Categories
EKOSOB slide

Warga Bara-Baraya Kembali Lakukan Unras, Kawal Sidang di Pengadilan Negeri Makassar

Aliansi Bara-baraya Bersatu Kota Makassar kembali menggelar aksi demonstrasi di depan Kantor Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, Selasa, (26/11/2019).

Aksi tersebut diikuti sekitar 50-an orang massa, yang didominasi dari warga Bara-baraya, dan mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di Kota Makassar.

Diketahui, sidang pada hari ini merupakan Pemberian Alat Bukti dari pihak penggugat ke PN Makassar.

“Kami datang ke sini untuk mengawal sidang Bara-baraya di PN Makassar ini,” ucap Rati, Warga Bara-baraya.

Lanjut, mereka juga meminta agar si penggugat langsung dihadirkan dalam sidang.

“Selama proses persidangan, selama 3 tahun, si penggugat belum pernah menunjukkan dirinya. Kami tidak tahu, ini penggugat masih hidup atau bagaimana,” ungkap Nur, yang merupakan salah satu Jubir warga Bara-baraya.

Menurutnya, jika penggugat memiliki itikad baik, maka dia akan menghadiri persidangan.

“Di perkara sebelumnya dengan kasus yang sama, kami berhasil menang, dan mereka kalah, tapi mereka menggugat kembali,” pungkas Nur.

“Kami terus mengawasi proses penegakan hukum yang dijalankan oleh PN Makassar, kami tidak akan lepas tangan,” tegas Nur.

Sementara itu, sebagai Juru Bicara Bara-baraya Bersatu, berharap kepada pihak PN Makassar, agar menjalankan proses sidang yang jujur, dan berpegang teguh pada prinsip keadilan.

“Kami minta pengadilan seadil-adilnya, jangan ada intervensi kekuasaan terhadap hukum dan penegak hukum di PN Makassar ini,” tandasnya.

“Kami tidak takut dengan ancaman apapun, tanah kami harga mati,” kecamnya.

Selama kurang lebih 2 jam aksi di PN Makassar, lalu massa bergerak ke Perempatan Jalan R.A Kartini, Kecamatan Ujung Pandang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, dengan membentangkan spanduk.

“Kami dari kantor pengadilan, jalan ke perempatan dekat Pos Polisi, membentangkan spanduk sebagai bentuk kampanye, bahwa kasus Bara-baraya belum usai, dan kami akan terus bersama warga dalam mengawal,” tutup Fariz, Kordinator Mahasiswa yang bersolidaritas dalam Aliansi Bara-baraya Bersatu.

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online sulawesiekspos.com pada 26 November 2019

Categories
EKOSOB slide

Polda Sultra Segera Bebaskan Jasmin & Stop Kriminalisasi 27 Warga Wawonii oleh Tambang PT. Gema Kreasi Perdana

Permintaan desakan solidaritas

Jasmin, warga Pulau Wawonii ditangkap Polda Sultra sore tadi, Pkl. 17.00 Wita, tadi sore tgl 24 November 2019 di rumah Kakak-nya di Kendari.

Jasmin, yang sejak awal getol menolak tambang, adalah satu dari 27 warga Wawonii yang telah dilaporkan ke Polisi oleh pihak PT Gema Kreasi Perdana (GKP). Jasmin sendiri dilaporkan pada 24 Agustus 2019 lalu, bersama dengan 20 warga Wawonii lainnya, dengan tuduhan merampas kemerdekaan seseorang.

 

Baca Juga link Terkait: 

Stop Kriminalisasi Petani-Cabut & Proses Hukum PT. GKP Di Pulau Wawoni !!!

Lagi, PT GKP Serobot Lahan Warga

 

Sebagai informasi, PT GKP, anak usaha Harita Group, telah 3 (tiga) kali menerobos lahan masyarakat. Penerobosan yang dikawal ketat aparat kepolisian itu terakhir terjadi pada 22 Agustus tengah malam lalu.

Laporan warga atas penerobosan lahan itu tak kunjung ditindaklanjuti polisi, sebaliknya, laporan pihak PT GKP yang cenderung dengan mudah diproses oleh polisi.

