Categories
Perempuan dan Anak slide

Kasus Tiga Anak di Lutim Diduga Diperkosa Ayah Kandung Segera Digelar Kembali

Kasus dugaan ayah memperkosa tiga anak kandungnya di Luwu Timur (Lutim), segera dilakukan gelar perkara. Hal tersebut pun diungkapkan salah satu tim pengacara korban, Direktur LBH Makassar, Haswandy Andi Mas saat dikonfirmasi, Sabtu (18/1/2020) sore.

Kata Haswandy andi, ia dan tim hukum yang tergabung dalam Koalisi Anak Anti Kekerasan di Makassar masih menunggu kepastian dari pihak Kepolisian. Pasalnya, tim penyidik Polres Lutim bersama penyidik Ditrekrimum Polda Sulsel akan melakukan gelar perkara kasus ini kembali, setelah sebelumnya digelar.

“Jadwal pastinya kami belum tahu, tapi kami meminta dalam gelar perkara ini kami meminta untuk terlibat juga langsung,” ungkap Haswandy Andi Mas.

Seperti diketahui, terduga pelaku yang merupakan ayah kandung berinisial SU (41) dilaporkan karena memperkosa tiga anaknya, AI (8), MR (6), dan AZ (4). Terlapor SU dilaporkan mantan istrinya, RS (41) di Polres Lutim diakhir 2019 lalu, tetapi laporan ibu tiga anak itu dihentikan polisi, alasan tidak cukup bukti.

RS, langsung ke Makassar dan melaporkan ke pihak Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Makassar, Sabtu (21/12) lalu.

Menurut tim pendamping dan tim Koalisi di Makassar, ibu ketiga anak ini sangat bergantung padahasil gelar kedua, setelah kasus tersebut dihentikan di Lutim. Pendamping hukum korban, masih optimis kasus ini bisa dibuka kembali dan dilanjutkan ke tahap penyidikan serta menetapkan tersangka dalam kasus itu.

Lanjut Haswandy, tim pendamping hukum elah menyiapkan visum pembanding, agar membuktikan ketiga anank RS tersebut telah menjadi korban rudapaksa. “Ya pasti kita juga telah menyiapkan tim ahli yang menguatkan korban, dan juga tentu tim yang profesional mendampingi para korban,” jelas Haswandy Andi.

Tim pendamping hukum yakin, unsur gelar perkara kasus ini telah sepenuhnya terpenuhi. Sehingga diharapkan Polda segera menetapkan jadwal untuk gelar.

Kita lihat unsur gelar perkara terpenuhi, dan tertuang dalam Peraturan Kapolri (Perkap) nomor 6 2019 tentang penyidikan pindak pidana,” tambahnya.

 

 

Catatn: Berita ini telah dimuat di media online makassar.tribunnews.com pada 18 Januari 2020

Categories
Perempuan dan Anak slide

Apa Kabar Kasus Dugaan Ayah Cabuli Anak di Lutim?

Haswandy Andy Mas/Direktur YLBHI-LBH Makassar

 

Kasus dugaan ayah yang cabuli anak kandung di Luwu Timur (Lutim) masih menunggu gelar perkara. Polres Lutim bersama Polda Sulsel rencananya melakukan gelar perkara pekan depan.

Jadwal pastinya belum ditentukan. Ibu korban bergantung terhadap hasil gelar perkara tersebut. Sebab, dari hasil gelar perkara itu, nantinya kasusnya bisa dibuka dan dilanjutkan penyelidikannya hingga penyidikan.

Kasus ini sudah pernah bergulir di Polres Lutim, namun menghentikan penyelidikan. Sebab, menurut Polres Lutim tidak ada bukti-bukti yang mengarah terjadinya pencabulan terhadap tiga anak itu.

Pendamping hukum korban, masih optimistis kasus ini bisa dibuka kembali dan dilanjutkan ke tahap penyidikan serta menetapkan tersangka dalam kasus itu. Sebab, tiga bocah yang diduga jadi korban masih trauma atas kejadian itu.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, sekaligus koordinator tim pendamping hukum korban, Haswandy Andi Mas pun meminta dilibatkan dalam proses gelar perkara.

Pendamping hukum korban pun telah menyiapkan visum pembanding, yang membuktikan bahwa ketiga bocah itu telah menjadi korban sodomi.

“Kita juga menyiapkan tim ahli yang menguatkan korban,” kata Haswandy.

Selain itu, pendamping hukum korban sudah sangat yakin bahwa unsur gelar perkara kasus ini telah sepenuhnya terpenuhi. Sehingga diharapkan Polda Sulsel segera menetapkan jadwal untuk gelar perkara.

“Unsur gelar perkara terpenuhi tertuang jelas dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana,” paparnya.

Kabid Humas Polda Sulsel Kombes Pol Ibrahim Tompo mengungkapkan alasan sehingga belum dilakukannya gelar perkara oleh penyidik krimum karena berbenturan dengan sejumlah agenda internal.

