Categories
Perempuan dan Anak slide

Sejumlah Ahli Dilibatkan Advokasi Kasus Pencabulan 3 Bersaudara di Lutim

Kasus dugaan pencabulan tiga bersaudara oleh ayah kandungnya berinisial Sa (43) di Kabupaten Luwu Timur (Lutim) menjadi atensi sejumlah pihak. Hal itu diungkapkan oleh Ketua Tim Advokasi, Haswandy Andi Mas, yang menyebut pihaknya akan melibatkan banyak saksi ahli dalam mengawal perkara tersebut.

Haswandi yang juga Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar menyebut saat ini pihaknya tengah menyiapkan saksi ahli dari berbagai latar belakang profesi. Pihaknya juga mencari bukti baru guna melanjutkan kasus yang sudah dihentikan Polres Lutim melalui penerbitan SP3.

“Ahli dari berbagai segmentasi keilmuan, baik psikolog, medis, ahli hukum terkait anak dan perempuan yang berpengalaman menangani kasus seperti itu. Untuk sementara masih di Makassar, tapi ada dukungan dari pihak lain, ada lembaga internasional yang ada perwakilan di sini, itu siap membantu menyediakan saksi ahli,” kata Haswandi.

Dia menyebut kisah pilu yang menimpa tiga bocah di bawah umur masing-masing, Al (8), Mr (6) dan Az (4) terus menjadi perhatian sejumlah pihak bahkan ke LBH Jakarta.

Sejumlah lembaga pemerhati anak sudah menyatakan kesiapan mengadvokasi kasus ini. Di antaranya yakni LBH APIK Makassar, LBH Makassar, LBH PPA Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulsel dan Institut Community Justice (ICJ) Makassar.

Termasuk Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Sulawesi Selatan dan P2TP2A Makassar. Saat ini Ibu tiga anak malang itu, R (41) tengah berada dalam pengawasan P2TP2A Sulsel. “Korban di P2TP2A Provinsi (Sulsel) sekarang, tapi tetap P2TP2A Makassar tidak lepas tengan karena awal laporannya di situ. Namun dikembalikan ke provinsi karena kewenangannya di sana,” ungkapnya.

Sejauh ini upaya timnya untuk meminta Polda Sulsel mengambil alih kasus rudapaksa oleh ayah kandung mulai menemui titik terang. Gelar perkara kasus tersebut akan dilakukan di Mapolda Sulsel.

Hasil visum terbaru, kata Haswandy sudah diserahkan ke Penyidik Ditreskrimum Polda Sulsel, namun hasil visum itu belum bisa dibeberkan ke publik. Terkecuali saat gelar perkara nantinya.

 

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online makassar.sindonews.com pada 30 Desember 2019

Categories
Perempuan dan Anak slide

Difasilitasi LBH, Kasus Dugaan Sodomi Ayah Kandung Diambil Alih Polda Sulsel

Haswandy Andy Mas/Direktur YLBHI-LBH Makassar

 

SP3 yang diterbitkan Polres Luwu Timur tak menghentikan kasus dugaan sodomi oleh ayah kandung. Kini, kasus tersebut tengah berproses di Polda Sulsel.

Kasus tersebut kini didampingi dan difasilitasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar.

“Akan dilakukan gelar perkara ulang oleh Polda. Rencana akan dilakukan pada bulan Januari,” ungkap Direktur LBH Makassar, Haswandi Andy Mas, Rabu (25/12/2019).

Dia mengatakan, kasus ini didampingi LBH Makassar setelah ibu dan korban datang ke kantornya.

“Pengakuan ibu korban dan korban sendiri, kami terima sebagai sebuah keterangan pencari keadilan. Harus kami terima sebagai fakta. Hanya memang harus dibuktikan secara hukum,” tambahnya.

Kasus ini sebelumnya diproses Polres Luwu Timur. Namun, penyelidikan akhirnya dihentikan lantaran penyidik tak menemukan cukup bukti pidana.

“Untuk itu kami akan berupaya untuk membuktikan keterangan korban dan ibunya. Sesuai mekanisme dan peluang hukum yang sesuai peraturan perundang-perundangan,” lanjut Haswandi.

Dari pengakuan korban, terjadi dugaan pelecehan seksual. Hanya saja, Haswandi enggan menjelaskan secara detail, korban mana yang mengaku mengalami pelecehan seksual.

“Yah terjadi pencabulan. Itu saya tidak bisa uraikan karena bukan saya yang wawancarai. Kalau upaya hukum dan perkembangannya memang ke kami sebagai yang mendampingi. Tapi kalau wawancara mendalam terkait keterangan korban adalah P2TP2A,” tambahnya.

Koordinator Tim Reaksi Cepat (TRC) P2TP2A Makassar, Makmur mengatakan, pihaknya masih menunggu kelanjutan kasus tersebut di Polda.

Sambil menunggu kasus ini terus berjalan, Makmur mengatakan pihaknya mengamankan ibu dan para korban.

“Kami mengamankan korban bersama bundanya di rumah yang aman. Supaya perlindungannya kita bisa pantau. Kalau di mes Lutim tinggal, bahaya. Jangan sampai ada orangnya terlapor ke Makassar atau keluarganya,” tambah Makmur.

 

 

Catatan: Berita ini telah terbit dimedia online news.rakyatku.com pada 25 Desember 2019

Categories
SIPOL slide

Kasus Sugianto, Pria Diduga Dianiaya Hingga Tewas oleh Oknum Polisi Masih Diselidiki Polda Sulsel

Dugaan penganiayaan berujung tewasnya Sugianto (22), dilakukan oknum di Polres Bantang, kini masih didalami Polda Sulsel. Sugianto merupakan salah satu tahanan Polres Bantaeng. Korban meninggal setelah diduga dianiaya pada 9 November 2019.

Kasus ini pun ditangani Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar. Kemudian dilapor ke SPK Polda Sulsel pada, Selasa (19/11).

Tetapi, sejak kasus ini dilaporkan hingga kini, Sabtu (27/12/2019) menurut aktivis LBH Makassar, belum ada progres kasus.

Edy Kurniawan, salah satu kuasa hukum LBH Makassar mengakui, sampai hari ini (Sabtu) pihaknya belum mendapat SP2HP. Padahal, Selasa (24/12), LBH sudah minta Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) laporan tersebut.

“Kita sudah meminta SP2HP dengan cara menyurati, tapi sampai kini belum ada itu,” jelas Edy kepada tribun timur.com, sore.

Tujuan LBH meminta SP2HP ke penyidik, agar mengetahui progres kasus ini sampai dimana, apakah terlapor sudah diperiksa?.

Kata Edy, seharusnya Polda Sulsel sudah menaikan status kasus ini ke penyidikan, mengingat kasus sudah sebulan di Polda. “Harusnya itu penyidik sudah menetapkan tersangka dalam kasus ini, karena tindak pidananya sangat terang,” ungkap Edy.