 

Untuk itu kami mendesak Komnasham, Kapolri dan Kapolda Sultra untuk ;

  1. Komnas HAM segera Membuka Ke publik rekomendasi kepada Polda sultra terkait pelanggaran HAM dan kriminalisasi terhadap warga dan petani Wawonii yg memperjuangkan lingkungan hidup dengan menolak tambang.
  2. Komnas HAM segera menghubungi Kapolri dan Kapolda Sultra untuk menghentikan proses kriminalisasi terhadap petani dan warga Wawonii segera. Apalagi legalitas perusahaan tambang beserta Tersus pelabuhan PT. Gema Kreasi Perdana diduga tak lengkap dan tak memiliki izin lingkungan
  3. Komnas HAM segera mengeluarkan Jasmin dari tahanan karena Polda sultra melakukan penahan warga dan petani yg didasarkan oleh laporan perusahaan yg ilegal karena perusahaan tersebut tidak lengkap dokumen perizinannya.
  4. Komnas HAM segera mengumumkan kepada publik bahwa Jasmin adalah Pejuang Lingkungan Hidup dan segera mengkoordinasikan kepada Polda Sultra utk membatalkan penahanan, karena peran Jasmin yg menghentikan perusahaan dan tersus pelabuhan yg ilegal adalah memperjuangkan lingkungan hidup sesuai ketentuan pasal 66 UU 32 / 2009 ttg PPLH ( Jasmin tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana ).
  5. Mendesak Kapolri segera memerintahkan Kapolda untuk Membatalkan Penahanan dan membebaskan Jasmin
  6. Mendesak Kapolda Sultra utk membatalkan penahanan Jasmin dan segera membebaskan karena Jasmin adalah pejuang lingkungan hidup atau masuk kategori Anti Slapp (Strategic Lawsuit Against Public Participation) sesuai dengan Pasal 66 UU PPLH (Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) No 32 Tahun 2009
  7. Kapolda Sultra segera membebaskan seluruhnya 27 warga yg dikriminalisasi dan 3 sudah ditahan skrg karena desakan perusahaan tambang
  8. Mendesak Menteri KLHK utk mengintervensi Kapolri dan Kapolda Sulawesi Tenggara Agar penahanan Jasmin dibatalkan dan segera membebaskan, karena Jasmin adalah pejuang lingkungan hidup atau masuk kategori Anti Slapp (Strategic Lawsuit Against Public Participation) sesuai dengan Pasal 66 UU PPLH (Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) No 32 Tahun 2009

 

Baca Juga Link Terkait:

Pemerintah dan Polisi di Sultra Pandang Sebelah Mata Kasus Tambang Wawonii

 

Kirimkan pesan berupa WA maupun SMS kepada

  1. Kapolri, Idham Azis (+62 (0) 812 1898888)
  2. Kapolda Sultra, Merdisyam (+62 (0) 811 401975)
  3. Ketua Komnasham, Ahmad Taufan Damanik (0811 659718)
  4. Siti Nurbaya, Menteri LHK (+62 812-1116-061)

Kirim ketujuh desakan tersebut kepada mereka masing-masing agar segera mengambil tindakan, jangan sampai pemeriksaan dan penahanan petani -warga melanggar prinsip-prinsip pemeriksaan yg benar dan sesuai prosedur yg menghargai Hak Asasi Manusia.

 

Narahubung:

Mando Maskuri – Warga Wawonii – 081341714199

Muh Jamil – Div Hukum JATAM – 082156470477

Edy Kurniawan – LBH Makassar – 085395122233

Categories
SIPOL slide

Keluarga Korban Kasus Penembakan di Bantaeng Melapor Ke Polda Sulsel

Keluarga Sugianto (22), korban kasus dugaan penganiayaan dan penembakan yang mengakibatkan kematian di Kabupaten Bantaeng, mendatangi Kantor Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Selatan (Sulsel), Selasa (19/11/2019). Tidak terima anaknya meninggal tragis, Teti ibu Sugianto didampingi Kuasa hukum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makasassar, melaporkan kasus ini ke Polda Sulsel.

Sugianto meninggal dunia pada sabtu pagi (9/11/2019) dipenuhi luka lebam disekujur tubuh dan 3 luka tembak, dua tembakan pada betis dan lutut kanan atas. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, dia sempat ditangkap oleh Polres Bantaeng malam harinya dan dibawah ke Pos Polisi Terpadu yang berada di Jalan Kartini.

Kabar kematian Sugianto, baru diketahui istrinya Iin Ramadani setelah seorang tukang becak mendatanginya memberi informasi pada hari sabtu pagi, sekitar pukul 07.00 wita, bahwa suaminya telah meninggal dunia dan sedang berada di RS Umum Bantaeng.

“Katanya itu pak cari (tukang becak), adai suamimu di rumah sakit sudah meninggal mi,” ujar Iin menirukan tukang becak yang memberinya informasi.

Menurutnya, tukang becak tersebut mendapat infomasi dari salah seorang  perawat RS ihwal kematian Sugianto. Mendengar kabar tersebut, Iin terus bergegas menuju RS Umum Bantaeng yang berada tidak jauh dari rumahnya. Sesampai disana, Iin bertemu perawat RS dan menuju ruang IGD tempat suaminya terlentang tidak bernyawa.