“Tidak ada kendala. Cuma memang masalah schedule saja,” paparnya.

 

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online news.rakyatku.com pada 18 Januari 2020

Categories
SIPOL slide

LPSK Investigasi Kematian SG

Tim dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) gelar investigasi kasus kematian Sugianto di LBH Makassar, merespon surat permintan dari LBH Makassar (15/01).

 

Kasus dugaan penganiayaan atas kematian terduga kasus pencurian Sugianto atau inisial SG terus mendapat perhatian pelbagai pihak. Termasuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Republik Indonesia. Kemarin, ada tiga orang anggota LPSK mendatangi LBH Makassar. Invetigasi. Mereka berupaya mengumpulkan data pendukung atau dugaan penganiayaan yang dilakukan terhadap Sugianto.

Baca Juga:

Wakil Ketua LPSK RI, Edwin Partogi Pasaribu membenarkan timnya datang ke Makassar untuk menginvestigasi dan menelaah atas permohonan perlindungan dalam kasus Sugianto. Hasil investigasi itu nantinya akan menjadi rujukan pimpinan LPSk untuk memutuskan menerima atau menolak perlindungan yang diajukan.

“Ini kasusnya bisa tujuh hari setelah investigasi baru diketahui,” katanya. Pengacara publik LBH Makassar, Edy Kurniawan menuturkan kasus dugaan penganiayaan mengakibatkan kematian Sugianto sudah ada progres. Sisa gelar perkara. Apakah dinaikkan ke tingkat penyidikan atau tidak.

Baca Juga:

“Kami sudah bersurat ke penyidik Polda untuk gelar perkara bersama dan meminta melibatkan keluarga korban dan pengacaranya, mengapa kita minta terlibat karena pertimbangannya karena kasus ini sudah jadi perhatian publik dan selama ini penyelidikan selalu ada pihak yang mempengaruhi keluarga korban,” Ucapnnya.

“Saat ini pihak LPSK sementara melanjutkan memeriksa saksi inisial AN di kediamannya.” Ucapnya.

 

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di koran harian Fajar Edisi 16 januari 2020

Categories
SIPOL slide

Kematian Agung Libatkan Oknum 5 Polisi Polda Sulsel Belum Juga Kelar, LBH Nilai Ada Kejanggalan

Kematian Agung Pranata pada tahun 2016 yang menyeret lima oknum jajaran Polda Sulsel jadi tersangka kini memasuki babak baru. Kasus ini memasuki babak baru, setelah berkas perkara kasus yang sudah bergulir tiga tahun di Polda dikirim ke Kejaksaan.

Tapi, tim Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar menilai, ada kejanggalan dalam berkas kasus yang dikirim ke Kejaksaan.”Ada kejanggalan penerapan pasal,” beber kuasa hukum di LBH, Haerul kepada tribun saat dikonfirmasi, Rabu (15/1/2020) sore.

 

Baca Juga:

Bulan Ini, Polda Sulsel Kirim 5 Oknum polisi Tersangka Penganiayaan Agung Pranata Ke Kejaksaan

Mati Dianiaya Polisi

 

Haerul mengaku, sepanjang kasus Agung bergulir di Polda dalam tiga tahun ini, ada banyak kejanggalan yang bermunculan. Diantaranya itu, pasal yang disangkakan kelima tersangka itu merupakan rumpun kejahatan terhadap nyawa dan tindakan.

Seperti Pasal 338 tentang Pembunuhan kata Haerul, dan Pasal 353 ayat 3, dan lalu Pasal 352 ayat 2 serta Pasal 357 KUHP. “Pasal-pasal kejahatan terhadap nyawa dan penganiayaan yang memiliki ancaman pidana berat tidak di masukkan,” ujarnya.

Pasal 170 ayat 3 tentang penganiayaan berujung kematian, ancaman maksimal 12 tahun penjara, itu juga tidak dimasukkan. Seharusnya lanjut Haerul, penyidik Polda harusnya menambahkan pasal pemberatan karena itu berdasarkan keterangan saksi.

“Ya keterangan dari saksi bahwa korban sebelum meninggal itu sempat dipaksa minum deterjen oleh tersangka,” jelasnya.

 

Baca Juga:

3,5 Tahun Kasus Kematian Agung Mengendap di Polda Sulsel, 5 Polisi Tersangka

Matinya Agung, 5 Polisi Tersangka di Polda Sulsel Tapi Pasal Berat Dihilangkan

 

Namun kata tim LBH, para tersangka tidak dikenakan Pasal 36 ayat 3 dan menambah sepertiga ancaman pidana penjaranya.Selain kejanggalan itu, kelima tersangka adalah anggota polisi aktif, sehingga bisa dikenakan juga didalam Pasal 152 KUHP.

Selain kejanggalan dalam beberapa Pasal, tim pengacara dari LBH juga menilai, lima tersangka itu tidak dilakukan penahanan.

Disamping itu, Haerul menyebutkan, lima tersangka polisi aktif tersebut belum juga dikenakan pelanggaran etik dan disiplin.

