bahwa sejak awal perizinan tambang tersebut tidak pernah melibatkan masyarakat secara luas yang terkena dampak langsung maupun tidak langsung.

Dari hasil pertemuan tersebut, maka disepakati beberapa hal, diantaranya:

  1. Pihak Polda Sulsel berjanji akan segera melakukan mediasi mempertemukan nelayan dengan pihak perusahaan dan Pemerintah Provinsi Sulsel;
  2. Pihak Polda akan melakukan penyelidikan terkait adanya dugaan tindak pidana lingkungan hdup tambang pasir laut Takalar;
Categories
EKOSOB slide

LBH Tantang Keseriusan Polda Sulsel Usut Dugaan Tindak Pidana Lingkungan Hidup

galesong.8.2017.04

Terkait dengan aktivitas tambang pasir laut Takalar yang sudah kurang lebih 3 (tiga) bulan mendapat penolakan keras dari nelayan disepanjang pesisir Kec. Galesong, Sanrobone dan Tanakeke, Kab. Takalar. LBH Makassar menantang pihak Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan untuk serius mengusut dugaan tindak pidana lingkungan hidup. Hal ini disampaikan oleh Edy Kurniawan Wahid (Koord. Bidang Lingkungan Hidup LBH Makassar) dalam pertemuan bersama jajaran Polda Sulsel pada Senin, 7 Agustus 2017, di Direktorat Intelkam Polda Sulsel. Pertemuan tersebut dihadiri oleh Kasubdit. Kamneg (H. Abubakar), Kasubdit Sosbud. (H. Andi Parinringi), dan Kasubdit Politik (AKBP Akbar Nur).

Edy menyampaikan desakan tersebut dengan didasarkan banyaknya keluhan nelayan selama aktivitas tambang berlangsung, seperti peningkatan abrasi di sepanjang pesisir Galesong, nelayan kehilangan wilayah kelola tradisional karena dijadikan area tambang serta kehilangan alat tangkap berupa jaring, keramba dan rompong. Tak sedikit pula beberapa jenis ikan seperti lumba-lumba dan ikan besar lainnya ditemukan mati terdampar di pesisir Galesong. Terjadinya peristiwa tersebut diduga kuat karena adanya aktivitas tambang yang mengganggu habitat ekosistem laut. Atas situasi sekarang, Dg Tompo, salah seorang nelayan Galesong, menyampaikan adanya dampak signifikan terhadap penurunan kualitas hidup puluhan ribu nelayan Galesong-Sanrobone-Tanakeke karena menurunnya pendapatan nelayan hingga 80 % dari biasanya. Di sisi lain, para nelayan menduga jika perusahaan melakukan penambangan di luar konsesi tambang.

galesong.8.2017.01

“Jangan sampai kasus ini akan menambah daftar panjang ketidakpercayaan publik terhadap proses penegakan hukum, untuk itu kami akan menaruh hormat jika Polda Sulsel serius melakukan penyelidikan kasus tersebut”, Ujar Edy K. Wahid.[]

Categories
EKOSOB slide

Rencana aksi 3.000 Nelayan Takalar Tertunda Karena Mendapat Intimidasi Aparat Kepolisian

Minggu, 6 Agustus 2017 warga berencana melakukan aksi di kawasan reklamasi Centre Poin of Indonesia (CPI). Hal ini dilakukan untuk menghentikan aktivitas tambang pasir di laut Galesong-Sanrobone-Tanakeke Kab. Takalar yang selama ini telah meresahkan nelayan setempat. Hal mana pasir tersebut digunakan untuk bahan material urugan reklamasi CPI. Warga Takalar yang sudah bersiap menuju ke titik aksi mendapat intimidasi dari pihak Polres Takalar dan Polda Sulsel.

Alasan aparat menghalang-halangi aksi warga jelas tak masuk akal, aparat menilai bahwa aksi warga melanggar aturan, aparat melarang adanya aksi di hari minggu, dan mengancam akan membubarkan aksi tersebut dan siap melakukan penangkapan terhadap orang-orang yang terlibat dalam aksi protes.

Tak hanya itu, sejak tadi malam rakyat Takalar yang menolak pertambangan pasir tersebut, mulai mendapat intimidasi, Beberapa warga ditelepon, dimata-matai oleh orang tak dikenal. Bahkan salah satu warga yang getol menolak tambang, ditelpon oleh seseorang yang mengaku sebagai oknum polisi dan menuding warga sebagai teroris. Tepatnya jam 02.00 malam dini hari tadi, salah seorang pimpinan warga didatangi oleh anggota Kepolisian untuk melakukan introgasi malam. Aparat Polres Takalar melakukan penghadangan dan intimidasi di setiap simpul masyarakat Takalar yang menolak tambang.

