Categories
EKOSOB slide

Pers Release Aliansi Juru Parkir Makassar: Hentikan Pemasangan Terminal Parkir Eletronik dan Hentikan Intimidasi Terhadap Juru Parkir

Juru parkir sebagai sebuah pekerjaan adalah usaha yang dimulai sendiri oleh juru parkir. Lahan-lahan parkir yang tempat mereka bekerja, merupakan hasil dari usaha jukir dengan meminta izin kepada pemilik toko. Pada perkembanganya, lahirlah perusahaan daerah yang mengurus perparkiran di kota Makassar yang melihat ada potensi pendapatan dari sektor perparkiran.

PD Parkir memungut retribusi dari jukir berdasarkan ketentuan yang dibuat oleh PD Parkir. Retribusi yang dibayar setiap harinya ini menjadi pendapatan dari PD Parkir. Jukir adalah tulang punggung pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor perparkiran di kota Makassar. Sebagai sebuah profesi, juru parkir harus mendapatkan kesejahteraan sebagai hasil dari proses kerja yang dilakukannya.

Perjuangan akan kesejahteraan adalah hal yang terus menerus mereka lakukan. Terdapat banyak kebijakan PD Parkir yang merugikan mereka sebagai jukir. Pelibatan pihak ketiga (swasta) adalah hal yang sering dilakukan oleh PD Parkir, dan hal tersebut membuat jukir terus mengalami penurunan kesejahteraan.

PD Parkir sebagai perusahaan daerah yang mengurusi perparkiran di Makassar, baru-baru ini membuast kebijakan terminal parkir elektronik. Untuk menjalankan, PD Parkir menggandeng/bekerja sama dengan pihak ketiga (swasta) untuk mengadakan alat parkir elektronik. Kebijakan ini ditolak oleh seluruh juru parkir Makassar. Penolakan kebijakan ini lantaran akan membuat kesejahteraan juru parkir semakin memburuk. Program ini dinilai hanya akan menguntungkan pihak ketiga yang digandeng oleh PD parkir dalam menjalankan program ini.

Jika program ini dijalankan, juru parkir akan digaji sebesar 1,5 juta rupiah/bulan. Nilai nominal gaji yang ditetapkan oleh PD Parkir dinilai tak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga juru parkir, seperti; membayar kontrakan, uang sekolah anak, makan sehari-hari dan biaya-biaya rumah tangga lainnya. Sebagai perbandingan, buruh setiap bulannya diupah sebesar 3,1 juta rupiah beserta dengan jaminan kesehatan, ketenagakerjaan. Penghitungan upah buruh tersebut berdasarkan standar kehidupaln layak. Nilai nominal gaji yang ditawarkan PD Parkir tentu sangan juah dari standar hidup layak.

Program ini juga akan membuat beberapa tukang parkir terancam kehilangan pekerjaanya. Pasalnya, jika program ini dijalankan, tidak semua tukang parkir yang selama ini bekerja dititik parkir mereka masing-masing akan direkrut dan digaji. Sebagaimana awalnya, disetiap titik parkir, ada beberapa jukir yang bekerja sesuai dengan luasan lahan parkir.

Selama bekerja, jukir tak pernah mendapatkan hak-hak mereka sebagai mitra, seperti; rompi parkir yang tak pernah diganti, pertanggung jawaban PD parkir ketika pengguna parkir kehilangan barang, jaminan kesehatan yang tak dibayarkan, dan jaminan ketika terjadi kecelakaan kerja dan kematian. PD Parkir hanya tahu mengambil retribusi dan tak memberi hak jukir. Dari program ini, tak jaminan akan hak-hak juru parkir.

Berdasarkan Peraturan Daerah tentang Perparkiran di Makassar (Perda 17/2006/Pengelolaan parkir tepi jalan), wilayah pungutan PD Parkir hanya yang berada di tepi jalan, sedangkan yang berada di front toko masuk kewenangan Badan Pendapatan Daerah (BAPENDA) yang dibayarkan pemilik toko sebagai pajak parkir setiap bulannya. Sementara dilapangan, kedua wilayah ini diambil alih oleh PD parkir.