Padahal secara internal Polri, itu dianggap telah mengakui ada tindakan pidana oleh aparat melalui surat penetapan tersangka. “Ini kan telah jelas, karena berkas perkara sudah ada dalam tanggyng jawab jaksa, kita harap tim jaksa teliti,” kata Haerul.

Diketahui, LBH juga melakukan persuratan ke KOMJAK, POLRI, BPSK dan KOMNAS HAM atas kejanggalan kasus Agung ini.

Diberitakan, penyidik Ditreskrimum Polda tetapkan lima oknum polisi jadi tersangka dalam kasus penganiayaan Agung Pranata.

Lima polisi tersangka, empat dari Polsek Ujung Pandang, Bripka Cn, As, Ar, Aiptu Sa. Dan di Polres Jeneponto, Aiptu Js.

 

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online tribunnews.com pada 15 Januari 2020

Categories
SIPOL slide

Kasus Ayah Cabuli Anak di Lutim, Korban Minta Dilibatkan Gelar Perkara

Korban pencabulan yang diduga dilakukan oleh ayah kandung di Luwu Timur (Lutim), meminta untuk dilibatkan dalam proses gelar perkara hasil visum yang diagendakan digelar Polda Sulawesi Selatan pekan ini.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, sekaligus koordinator tim pendamping hukum korban, Haswandy Andi Mas mengatakan, korban mempunyai hak untuk mengetahui jelas hasil gelar perkara visum pembanding nantinya.

“Termasuk ahli yang menguatkan korban. Ahli-ahli yang sudah kita juga siapkan dalam perjalanan kasus ini,” kata Haswandy saat dikonfirmasi, Selasa (14/1).

1. Pendamping hukum berpendapat unsur gelar perkara telah terpenuhi

Polda Sulsel sebelumnya telah mengagendakan pada pekan ini untuk menggelar perkara visum pembanding yang dilayangkan korban melalui pendamping hukum. Namun kata Haswandy, informasi pasti kapan gelar perkara akan dilakukan belum juga disampaikan kepada pihaknya.

Padahal menurut dia, unsur gelar perkara kasus ini telah sepenuhnya terpenuhi. “Ada pengaduan dari pihak pelapor dan kasus ini menjadi sorotan publik. Kemudian berdasarkan haknya korban juga untuk dilibatkan dalam proses gelar perkara nantinya,” ucap Haswandy.

Permintaan untuk pelibatan korban dalam gelar perkara, kata Haswandy, tertuang jelas dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.

2. Polda Sulsel diminta untuk memberitahukan informasi tiga hari sebelum gelar perkara dimulai

Selain itu, Haswandy juga meminta agar penyidik Polda Sulsel memberitahukan informasi kepada pendamping dan korban, minimal tiga hari sebelum pelaksanaan gelar perkara dilaksanakan.

“Jadi sebaiknya diinformasikan memang. Jangan nanti tiba-tiba satu hari sebelum gelar perkara baru disampaikan. Ini standar dalam sebuah pemanggilan dalam proses hukum, minimal tiga hari sebelumnya,” ujar Haswandy.

Sejauh ini, lanjut Haswandy, pihaknya intens berkoordinasi dengan penyidik Polda Sulsel untuk mengetahui kejelasan informasi waktu, kapan gelar perkara akan dimulai.

3. Alasan Polda Sulsel belum tentukan kejelasan waktu gelar perkara pekan ini

Terpisah, Kabid Humas Polda Sulsel Kombes Pol Ibrahim Tompo mengatakan, belum dilakukannya gelar perkara oleh penyidik kriminal umum karena berbenturan dengan sejumlah agenda internal.

Ibrahim menampik rumor soal kendala yang dihadapi penyidik sehingga gelar perkara belum dilakukan. “Tidak ada kendala. Cuman memang masalah schedule saja,” ujar mantan Kabid Humas Polda Sulawesi Utara ini.

Menyoal permintaan pihak pendamping dan korban soal pelibatan dalam proses gelar perkara nanti, menurut Ibrahim tergantung dari pertimbangan penyidik. “Intinya kita atensi kasus ini. Dan kita open terhadap permasalahan yang terjadi. Segala hal kita berusaha ungkap dengan kebenaran,” ungkapnya.

Diketahui, pengusutan dugaan pencabulan yang diduga dilakukan SA (43) ayah kandung kepada dua anaknya, AL (8) dan AZ (4) itu dihentikan jajaran penyidik Polres Luwu Timur, beberapa waktu lalu. Penghentian ditandai dengan diterbitkannya Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3) pada 10 Desember 2019.

Tidak ditemukannya tanda-tanda kekerasan seksual di alat vital korban, jadi dalih mendasar penyidik Polres Luwu Timur menghentikan perjalanan kasus ini.

