Categories
Opini

Membela Aksi Mahasiswa Makassar

Sejak aksi penolakan kenaikan harga BBM mulai menjadi semacam trend bagi mahasiswa Makassar, setidaknya sejak tahun 2009, posisi media dalam pengamatan saya, secara umum tidak mendukung gerakan mahasiswa. Klaim ini merujuk pada fakta bahwa dari tahun ke tahun, yang menjadi headline – silahkan dicek – di koran-koran lokal Makassar bila musim demo BBM tiba adalah aksi rusuh dan bentrok Mahasiswa vs Polisi. Aksi mahasiswa hampir tidak punya tempat positif sama sekali dalam pemberitaan media.

Membela-Aksi-Mahasiswa-Makassar

Download PDF

Categories
SIPOL

Mahasiswa Korban Kekerasan Polisi Divonis Bersalah

IMG_20150416_203358Makassar – Setelah menjalani proses hukum di kepolisian, kejaksaan, hingga pengadilan, dan ditahan selama kurang lebih 5 bulan lamanya, mahasiswa korban kriminalisasi dan kekerasan aparat Kepolisian di Univesitas Negeri Makassar (UNM) akhirnya divonis oleh hakim Pengadilan Negeri Makassar. Ketua Majelis hakim yang membacakan putusan, menetapkan Putusan Pemidanaan (veroordeling) terhadap terdakwa Nasrullah dan Wahyu Khaeruddin karena telah terbukti secara sah dan meyakinkan  melakukan Tindak Pidana secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap barang atau orang sebagaimana Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHPidana. Kedua terdakwa divonis 6 bulan penjara dikurangi selama masa penahanan. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntutnya selama 7 bulan penjara.

Meski vonis yang diterima oleh kedua terdakwa tergolong ringan, namun putusan ini jauh dari rasa keadilan. Sebab, Nasrullah dan Wahyu dan beberapa mahasiswa yang diadili dalam perkara yang lain, adalah korban kriminalisasi oleh Kepolisian. Penasehat hukum terdakwa dalam pembelaannya, menjelaskan dengan rinci kronologi peristiwa serta tindakan penangkapan sewenang-wenang pada saat peristiwa yang menyeret para terdakwa ke meja hijau tersebut.

Dalam peristiwa itu, 46 orang ditangkap secara sewenang-wenang dari dalam kampus UNM, dan mengalami penyiksaan dan kekerasan. Saat kedua terdakwa diperiksa di Polrestabes Makassar, mereka dipaksa mengaku melakukan pelemparan ke arah aparat dan ikut dalam demo yang berakhir dengan brutalitas aparat kepolisian di dalam kampus UNM.

Saat proses pemeriksaan saksi, beberapa Saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) memberikan keterangan yang tdak jelas terkait dengan tindak pidana yang didakwakan, bahkan keterangan saksi-saksi yang dihadirkan oleh JPU berbelit-belit dan bertentangan satu sama lain.

Andi Ilman selaku saksi korban menjelaskan bahwa tempat (locus) peristiwa tersebut terjadi di depan kantor DPRD Kota Makassar. Sekitar 100 massa mahasiswa melakukan pelemparan batu ke arah polisi dari jarak 20 hingga 30 meter, sehingga dirinya terkena lemparan batu di bagian dahi dan kakinya. Keterangan tersebut dibantah oleh kedua terdakwa terkait tempat penangkapan yang dilakukan terhadap keduanya yang berada di tempat yang sama, yaitu di dalam ruang kelas dan tidak tahu menahu terjadinya bentrokan di depan kantor DPRD Kota Makassar yang diuraikan saksi.

Sedangkan dua orang saksi lainnya yang dihadirkan oleh JPU yang juga anggota Polisi justru menjelaskan locus peristiwa yang berbeda, yaitu bukan di depan kantor DPRD Kota Makassar melainkan di depan kampus UNM. Dan hanya menjelaskan ciri-ciri fisik pelaku pelemparan yang diarahkan kepada Terdakwa Wahyu, sedangkan terdakwa Nasrullah tak ada yang melihat dan memastikan keberadaannya saat peristiwa di depan kampus UNM tersebut.

Meski fakta penangkapan sewenang-wenang dan peristiwa pelanggran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh aparat kepolisian terekam dengan jelas bahkan menjadi headline di media lokal dan nasional saat itu, tak membuat Hakim memutus terdakwa bebas dari tuntutan pidana. Dalam perkara yang diadili terpisah Ahmad Faris Al Amri yang didakwa sebagai pembusur Wakapolrestabes Makassar divonis 18 Bulan penjara. Rusmadi mahasiswa Unismuh Makassar yang kebetulan berada di kampus UNM saat itu dan tak ikut dalam aksi demontrasi, sehari sebelumnya juga divonis bersalah oleh hakim yang mengadili dengan pidana penjara selama 5  Bulan 7 hari atas kepemilikan satu buah mata busur yang baru diambil dari dalam tas miliknya. Padahal fakta persidangan berdasarkan keterangan saksi-saksi yang dihadirkan mejelaskan bahwa tas miliknya itu tidak dalam penguasaannya saat terjadi penangkapan dan penyerangan brutal aparat kepolisian. Dia baru diperlihatkan tas tersebut saat berada di Polrestabes Makassar.