“Perawat itu bilang, kalau suamiku dibawa Polisi sekitar jam jam 5 subuh, dua kali dibawa, yang kedua kalinya tidak sadarkan dirimi na bilang perawat,” ungkapnya.

Saat tiba di RS sama sekali tidak ada Anggota Polres Bantaeng disana, sekitar pukul 09.00 wita Iin lantas mendatangi Polres Bantaeng untuk bertemu Kepala Polres. Iin menanyakan terkait tidak adanya polisi yang menemani suaminya saat di bawah ke RS.

Malam harinya Iin telah mengetahui penangkapan Sugianto oleh Polres Bantaeng. Ia menceritakan jika Sugianto sekitar pukul 20.00 wita Jum’at malam (18/11/2019) sempat meminta ijin untuk keluar rumah bertemu dengan seorang temannya didekat RS Umum Bantaeng. Sementara itu, ipar Sugianto dengan inisial AS (16) menawarkan untuk mengantarnya menggunakan motor, tapi Sugianto memilih untuk berjalan kaki saja.

Sekitar pukul 22.00 wita Iin sempat menelpon Sugianto, memberitahu agar tidak larut malam pulang ke rumah, saat itu ia masih berkomunikasi dengan suaminya. Beberapa saat kemudian, Iin menelpon kembali, namun handphone Sugianto sudah tidak aktif lagi.

“Sekitar jam jam dua itu ada polisi datang ke rumah ketuk ketuk pintu, bertanya ki mana Sugianto, kubilang tidak tahu pak, belum pi pulang. Setelah itu na tanya juga AS, ku bilang tidak tahu. Setelah itu, polisi bilang kalau mauko ketemu suami mu ikut ko sama saya,” kata Iin menirukan percakapannya dengan oknum Polisi yang mendatanginya.

Iin kemudian ikut oknum Polisi tersebut menuju jalan besar depan lorong masuk rumah. Disana sudah terparkir mobil Avansa berwarna Silver. Didalam Iin sudah melihat Sugianto bersama AS dengan posisi tangan teringat lakban, selain itu AS matanya di tutup lakban.

“Iya terikat tanganya kulihat, mukanya banyak mi lebamnya,” ungkapnya

Setelah itu Iin lantas ikut dengan menggunakan motor menuju Pos Polisi Terpadu yang berada di Jalan Kartini, sementara Sugianto dan AS diangkut mengkunakan Mobil Avansa silver tersebut. Sesampai di sana, Sugianto dan AS dibawah masuk ke dalam Pos, sementara itu Iin hanya sampai diluar, petugas tidak membiarkannya masuk ke dalam.

“Di luar ja, tidak dibiarkan masuk sama petugas, waktu itu suamiku masih bisa jalan,” kata Iin

Iin sempat meminta untuk ikut masuk ke dalam, namun tidak diperbolehkan, ia pun menunggu diluar Pos. Iin yang menunggu diluar, sempat mendengarkan suara teriakan kesakitan suaminya sambil berterik memanggi nama anak dan ibunya.

“Teriak ki dari dalam ku dengar, nasebut nama anaknya 3 kali, mama’nya satu kali,” imbuh Iin

Tidak lama kemudian, seorang petugas mendatanginya, meminta Iin untuk pulang saja, dan datang esok hari segalligus akan diberi tahu soal kasus suaminya, hingga ditangkap.

Iin yang penuh rasa khawatir dan penasaran kenapa suaminya di tangkap, lantas pulang di anatar seorang petugas di sana. Pagi harinya, baru lah dia mendapat kabar, suaminya telah meninggal dunia.

Sementara itu, Teti yang juga datang bersama Iin ke Polda Sulsel melaporkan kasus ini berharap agar kasus anaknya dapat diproses.

“Pokoknya hukum seberat-beratnya, saya tidak mau terima apapun”, katanya dengan mata berkaca-kaca saat ditemui dikediamannya.

Sementara itu dari keterangan yang ada, berdasarkan berita yang dirilis tribunnews.comtanggal 15 November 2019, Humas Polres Bantaeng Bripka Sandri membernarkan adanya penembakan terhadap Sugianto, pada bagian betis dengan 2 luka tembak dan satu lagi pada paha sebelah kiri.

Dari sumber yang sama, Kasat Reskrim Polres Bantaeng AKP Abdul Haris Nicolas mengatakan Sugianto terpaksa dilumpuhkan saat polisi ingin melakukan pengembangan dan diminta menunjukkan lokasi beraksi (melakukan dugaan pencurian. Red). Namun tersangka menurut Abdul Haris memberontak dan berusaha melawan petugas.