 

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online sulsel.idtimes.com pada 14 Januari 2020

Categories
SIPOL slide

Mati Dianiaya Polisi

Agung Pranata (26) ditemui keluarga dalam keadaan tidak sadar di Rumah Sakit (RS) Bhayangkara, Makassar pada 29 September 2016 lalu. Di sekujur tubuhnya sudah penuh luka lebam, lehernya patah, saraf telinga tidak berfungsi dan telah dibantu alat pernafasan. Dalam keadaan kritis demikian, esoknya pada siang hari Agung dinyatakan meninggal oleh pihak rumah sakit.

Dua hari sebelum kematiannya (28/9), Agung ditangkap polisi dari Polsek Ujung Pandang di rumahnya di Minasaupa. Kesaksian ibu Agung, Mawar mengatakan bahwa rumahnya didobrak oleh polisi pada pukul 02.00 dini hari. Saat itu, kata Mawar, anaknya ditangkap dan digebuki di depan sang istri. Ia diketahui ditangkap atas dugaan penggunaan narkotika.

Pasca penangkapan, pihak keluarga tak diberi informasi jelas oleh pihak polisi mengenai keberadaan Agung. Pihak keluarga pun mendatangi sejumlah kantor polisi di Kota Makassar, namun tak ada kabar. Keberadaan Agung akhirnya diketahui di RS Bhayangkara dengan sekujur tubuh luka-luka yang mengantarnya pada kematian. Agung diduga kuat telah dianiaya hingga berujung kematian saat proses penangkapannya.

Kasus seperti itu tak hanya dialami oleh Agung. Dalam laporan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, untuk tahun 2019, pihaknya telah menangani tiga kasus kekerasan dan penyiksaan berujung kematian oleh polisi.

Korbannya yakni Sugianto (23), warga Bantaeng yang meninggal setelah ditangkap polisi atas tuduhan pencurian pada awal November 2019. Sugianto meninggal dengan tiga luka tembak di kakinya. Dilansar dari SindonewsAziz Dumpa, Kepala Divisi Hak Sipil dan Keberagaman mengatakan bahwa setelah ditangkap, Sugianto mendapatkan serangkaian penyiksaan, tangan terikat lakban dan dipukuli saat masih berada di atas mobil.

“Dalam kasus ini, Sugianto tewas diduga akibat penyiksaan oleh aparat kepolisian, di mana pada jasad Sugianto ditemukan luka lebam dan luka bakar diduga akibat penyiksaan, berikut adanya tiga luka tembak pada bagian betis kiri dan kanan serta dibagian kanan lutut,” ungkap Azis.

Kasus serupa juga dialami Rawal (37) warga Luwu Utara. Dia adalah DPO kasus narkotika yang kabur. Dia kemudian ditembak mati satuan Reserse dan Narkoba Polres Luwu Utara.

“Luka tembak di bagian perut, tapi ada juga luka di tubuh. Sehingga diduga terjadi penganiayaan dan penyiksaan sebelumnya,” katanya.

Korban ketiga yakni Riswan alias Ciwang (21). Dia dituduh DPO begal dengan 43 TKP. Ciwang ditembak Resmob Polda Sulsel pada 20 juni 2019. Dengan tuduhan berusaha merebut senjata api saat penangkapan. Tiga peluru bersarang di dada kiri dan meninggal di RS Bhayangkara.

Mereka berempat adalah korban yang diduga mengalami kekerasan dan penyiksaan berujung kematian saat penangkapannya.

 

Kasus Mengendap dan Pasal Dinilai Ringan

Meski kematian Agung dianggap ganjil, namun butuh tiga tahun lebih lamanya bagi pihak kepolisian untuk bisa mengusut kasus kematian tersebut. Pada awal Januari 2020 ini, kelima polisi yang melakukan penganiayaan kepada Agung akhirnya resmi ditetapkan sebagai tersangka. Meski begitu, dalam proses hukum penanganannya dinilai masih menuai kejanggalan.

Andi Haerul Karim, Divisi Anti Korupsi dan Reformasi Birokrasi LBH Makassar menilai, pasal yang disangkakan kepada tersangka masih terlalu ringan. Kejanggalan tersebut karena tersangka hanya disangkakan melakukan tindak pidana yang bertentangan dengan pasal 351 ayat 1 dan pasal 3 serta pasal 359 KUHP.

Padahal, berdasarkan fakta serta keterangan saksi yang diperiksa oleh kepolisian, seharusnya polisi dan jaksa bisa menyangkakan pasal yang lebih banyak dan berat.

Pasal yang disangkakan terhadap para tersangka adalah rumpun kejahatan terhadap nyawa dan tindak pidana penganiayaan. Namun, pasal-pasal yang memiliki ancaman pidana berat seperti pasal 338 tentang pembunuhan, 353 ayat 3, 352 ayat 2 pasal 357 KUHP justru tidak dimasukkan. Pun termasuk pasal 170 ayat 3 yang memiliki ancaman pidana maksimal 12 tahun penjara.

“Seharusnya, kepolisian menambahkan pasal pemberatan karena berdasarkan keterangan saksi bahwa korban sebelum meninggal sempat dipaksa meminum diterjen oleh tersangka,” terangnya Kamis (10/1/2020) dalam keterangan tertulisnya.