Karena menurut Edy, penyidik seharusnya juga menyampaikan perkembangan kasus ini, karena ini menyangkut nyawa orang. “Dan pelakunya juga sudah teridentifikasi melalui keterangan dua saksi yang sudah diambil keterangan kemarin,” tambah Edy.

Kasus meninggalnya Sugianto ini, diduga lantaran mendapat penyiksaan dari oknum aparat kepolisian dari Polres Bantaeng.

Karena menurut Edy, penyidik seharusnya juga menyampaikan perkembangan kasus ini, karena ini menyangkut nyawa orang. “Dan pelakunya juga sudah teridentifikasi melalui keterangan dua saksi yang sudah diambil keterangan kemarin,” tambah Edy.

Kasus meninggalnya Sugianto ini, diduga lantaran mendapat penyiksaan dari oknum aparat kepolisian dari Polres Bantaeng

Selain empat polisi, ternyata ada Sugianto. Dia (Sugianto) dalam keadaan terborgol, matanya Sugianto ditutupi dengan lakban. Bahkan, menurut penjelasan Aan didalam kronologi itu. Dia melihat ada beberapa luka memar warna hijau diwajah Sugianto.

Aan dan Sugianto pun dibawa menuju ke lorong rumah Sugianto. Disana, salah satu polisi memukul wajah Sugianto pakai batu. Tak lama kemudian, salah satu polisi pun turun dari mobil Avanza itu dan memanggil Iin, istri Sugianto yang berada di rumah.

Mendengar itu, Iin pun keluar dan menuju ke mobil itu. Tiba di mobil Avanza, korban Sugianto pun mengaku, Iin adalah istrinya.

Setelah itu mereka bergerak menuju Pos Polisi Terpadu di Jl Kartini, sementara Iin diminta ikut dengan menggunakan motor.

Dalam perjalan, di dalam mobil, Sugianto terus dipaksa mengaku, wajah dihantam menggunakan pantat pistol milik polisi. Sementara Aan tidak mengaku, karena ia tidak lakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya, Aan bahkan terus menangis.

Tiba di pos, keduanya dibawa masuk ke dalam ruangan. Aan buka sedikit lakban untuk mengintip situasi dalam ruang itu. Dalam ruangan itu, Ia lihat secara samar seorang membawa balok dan memukul Sugianto, dari bagian kepala hingga kaki.

Setelah itu, polisi berjumlah empat orang berinisial TR, KH, AM dan NK. Kemudian masuk ke ruangan memukuli Sugianto.

Disana juga terlihat seseorang Satpol PP yang sedang menyaksikan aksi keempat polisi itu, menghantam korban Sugianto.

Aan juga dipukuli, seorang polisi meminta Aan memukul Sugianto. Karena diancam Polisi, akhirnya ia ikut memukul Sugianto. Tapi pengakuan Aan, dia memukul korban Sugianto dengan pukul ringan. Karena itu, Aan dipukul oleh polisi dengan balok kayu.

Aan dipukul pada bagian tangannya, dan tangannya semakin membiru. Akhirnya lakban ditangan Aan pun dilepaskan polisi. Setelah itu, Aan dibawa oleh KH memakai mobil ke Mapolres Bantaeng. Setibanya di Polres, Aan dimasukkan ke sel tahanan.

Sementara Sugianto masih tinggal di Pos Polisi. Sekitar 04.00 Wita, Sugianto dibawa masuk ke sel tanahan tempat Aan berada.

Aan melihat Sugianto, itu dalam keadaan babak belur dan luka pada bagian betis dan lutut atas kanan, diduga luka tembak. Luka tembak tersebut tidak terjahit, hanya dibalut perban. Hampir satu jam, Sugianto terus berteriak kesakitan meminta obat.

Aan yang melihat seorang polisi di depan sel, memelas minta obat, namun polisi itu mengatakan, biarkan mati seorang pencuri. Tapi, seorang penjaga sel memberikan 1 biji obat Amoxilin, obat yang diberikan itu kemudian dimuntahkan oleh Sugianto. Seolah tubuh Sugianto tidak mau terima obat tersebut. Sugianto terus berteriak kesakitan, luka lututnya alami pendarahan.

Melihat Sugianto mengalami pendarahan, Aan kemudian berteriak kepada petugas agar membawa Sugianto ke Rumah Sakit. Seseorang polisi meminta salah seorang tahanan untuk mengangkat Sugianto ke dalam mobil, saat itu pukul 05.00 Wita.

Dari keteranga tahanan yang mengangkat Sugianto sudah tak sadarkan diri. Sempat dibangunkan, tetapi tidak sadarkan diri.

Pada Sabtu (9/11/2019) pagi pukul 07.00 Wita, Iin mendapat informasi dari seorang tukang becak, Sugianto telah meninggal. Sugianto meninggal di RSUD Bantaeng. Iin, bergegas menuju ke RSUD, tepat di UGD, Iin mendapati Sugianto tidak bernyawa lagi.

Salah seorang perawat menyampaikan kepada Iin, Sugianto dibawa ke RS sekitar 05.00 Wita, dengan tiga luka tembak.

 

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online makassar.tribunnews.com pada 27 Desember 2019

Categories
SIPOL slide

Aksi Kamisan ‘Santuy’ di Makassar Dibubarkan Paksa

Aliansi Rakyat Melawan Oligarki (RMO) menggelar aksi ‘Kamisan Santuy (santai)’ di pertigaan Jalan AP. Pettarani – Bluevard, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, berlangsung pukul, 16.00 WITA. Kamis, (26/12).

Terlihat aksi tersebut diikuti sekitaran 50-an orang massa, “Sesuai kesepakatan aliansi, aksi Kamisan Santuy ini hanya membentangkan spanduk dan petaka sambil bagi-bagi selebran. Kalau ada yang mau orasi itu kita sediakan toa, selebihnya menyanyi-nyanyi,” kata Wardah, Jenderal Lapangan (Jenlap).

Tuntutan Aliansi Rakyat Melawan Oligarki (RMO)

Mereka mendesak agar dituntaskan pelanggaran HAM masa lalu dan adili penjahat HAM; Pulihkan hak-hak korban segera; Hentikan perampasan hak Rakyat; Hentikan kriminalisasi Rakyat dan Aktivis HAM; Hentikan diskriminasi dan persekusi terhadap kelompok minoritas dan keberagaman SOGIESC.

Massa meminta agar dijalankan supremasi Sipil; Tolak TNI dan Polri menempati jabatan Sipil; Stop militerisme di Papua dan daerah lain, bebaskan tahanan politik (Tapol) Papua segera tanpa syarat; Menolak paket kebijakan yang tidak pro Rakyat – RKUHP, RUU pertambangan minerba, RUU pertanahan, RUU permasyarakatan, RUU ketenagakerjaan; mendesak disahkannya RUU PKS dan RUU perlindungan pekerja rumah tangga.

Hentikan pembakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera yang dilakukan oleh Korporasi, dan pidanakan Korporasi pembakar Hutan, serta cabut Izinnya; Hentikan pemberian grasi terhadap terpidana Koruptor.