Jika merujuk pada peraturan tentang perparkiran yang ada, hubungan hukum jukir dan PD Parkir adalah kemitraan, artinya hubungan antara keduanya setara dan tak ada hubungan buruh dan majikan (gaji dan menggaji). Kebijakan menggaji jukir secara hukum juga tak punya dasar yang jelas.

Tahun lalu, program terminal parking electronic (TPE)  diterpakan di 25 titik, masing-masing di Jalan R. A Kartini, Somba Opu dan jalan Penghibur. Program ini juga ditolak oleh jukir namun dipaksakan oleh PD Parkir dengn menggunakan kekuatan Polisi. Dalam pengoperasianya, program ini membuat jukir merugi. Jukir digaji 1,5 juta, biaya parkir yang terlalu tinggi membuat banyak pengguna parkir tak mau membayar, selisihnya harus dibayar sendiri oleh jukir. Belum lagi, tak ada jaminan kesehatan dan keselamatan mereka sebagai jukir. Praktek di 25 titik adalah gambaran nyata dari kegagalan upaya swastanisasi parkir dan kegagalan PD parkir dalam penyeloaan perparkiran dan memberi kesejahteraan untuk jukir.

Dari awal rencanan ini sangat dipaksakan. Tak pernah ada pelibatan juru parkir sebagai tulang punggung perkarkiran di Makassar. Jukir hanya dipaksa menerima, melaksanakan rencana tersebut. Tukang parkir yang menolak, diancam diganti dengan juru parkir yang baru.

Jukir sudah berulang kali melakukan upaya penolakan dengan menyampaikan penolakan saat program ini disosialisasikan, menggelar aksi penolakan dan menghadiri rapat dengar pendapat di DPRD Kota Makassar.

Dibeberapa titik, kebijakan ini sudah mulai di uji coba. Jukir yang sedari awal menolak harus bersitegang dengan pihak juru parkir yang memaksanakan kebijakan ini. Tak main-main, PD parkir Makassar dalam pemasangan alat menggunakan kekuatan Brimob, Provos, Satpol PP dengan senjata lengkap. Pelibatan Brimob, Provos dan Satpol PP merupakan sebuah tindakan berlebihan yang dilakukan oleh PD Parkir. Hal ini bisa dimaknai sebagai upaya pemaksaan di tengah penolakan jukir yang semakin massive.

Pada 21 Maret 2020, lima orang jukir  yang menolak pemasangan alat parkir elektronik diangkut paksa oleh Brimob bersama petugas dari PD Parkir. Kelima jukir dibawa ke POLRESTABES Makassar dan menjalani pemeriksaan. Kelimanya diangkut saat menyampaikan pendapat tentang alasan mereka menolak dan menegur PD parkir yang bertindak diluar kewenanganya. Saat beradu pendapat, kelimanya diangkut paksa. Tindakan ini bisa dimaknai sebagai sebuah upaya kriminalisasi terhadap jukir.

Tindakan kriminalisasi jukir dan pemaksaan terhadap kebijakannya adalah sebuah tindakan yang otoriter, melanggar hukum dan tak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Terlebih ini dilakukan oleh sebuah perusahaan milik daerah. Tindakan ini tak boleh terus dilakukan. Perlu ada koreksi dan teguran dari seluruh unsur yang terkait.

Sebagai mitra utama dari PD Parkir, sudah seharusnya juru parkir diberi ruang berpartisipasi terhadap seluruh rencana dan kebijakan PD parkir. Penolakan juru parkir adalah hal yang tak bisa dielakkkan jika melihat tindakan PD parkir yang tak memberi ruang partisipasi kepada jukir.

Tindakan-tindakan pemaksaan dan kriminalisasi yang dilakukan oleh PD Parkir juga berpotensi melanggar hak asasi manusia. Hal ini bisa dilihat jika merujuk pada ketentuan Undang-undang Dasar 1945: pasal 27 ayat (2) “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, Pasal 28 A “setiap orang berhak untuk hidup dan serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupanya”, Pasal 28 C ayat (1) “setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan hak dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh mamfaat dari ilmu pengetahuan dan tekneologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”,

Hal ini juga diatur dalam ketentuan pasal 9, 36, dan pasal 40 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM yang berbunyi : Pasal 9 ayat (1) “Setiap orang berhak untuk hidup, dan mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya’,

Selanjutnya, dalam ketentuan pasal 11 ayat (1) UU No. 11 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob) menyebut bahwa : “Negara pihak apda kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus. Negara pihak akan mengambil langkah-langkah yang memadai untuk menjamin perwujudan hak ini dengan mengakui arti penting kerjasama Internasional yang berdasarkan kesepakatan sukarela”.