 

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online sulselekspres.com pada 19 November 2019

Categories
slide Uncategorized

Disabilitas Rentan Diskriminasi, AIPJ2 Dorong LBH Agendakan Seminar dan Lokakarya

Penyandang disabilitas acap kali menjadi korban diskriminasi ketika diperhadapkan dengan hukum. Baik pidana maupun perdata.

Hal itu menjadi momok bagi sebagian besar penyandang cacat. Sebab secara psikis, kondisi itu tambah merusak mental mereka.

Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIJP 2) mendorong LBH Makassar bersama Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Sulsel, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Sulsel, dan Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Sulsel untuk mengagendakan seminar dan lokakarya atau Semiloka mengenai layanan inklusi bagi penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum di Kabupaten Bulukumba, Sulsel.

Pemkab Bulukumba pun merespons agenda itu. Tercatat di Kabupaten Bulukumba menjadi daerah pertama di Sulawesi Selatan bagian selatan untuk penyelenggaraan seminar dan lokakarya itu. Di sana, menghadirkan narasumber dari unsur penegak hukum, organisasi penyandang disabilitas maupun Pemerintah Daerah, dalam hal ini SKPD dan stakeholder terkait.

Tujuannya sangat jelas, yakni penyuluhan hukum terkait hak-hak kelompok rentan termasuk penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum kepada masyarakat. Di Bulukumba sendiri, kelompok rentan ini terbilang cukup besar jumlahnya, setidaknya ada 400an jiwa masuk dalam kategori kelompok rentan itu.

Bahkan di Bulukumba juga telah memiliki Perda Perlindungan dan Pelayanan Penyandang Disabilitas, yang salah satu isinya juga mengatur terkait tanggungjawab pemerintah daerah dalam mewujudkan layanan yang inklusi bagi penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum.

“Semiloka ini dilandasi dengan kebutuhan akan sinergitas antar pemangku kepentingan, baik Pemerintah Daerah melalui organisasi perangkat daerah terkait, Institusi penegak hukum, organisasi bantuan hukum, organisasi masyarakat sipil lainnya untuk mewujudkan layanan peradilan yang inklusi, agar proses hukum memperhatikan karakteristik dan kebutuhan ragam disabilitas,” kata Muhammad Fajar Akbar, seorang dari LBH Makassar, Selasa, 29 Oktober 2019 Lalu

“Dengan demikian, setiap penyandang disabilitas memperoleh perlakuan dan perlindungan hukum yang setara. Apalagi Kabupaten Bulukumba akan menjadi tuan rumah salah satu event bertaraf nasional yaitu Temu Inklusi 2020,” lanjutnya.

Sudah menjadi kewajiban Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kelangsungan hidup setiap warga negara, tanpa terkecuali para penyandang cacat.

Di mana para penyandang cacat sebagai warga negara Indonesia punya kedudukan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang sama untuk hidup maju, dan berkembang secara adil dan makmur sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Para stakeholder telah menindaklanjuti dalam bentuk komitmen seperti upaya pembangunan sarana dan prasarana maupun upaya perbaikan layanan.

Aksesibilitas yang baik bukan berarti fasilitas mewah atau istimewa, melainkan terjangkau dan mendorong para penyandang cacat untuk mandiri dalam melakukan segala hal.

Senior Advisor Program AIJP 2, Muhammad Joni Yulianto menuturkan, semiloka rencananya akan diselenggarakan pada 29 sampai 30 Oktober 2019 di Aula Kantor Kemenag Bulukumba.

Peserta berasal dari perwakilan Pemerintah Daerah Bulukumba yaitu Setda, khususnya bagian hukum, dan OPD terkait seperti Dinsos, Dinkes, DP3A, P2TP2A, RSUD.

Perwakilan Institusi Penegak Hukum seperti PN, KEJARI, dan Polres, serta OBH lokal. Diikuti juga oleh perwakilan organisasi profesi seperti asosiasi Psikiater dan Psikologi serta Organisasi Advokat. Selain itu diikuti juga oleh organisasi penyandang disabilitas serta Paralegal.

Joni Yulianto menyebut, bentuk supporting di luar penegak hukum terhadap penyandang disabilitas, yakni trauma healing ketika proses peradilan usai. Sebab pemulihan psikis atau trauma tidak bisa selesai begitu saja.

“Di awal perlu ada assesment terkait kondisi penyandang disabilitas, tingkat traumanya seperti apa, tingkat disabilitasnya apa, maka assesment itu bisa dilakukan oleh profesional medis dan psikolog. Kemudian nanti saat proses peradilan nanti dibutuhkan trauma healing, dibutuhkan juga nanti proses pemulihan setelah peradilan selesai,” ujarnya.