Suasana di Pengadilan pun sempat ricuh, massa mahasiswa dari Solidaritas Mahasiswa Makassar yang terus mengawal proses persidangan, dan turut hadir mendengarkan putusan, tidak menerima putusan hakim yang dianggap tak memenuhi rasa keadilan itu. Mereka menganggap putusan bersalah kepada para mahasiswa yang mengalami serangkaian kekerasan dan tindakan sewenang-wenang Aparat Kepolisian itu adalah bukti nyata kembalinya kekuasaan otoriter khas orde baru dan merupakan pengkhianatan terhadap demokrasi.

Sementara di sisi lain, tindakan brutal aparat kepolisian terhadap mahasiswa, termasuk kekerasan dan penghalang-halangan peliputan oleh anggota Polisi terhadap kurang lebih sembilan orang jurnalis di kampus UNM saat itu, tak pernah diusut secara tuntas. Para anggota polisi brutal yang melakukan kekerasan pada peristiwa itu bebas beraktivitas tanpa proses hukum.

Atas vonis hakim tersebut tim penasehat hukum terdakwa dari LBH Makassar masih mempertimbangkan opsi melakukan upaya hukum (banding) sebagai perlawanan atas putusan hakim yang dinilai tidak memenuhi rasa keadilan dan menciderai demokrasi itu. [Abdul Azis Dumpa]

Categories
SIPOL

Mahasiswa Korban Kriminalisasi Bacakan Pernyataan Sikap di Depan Persidangan

IMG_20150410_144200MAKASSAR – Sidang agenda pembacaan Nota Pembelaan (Pledoi) Terdakwa Wahyu Khaeruddin dan Nasrullah dihadiri oleh puluhan Mahasiswa dari berbagai kampus di Makassar yang tergabung dalam Gerakan Solidaritas Mahasiswa Makassar (GSMM), 7 April 2015 lalu. Mereka  sengaja hadir memberikan dukungan pada mahasiswa korban kriminalisasi saat aksi demonstrasi menolak penaikan BBM yang berakhir dengan brutalitas aparat kepolisian di kampus Universitas Negeri Makassar (UNM) 13 November 2014 Silam.

Sebelum sidang dimulai massa GSMM berkumpul di depan gedung PN Makassar dengan membawa spanduk berisikan kecaman terhadap peradilan sesat yang dialami oleh kawannya sesama mahasiswa. Secara bergantian mereka berorasi mengecam proses peradilan yang masih berjalan dan menuntut agar membebaskan lima mahasiswa Korban Pelanggaran HAM oleh aparat kepolisian yang dijadikan terdakwa.

Sementara di dalam persidangan, kedua terdakwa yang diberi kesempatan oleh majelis hakim untuk menyampaikan Pembelaan, terdakwa Wahyu menggunakan kesempatan itu dengan membacakan Pernyataan Sikap GSMM. Dalam pernyataan sikap yang dibacakan tersebut, terdakwa memutar kembali waktu dan mengingatkan Majelis Hakim akan peristiwa kekerasan pelanggaran HAM yang dialami oleh dirinya dan puluhan civitas akademika UNM.

(Aksi Solidaritas GSMM Di Depan PN Makassar)

Pada peristiwa itu aparat kepolisian melakukan pengejaran dan penyisiran ke dalam kampus UNM sambil terus-menerus melepas tembakan gas air mata, melakukan perusakan kaca jendela gedung dan kaca mobil,  menendang hingga roboh puluhan sepeda motor yang diparkir di seluruh area kampus.

Penyisiran dan pengejaran tersebut bahkan dilakukan hingga masuk ke dalam ruang kelas saat proses perkuliahan sedang berlangsung di Fakultas Ilmu Sosial, Ekonomi, dan Fakultas Psikologi. Dalam aksi penyisiran dan pengejaran tersebut, sejumlah mahasiswa mengalami pemukulan dan penendangan serta intimidasi, terutama terhadap mahasiswi. Bahkan  sejumlah wartawan yang melakukan peliputan juga tidak luput terkena pukulan dan perebutan alat rekam oleh aparat polisi yang brutal.