Cabut PP 78 dan hentikan politik upah murah; Hentikan Tambang Bermasalah Di Sulawesi Selatan; Stop perampasan dan penggusuran Tanah Rakyat (Bara-Baraya, Kakatua, Petani Polongbangkeng Vs PTPN XIV).

Stop pelarangan jam malam di Kampus (UINAM, UNHAS, UMI, UNIFA, STIEM Bongayya); Hormati, lindungi dan penuhi Hak Perempuan Buruh Migran di Sulsel dan Hentikan reklamasi pantai Kota Makassar yang memiskinkan Perempuan.

Massa Aksi Kamisan Santuy Direpresif

Tak berlangsung lama, tiba-tiba kurang lebih 10 orang mendatangi demonstran, “Mereka meminta agar kami membubarkan diri. Sementara kami mencoba berkomunikasi secara persuasif dan menjelaskan tujuan aksi, yaitu kampanye kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi dalam rentan tahun 2019, serta gagalnya negara menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. Mereka merampas atribut aksi aksi kami, berupa spanduk dan poster, hingga sobek,” ujar Jenlap.

“Ormas yang mengaku sebagai Brigade Muslim Indonesia (BMI) datang dan menuduh kita Organisasi Papua Merdeka (OPM), karena mereka tidak sepakat kalau dikampnyekan pelanggaran HAM, khususnya yang di Papua,” terang Wardah.

Tak hanya itu,  kata Wardah, massa aksi Kamisan juga dituduh anti NKRI, “Padahal sebenarnya aksi ini berusaha mengkampanyekan pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia supaya kedepannya pemerintah belajar bahwasanya banyak kebijakan yang tidak pro-demokrasi,” pungkasnya.

Peran Aparat dalam menjaga kebebasan menyampaikan pendapat

Perwakilan LBH Makassar, Salman yang ikut dalam aksi tersebut mengatakan bahwa aparat kepolisian yang berada di lokasi justru terkesan lebih mengintervensi massa RMO, “Aparat meminta massa membubarkan diri, bukan malah mengamankan agar aksi tetap berlangsung secara damai,” kesalnya.

Salman menilai bahwa hal ini menunjukkan kepolisian tidak cukup profesional dalam menjalankan tugas pengamanan dan perlindungan terhadap kebebasan menyampaikan pendapat di hadapan umum.

“Terlebih kami sudah menyampaikan pemberitahuan aksi sejak tanggal 24 Desember 2019, lalu dalam Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998,” tegasnya.

Salman menerangkan, tindakan Ormas itu jelas melanggar Pasal 18 ayat (2) UU No.9/1998 yang menyatakan bahwa “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang telah memenuhi ketentuan Undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun,” imbuhnya.

Aliansi Rakyat Melawan Oligarki menyatakan sikap

Massa menyesalkan sikap anggota kepolisian di lapangan yang tidak tegas memberikan perlindungan dan cenderung melakukan pembiaran terhadap tindakan kekerasan dan intimidasi oleh sekelompok orang yang mendaku dari ormas BMI terhadap massa aksi yang melakukan aksi secara damai.

“Kepada Kapolrestabes Makassar untuk melakukan evaluasi dan mengambil tindak tegas atas dugaan pelanggaran etik dan disiplin anggota polisi dibawah jajarannya yang tidak memberikan perlindungan kepada aksi yang berlangsung secara damai,” tandas Jenlap.

Mereka mendesak Kepolisian melakukan proses hukum pidana terhadap oknum kelompok dan atau perorangan yang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap massa aksi.

“Inilah bentuk krisis demokrasi di Indonesia,” kunci Jenderal Lapangan.

 

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online suarajelata.com pada 26 Desember 2019

Categories
EKOSOB slide

Penggugat Warga Barabarayya Makassar Tidak Pernah Hadiri Sidang di Pengadilan

Penggugat warga Barabarayya Makassar, disebut tidak pernah hadir dalam agenda sidang Pengadilan Negeri (PN) Makassar.

Menurut kuasa hukum warga Barabarayya, Edy Kurniawan, hingga agenda sidang PN, Selasa (17/12/2019) penggugat tidak ada.

“Sampai agenda sidang ini (Selasa) yang bersangkutan (penggugat) tidak ada,” kata Edy Kurniawan dikonfirmasi tribun, sore.

Padahal lanjut Edy, kuasa hukum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar. Ini bukan kali pertama warga Barabarayya digugat.

Karena ditahun 2017 dan 2018, penggugat yang sama yang mengatasnamakan pihak ahli waris, menggugat warga Barabarayya.

Pada tahun itu (2017-2018) juga kata Edy, penggugat yang sama tidak pernah hadir, dan PN Makassar pun menangkan warga.

Tidak hanya PN Makassar, bahkan kasus ini sampai digugat ke tingkat Pengadilan Tinggi Makassar, penggugat tidak hadir.

“Ini sudah kali kedua warga digugat oleh orang yang mengaku ahli waris, tapi tetap saja penggugat tidak hadir,” ungkap Edy.

Sebelumnya, agenda Mediasi. Penggugat tidak hadir, padahal diatur di PP nomor 1 tahun 2016 kedua pihak wajib untuk hadir.

“Tapi disitu dari pihak penggugat ini tidak hadir. Harusnya penggugat hadir agar bisa jelaskan objek perkaranya ini,” lanjut Edy.

Diketahui, gugatan pertama ditahun 2017-2018 dimenangkan warga di PN Makassar dan di Pengadilan Tinggi (PT) Makassar.

Pasalnya, pihak PN dan PT menangkan warga karena objek perkara yang digugat kabur, dan tidak memenuhi fakta formil.

Diketahui, duduk perkara kasus bermula pada 2017 seorang bernama Nurdin daeng Nombong mengaku sebagai ahli waris.

Ditahun 2017-2018, sekiranya ada 17 KK warga Barabarayya yang digugat, dengan luas objek tanahnya 6000 meter persegi.

Tapi pada gugatan kedua ditahun 2019 ini, gugatan luas objek menjadi 9000 meter persegi, dan dari 17 KK menjadi 40 KK.

Nurdin daeng Nombong mengaku sebagai ahli waris dari Moeding daeng Matika lalu gugat 40 KK Barabaraya di PN Makassar.

Nomor perkara : 255/Pdt.G/2017/PN Mks. Nurdin Dg. Nombong bersama Kodam XIV Hasanuddin mengklain tanah Barabaraya.

Disebutkan, tanah yang ditinggali 40 KK tersebut merupakan lahan atau sebidang tanah bekas okupasinya asrama TNI-AD.

Sementara, warga telah menempati objek tanah tersebut sejak tahun 1960an dengan bukti atas hak kepemilikan tanah tersebut.

Diketahui, sidang lanjutan perkara ini akan dilanjutkan pada tanggal 7 Januari 2020 nanti, dengan agenda pembuktian.