Jukir sebagai warga Negara harus dilindungi , dihormati dan dipenuhi haknya. Tindakan pemaksaan dan kriminalisasi yang dilakukan oleh PD Parkir adalah sebuah pelanggaran serius yang tak boleh dibiarkan. Penolakan adalah hak konstitusioanal jukir dan itu harus dihormati. Jaminan kesejahteraan bagi jukir adalah tugas konstitusional pemerintah, termasuk PD parkir.

Berdasarkan hal di atas, maka kami menuntut :

  1. Hentikan Kebijakan terminal parkir elektoronik sebelum mendapatkan persetujuan dari juru parkir sebagai mitra dari PD parkir;
  2. Hentikan intimidasi dan kriminalisasi juru parkir yang menolak kebijakan terminal parkir elektoronik PD parkir;
  3. Tolak kehadiran Brimob, Provos dan Satpol di area parkir jukir;
  4. Wujudkan kesejahteraan kepada juru parkir.

 

Makassar, 24 Maret 2020

Aliansi Juru Parkir makassar

SERIKAT JURU PARKIR MAKASSAR, LEMBAGA BANTUAN HUKUM MAKASSAR, ANTI CORRUPTION COMMITE,FORUM STUDY ISU-ISU STRATEGIS, KOMUNITAS MARGINAL, PEMBEBESAN MAKASSAR, PMII RAYON FAI UMI,  FORUM NAHDIYIN UNTUK KEDAULATAN AGRARIA MAKASSAR

 

 

Narahubung

Petrus                                      :085212444173 (SJPM)

Mirayanti Amin                       :085395906326 (LBH MAKASSAR)

Ali Asrawi Ramadhan             :082393381991 (ACC Sulawesi)

Categories
SIPOL slide

Pers Rilis & Pernyataan Sikap YLBHI – LBH MAKASSAR: “Segera Usut dan Adili Kasus Penembakan dan Penyiksaan Terhadap 2 Warga Sipil Yang diduga dilakukan oleh Oknum Polisi Polres Gowa”

Edwin Susanto (31) dan M. Rizaldy, korban Penembakan dan penyiksaan yang diduga dilakukan oleh oknum Polisi Polres Gowa, mendatangi Kantor Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan (POLDA SULSEL), didampingai langsung oleh Advokat Publik YLBHI-LBH Makassar, Abdul Azis Dumpa, S.H., Kamis (19/03/2020)

 

Edwin Susanto (31) dan M. Rizaldy, korban Penembakan dan penyiksaan yang diduga dilakukan oleh oknum Polisi Polres Gowa, mendatangi Kantor Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan (POLDA SULSEL), Kamis (19/03/2020). Mereka didampingi keluarga bersama Tim Kuasa Hukum LBH Makassar, resmi melaporkan kasus dugaan tindak pidana ini dengan Laporan Polisi (LP) Nomor: STTLP/105/III/2020/SPKT.