Saat itu, 46 orang ditangkap secara sewenang-wenang, mengalami penyiksaan dan dipaksa mengakui telah melakukan tindak pidana. Selebihnya telah dibebaskan sehari setelah peristiwa karena tidak terbukti melakukan tindak pidana. Wahyu, Nasrullah, Ihwan, dan Rusmadi diproses hukum dan diseret ke meja hijau. Ahmad Faris Al Amri mahasiswa fakultas turut ditangkap sekitar seminggu kemudian dengan sangkaan sebagai pelaku pembusuran Wakapolrestabes Makassar. Saat proses penyelidikan dan penyidikan di kepolisian, mereka mengalami penyiksaan dan dipaksa mengakui telah melakukan tindak pidana, meski mereka terus membantah hingga saat ini, hal itu tak menghentikan proses hukumnya.[Abdul Azis Dumpa]

Categories
SIPOL

Aksi Solidaritas Warnai Persidangan Mahasiswa UNM

img_20150203_233047Makassar, 3 Februari 2015. Sidang mahasiswa yang ditangkap pada saat penyerangan secara brutal aparat kepolisian ke dalam kampus Universitas Negeri Makassar (UNM) 13 November 2014 silam, kembali digelar dan kali ini diwarnai aksi demonstrasi mahasiswa di depan gedung Pengadilan Negeri Makassar.

Aksi mahasiswa dari berbagai kampus dan organisasi yang tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa Pencari Keadilan itu berlangsung tertib dan damai. Secara bergantian mereka berorasi menuntut agar mahasiswa yang diadili dibebaskan dari segala tuntutan.  Menurut mereka, semua mahasiswa yang ditangkap hanyalah korban pelanggaran HAM aparat kepolisian, yang kemudian dikriminalisasi hingga diadili di muka pengadilan.

“Kawan-kawan kami, adalah korban pelanggaran HAM yang diadili. Aparat kepolisian telah jelas-jelas melakukan kekerasan, penganiayaan, pengrusakan di dalam kampus UNM. Mereka menyiksa, memukul mahasiswa yang ada di dalam kampus, bahkan mahasiswa yang ikut kuliah juga dipukuli. Merusak kendaraan dan fasilitas di dalam kampus UNM. Lalu menangkap mahasiswa dan memukulinya lagi hingga berdarah-darah. Ini adalah kriminalisasi.” Ungkap salah seorang peserta aksi dalam orasinya.

Selain itu, massa aksi membawa foto-foto kekerasan aparat kepolisian di dalam kampus UNM saat para terdakwa ditangkap. Beberapa orang peserta aksi terlihat membalut mulutnya dengan lakban sebagai simbol pembungkaman hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat melalui reprisifitas aparat. Pesrta aksi juga membagi-bagikan pernyataan sikap mereka kepada pengunjung persidangan lainnya.

Setelah aksi, puluhan massa dengan tertib mengikuti jalannya sidang perdana Nasrullah dan Wahyu Haeruddin yang didakwa dengan Pasal 351 ayat (1) jo pasal 55 (1) ke-1 KUHPidana atau pasal 170 ayat (2) ke-2 KUHPidana. Persidangan berikutnya dengan agenda pembacaan eksepsi (bantahan) terdakwa Ihwan Kaddang yang diwakili oleh Penasehat Hukumnya dari LBH Makassar. Eksepsi dilayangkan terhadap dakwaan jaksa, yang mendakwa Ikhhwan telah melakukan tindak pidana Pasal 1 ayat (1) subsidair Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor: 12/Drt/1951 LN 78/1951 tentang Mengubah “Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen” (Stbl. 1948 Nomor 17) dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948 atau lebih dikenal dengan UU Senjata Tajam (Sajam). [Abdul Azis Dumpa]

Categories
SIPOL

Ricuh Demo BBM Berbuntut Panjang, Mahasiswa UNM Dimejahijaukan

meja-hakim9-400x241Makassar, Ihwan Kaddang, mahasiswa Universitas Negeri Makassar (UNM) yang ditangkap sejak tanggal 13 November 2014 dan ditahan hingga sekarang, mulai disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Selasa, 27/1/2015. Pada sidang perdana ini dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Muhammad Damis dengan agenda pembacaan dakwaan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Cristian Carel Ratuniak, mendakwa Ihwan Kaddang telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) subsidair Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor: 12/Drt/1951 LN 78/1951 tentang Mengubah “Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen” (Stbl. 1948 Nomor 17) dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948 atau UU atau lebih dikenal dengan UU Senjata Tajam (Sajam). Adapun pelanggaran yang dimaksud adalah membawa sebutir peluru kaliber 5,56 yang masih aktif dan dapat digunakan berdasarkan hasil laboratorium Forensik Polri Cabang Makassar serta sebilah badik/taji yang panjangnya sekitar 12 cm yang tidak dilengkapi dengan surat izin yang sah, pada waktu berlangsung demonstrasi mahasiswa menolak rencana penaikan harga BBM di depan kampus UNM Jl. AP. Pettarani.