“Biasanya jika menjadi korban bahwa traumanya tidak bisa hilang, itu butuh dipulihkan. Nah di situ peran psikolog, psikiater, medis. Kemudian juga paralegal dan organisasi penyandang disabilitas itu juga sangat penting mendampingi korban dan keluarga,” jelas dia.

 

Catatan: Berita ini telah terbit di media online indonesiasatu.co.id pada 01 November 2019

Categories
EKOSOB slide

Tahun 2020 UMP Sulsel Rp 3,1 Juta, LBH Sebut Jumlah ini Paling Tepat

Upah Minimum Provinsi (UMP) Sulsel tembus Rp 3,1 juta, resmi pada 1 Januari 2020 nanti.

Hal tersebut diumumkan Gubernur Nurdin Abdullah, di kantor Gubernur Sulsel, Kota Makassar, Jumat (1/11/2019) pagi tadi.

Walau begitu, aktivisi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar bukanlah menjadi angin segar bagi kaum buruh di Makassar.

Menurut wakil Direktur LBH Makassar M. Fajar Akbar, kenaikan UMP Rp 3,1 juta itu tidak banyak memberikan dampak besar.

“Ini timpang, naik tetapi tidak banyak beri dampak, dibanding dengan kenaikan BPJS 100 persen, misalnya,” ujar Akbar, petang.

Pasalnya, kenaikan UMP ini dari tingkat inflasi 3% dan pertumbuhan ekonomi 5%. Maka, didaptlah angkanya sebesar 8%.

LBH pun menilai, secara hukum memang angka 8% itu yang harus dkritisi. Karena kenaikan itu menurut PP 78 THN 2015.

Kata Akbar, Ini yang harus dikritisi, karena penetapan UMP harusnya itu berdasarkan survey Kebutuhan Hidup Layak atau KHL.

Survey KHL ini seperti, survey harga-harga kebutuhan riil di pasar-pasar. Dan tentunya ini harus dilakukan Dewan Pengupahan.

“Bukan berdasarkan surat edaran menteri ketenagakerjaan yang mengacu ke inflasi dan pertumbuhan ekonomi,” tegas Akbar.

Lanjut Akbar, metode penetapan upah ini tidal konkrit. Karena jika dipakai hitungan buruh, KHL ada 78 item yang disurvey.

Maka rasionalnya itu, kenaikan UMP bila dibanding dengan tingkat harga kebutuhan pasar, harusnya naik sampai 10 atau 15%.

Jadi secara hukum, Presiden harusnya itu didesak agar PP Pengupahan direvisi. Agar perhitungan minimum berdasarkan KHL.

“Jadi bukan kenaikan UMP ini berdasarkan pada inflasi dan prtumbuhan ekonomi. Ini tidak memberikan dampak,” jelas Akbar.

Untuk itu menurut LBH Makassar, kalau berdasarkan survey 78 item KHL, UMP di Sulsel harusnya menyentuh Rp 3,5 juta.

“Iya, kalau saja pemerintah naikan UMP berdasarkan KHL tahunan maka Sulsel itu UMP sudah 3,5 juta,” tambah Akbar.

 

Catatan: Berita ini telah terbit di media online tribunnews.com pada 01 November 2019

Categories
EKOSOB slide

Cerita Kakek La Baa yang Pertahankan Lahannya dari PT GKP

Excavator milik PT GKP saat memasuki lahan perkebunan milik warga, Foto; Diambil dari media online kumparan.com

 

Perseteruan antara warga Desa Sukarela Jaya, Kecamatan Wawonii Tenggara, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra) dan PT Gema Kreasi Perdana (GKP) seakan tidak ada habisnya. Sejak perusahaan tambang milik Harita Grup itu masuk pada 2016 di Wawonii, gesekan dengan warga setempat sudah terjadi. Penyebabnya pembebasan lahan.

Sampai sekarang, ada tiga warga yang menolak lahannya diambil alih PT GKP. Ketiganya masing-masing La Baa, Amin, dan Wa Ana.

Kemarin, La Baa bertolak dari Wawonii ke Kota Kendari. Kepergiannya ke Kendari tiada lain meminta perlindungan hukum.

Saat ditemui di sekretariat bersama Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Pusat Kajian Dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Puspaham), La Baa mengaku sudah 35 tahun mengelola lahannya.

Selama itu pun, La Baa mengaku terus menyetor uang pajak ke negara, Rp 70 ribu pertahun. Dari hasil berkebun di lahan seluas setengah hektar, La Baa menghidupi istri dan delapan orang anaknya.