 

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online makassar.tribunnews.com pada 17 Desember 2019

Categories
EKOSOB slide

Dengan Bambu Runcing, Mereka Menolak Tambang di Sungai Saddang

Aksi warga menolak tambang pasir laut PT. Alam Sumber Rejeki di pinggiran sungai Saddang, Kab. Pinrang, 13 Oktober 2019.

 

Oleh: Ady Anugrah Pratama

Advokat Publik di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar

Ratusan warga dari dusun Salipolo menuju pinggir sungai di dusun mereka, mempersenjatai diri dengan bambu runcing dan spanduk berisi penolakan tambang pasir. Mereka berdiri di atas tanggul dan meminta Camat Kecamatan Cempa, Kapolsek dan Kepala Desa agar mengusir eskavator milik perusahaan tambang pasir PT Alam Sumber Rezeki.

***

Matahari sedang panas-panasnya. Halili mengajak saya dan beberapa rekan melihat tanah bekas rumah-rumah warga di Dusun Cilallang, Desa Bababinanga, Kecamatan Duampanua, Pinrang. Hari itu, ia ingin memperlihatkan kepada kami lokasi bekas rumah warga yang telah pindah karena peristiwa banjir besar tahun 2010 silam.

Di siang yang terik, Halili mengenakan baju berkerah berwarna merah marun, celana pendek berwarna abu-abu dan peci beludru di atas kepala bermotif menyerupai sarang laba-laba. Di kantong bajunya, ia menyimpan rokok dan korek. Sementara tangan kanannya memegang tongkat kayu berwarna hitam yang panjangnya melewati setengah tinggi badannya.

“Kayu ini bisa mengalahkan parang,” tuturnya sambil tersenyum.

Tongkat kayu yang ia bawa berfungsi ganda; membantu berjalan dan menjadi senjata jika ada yang menyerang. Setelah peristiwa perkelahian antara warga dan perusahaan, Halili selalu bersikap waspada.

Hanya butuh sekitar 10 menit berjalan kaki dari Salipolo ke Cilallang. Tanggul yang berupa gundukan tanah adalah jalan utama yang di atas permukaannya terdapat kerikil lepas. Di samping kiri jalan, terhampar kebun-kebun jagung masyarakat yang tumbuh sejengkal dan di kanan jalan sungai Saddang yang letaknya hanya beberapa langkah dari badan jalan.

“Ini dulu lokasi rumah saya,” tangannya menunjuk ke arah sungai. Sebagian lokasi rumahnya kini menjadi tanggul yang menjadi benteng terakhir di Cilallang dari banjir.

Ia membuka tiga lembar kalender bekas yang tergulung dan diletakkan di jalan. Di bagian belakang kalender berwarna dasar abu, gambar peta kampung Cilallang dan Salipolo sebelum dan sesudah banjir. Peta tersebut digambar dengan menggunakan pulpen bertinta hitam. Halili mencoba menjelaskan Salipolo dan Cilallang berdasarkan peta yang dibuatnya bersama warga Salipolo. Banyak yang sudah berubah.

Selain melihat lokasi bekas rumahnya, Halili mengajak kami melihat bekas rumah yang kini ditinggalkan. Masih kelihatan bekas sumur-sumur warga yang sudah tak digunakan lagi, kamar mandi yang dikelilingi rumput liar, lokasi bekas gedung sekolah yang sudah ditinggalkan yang kini jadi kebun jagung yang berbatasan langsung dengan sungai.

Tak jauh dari tanggul dan lokasi bekas rumah Halili, berdiri gedung Sekolah Menengah pertama yang sementara diperbaiki. Halili khawatir jika air besar datang lagi, gedung sekolah itu akan terbawa air.

Saat berada di pinggir jalan, empat orang warga datang menghampiri kami. Mereka mengalami hal yang sama dengan Halili, memilih pindah dari Cilallang karena banjir besar yang pernah melanda dusun tersebut. Kepada kami, Mereka juga menunjuk lokasi di mana rumah dan kebun mereka yang sekarang telah menjadi bagian dari sungai.

***

Muhammad Sakir, 53 tahun, sehari-hari bekerja di tambak miliknya yang letaknya tak terlalu jauh dari rumahnya. Seperti biasa setelah sarapan pagi, ia beranjak ke tambak. Sebelum jam makan siang, Sakir kembali ke rumah untuk makan dan beristirahat. Menjelang sore, ia kembali lagi ke tambak dan pulang sebelum matahari tenggelam.

Mengurus tambak adalah pekerjaan sehari-hari Sakir. Profesi ini sudah turun temurun di keluarganya. Ia juga memiliki kebun, namun Sakir lebih banyak menghabiskan waktu di tambak karena hasilnya lebih banyak dibandingkan dengan mengelola kebun.

Sakir sudah 9 tahun tinggal di Dusun Salipolo. Walaupun lahir di Salipolo, awalnya ia tak tinggal di dusun ini. karena banjir, ia dan keluarganya hidup berpindah-pindah. Sebelum masuk sekolah dasar ia tinggal di Libukang. Dia dan keluarganya dipindahkan ke oleh pemerintah desa ke Dusun Cilallang karena di Libukang sering terjadi banjir.

Sakir tinggal di Cilallang dari tahun 1976 sampai 2010. Peristiwa banjir besar tahun 2010 membuatnya memutuskan untuk pindah ke Salipolo. Saat banjir besar itu, terdapat 215 rumah harus dipindahkan. Kebanyakan warga memutuskan pindah ke Salipolo, termasuk keluarganya. Dua ratusan rumah yang memilih pindah itu terdiri dari dusun Cilallang, Bulu-Bulu, dan tanah Ciccak.

Sebagaian besar lokasi rumah di Cilallang kini menjadi bagian dari sungai. Tersisa hanya sekitar 5 meter yang ditumbuhi pohon pisang. Pengalaman bencana banjir yang sering dialami bersama keluarganya membuat ia menolak keberadaan tambang pasir di Salipolo.

“Tidak ditambang saja sering terjadi banjir, apalagi kalau ditambang,” tegas Sakir. Baginya menolak tambang pasir adalah cara untuk menghindari bencana banjir yang bisa kembali masuk ke kampungnya.

Sungai Saddang dan dusun Salipolo kini hanya dibatasi dengan tanggul besar yang dibangun setelah peristiwa banjir tahun 2010. Tanggul tersebut adalah pertahanan terakhir warga jika volume air bertambah saat memasuki musim hujan.

Setelah tanggul dibuat, di dusun ini banjir sudah sangat berkurang. Selain itu, pengikisan air berkurang karena ada endapan-endapan pasir yang terbentuk secara alami. Endapan yang membuat pertahanan kampung menjadi sangat kuat. Endapan tempat tumbuhnya pohon kersen.

“Endapan yang di pinggir itulah yang kita jaga, jangan sampai diambil, karena itulah tempat tumbuhnya pohon. Dengan adanya pertambangan itu, kampung akan hilang.”

Sakir ingat betul di tahun 1995 tanggul pernah bobol. Semua tambak gagal panen, termasuk tanggul dusun Salipolo, Cilallang dan Babana.