Tindakan arogansi aparat telah melampaui batas dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Dimana setiap warga negara berhak atas rasa aman dari segala bentuk teror dan intimidasi serta berhak menyampaikan aspirasi di muka umum sebagaimana ketentuan dalam Pasal 28E UUD 1945, UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, UU No. 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik, UU No. 39 tahun 1998 tentang Hak Menyatakan Pendapat di Muka Umum.

Akibat intimidasi tersebut, maka aksi yang melibatkan paling kurang 3.000 nelayan direncanakan hari ini terpaksa ditunda demi menghindari bentrokan dengan aparat serta hal-hal yang tidak diinginkan. Atas kejadian ini, maka kami dari Gerakan Rakyat Tolak Tambang Pasir Laut Takalar (GERTAK) mengutuk keras tindakan aparat kepolisian dan akan kembali melakukan konsolidasi massa untuk melakukan aksi yang lebih besar dalam beberapa hari kedepan.

Takalar, 6 Agustus 2017

Gerakan Rakyat Tolak Tambang Pasir Laut Takalar (GERTAK)

Categories
EKOSOB

Dengarkan Suara Nelayan, Hentikan Tambang Pasir Laut di Galesong-Sanrobone

Press Release Gerakan Rakyat Tolak Tambang Pasir Laut Takalar (Gertak)

18.7.17.tambangpasir.01

Empat bulan lebih masyarakat menentang penambangan pasir laut di perairan Galesong-Sanrobone yang dilakukan oleh PT Boskalis. Penambangan pasir laut tersebut tidak lain merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan proyek reklamasi CPI yang juga tengah mendapatkan penentangan dari berbagai kelompok masyarakat di Sulawesi Selatan.

Berbagai upaya telah dilakukan masyarakat guna menghentikan proyek “merusak” tersebut. Mulai dari dialog dengan pemerintah desa, menduduki lokasi proyek CPI, hingga menggelar unjuk rasa di depan kantor Gubernur Sulsel. Namun, pemerintah kabupaten dan provinsi tidak bergeming dengan berbagai upaya masyarakat tersebut, malah yang terjadi, kegiatan penyedotan pasir laut tersebut terus berlangsung dan membuat amarah para nelayan di Galesong hingga Sanrobone semakin membesar.

Pada perinsipnya, kegiatan tambang pasir laut di Galesong dan Sanrobone merupakan bentuk ketidak hati-hatian pemerintah dalam menerbitkan izin. Berdasarkan kesaksian warga, sebelum izin diterbitkan, para nelayan tidak pernah diberitahukan terkait rencana kegiatan tambang pasir laut di perairan mereka. Sementara, nelayan sangat mempercayai bahwa kegiatan tambang tersebut akan membuat daerah tangkapan nelayan rusak, dan pemukiman nelayan ikut tergerus akibat abrasi.

Selain itu, pemerintah provinsi juga tentu saja memiliki peran penting dalam terbitnya IUP yang dikantongi 3 perusahaan, dimana salah satunya adalah PT Yasmin Bumi Asri. Walaupun pemerintah berkali-kali mengatakan bahwa kegiatan tambang tersebut tidak akan merusak pesisir takalar, namun faktanya, nelayan di pulau tanakeke, Sanrobone telah melihat secara langsung kerusakan berupa abrasi di daerah mereka. Hal ini tentu yang memicu seluruh nelayan tanakeke turut melibatkan diri dalam perlawanan masyarakat terhadap tambang pasir laut tersebut.

18.7.17.tambangpasir.02

Kami perlu informasikan kepada publik di Sulawesi Selatan bahwa kegiatan tambang pasir laut untuk proyek reklamasi CPI telah memicu gelombang perlawanan warga Galesong-Sanrobone yang dari waktu ke waktu semakin membesar. Kondisi tersebut tentu saja membuat kegaduhan di tanah Galesong-Sanrobone. Sehingga kami berharap pemerintah kabupaten takalar dan pemerintah provinsi Sulsel bersikap arif melihat dan mendengar suara masyarakat Galesong yang menghendaki agar kegiatan tambang pasir laut di perairan Galesong-Sanrobone dihentikan.

Melihat adanya tambang pasir laut ini, Wakil Ketua Forum Masyarakat Pesisir Nelayan Galesong Raya, H Mone, menuturkan, saat ini masyarakat sangat panik, karena belum musim barat, abrasi sudah terjadi di sejumlah tempat. Kemudian masyarakat tidak mengerti apa alasan PT Bokalis melanjutkan kegiatan tambang tersebut, sementara hampir semua kepala desa se-Galesong Raya – Sanrobone menandatangani penolakan tambang pasir tersebut. Jadi tidak ada alasan bagi pemerintah untuk melanjutkan penambangan.

Kami tidak mau melihat konflik yang berkepanjangan di tanah kelahiran dan tempat hidup kami. Sejak ada tambang ini, masyarakat selalu ingin bertindak anarkis. Jadi memang tambang ini sumber malapetaka bagi masyarakat kami.