Kata Haerul, tersangka pun masih bebas dan tidak dilakukan penahanan. Padahal pasal yang disangkakan terhadap para tersangka seharusnya dilakukan penahanan. Selain itu, para tersangka belum dikenakan sanksi pelanggaran etik dan disiplin dari institusi kepolisian Polda Sulsel.

“Padahal secara internal kepolisian dianggap telah mengakui ada tindakan pidanan yang dilakukan oleh aparatnya melalui surat penetapan tersangka,” jelasnya.

Untuk itu, pihaknya meminta kepada Jaksa yang menangani kasus untuk dapat memeriksa ulang kasus tersebut, dan menambahkan pasal berdasarkan analisis fakta dan keterangan saksi.

Kasus penanganan Agung cukup beruntung, meskipun pengusutan kasus membutuhkan waktu yang lama. Namun, untuk pengusutan kasus korban kekerasan lain bisa jadi tak semulus itu.

 

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online aksaraintimes.id pada 14 Januari 2020.

Categories
EKOSOB slide

Siaran Pers ALARM Tolak Penggusuran: Mengecam Tindakan Perusakan tanaman, pohon dan upaya penggusuran tempat tinggal Aliamin

Semenjak tahun 1995 hingga saat ini Aliamin yang mengelola dan merawat taman di depan benteng Rotterdam. Dalam pengelolaan taman tersebut, tak ada kontribusi nyata dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan (BPCB Sulsel) untuk merawat dan menjaga taman tersebut. Upaya pengosongan paksa yang dilakukan oleh BPCB merupakan tindakan yang hanya terima beres, tidak menghargai konstribusi Aliamin, serta melanggar hukum dan hak asasi manusia.

Keberadaan Aliamin di lokasi yang saat ini dikuasainya bukanlah perbuatan melawan hukum. Usaha pengosongan paksa tempat tinggal dan taman yang telah dirawat oleh Aliamin dan keluarganya merupakan tindakan yang mengabaikan kontribusi nyata Aliamin dalam menjaga taman dan kontribusi nyata Aliamin dalam Pelestarian Cagar Budaya di depan Benteng Rotterdam.

Usaha untuk mencari solusi yang bisa diterima oleh kedua belah pihak telah dilakukan oleh Aliamin di damping  Aliansi Rakyat dan Mahasiswa (ALAR|M) Tolak Penggusuran. Tanggal 25 Maret 2019, digelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dihadiri diantaranya :

  1. DPRD Komisi B ; H.A. Jamaluddin Jafar, SE, MM (Ketua), Ir. Selle KS Dalle (Sekretaris), Drs. H.A. Marzuki Wadeng (Anggota), Muhammad Anas Hasan, SH. (Anggota) dan H. Ariady Arsal, SP. M.Si (Anggota)
  2. Muh. Firda, M.Si, mewakili Gubernur Sulawesi Selatan.
  3. Manai Sophian mewakili Walikota Makassar
  4. Laode M. Aksa Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawes Selatan
  5. Ahmad Mudzaffar Kepada Biro Hukum Kementrian Pendidikan dan Kebudayaa Republik Indonesia.
  6. Hasnia mewakili Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan.
  7. Mukhtar Guntur K, Perwakilan Alarm Tolak Penggusuran
  8. Edy Kurniawan, Kuasa Hukum Aliamin (LBH Makassar)
  9. Aliamin Pengelolah Taman Patung Kuda Benteng Roterdam.

Kesimpulan RDP Komisi B DPRD Provinsi Sulawesi Selatan;

  1. Komisi B DPRD Provinsi Sulawesi Selatan mengharapkan agar :
  • Ada Komunikasi yang dibuka oleh para pihak dan berharap agar ruang itu dapat dimanfaatkan secara baik dengan mengedepankan asas kekeluargaan dalam mencari kesepakatan tanpa merugikan dari masing-masing pihak.
  • Untuk Pembicaraan kedepan dalam membicarakan proses kekeluargaan diharapkan Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi SelatanMengundang Pihak Sdr. Aliamin dan Pemerintah Kota Makassar terkait waktu dan tempat pelaksanaan pertemuan.
  1. Komis B, Memberikan batasan waktu selama 1 bulan dari sekarang kepada masing-masing pihak, dan apapun hasil dari kesepakatan tersebut kiranya dapat disampaikan ke DPRD Provinsi Sulawesi Selatan untuk diketahui.
  2. Mengingat latar belakang keberadaan sdr. Aliamin dan juga bagian dari tanggungjawab social pemerintah terhadap setiap warganya, maka pemerintah Kota Makassar diharapkan turut serta dalam pembicaraan untuk mencari penyelesaian secara kekeluargaan antara sdr. Aliamin dan Balai Pelestarian Cagar Budaya.