“Tahun 1998 mulai terjadi pengikisan tapi belum terlalu parah. Puluhan tambak berubah menjadi sungai. 2005 banjir lagi di situ, menyebabkan tanggul di ujung kampung Cilallang Bobol. Bobolnya tanggul disebabkan karena terjadinya pengikisan,” tambahnya.

Sebelum tanggul dibuat, di Salipolo menjadi dusun langganan banjir. Ketika tambang pasir beroperasi, akan terjadi pengikisan sehingga tanggul bisa jebol kembali. Jika itu terjadi, kampung mereka akan terendam dan tambak-tambak warga bisa gagal panen.

 

Penolakan Demi Penolakan  

PT Alam Sumber Rezeki (ASR) adalah perusahaan tambang pasir yang mendapatkan Izin Usaha Pertambangan di Kecamatan Duampanua di Desa Paria dan Bababinanga. Perusahaan ini beralamat di Kompleks Griya Golden Hills Manggala Blok K Nomor 06 Makassar.  Berdasarkan dokumen Izin Usaha Pertambangan, perusahaan ini memiliki wilayah usaha pertambangan 182, 46 hektar.

Perusahaan ini yang datang ke Salipolo dan ditolak oleh warga Salipolo. Sebelum berpindah ke Desa Salipolo, PT Alam Sumber Rezeki ditolak oleh masyarakat di Desa Bababinanga.

Masyarakat di Dusun Babana Desa Bababinga kaget ketika melihat kapal penyedot pasir berada di sungai. Setelah melihat kapal penyedot pasir, warga ramai-ramai mendatangi rumah kepala desa untuk menyampaiakan penolakan terhadap tambang pasir. Sekitar 300 orang datang dan menyampaikan penolakannya. Hari itu alat penghisap pasir ditarik keluar. Masyarakat mengancam akan membakar kapal penghisap pasir tersebut jika tak ditarik kembali.

“Tidak pernah ada sosialisasi, warga tahu ada aktifitas tambang setelah ada alat yang datang,” ungkap Nawir, 61 tahun. Ia adalah salah satu perwakilan warga yang menolak tambang pasir. Di Desa Bababinanga, ia adalah ketua Badan Perwakilan Desa.

Lokasi tambang di Salipolo. Foto: Aliansi Perjuangan Rakyat Salipolo.

Setelah kapal penyedot itu ditarik keluar, tanggal 24 Oktober warga datang demonstrasi ke kantor Bupati. Warga yang datang antara lain; warga dusun Cilallang, Babana dan dusun Tanroe. Kedatangan mereka untuk menyampaikan penolakan terhadap masuknya tambang pasir di desa Mereka. Saat aksi di kantor bupati, warga bertemu langsung dengan Bupati Pinrang saat itu; Aslam Patonangi.

“Dari pertemuan itu, Pak Bupati mengirim surat ke Balai Besar Pompengan untuk peninjauan ulang izin tambang. Setalah itu tidak ada lagi aktifitas pertambangan,” tutur Nawir.

Tak jauh berbeda dengan Salipolo, dusun Babana tempat tinggal Nawir juga merupakan kampung yang menjadi langganan banjir.

“Dulu kalau banjir, di kampung kita pake perahu,” ujarnya lagi, “setiap musim hujan, air sungai masuk ke kampung dan itu bisa berlangsung berhari-hari hingga berminggu-minggu.

Tahun 2013 dibangun tanggul sepanjang satu kilometer dan batu gajah yang disusun di pinggir sungai sepanjang 300 meter. Tanggul inilah yang menghalangi air masuk ke Babana. Setelah tanggul dibangun, banjir tak pernah masuk ke Babana.

“Kami juga mengusulkan ke pemerintah agar ada penambahan batu gajah, hanya dikasi sekitar 250 meter dan sekarang kami tunggu realisasinya,” ungkap Nawir.

Di Babana, selain sering terjadi banjir, masyarakat juga mengalami kerugian ekonomi setiap banjir datang. Sebagian besar masyarakat di Babana bekerja sebagai petambak, pencari balacang (udang sungai) dan petani jagung. Di Babana, 147 hektar tambak berubah menjadi sungai setelah banjir. Tambak tersebut menjadi bagian sungai setelah mengalami pengikisan saat volume air sungai bertambah. Tambak yang kini ini jadi sungai itu masih terbit SPPT yang tiap tahunnya dibayar oleh warga.

Setelah ditolak oleh warga di desa Bababinanga, PT ASR berpindah ke ke Desa Salipolo. Namun hal yang sama terjadi, warga di Desa Salipolo menolak tambang pasir yang datang ke desa mereka.

Eskavator pertama kali datang di Salipolo pada tanggal 27 Agustus 2019. Kedatangan alat tersebut dikawal oleh salah seorang anggota Kepolisian (Kantibmas) yang diketahui bernama Tajuddin. Saat datang sore hari, Tajuddin mengatakan kepada warga, jangan ada yang menghalangi tambang pasir, jika ada yang melakukan penghalangan, maka akan diproses hukum.

Malamnya, Tajuddin kembali datang ke Salipolo, ia menyampaikan kepada masyarakat bahwa tidak akan ada aktifitas tambang pasir di Salipolo. Mendengar pernyataan Tajuddin, keesokan harinya, masyarakat tak curiga dengan adanya eskavator.

“Awalnya kami tak curiga karena eskavator membuat jalan tani,” ungkap Abdul Hakim.

Namun setelah membuat jalan tani, eskavator berada di pinggir sungai dan mengeruk pasir. Melihat aktifitas pengerukan pasir, warga berkumpul dan membicarakan aktifitas eskavator milik perusahaan. Setelah berbincang-bincang, warga mendatangi eskavator dan meminta alat tersebut berhenti dan dikeluarkan dari pinggir sungai.

Aksi penolakan pertama kali dilakukan oleh warga Salipolo tanggal 28 Agustus 2019. Hari itu juga warga beramai-ramai mendatangi kantor camat untuk menyampaikan penolakan tersebut kepada camat Cempa. Saat itu, eskavator berhenti beraktifitas.

Abdul Hakim sudah tiga kali ikut melakukan pengusiran bersama warga di Desa Salipolo. Ia bersama dengan warga lain melakukan aksi pengusiran itu karena khawatir kampung mereka rusak karena banjir yang bisa muncul kalau pasir sungai di tambang. Warga meminta para penambang pasir agar membawa pulang eskavator. Bahkan banyak warga yang ingin membakar eskavator karena jengkel dengan tindakan penambang yang terus datang ke Salipolo.

“Ketika masyarakat tahu kalau ada eskavator beroperasi, mereka akan datang sendiri dan berkumpul sebelum melakukan pengusiran. Kami sudah komitmen, kalau ada eskavator beroperasi, kita usir bersama-sama. Jadi wajar kalau banyak yang berkumpul.”