La Baa pemilik lahan yang di ambil paksa oleh PT GKP, Foto; Diambil dari media online kumparan.com

 

“Alhamdulillah dari hasil berkebun juga saya sudah umrah. Tidak seperti mereka (warga) yang sudah jual lahan, dijanji mau diberangkatkan umrah tapi tidak jadi-jadi,” kata Labaa di sekretariat bersama KPA dan Puspaham Sulawesi Tenggara di Kelurahan Lepo-lepo, Kendari.

Kakek berusia 78 tahun itu mengaku mulai terusik sejak PT GKP masuk. Jalan hauling sepanjang lima kilometer dengan lebar 20 meter yang dibangun PT GKP melalui lahan perkebunan milik La Baa, Amon, dan Wa Ana.

Puncaknya Jumat malam (21/8), saat PT GKP melakukan pengerjaan jalan di dikuasai ketiga warga tersebut. Warga desa marah dan mengikat 10 operator PT GKP. “Itu lahan kita. Jadi kita marahlah,” ucap La Baa.

La Baa menuturkan, pihak GKP sudah beberapa kali mendatangi rumahnya. Tujuannya meminta agar La Baa sudi menerima kompensasi atas lahannya. “Saya tidak mau memang. Saya keras, saya tidak mau,” ucapnya.

Korwil KPA Sultra, Torop Prudendi, mengakatakan lahan yang bermasalah ini adalah hutan negara. Namun, warga setempat sudah berhak memiliki sertifikat tanah karena sudah mengelola dan membayar pajak selama 35 tahun.

“Itu kan minimal 20 tahun sudah bisa diterbitkan setifikat,” ujar Torop Prudendi.

 

Catatan: Brita ini telah dimuat di media kumparan.com pada 27 Agustus 2019

Categories
EKOSOB slide

Pemerintah dan Polisi di Sultra Pandang Sebelah Mata Kasus Tambang Wawonii

Ketegangan dan konflik tambang di Wawonii Tenggara, Konawe Kepulauan (Konkep) memanas, situasi ini dipicu oleh tindakan sejumlah karyawan perusahaan tambang PT. Gema Kreasi Perdana (GKP) yang mengaku diperintah oleh pimpinan perusahaan untuk melakukan perampasan lahan & pengrusakan tanaman milik warga/petani, pada 22 Agustus 2019.

Atas penyerobotan lahan tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil ( KMS ) yang terdiri dari Perwakilan Warga Wawonii, LBH Makassar-YLBHI, LBH Kendari, JATAM, KPA Sultra, PUSPAHAM Sultra, WALHI Sultra, DPK GMNI (Hukum, FITK, FKIP) UHO, KBS, SP Kendari, STKS, FORSDA Kolaka, Komdes Sultra, menyatakan sikap bela Wawonii, Selasa (27/8/2019).

Situasi di Wawonii Tenggara tak kondusif, jika pihak perusahaan meneruskan perampasan lahan dan Pemkab Konkep, Gubernur Sultra dan Polda Sultra, tak segera menghentikan aktivitas PT. GKP.

Jika ada pembiaran, KSM mengkhawatirkan konflik sosial semakin luas dan tak terkendali.

“Peristiwa 22 Agustus 2019 adalah bentuk tindakan PT. GKP yang main hakim sendiri, sewenang-wenang, melawan hukum dan menimbulkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berupa hak milik, hak atas lingkungan hidup yang sehat, hak atas pekerjaan termasuk mencari nafkah, hak untuk hidup tentram tanpa gangguan/ancaman dan hak kehidupan layak,” ujar, kuasa hukum warga dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar-YLBHI, Edy Kurniawan.

KSM menilai, aksi sepihak PT GKP yang diduga menyerobot lahan warga dipandang sebelah mata kasusnya oleh pejabat di daerah ini, akibatnya masyarakat juga terkesan mempejuangkan hak-hak mereka sendiri.

“Padahal, kasus ini sedang dalam proses penyelidikan Polda Sultra atas laporan perusahaan terhadap tiga orang warga Wawoni dengan sangkaan menghalangi kegiatan tambang sesuai Pasal 162 Jo. Pasal 136 UU Minerba,” lanjutnya.

Seharusnya dalam kasus ini Polda Sultra bertindak professional, bekerja cepat melakukan penyelidikan dan mencegah tindakan yang dapat merugikan masyarakat.

“Pihak Kepolisian justru melakukan pengawalan terhadap tindakan sewenang-wenang PT. GKP,” tambahnya.

Warga Wawonii disebutkan memiliki bukti kuat atas pemilikan dan penguasaan lahan. Dilain pihak PT. GKP juga mengklaim pemilik lahan.