Namun dari kesimpulan RDP DPRD tersebut, Kepala BPCB Sulawesi Selatan tidak pernah mengundang Aliamin dan ALARM Tolak Penggusuran untuk membicarakan penyelesaiaan masalah ini. Justru kamis tanggal 2 Januari hingga rabu 09 Januari 2020 pihak BPCB justru melakukan tindakan yang mengingkari kesimpulan RDP.

Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) justru melakukan pengrusakan Tanaman  bunga dan pohon yang ditanam dan dirawat oleh Aliamin selama puluhan tahun. Tindakan BPCB ini adalah tindakan yang tak menghargai dan melecehkan instansi DPRD Sulsel sebagai Dewan perwakilan rakyat. Lebih dari itu, tindakan itu merupakan tindakan melanggar hukum dan hak asasi manusia (HAM).

Pengosongan/penggusuran hanya boleh dilakukan jika terdapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Upaya pengosongan paksa dan perusakan tanaman akan berujung pada pelanggaran  hukum dan HAM, mulai; hak atas kebudayaan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, keluarga sampai hak atas kehidupan yang layak. BPCB sebagai instansi Pemerintah harus mengedapankan penghormatan terhadap hukum, HAM dan nilai nilai budaya yang lahir dan hidup di masyarakat.

Tindakan yang dilakukan oleh pihak BPCB yang merusak tanaman dan pohon yang ditanam oleh Aliamin merupakan tindakan yang seharusnya tidak dilakukan. Tindakan-tindakan yang memaksakan kehendak sebagaimana yang BPCB telah lakukan tak boleh dibiarkan terus terjadi. Selain itu, tindakan menebang pohon tersebut adalah tindakan yang melawan hukum, mengingat Aliamin selama ini adalah pemilik dari pohon-pohon tersebut, sehingga pihak BPCB tidak memiliki hak untuk menebang pohon-pohon tersebut. Lagipula tindakan Aliamin yang memelihara taman tersebut dan berjualan diatasnya bukanlah sebuah perbuatan yang melawan hukum dan Aliamin selama ini legal menempati lokasi tersebut.

Perlu kami tegaskan lagi bahwa, seharusnya perda no. 2 tahun 2014 tentang pelestarian cagar budaya, pasal 36“setiap orang yang telah berkontribusi melestarikan dalam menjaga cagar budaya harus dihargai  oleh negara dalam bentuk penghargaan  insentif dan konvensasi. menjadi alas hukum bagi BPCD untuk memberikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada pak aliamin sebagai orang yang mempertahakan fungsi ekologi dan estetikan di depan cagar budaya Rotterdam, hal ini tidak diindahkan oleh pihak BPCD, malah melakukan penebangan pohon dan Bungan dan ingin menggusur pak aliamin secara paksa. Yang kami sayangkan lagi adalah pohon dan bungan yang ditanam dan dirawat oleh pak Aliamin selama 25 tahun dirusak secara merata dengan tanah tanpa ada pemberitahuan sebelumnya kepada pak Aliamin. Dengan tujuan untuk merubah fungsi pohon dan bungan menjadi lahan parkir. Tindakan BPCD bukan lagi memperbaiki fungsi pohon dan bunga sebagai area resapan air dan estetika, justru membuat hal yang tidak memiliki nilai ekologis dan estetika. Hal ini akan mengurangi pengunjung untuk datang di lokasi cagar budaya di Rotterdam.

Atas dasar itu, maka kami dari Aliansi Rakyat dan Mahasiswa (ALARM) Tolak Penggusuran menuntut;

  1. Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan untuk bertanggung jawab atas tindakan pengrusakan tanaman dan pohon yang ditanam dan dirawat oleh Aliamin;
  2. Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulsel harus menghormati proses khususnya Kesimpulan RDP DPRD provinsi Sulawesi Selatan.
  3. Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan untuk menghentikan tindakan-tindakan pengrusakan sebelum ada solusi yang bisa diterima oleh semua pihak.
  4. Kepada DPRD Provinsi Sulawesi Selatan segera melakukan RDP Ulang atas ingkar Kepala Balai dari hasil RDP sebelumnya.
  5. Kepada Aparat Keamanan memberikan perlindugan rasa aman kepada Aliamin dan keluarganya selama masih dalam proses kasus tersebut.
  6. Dan mengajak kepada seluruh komponen masyarakat untuk bersama-sama melawan penggusuran apapun alasannya, karena kehidupan manusasi tidak dibenarkan saling menggusur apalagi aparatur Negara yang di gaji dari hasil keringat rakyat.

Disamping itu, kami dari Aliansi Rakyat dan Mahasiswa (ALARM) Tolak Penggusuran mendesak DPRD Sulsel segera membuat pertemuan multipihak untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi pak aliamin salaku korban.