Dua kali pengisiran yang dilakukan oleh warga, mereka hanya berdiri di atas tanggul dan meminta agar pihak perusahaan berhenti melakukan penambangan dan menarik eskavator dari pinggir sungai. Pengusiran terakhir tanggal 5 November 2019. Saat melihat eskavator kembali berada di sungai, warga datang dan berkumpul di pos ronda pada jam delapan pagi. Setelah shalat dzuhur warga beramai-ramai mendatangi pihak penambang yang berada dipinggir sungai.

Pengusiran yang ketiga kalinya itu diikuti oleh warga dari Jawi-Jawi, Salipolo, Tanah Cicak dan Wakka. Sementara di sebrang sungai, warga dusun Babana menuggu untuk bergerak. Kebanyakan warga membawa bambu runcing saat mendatangi pihak perusahaan.

“Pas di dekat eskavator, beberapa warga naik semua mi di eskavator. Di situ ada Tommi juga Kapolsek Cempa. Warga sudah sempat siram bensin itu eskavator. Karena masih ada Kapolsek di lokasi, dan meminta warga agar tidak membakar eskavator tersebut,” cerita Abdul Hakim, “kami warga mendengar perkataan Kapolsek, eskavator tidak jadi dibakar karena kami menghargai Kapolsek.”

Setelah tak jadi membakar eskavator, warga berjalan ke arah gubuk tempat penambang. Kedatangan warga beramai-ramai untuk berbicara dengan penambang agar menarik kembali eskavator. Sebelum sampai ke rumah rumah itu, tiba-tiba ada lima orang dari pihak penambang menghadang warga. Kelimanya terlihat sudah mengeluarkan parang dari sarungnya.

Hingga akhirnya hari itu terjadi perkelahian antara karyawan perusahaan tambang dan warga yang datang beramai-ramai untuk mengusir para penambang. Setelah dua kali diusir oleh warga, perusahaan tambang pasir tetap memaksa melakukan aktifitas pengerukan pasir di Salipolo. Peristiwa itu mengakibatkan tiga orang mengalami luka. Dua orang dari perusahaan dan satu orang dari pihak warga. Korban-korban akan masih tetap bermunculan ketika perusahaan tambang memaksa untuk melakukan aktifitas pertambangan.

***

Melihat lima orang melepaskan parang dan mengayungkannya, Hasbullah berlari ke tengah dan mencoba menghalau kedua kelompok yang akan bertemu.

“Saya lihat lima orang, kasi keluar parangnya terus diayunkan. Saya bilang pada lima orang itu untuk pulang, dia tak mau pulang dan terus mengayunkan parangnya,” ungkap Hasbullah

Hari itu, Habsullah sedang menanam jagung di salah satu kebun milik warga. Letaknya tak terlalu jauh dari lokasi penambangan pasir. Ia kaget tiba-tiba banyak orang datang ke lokasi tambang.

Usahanya menghadang dua kelompok tersebut, justru menjadikan dirinya korban. Pergelangan tangan kanan dan paha kiri terkena sabetan parang, ia tersungkur.

Setelah itu, ratusan warga marah dan mulai menyerang balik kelima orang dari pihak perusahaan tersebut. Dari kelima orang itu, tiga orang lari dan dua orang tertinggal. Dua orang itulah yang menjadi sasaran kemarahan warga.

Setelah mengalami luka, Hasbullah tetap mencoba melerai warga. Di dekatnya juga ada Kapolsek Cempa. Sambil terus menenangkan warga, ia memegang pergelangan tangan kanannya yang terus mengeluarkan darah. Hasbullah kenal dengan orang yang melukainya.

“Dia itu teman SD saya dulu, sampai sekarang saya juga masih bersama dia.”

Ia mengaku tak dendam dengan peristiwa yang dialaminya. Namun ia berharap pelaku kekerasan padanya meminta maaf atas tindakan yang dilakukan padanya.

“Waktu itu saya lihat itu fotonya saya mau menangis, kenapa begini kejadianya, seandainya bisa ditarik seperti biasa lagi,” tambahnya.

Setelah mengalami luka di pergelangan tangan dan paha, Hasbullah menghentikan aktifitas hariannya. Ia memilih di rumah saja dan menunggu luka sembuh. Hasbullah termasuk warga yang menolak tambang pasir. Tempat tinggalnya di kampung baru menjadi langganan banjir. Tak jauh berbeda dengan warga lain, ia berharap tambang pasir tak melakukan penambangan di desanya.

 

Berujung Panggilan Polisi

Penolakannya bersama warga terhadap tambang pasir, membuat Nawir harus berurusan dengan Kepolisian. Ia dua kali dipanggil oleh Polres Pinrang karena dituduh menghalangi aktifitas pertambangan. Dua kali surat panggilan yang dikirimkan padanya selalu dihadiri.

“Saya datang terus, saya bilang saya taat hukum. Jadi saya datang.”

Panggilan pertama tanggal 12 September 2018 dan panggilan kedua 24 oktober 2018. Dari dua kali panggilan itu, Nawir dituduh menghalangi tambang masuk. Saat ditanya penyidik kenapa ia menghalangi tambang, Nawir balik tanya ke Polisi

“Perusahaan tambang mana yang saya halangi? Terus Polisi bilang PT ASR. Saya bilang saya tak pernah halangi. Yang saya lakukan adalah menolak.”

Nawir mengaku diancam ketika berada di kantor Polisi.

“Kalau kamu menghalangi, kamu bisa ditangkap karena menghalangi penambangan. Beda itu menolak sama menghalangi. Kalau menolak sebelum bekerja kita sudah tolak. Kalau menghalangi orang sudah bekerja baru kita minta berhenti,” ujar Penyidik, seperti diungkapkan Nawir.

Tak hanya Nawir, tanggal 11 Oktober 2019, dua orang warga dusun Salipolo bernama Tahang dan Akkas,  mendapat panggilan dari Polres Pinrang. Dua orang warga ini kemudian diminta memberi klarifikasi terkait penolakan mereka terhadap perusahaan tambang pasir.

Berselang seminggu, Muhammad Sakir, Abdul Hakim dan Abdul Latif, juga mendapatkan surat panggilan dari Polres Pinrang. Perihal panggilan ketiganya, mereka juga diminta menjelaskan alasan penolakan dan pengusiran aktifitas perusahaan tambang pasir tersebut.

“Kamu tahu kalau kamu menghalangi tambang, kamu tahu kalau itu ada ancaman pidananya?” tanya penyidik seperti diceritakan Abdul Hakim.

“Iya saya tahu, tapi saya tetap menolak!”

Pemanggilan beberapa warga oleh Polres Pinrang tak menyurutkan penolakan warga terhadap tambang pasir. Setelah dipanggil mereka tetap melakukan pengusiran jika eskavator perusahaan tambang kembali beroperasi di Salipolo.

“Setiap ada warga yang dipanggil kami selalu dampingi. Kami tidak akan membiarkan warga dipanggil sendiri, kalau ada yang ditangkap, kami semua juga harus ditangkap,” ujar Abuld Hakim dengan tegas.