 

Catatan: Brita ini telah dimuat di media onlinedetiksultra.com pada 27 Agustus 2019

Categories
EKOSOB slide

Komnas HAM Janji Akan Selesaikan Konflik Agraria di Bulukumba

Dokumentasi oleh LBH Makassar: Diskusi upaya penyelesaian konflik lahan antara Masyarakat adat Kajang dan PT.Lonsum di sekretarian AGRA Bulukumba.

 

Tim Agraria Komnas HAM RI menginisiasi pertemuan dengan Masyarakat Adat Ammatoa Kajang, AGRA Cabang Bulukumba, beserta LBH Makassar untuk membahas penyelesaian konflik agraria secara konprehensif, antara Masyarakat Adat Ammatoa Kajang melawan PT. Lonsum. Kamis, (22/8/2019).

Kegiatan tersebut diikuti sejumlah Pemangku Adat dari Ammatoa Kajang, masyarakat penggugat, LBH Makassar, dan Pimpinan AGRA Bulukumba di Kantor Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Cabang Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan.

Tim Agraria Komnas HAM, Nisa menyampaikan maksud dan tujuan kehadiran mereka di Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.

“Ini merupakan agenda penyelesaian kasus konflik Agraria yang terjadi di Bulukumba. Khusunya konflik antara Masyarakat Adat Ammatoa Kajang dengan PT. Lonsum,” ujarnya.

Selanjutnya, diberikan kesempatan kepada peserta pertemuan untuk menjelaskan peta konflik antara masyarakat adat dengan PT.Lonsum.

Salah satu pimpinan AGRA Bulukumba, Amir sekaligus bagian dari Masyarakat Adat Ammatoa Kajang menjelaskan sejarah perampasan lahan oleh penjajah Belanda hingga berganti nama menjadi PT. Lonsum.

“Tindakan kriminalisasi, pemukulan, pengrusakan tanaman beserta pembongkaran secara paksa oleh pihak PT. Lonsum, bahkan pemukulan oleh pihak Kepolisian dari Polsek Ujung Loe semua telah terjadi. Kasus ini sudah sangat lama dan kami berharap ini segera dapat ditindaklanjuti,” imbuhnya.

Sementara itu, Tim LBH Makassar, Edy Kurniawan Wahid menjelaskan, poin mengenai pelangaran yang dilakukan oleh PT. Lonsum.

“Pelanggaran yang dimaksud menyangkut soal tidak adanya Izin Usaha Perkebunan, Izin Lingkungan dan beberapa izin-izin yang lain yang seharusnya dimiliki oleh PT. Lonsum selama ini,” pungkasnya.

Terakhir, Tim Agraria Komnas HAM  berjanji akan segera memproses kasus tersebut.

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online suarajelata.com pada 22 Agustus 2019

Categories
EKOSOB slide

Upaya Penyelesaian Konflik Agraria, Tim Agraria Komnas HAM Berkunjung ke Bulukumba

Dokumentasi LBH Makassar pada peninjauan Lokasi konflik lahan HGU antara Masyarakat adat Kajang vs PT. Lonsum bersama AGRA Bulukumba, Masyarakat Adat dan Komnas HAM

 

Bertempat di Kantor Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Cabang Bulukumba, berlangsung agenda diskusi penyelesaian kasus konflik agraria antara masyarakat adat Ammatoa Kajang dengan PT. Lonsum.

Agenda ini dihadiri  oleh Tim Agraria Komnas HAM, sejumlah pemangku adat dari Ammatoa Kajang, masyarakat penggugat, LBH Makassar dan 2 pimpinan Agra Cabang Bulukumba, Selasa (20/08/2019).

Pertemuan ini sebelumnya merupakan hasil inisiasi dari Tim Agraria Komnas HAM. Nisa, salah satu utusan Komnas HAM menyampaikan bahwa kunjungan tersebut merupakan agenda untuk penyelesaian kasus konflik agraria yang terjadi di Bulukumba. Khusunya konflik antara masyarakat adat Ammatoa Kajang dengan PT. Lonsum.

Amir salah satu pimpinan AGRA Bulukumba dan juga bagian dari masyarakat adat Ammatoa Kajang memaparkan sejarah perampasan lahan masyarakat adat oleh pemerintah Hindia Belanda hingga berganti nama menjadi PT. Lonsum. Ia juga  memaparkan berbagai tindakan kriminalisasi, pemukulan, pengrusakan tanaman jagung dan padi, serta pembongkaran secara paksa  rumah-rumah masyarakat oleh pihak PT Lonsum.

Selain itu juga disampaikan kejadian pemukulan oleh pihak kepolisian dari Polsek Ujung Loe kepada kawannya.