Direktur Fik KSM yang juga warga asli Galesong menerangkan, alasan utama kami menolak tambang pasir laut adalah karena hasil tangkapan nelayan semakin menurun, terutama nelayan-nelayan kecil, seperti pencari udang, cumi-cumi, ikan katombo. Dan kami perkirakan penurunannya mencapai 80%.

“Perekonomian di pulau tanakeke lumpuh total, nelayan pencari gurita sudah tidak berproduksi, karena air keruh, dan gelombang air laut tinggi. Selain itu, rompong dan jaringan nelayan juga hilang. Ini masalah besar buat kami”.

“Sekarang di pulau sanrobengi bagian selatan sudah longsor, desa mangindara abrasi di musim kemarau, pelelangan ikan juga sudah mulai terkikis. Ini fakta dampak buruk tambang pasir laut di galesong-sanrobone”.

Direktur Blue Forest, Yusran Massa menyebutkan, Perairan sekitar wilayah konsesi tambang pasir laut terutama wilayah sekitar perairan Tanakeke adalah habitat dan daerah migrasi beberapa biota laut yang masuk kategori terancam (endangered) dan rentan (vulnatable). Kuda Laut menjadikan perairan sekitar Tanakeke sebagai habitat mereka. Beberapa spesies lumba-lumba dan penyu sering bermigrasi di sisi barat Tanakeke. Begitupun dengan dugong yang sering ditemukan masyrakat. Mengeruk pasir di perairan Galesong, Galesong Utara dan sekitar perairan Tanakeke mengancam keberadaan beberapa spesies penting ini.

“Pengerukan pasir laut meningkatkan potensi abrasi dan erosi pantai baik di pesisir Galesong-Galesong Utara maupun di kepulauan Tanakeke. Pantai Galesong dan Galesong Utara termasuk tipe pantao terbuka dan tidak dilindungi oleh ekosistem lamun, terumbu karang maupun mangrove. Juga hanya mengandalkan keberadaan pulau Sanrobengi sebagai benteng aktifitas gelmbang dan angin. Mengeruk pasir merubah geomorfologi dasar laut yang menyebabkan semakin tingginya kekuatan gelombang dan arus menggempur pantai. Arah datang ombak dan angin di perairan adalah barat dan barat daya, mengambil atau menghilangkan pasir di kawasan utara dapat menyebabkan pasir atau sedimen di sekitar perairan Tanakeke tertransport kesana karena arah arus perairan berasal dari barat dan barat daya dimana Tanakeke berada. Ini diduga dapat mengancam stabilitas pulau dan menyebabkan abrasi/erosi. Juga tentu dapat mengganggu pertumbuhan mangrove di pulau ini”.

Atas semua itu, Direktur Eksekutif WALHI Sulsel, Asmar Exwar menjelaskan bahwa Proyek reklamasi di kota makassar telah memberikan dampak lingkungan dan sosial yang meluas. Pemberian izin dan operasionalisasi penambangan pasir laut untuk penimbunan lokasi reklamasi telah mencederai rasa keadilan masyarakat. Kebijakan ini sungguh mengabaikan hak masyarakat untuk menentukan sikap yang berkaitan dengan ruang hidupnya.

“Kebijakan reklamasi dan tambang pasir laut di takalar menunjukkan bahwa pemprov tidak berniat menaikkan kesejahteraan masyarakat pesisir, namun sebaliknya merusak ruang hidup masyarakat pesisir dan pulau kecil”.

Demi kepentingan masyarakat banyak, kami menghimbau agar pemerintah provinsi Sulsel juga menghentikan proyek reklamasi CPI, karena kami percaya bahwa reklamasi CPI adalah sumber masalah yang terjadi. Kami menyarankan agar pemerintah memulihkan pesisir Makassar dan membuat area tersebut menjadi ruang terbuka yang dapat diakses oleh publik.

Kami juga menuntut segera:

  1. Penghentian secara total penambangan pasir laut di perairan Takalar
  2. Pencabutan izin-izin yang berkaitan dengan tambang pasir laut di perairan Takalar.

Dan bila tuntutan ini tidak dijalankan oleh pemerintah provinsi, terang Direktur ACC, Abd Muthalib, maka kami selaku pendamping dan kuasa hukum warga akan terus melakukan perlawanan yang lebih serius, termasuk menempuh jalur hukum berdasarkan pranata-pranata hukum yang berlaku.

Makassar, 18 Juli 2017

Narahubung:

  • Asmar Exwar (ED WALHI Sulsel), 0812 4212 1825
  • Nurlinda Dg Taco (Warga Galesong), 0812 2208 8844
  • H. Mone (Forum Masyarakat Nelayan Galesong Raya)
  • Haswandi Andi Mas (Direktur LBH Makassar) 0813 5524 0654
  • Abdul Muthalib (Direktur ACC Sulawesi) 0813 5530 8489
  • Asram Jaya (Koordinator FIK Ornop) 0813 5594 8459
  • Yusran Massa (Direktur Blue Forest) 0813 5520 3030