Dalam perkara tersebut, Ihwan Kaddang didampingi tim penasehat hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar. Penasehat Hukum terdakwa berpendapat bahwa, proses hukum yang dijalani oleh terdakwa Ihwan Kaddang merupakan bentuk kriminalisasi (pemaksaan adanya tindak pidana). Sebab, ia ditangkap dan ditahan pada peristiwa penyerangan aparat kepolisian ke dalam kampus UNM yang sertai penangkapan puluhan orang secara membabi buta. Proses hukum yang harus dihadapi oleh terdakwa, lebih kepada upaya untuk meredam bahkan menghentikan aksi mahasiswa (Baca: Demonstrasi) yang kerapkali dilakukan untuk memprotes kebijakan pemerintah.

Ihwan Kaddang adalah satu dari 4 orang yang diproses hukum oleh kepolisian dan satu dari 46 orang yang ditangkap secara brutal oleh polisi yang melakukan penyerangan ke dalam kampus UNM pada 13 November 2014 silam. Pada saat kejadian itu, bentrokan pecah di depan Kampus UNM saat berlangsungnya aksi demonstrasi menentang rencana penaikan harga BBM oleh pemerintah dan beberapa saat kemudian Wakapolrestabes Makassar terkena anak panah. Akibatnya, aparat kepolisian yang terdiri dari satuan Brimob Polda Sulselbar dan Polrestabes Makassar langsung melepas tembakan gas air mata untuk membubarkan aksi demonstrasi itu.

Situasi tersebut membuat mahasiswa dalam kondisi tersudut dan memilih mundur ke arah dalam kampus. Pasukan Polrestabes dan Brimob tidak berhenti, terus merangsek masuk ke dalam kampus melalui gerbang gedung Phinisi dan gerbang di Jl. Pendidikan. Akibatnya, seluruh mahasiswa yang berada dalam kampus, yang notabene tidak terlibat dalam aksi ikut lari untuk menyelamatkan diri.

Pengejaran dan penyisiran dilakukan sambil terus-menerus melepas tembakan gas air mata di  dalam area kampus, bahkan aparat kepolisian melakukan pengrusakan kaca jendela gedung dan kaca mobil, juga menendang hingga roboh sejumlah sepeda motor yang diparkir di area masing-masing fakultas. Penyisiran dan pengejaran tersebut dilakukan hingga masuk ke dalam ruang kelas dimana proses perkuliahan sedang berlangsung di Fakultas Ilmu Sosial, Ekonomi, dan Fakultas Psikologi. Ruang-ruang himpunan mahasiswa juga turut disisir bahkan ke area paling belakang kampus, salah satunya kantin. Dalam aksi penyisiran dan pengejaran tersebut, sejumlah mahasiswa mengalami pemukulan dan penendangan serta intimidasi (terutama terhadap mahasiswi). Dalam peristiwa tersebut, sejumlah wartawan yang melakukan peliputan juga tidak luput dari pukulan serta perampasan dan pengrusakana alat rekam.

Terdakwa Ihwan Kaddang yang pada saat itu berada di kantin kampus, tidak tahu mengenai peristiwa bentrokan antara polisi dan massa demonstran di depan kampus, serta penyerangan yang dilakukan polisi ke dalam kampus. Namun, dia bersama puluhan mahasiswa lainnya yang berada di dalam kantin kampus tersebut, langsung ditangkap oleh aparat kepolisian tanpa mengetahui alasan yang mendasarinya. Dalam perjalanan ke Polrestabes Makassar, mereka yang ditangkap, kerapkali mendapatkan kekerasan dengan cara dipukul dengan tameng dan ditendang oleh aparat kepolisian. Hal itu mengakibatkan mereka mengalami luka-luka. Tindakan kepolisian tersebut jelas merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusi (HAM), dimana semestinya kepolisian sebagai aparat penegak hokum negara, harus menjunjung tinggi dan memberikan perlindungan terhadap hak asasi warga negaranya. Namun sebaliknya Ihwan Kaddang bersama tiga oang lainnya (Rusmadi, Nasrullah, dan Wahyu) justru dirampas kemerdekaanya dengan cara ditahan dan harus menghadapi proses hukum hingga diadili di pengadilan.

Atas Dakwaan Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa, tim Penasehat Hukum  akan mengajukan Eksepsi. Sidang ditunda dan akan dilanjutkan kembali pada Selasa, 4/2/2015 dengan agenda pembacaan Eksepsi dari terdakwa yang diwakili oleh penasehat hukumnya. [Abdul Azis Dumpa]