Lebih jauh, Amir menambahkan bahwa kasus ini sudah sangat lama dan masyarakat berharap ini segera dapat terselesaikan dengan dikembalikannya tanah ulayat mereka .

Edy, peserta pertemuan yang mewakili LBH Makassar juga menyampaikan beberapa point mengenai  pelangaran-pelanggaran yang dilakukan oleh PT. Lonsum.

Pelanggaran yang dimaksud menyangkut soal tidak adanya Izin usaha Perkebunan, Izin Lingkungan dan beberapa izin-izin yg lain yg seharusnya di miliki oleh  PT. Lonsum selama ini.

Setelah pertemuan tersebut, para peserta memenuhi  permintaan mayarakat Adat Kajang untuk berkunjung ke lokasi pendudukan AGRA Bulukumba bersama masyarakat adat Ammatoa Kajang. Kegiatan diakhiri dengan  penyerahan berkas-berkas menyangkut konflik yang ada kepada Tim Agraria Komnas HAM.

Tim Agraria Komnas HAM  berjanji akan segera memproses kasus ini dan menpelajari seluruh berkas yang telah diserahkan oleh masyarakat.

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online KATALOGIA.ID pada 21 Agustus 2019

Categories
SIPOL slide

Agung Tewas Diduga Dianiaya 5 Oknum Polisi, Berkasnya Masih ‘Tertahan’ di Ruang Penyidik Polda

Berkas kasus kematian Agung Pranata yang melibatkan lima polisi di Sulsel, ternyata masih tertahan di meja pimpinan penyidik.

Pasalnya, tim penyidik Ditreskrimum Polda Sulsel berjanji pada awal Juli mereka akan membawa berkas kasus yang bergulir dari 2016 di Polda itu, ke penyidik Kejaksaan.

Tetapi salah satu penyidik dalam kasus Agung, Kompol Muh Ali mengaku berkas kasus penganiayaan berujung kematian Agung masih ada di ruangan pimpinan.

“Berkas ada di ruangan Pak Direktur, jadi belum ditandatangani surat pengantaran ke kejaksaan,” ungkap Kompol Ali kepada tribun timur.com, Jumat (19/7/2019) pagi.

Menurut Kompol Ali, berkas atau surat kasus itu belum juga ditandatangani untuk segera diantar ke Kejaksaan, karena Direskrimum, Kombes Pol Andi Indra masih di Jakarta.

“Iya, berkas masih ada di ruangannya Pak Direktur dan belum ditandatangani surat pengantarnya. Karena Pak Direktur masih di Jakarta, belum balik,” ujar Kompol Ali.

Sebelumnya Kompol Ali mengungkapkan, saat ini pihaknya sudah mengumpulkan resume dan dalam tahapan perampungan, dan rencananya target awal Juli 2019.

“Baru selesai pembuatan resume, saat ini sementara perampungan berkas. Ini insya Allah kita target minggu depan,” ungkap Ali kepada tribun, 25 Juni 2019 lalu.

Saat itu, Ali mengaku, kasus penganiayaan Agung Pranata yang mulai diselidiki akhir 2016 ini agak lama, karena harus melalui proses panjang dan pengumpulan bukti.

Walau demikian, pihaknya tetap konsisten untuk menuntaskan kasus tersebut sampai tingkat Kejaksaan dan Pengadilan. Karena keluarga almarhum Agung mendesak tim.

Selain itu, terkait penahanan yang ditanya pihak keluarga korban, Ali menyebutkan, kelima tersangka oknum polisi tidak bisa langsung ditahan karena masih kooperatif.

Agung meninggal pada September 2016 silam, saat itu dia diamankan tim Reskrim Polsek Ujung Pandang soal dugaan kasus pencurian disertai pemberatan (curat).

Menurut ibu Agung, Mawar (52) dugaan kasus yang kini ditangani penyidik Polda lamban. Karena begitu lamanya ini, belum juga dikirim berkas kasus ke Kejati Sulsel.

“Kasus anak kami ini begitu lamban, bulan September (2019) nanti ini sudah genap 3 tahun. Tetapi titik terang kasus ini masih jalan di tempat,” ungkap kepada Tribun.

Padahal lanjut Mawar, lima oknum polisi terduga pelaku penganiayaan berujung kematian Agung sudah menjadi tersangka, tapi hingga ini belum juga dikirim ke Kejati.

“Tentu, kami keluarga sangat kecewa atas laporan kami yang lamban ditangani, kami orang tua korban meminta ke kapolda agar kasus agung disidangkan,” ujar Mawar.

 

Catatan: Berita ini telah terbit di tribunnews.com pada 19 Juli 2019