Setelah tiga kali warga Salipolo melakukan pengusiran penambang PT ASR, digelar pertemuan parapihak di Kantor Dinas Penanaman Modal dan PTSP di Makassar, 3 November 2019. Mereka yang hadir adalah perwakilan warga, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Dinas ESDM, Inspektorat Provinsi, Dinas Penanaman Modal, Pemerintah Kabupaten Pinrang, anggota DPRD Pinrang dan juga dari perusahaan tambang pasir.

Pertemuan yang berlangsung sejam lebih itu menghasilkan kesepakatan untuk menghentikan sementara aktifitas pertambangan di Salipolo. Selain itu, akan dibentuk tim evaluasi izin dan dampak sosial, ekonomi serta lingkungan yang bisa timbul jika terjadi aktifitas pertambangan. Masyarakat berharap proses evaluasi yang akan dilakukan melibatkan masyarakat secara aktif sehingga hasilnya bisa benar-benar maksimal dan sesuai dengan harapan masyarakat.(*)

 

Catatan: Liputan ini telah dimuat dimedia online lipunaratif.com pada 15 Desember 2019

Categories
SIPOL slide

Misteri Kematian Tahanan Polres Bantaeng, Hari Ini Sang Istri Diperiksa Polisi

Hari ini Istri Sugianto, tahanan Polres Bantaeng yang diduga tewas dianiaya oknum polisi, bernama Iin dipanggil penyidik Polda Sulsel.

Hal ini diungkapkan oleh, Kuasa Hukum korban dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Edy Kurniawan, Minggu (1/12/2019). Ia mengatakan dalam kasus kematian Sugianto (22), sang istri akan dimintai keterangannya sebagai saksi Senin (2/12/2019) hari ini.

“Rencana Jam 13.00 Wita, Iin diperiksa oleh Penyidik,” ucap Edy Kurniawan.

Kata dia, selain Iin, rekan dari Sugianto yang ditahan di Polres Bantaeng, juga akan menjalani pemeriksaan sebagai saksi.

“Aan juga akan diminta keterangannya besok (hari ini.red). Kasus ini sudah dalam tahap proses penyelidikan,” tuturnya.

Diketahui kasus tersebut bermula saat korban Sugianto, diamankan aparat kepolisian Polres Bantaeng atas dugaan kasus tindak pidana pencurian.

Setelah diamankan, korban dibawa ke suatu tempat. Disana ia diduga mendapat penyiksaan dari aparat kepolisian untuk mengakui perbuatannya tersebut.

Sekitar pukul 04.00 Wita, setelah salat subuh, Sugianto dibawa polisi masuk ke dalam sel tahanan yang juga ditempati Aan. Aan melihat Sugianto dalam keadaan babak belur dan terluka pada bagian betis dan lutut atas kanan. Luka tersebut diduga merupakan luka tembak yang tidak terjahit, hanya dibalut perban.

Hampir satu jam, Sugianto terus berteriak kesakitan meminta obat. Aan yang melihat seorang polisi di depan ruangan kemudian memelas meminta obat, namun polisi tersebut hanya mengatakan “Seorang pencuri, biarkan saja mati”

Tak berlangsung lama, seorang penjaga sel memberikan 1 biji obat merek Amoxilin. Namun obat yang diberikan
dimuntahkan kembali. Seolah tubuh Sugianto tidak mau menerima obat tersebut, ia pun terus menjerit kesakitan dan terus mengeluarkan darah hitam yang kental.

Saat itupun salah satu tahanan diminta untuk mengangkat sugianto ke atas mobil dan dibawa ke rumah sakit dengan keadaan yang sudah tidak sadarkan diri.

Sekitar pukul 07.00 Wita salah seorang tukang becak mengabarkan kepada pihak keluarga bahwa Sugianto telah meninggal dunia dan sudah berada di RSUD Bantaeng.

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online inikata.com pada 2 Desember 2019

 

Categories
SIPOL slide

Tahanan Meninggal Diduga Disiksa Polisi, LBH Makassar Bersurat ke Presiden

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar menyangkan sikap Kepolisian Resort (Polres) Bantaeng yang diduga melakukan penyiksaan terhadap salah satu pencurian hingga meregang nyawa didalam sel tahanan.

Tim Penasehat Hukum korban, Edy Kurniawan mengatakan, pihaknya menganggap sikap Polres Kota Bantaeng sangat bertentang dengan Norma Hak Asasi Manusia (HAM).

“Menyiksa orang yang dalam kondisi tak melawan meski korban diduga adalah pencuri,” jelasnya, Minggu (14/11/2019).

Olehnya, itu pihaknya akan menyurati pihak Presiden RI, Joko Widodo agar memerintahkan Kapolri, Idham Azis segera turun tangan menyelidiki kasua tersebut.

“Terkait meninggalnya Sugianto besok kami akan surat lembaga negara dalam hal ini, Presiden agar memerintahkan segera Kapolri turun tangan usut ini,” ucapnya.

Kata dia, hingga saat ini pihaknya telah melaporkan kejadian tersebut kepihak Kepolisian Daerah (Polda) Sulsel untuk melakukan penyelidikan terkait hal tersebut dan menindaki para oknum polisi penyiksa tersebut.

“Kami mendorong penegakan hukum, HAM dan demokrasi mendesak Kabareskrim Polri dalam hal ini Reskrim Polda Sulsel, untuk segera turun tangan melakukan penyelidikan, penyidikan terkait peristiwa,” tuturnya.

Diketahui kasus tersebut bermula saat korban bernama Sugianto (22) diamankan aparat kepolisian Polres Bantaeng atas dugaan kasus tindak pidana pencurian.

Saat diamankan, pelaku dibawah disuatu tempat dan diduga dilakukan penyiksaan oleh aparat kepolisian untuk mengakui perbuatannya tersebut.

Sekitar pukul sekitar pukul 04.00 Wita, setelah shalat subuh, Sugianto dibawa polisi masuk ke dalam sel tanahan tempat Aan berada.

Aan melihat Sugianto dalam keadaan babak belur dan luka pada bagian betis dan lutut atas kanan, diduga luka tembak dan luka tersebut tidak terjahit, hanya dibalut perban.

Hampir satu jam, Sugianto terus berteriak kesakitan meminta obat. Aan yang melihat seorang polisi di depan ruangan kemudian memelas meminta obat, namun polisi tersebut hanya mengatakan biarkan saja mati seorang pencuri.

Lalu seorang penjaga sel memberikan 1 biji obat Amoxilin, namun obat yang diberikan
dimuntahkan kembali, seolah tubuh Sugianto tidak mau menerima obat tersebut dan terus menjerit kesakitan dan terus mengeluarkan darah hitam yang kental.

Saat itupun salah satu tahanan diminta untuk mengangkat sugianto keatas mobil dibawah kerumah sakit dengan keadaan yang sudah tidak sadarkan diri.

Sekita pukul 07.00 wita yang dikabarkan oleh seorang tukang becak sugianto telah meninggal dunia dan sudah berada dirumah sakit RSUD Bantaeng.