Kronologi  Peristiwa

  • Pada Senin 27 Januari 2019 dini hari, Edwin Susanto (31) dan M. Rizaldy (33) sedang berada di dalam rumahnya di Jalan Muhajirin II No. 37, Kelurahan Mangasa, Kecamatan Tamalate, Makassar. Mereka berdua tengah berbaring/istirahat di ruang lantai 1 rumah. Sekitar 00.30 wita, terdengar suara gedoran pagar dari luar, menyusul pintu rumahnya tiba tiba di dobrak. Sekitar 10 anggota Polisi dari Tim Polres Gowa mendatangi mereka.
  • Edwin lari menuju lantai 2 rumah, karena kaget. Sementara Rizaldy tetap diposisinya, ia bertanya pada Polisi,”ada apa ini pak”. Polisi hanya bilang, agar Rizaldy diam dan jangan banyak bicara, ia kemudian dipukul gagang pistol di bagian dadanya. Polisi lanjut memukuli/mengeroyoknya. Sementara sebagian Polisi lainnya mengejar Edwin ke lantai 2.
  • Rizaldy mendapat pukulan dan tendangan bertubi-tubi, hingga tersungkup dilantai, setiap berusaha berdiri, pukulan pun mendarat dikepala dan sekujur tubuhnya. Dalam Posisi masih tersungkup, tiba-tiba seorang Polisi melepaskan tembakan tepat di Lutut Kanannya.
  • Edwin yang lari ke lantai dua, pun mengalami kekerasan setelah terjatuh dilantai 2. Ini dipukuli, ditendang dan diijak dibagian leher. Tangannya kemudian diikat dengan Ikat Pinggang, setelah itu ia, dipiting turun ke lantai 1. Sekitar 4-5 Polisi membawanya turun, dianak tangga terakhir, saat kaki kanannya hendak menyentuh lantai, seorang Polisi melepaskan tembakan dari jarak sekitar 10-20 cm dan mengenai Betis Kanannya. Polisi yang menembak Edwin adalah Polisi yang menembak Rizaldy.
  • Mereka kemudian dibawah ke sudut Ruangan dengan Posisi Jongkok. Polisi kemudian mengganti ikata Pinggang yang meringkus kedua tangan Edwin dengan Borgol. Edwin dan Rizaldy diborgol berdua dengan menggunakan satu borgol. Disini mereka masih mendapat pukulan.
  • Khusus Edwin, ia mendapat tendangan dibagian samping kiri perut dan kepala bagian atas di pukuli menggunakan Palu (Jenis Palu tukang, bagian penjabut paku), ia berusaha menahan pukulan dengan tangannya hingga terluka. Tidak mampu menahan, Palu mengenai kepalanya hingga mengalami kebocoran, darahnya muncrat ke dinding.
  • Sekitar Pukul 01.00 wita, Ibu Edwin – Darmawati tiba di Lokasi setelah mendapat informasi dari Keluarganya yang tinggal di dekat Rumah Edwin. Darmawati langsung masuk ke dalam rumah dan memeluk Edwin, ia memegang kepala Edwin, hingga ia kaget tangannya penuh darah. Ia pertanya kepada Polisi, kenapa anaknya didatangi. Polisi tidak memberi jawaban, justru salah satu diantara mereka membentak meminta Darmawati keluar. Seorang Polisi lainya kemudian berkata kepada Darmawati dengan nada mengancam, jika ia ingin melihat anaknya selamat, sebaiknya ia keluar. Darmawati piun menuruti bpermintaan Polisi, ia keluar dan menunggu di tepi Jalan. Tidak Berselang lama, Bapak Edwin pun datang, ia tidak dibiarkan masuk.
  • Setelah Darmawati keluar ruangan, Mereka berdua, Edwin dan Rizaldy dipaksa menjilati darah Edwin yang menempel di dinding. Mereka pun menjilati darah tersebut. Polisi memeriksa semua sisi ruangan, hingga barang-barang berantakan.
  • Sekitar Pukul 02.30 wita, mereka kemudian dibawah keluar, tangan Edwin dan Rizaldy masing-masing di borgol. Polisi kemudian membawanya ke suatu tempat (Perumahan) di Gowa dengan menggunakan Motor, Edwin dan Rizaldy di bonceng dengan posisi di depan.