 

Juru Bicara :

Perwakilan Organisasi yang tergabung dalam ALARM Tolak Penggusuran ;

  1. Aliamin (korban upaya Penggusuran) Hp. 085254477117
  2. Muhammad Haedir, SH. Wakil Direktur LBH Makassar) Hp. 085341016455
  3. Muhaimin Arsenio (WALHI Sulsel) Hp. 082393272394
  4. Mukhtar Guntur K Presiden KSN Hp. 081355111099
  5. Wardah Wafiqah Ramdhana (Mahasiswa) Hp. 085242778464

 

Anggota ALARM Tolak Penggusuran

LBH Makassar, WALHI Sulsel, FIK ORNOP Sulsel, KSN Sulsel, KPA Sulsel, FSPBI Sulsel, FSP TRASINDO, FSP TUGASKU, FSP NAPAS, FSP KOBAR, Pembebasan, KOMUNAL, CGMT, PMII Rayon FAI, BEM FAI UMI, FOSIS, FMK, Srikandi, FNKSDA Makassar, dan Aliansi Pelajar Makassar,

Categories
SIPOL slide

3,5 Tahun Kasus Kematian Agung Mengendap di Polda Sulsel, 5 Polisi Tersangka

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar mrnyebut bahwa kejanggalan menaungi proses hukum kasus kematian Agung Pranata.

Setelah 3,5 tahun kasus kematian laki-laki yang akrab disapa Agung ini mengendap di Polda Sulsel. Kepolisian akhirnya mentersangkakan 5 polisi aktif yang melakukan penangkapan terhadap korban Agung hingga berujung kematian.

“Kini kasus tersebut memasuki babak baru, berkas kasus tersebut telah dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, tetapi masih tahap P21 tahap 1,” kata Divisi Anti Korupsi dan Reformasi Birokrasi LBH Makassar, Andi Herul Karim, SH. Jum’at, (10/1).

Menurutnya, kejanggalan tersebut karena tersangka hanya disangkakan melakukan tindak pidana yang bertentangan dengan pasal 351 ayat 1 dan pasal 3 serta pasal 359 KUHP.

Padahal, berdasarkan fakta serta keterangan saksi yang diperiksa oleh kepolisian, “seharusnya polisi dan jaksa bisa menyangkakan pasal yang lebih banyak dan berat,” imbuhnya.

Pasal yang disangkakan terhadap para tersangka adalah rumpun kejahatan terhadap nyawa dan tindak pidana penganiayaan. Namun, pasal-pasal yang memiliki ancaman pidana berat tidak dimasukkan.

“Seharusnya, kepolisian menambahkan pasal pemberatan karena
berdasarkan keterangan saksi bahwa korban sebelum meninggal sempat dipaksa meminum diterjen oleh tersangka,” terangnya.

Juga tidak dilakukan penahanan sejak ditetapkan sebagai tersangka. Selain itu, para tersangka belum dikenakan sanksi pelanggaran etik dan disiplin dari institusi kepolisian Polda Sulsel.

“Padahal secara internal kepolisian dianggap telah mengakui ada tindakan pidanan yang dilakukan oleh aparatnya melalui surat penetapan tersangka,” pungkasnya.

LBH Makassar berharap agar Jaksa yang menangani kasus ini dapat memeriksa, meneliti dan mengembankan kasus tersebut, sehingga ada penambahan pasal berdasarkan analisis fakta dan keterangan saksi.

“Kita akan melakukan persuratan ke Komisi Kejaksaan (Komjak) RI, Polri, LPSK dan Komnas HAM atas kejanggalan dan pelanggaran disiplin, etik dan HAM kasus ini. Selain itu, apabila kasus ini telah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri (PN) Makassar, kita pun akan melakukan persuratan ke Komisi Yudisial untuk di pantau, demi penegakan hukum,” kunci Herul sapaan akrabnya.

 

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online suarajelata.com pada 10 Januari 2020

Categories
SIPOL slide

Matinya Agung, 5 Polisi Tersangka di Polda Sulsel Tapi Pasal Berat Dihilangkan

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar mrnyebut bahwa kejanggalan menaungi proses hukum kasus kematian Agung Pranata.

Setelah 3,5 tahun kasus kematian laki-laki yang akrab disapa Agung ini mengendap di Polda Sulsel. Kepolisian akhirnya mentersangkakan 5 polisi aktif yang melakukan penangkapan terhadap korban Agung hingga berujung kematian.

“Kini kasus tersebut memasuki babak baru, berkas kasus tersebut telah dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, tetapi masih tahap P21 tahap 1,” kata Divisi Anti Korupsi dan Reformasi Birokrasi LBH Makassar, Andi Herul Karim, SH.

Menurutnya, kejanggalan tersebut karena tersangka hanya disangkakan melakukan tindak pidana yang bertentangan dengan pasal 351 ayat 1 dan pasal 3 serta pasal 359 KUHP.

Padahal, berdasarkan fakta serta keterangan saksi yang diperiksa oleh kepolisian, “seharusnya polisi dan jaksa bisa menyangkakan pasal yang lebih banyak dan berat,” imbuhnya.

Pasal yang disangkakan terhadap para tersangka adalah rumpun kejahatan terhadap nyawa dan tindak pidana penganiayaan. Namun, pasal-pasal yang memiliki ancaman pidana berat tidak dimasukkan.