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online inikata.com pada 24 November 2019

Categories
SIPOL slide

Kasus Kematian Tahanan, LBH Minta Kapolda Sulsel Tak Pandang Bulu

Tim Kuasa Hukum Sugianto meminta agar Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sulawesi Selatan tak segan pandang bulu usut tuntas kematian tahanan Polres Bantaeng tersebut.

Bahkan jika terbukti, ia meminta Kapolda tak segan memecat anggotanya yang diduga lakukan penyiksaan terhadap Sugianto (22).

“Kami meminta agar Kapolda Sulsel tetap profesional, transparan dan akuntabel melakukan penyelidikan dalan kasus ini. Agar kasus ini tidak lama berlarut-larut begitu saja,” ucap, Tim kuasa hukum Sugianto, Edy Kurniawan, Minggu (24/11/2019).

Kata dia, ketika pihak Polda Sulsel tak serius dalam menangani hal tersebut pihaknya akan segera layangkan surat kepada pimpinan Polri dalam hal ini Kabareskrim Polri untuk mengambil alih kasus tersebut.

“Kami besok akan bersurat, Kapolri dalam hal ini Kabareskrim Polri, Komnas HAM RI dan Kompolnas untuk segera turun tangan lakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap kasus ini,” tuturnya.

 

Baca Juga: 

Tahanan Meninggal Diduga Disiksa Polisi, LBH Makassar Bersurat ke Presiden

Siaran Pers YLBHI-LBH Makassar tentang Meninggalnya Sugianto (22 tahun), Korban Penembakan yang diduga Mengalami Penyiksaan bersama Rekannya Bernama AS 915 tahun)

Keluarga Korban Kasus Penembakan di Bantaeng Melapor Ke Polda Sulsel

 

Diketahui, kasus tersebut bermula saat korban bernama Sugianto (22) diamankan aparat kepolisian Polres Bantaeng atas dugaan kasus tindak pidana pencurian.

Saat diamankan korban dibawah disuatu tempat dan diduga dilakukan penyiksaan oleh aparat kepolisian untuk mengakui perbuatannya tersebut.

Sekitar pukul Sekitar pukul 04.00 WITA, setelah shalat subuh, Sugianto dibawa polisi masuk ke dalam sel tanahan tempat Aan berada.

Aan melihat Sugianto dalam keadaan babak belur dan luka pada bagian betis dan lutut atas kanan, diduga luka tembak dan luka tersebut tidak terjahit, hanya dibalut perban.

Hampir satu jam, Sugianto terus berteriak kesakitan meminta obat. Aan yang melihat seorang polisi di depan ruangan kemudian memelas meminta obat. Namun polisi tersebut hanya mengatakan biarkan saja mati seorang pencuri.

Lalu seorang penjaga sel memberikan 1 biji obat Amoxilin, namun obat yang diberikan
dimuntahkan kembali, seolah tubuh Sugianto tidak mau menerima obat tersebut dan terus menjerit kesakitan dan terus mengeluarkan darah hitam yang kental.

Saat itupun salah satu tahanan diminta untuk mengangkat sugianto keatas mobil dibawah kerumah sakit dengan keadaan yang sudah tidak sadarkan diri.

Sekita pukul 07.00 wita yang dikabarkan sugianto telah meninggal dunia dan sudah berada dirumah sakit RSUD Bantaeng.

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online inikata.com pada 24 November 2019

Categories
EKOSOB slide

Ada yang Aneh! LBH: Polda Sultra Terkesan Paksakan Jasmin Jadi Tersangka

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar menilai Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tenggara (Sultra) terkesan memaksakan dalam menetapkan Jasmin sebagai tersangka.

Ada yang aneh dalam kasus ini, anennya, jika PT Gema Kreasi Perdana (GKP) melapokan warga Wawonii ke pihak kepolisian langsung diproses sehingga Jasmin yang kini berstatus sebagai tersangka.

Selain, Jasmin ada 26 warga penolak tambang di Wawonii yang telah dilaporkan PT GKP ke pihak kepolisian.

“Kami melihat Polda Sultra terkesan memaksakan penetapan tersangka terhadap Jasmin,” kata
Koordinator Bidang Hak atas Lingkungan Hidup LBH Makassar, Edy Kurniawan Wahid, kepada Inikatasultra.com, Kamis (28/11/2019).

Sebelumnya, Jasmin ditetapkan sebagai tersangka diduga terlibat dalam penyekapan pekerja PT GKP, yang merupakan perusahaan tambang nikel.

Jasmin ditangkap terlebih dahulu oleh Polda Sultra pada Minggu, 24 November 2019, sekira pukul 17.00 WITA, di rumah kakaknya, di Kota Kendari.

“Terkait tindak pidana perampasan kemerdekaan yang dituduhkan kepada Jasmin, saya kira yang dilakukan warga dengan mengikat tangan para karyawan PT GKP di lokasi kerja pada ruang terbuka dan saat itu ada aparat keamanan,” jelas Edy.

 

Baca Juga: Polda Sultra Segera Bebaskan Jasmin & Stop Kriminalisasi 27 Warga Wawonii oleh Tambang PT. Gema Kreasi Perdana

 

“Jadi tindakan tersebut menurut kami tidak bisa dikualifikasi sebagai tindakan perampasan kemerdekaan,” tegasnya.

Menurut Advokat Publik itu, tindakan tersebut tidak ada pengekangan fisik secara ketat, sepeti mengikat karyawan di dalam ruangan tertutup.

“Melainkan tindakan warga hanya menahan para karyawan untuk menghindari terjadinya konflik sosial,” pungkasnya.

Diketahui, PT GKP yang dikawal ketat aparat kepolisian, tercatat sudah 3 kali menerobos lahan milik masyarakat untuk membangun jalan tambang.

Penerobosan pertama terjadi pada 9 Juli 2019 di lahan milik Ibu Marwah, penerobosan kedua pada 16 Juli 2019 di lahan milik Bapak Idris, dan penerobosan ketiga yang berlangsung tengah malam pada 22 Agustus 2019, di lahan milik Bapak Amin, Ibu Wa Ana, dan Bapak La Aba.

Lahan-lahan yang diterobos itu, merupakan milik sah masyarakat, telah dikelola lebih dari tiga puluh tahun dan selalu bayar pajak.

Namun, saat warga melaporkan kepada polisi soal penerobosan lahan berulang-ulang yang dilakukan oleh PT GKP itu. Misailnya, Idris, warga Desa Sukarela Jaya, Kecamatan Wawonii Tenggara, telah melaporkan PT GKP ke Polres Kendari pada 14 Agustus 2019 lalu.

Laporan itu sudah diterima dan diregistrasi dengan Laporan Pengaduan Nomor: B/591/VIII/2019/Reskrim. Namun sayangnya, laporan itu tampak didiamkan hingga saat ini oleh pihak kepolisian. 

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online sultra.inikata.com pada 28 November 2019