  • Dipertengahan jalan, mata mereka kemudian dituutp dengan lakban. Sepanjang perjalanan Rizaldy tidak berhenti bertanya alasan mereka diangkut, setiap bertanya ia mendapat pukulan pada bagian kepala.
  • Saat mereka dibawa, kedua orang tua dan keluarga Edwin yang berada di Lokasi tidak mendapat informasi/pemberitahuan apapun, tidak ada surat penangkapan, bahkan sekedar penyampaian pun tidak ada dari Polisi yang menangkap mereka.
  • Setiba di Perumahan – diduga Posko Tim Polres Gowa, mereka ditanya mengenai keberadaan Paket Narkoba. Dari sana baru mereka tahu, kenapa Polisi membawanya. Mereka dipaksa mengaku, namun karena tidak tahu menahu, mereka mendapat pukulan. Rizaldy yang ditembak pada bagian lutut, merasa kesakitan, saat ia jongkok peluru didalam lutut bergerak, sehingga ia menekan lututnya hingga pelurunya keluar. Seorang Polisi yang melihat pelurunya keluar, kemudian meminta agar peluru tersebut dibuang, seorang lainnya kemudian mengambil peluru tersebut dan membuangnya.
  • Sementara itu, Edwin dipaksa untuk mengeluarkan peluru yang terdapat dibetis kanannya. Ia bersuhasa dengan menekan, namun karena cukup dalam, maka peluru tidak berhasil keluar. Polisi yang menembaknya kemudian mengambil pinset dan memaksa mengeluarkan peluru tersebut, hingga Edwin berteriak kesakitan. Ia memohon agar Polisi tersebut berhenti memaksa mengeluarkan peluru, dan berjanji sepulang di rumah iya akan mengeluarkannya. Mereka dipaksa untuk tidak memberitahu kepada siapapu jika luka mereka karena ditembak.
  • Tidak terdapat barang bukti yang dicari oleh Polisi setelah membongkar se isi rumah, Tim Polres Gowa malam itu menyampaikan kepada Edwin dan Rizaldy, jika mereka sudah bisa, mereka dipersilahkan untuk pulang ke rumah. Sekitar Pukul 10.00 wita pagi, baru mereka pulang ke rumah, tanpa diantar oleh Polisi – Tim Polres Gowa yang menangkapnya.
  • Saat pulang, Edwin dan Rizaldy langsung menuju Rumah Ibunya – Darmawati di Jalan Malengkeri Tanggul RT 007 RW 002, Kelurahan Mangasa, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar. Edwin kemudian langsung dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara Makassar, oleh Darmawati, Kakak Edwin dan Kiki (Tetangganya). Mereka menuju UGD, namun ditolak oleh Pihak Rumah Sakit dan diarahkan ke Bagian Umum, merasa tidak dilayani dan tidak terdapat penanganan apa-apa setelah berjam-jam menunggu, mereka memutuskan untuk Pulang pada sore hari, sekitar pukul 16.30 wita.
  • Sekitar Pukul 17.00 wita, sejumlah Polisi dari Polres Gowa datang ke Rumahnya (Rumah Ibunya), menjemput Edwin untuk dibawa kembali ke RS Bhayangkara. Pada awalnya Edwin hanya ingin dibawa sendiri, tanpa keluarga, namun Ibunya tidak mengizinkan dan memaksa untuk ikut mendapingi. Puluhan Polisi tersebut mengantarnya ke RS Bhayangkara, ditemani Ibunya, Kakak Ipar dan Kiki.
  • Tiba di RS Bhayangkara, luka tembak dan luka (darah) di bagian kepalanya juga tidak ditangani dengan baik oleh Pihak Rumah Sakit. Edwin justru menjalani tes urin dan CT Scan pada kaki kanannya. Namun yang aneh seorang Polisi menyampaikan kepada keluarga bahwa tidak terdapat apa-apa didalam betisnya. Edwin hanya diinfus, merasa tidak mendapatkan penanganan pada lukanya, mereka pun sepakat untuk pulang ke Rumah. Luka bagian kepala dan bekas luka tembak di betis kanan Edwin, hanya dibersihkan oleh Ibunya-Dawamawati dengan peralatan seadanya. Hingga saat ini, proyektil peluru yang bersarang di betis Kanan Edwin belum dikeluarkan.