“Seharusnya, kepolisian menambahkan pasal pemberatan karena
berdasarkan keterangan saksi bahwa korban sebelum meninggal sempat dipaksa meminum diterjen oleh tersangka,” terangnya.

Juga tidak dilakukan penahanan sejak ditetapkan sebagai tersangka. Selain itu, para tersangka belum dikenakan sanksi pelanggaran etik dan disiplin dari institusi kepolisian Polda Sulsel.

“Padahal secara internal kepolisian dianggap telah mengakui ada tindakan pidanan yang dilakukan oleh aparatnya melalui surat penetapan tersangka,” pungkasnya.

LBH Makassar berharap agar Jaksa yang menangani kasus ini dapat memeriksa, meneliti dan mengembankan kasus tersebut, sehingga ada penambahan pasal berdasarkan analisis fakta dan keterangan saksi.

“Kita akan melakukan persuratan ke Komisi Kejaksaan (Komjak) RI, Polri, LPSK dan Komnas HAM atas kejanggalan dan pelanggaran disiplin, etik dan HAM kasus ini. Selain itu, apabila kasus ini telah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Makassar kita pun akan melakukan persuratan ke Komisi Yudisial untuk di pantau, demi penegakan hukum,” kunci Herul sapaan akrabnya.

 

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online publikasionline.id pada 10 Januari 2020

Categories
EKOSOB slide

Tindakan Brutal Balai Cagar Budaya Benteng Rotterdam, Dihadang Aktivis LBH Makassar, Mahasiswa dan Buruh

Aksi Aliansi Rakyat & Mahasiswa (Alaram) Tolak Penggusuran di depan Benteng Rotterdam Makassar menolak upaya penggusuran terhadap rumah Aliamin, Rabu, 08 Januari 2020

 

Aksi brutal pihak Balai Cagar Budaya Benteng Rotterdam, Makassar, Sulawesi Selatan. Tanpa memberi perberitahuan baik lisan maupun tertulis kepada Ali Amin “penjaga taman patung kuda”. Mendadak puluhan orang yang dengan brutalnya mencabut tanaman bunga dan menumbangkan pohon pohon yang berada di  taman patung kuda Jl. Ujungpandang No. 1, tanggal 8 Januari 2019.

Aksi pengrusakan tanaman bunga dan pohon oleh pihak Balai Cagar Budaya Benteng Rotterdam, mendapan protes dari pihak LBH Makassar, aktivis Mahasiswa dan Buruh yang tergabung dalam Aliansi Rakyat dan Mahasiswa (ALARM) Tolak Penggusuran.

 

Baca Juga Berita Terkait:

Mediasi di DPRD SUlsel Capai Titik Terang: Kasus Revitalisasi Kawasan Cagar Budaya Rotterdam

Tolak Penggusuran Berdalih Revitalisasi Cagar Budaya Benteng Rotterdam

 

“Harusnya pihak Balai menyampikan terlebih dahulu atas rencananya kepada pak Ali Amin. Jangan langsung main rusak bunga dan pohon”. Ujar Mukhtar Guntur perwakilan Buruh.

Mukhtar menambahkan, bahwa peristiwa ini akan ditindaklanjuti ALARM Tolak Penggusuran. Dan kepada pihak yang terkait, termasuk DPRD Sulsel harus tetap melakukan pengawasan dan pengawalan terhadap aspirasi rakyat yang terancam digusur sewenang-wenang oleh Pihak Balai.

 

Kuasa hukum Aliamin, Ady Anugrah Pratama saat berbicara dengan perwakilan Balai Pelestarian Cagar Budaya Kota Makassar, Rabu 08 Januari 2020. Gambar diambil dari dip4news.com

 

Menurut Ady Anugrah, Kuasa Hukum Ali Amin dari LBH Makassar menegaskan, bahwa tidak boleh ada penebangan dan pencabutan bunga sebelum kami ketemu dengan kepala Balai. Karena hasil RDP di DPRD Sulsel harus saya sampaikan. Hasilnya adalah pihak Balai harus melakukan pertemuan terlebih dahulu dengan Pak Ali Amin baru ada langkah yang dilakukan pihak Balai. Bukan begini caranya melakukan cara-cara brutal. Ini adalah tindak pidana pengrusakan secara bersama-sama, Ujar Cappa panggilan akrab Ady Anugrah

“Pak Ali Amin merawat dan membiayai Taman Benteng Patung Kuda, tanpa menggunakan dana pemerintah. Dan akhirnya dirusak secara brutal, dimana rasa kemanusiaannya,” tambah Cappa.

Sekedar dikatahui, jika ancaman penggusuran pihak Balai ke Ali Amin, telah melalui proses pertemuan ke DPRD SulSel. Dan Komisi C merekomendasikan adanya pertemuan antara kedua pihak guna mencari solusi terbaik.

 

Catatan: Berita ini telah terbit di media online dip4news.com pada 08 Januari 2020