 

Uraian Hukum dan Tuntutan

Berdasarkan kronologi dan fakta-fakta peristiwa diatas, maka Kami Lembaga Bantuan (LBH) Makassar berpendapat bahwa Anggota (Tim) Kepolisian Resor (POLRES) Gowa yang terlibat dalam peristiwa yang dimaksud, diduga kuat telah melakukan serangkaian kekerasan, penyaniayaan, penggunaan kekuatan secara berlebihan (unnecessary or excessive use of force), penggunaan senjata api secara berlebihan yang tidak sesuai prosedur & standar dan cenderung mengarah pada penyelewengan kekuasaan (Abuse of Power).

Anggota POLRES Gowa yang terlibat penangkapan secara sewenang-wenang terhadap Edwin dan Rizaldy, menyalahi prinsip Legalitas, Nesesitas, Proporsionalitas, dan Resasonable sebagaimana ketentuan dalam Pasal 3 Huruf : a, b, c dan f Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian Jo Pasal 9, Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas POLRI. Anggota POLRES Gowa telah mengabaikan tahapan dalam penggunaan kekuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian, serta mengabaikan pengecualian tindakan yang diperbolehkan Anggota Polisi sebagaiman tertuang Pasal 11 Ayat (1) Huruf : a, b, d, g dan j Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas POLRI.

Siatusi dan Kondisi kedua korban secara logis tidak memerlukan penggunaan kekerasan apalagi senjata api, dikarenakan korban tidak melakukan upaya perlawanan dan sudah terlebih dahulu dilumpuhkan, dengan jumlah anggota Polisi yang cukup yang tidak memungkinkan untuk menimbulkan ancaman bagi anggota Polisi. Terlebih lagi penggunaan senjata api dilakukan tanpa adanya situasi yang mengancam dan memungkinkan adanya tindakan aktif maupun agresif dari korban yang berpontensi membahayakan Polisi, dimana posisi Korban telah dilumpuhkan (dikeroyok) bahkan Edwin dalam Posisi tangan terikat sebelum ditembak.

Berdasarkan tindakan atau perbuatan Oknum Polisi Polres Gowa yang terlibat dalam penangkapan Edwin dan Rizaldy, diduga kuat telah melakukan perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia, apa yang dialkukan jelas melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), yang tidak dapat dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaaan apapun (Non-derogable right), yaitu Hak Untuk Tidak Disiksa, sebagaimana diatur dalam Pasal 28G Ayat (2) Undang – Undang Dasar 1945  Jo Pasal 4 Undang – Undang Nomor 39 Tentang Hak Asasi Manusia.

Adanya dugaan pelanggaran HAM, maka anggota Polres Gowa yang terlibat dalam peristiwa tersebut harus bertanggungjawab secara pidana dengan hukuman yang setimpal dengan jenis kejahatannya, sesuai ketentuan Pasal 4 Ayat (1) dan (2) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuaan Yang Kejam, Tidak Manusiawi Atau Merendahkan Martabat Manusia.

Dalam Protokol PBB Tahun 1980 Tentang Prinsip-Prinsip Dasar Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Aparat Penegak Hukum yang telah menjadi dasar penetapan dan pemberlakuan Prosedur Tetap (Protap) Kapolri Nomor 1 Tahun 2010. Dimana Prinsip 7 Protokol PBB tersebut menyatakan: “Pemerintah akan menjamin bahwa penggunaan kekerasan dan senjata api secara sewenang-wenang atau tidak tepat oleh aparat penegak hukum akan dihukum sebagai pelanggaran pidana berdasarkan hukum yang berlaku”.

Dari Fakta fakta yang ada dalam peristiwa diatas, terdapat adanya dugaan Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Orang atau Barang Secara Bersama-Sama dan/atau Penganiayaan yang Mengakibatkan Luka-luka Berat dan/atau Turut Melakukan atau Membantu Melakukan Kejahatan, sebagaimana dimaksud  dalam ketentuan Pasal 170 KUHP Jo Pasal 351 Ayat (1) dan (2) KUHP Jo Pasal 55 dan 56 KUHP.  dan/ atau menggunakan sarana paksaan, baik untuk memeras pengakuan, maupun untuk mendapatkan keterangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 422 KUHP

Selain itu pejabat atasan dalam hal ini Kepala Kepolisian Resort (KAPOLRES) Gowa, harus bertanggung jawab atas perbuatan atau tindakan anggotanya, yang seharusnya mengetahui bahwa aparat dibawah komandonya telah melakukan penggunaan kekerasan dan senjata api secara tidak sah & sewenang-wenang, tapi tidak mengambil seluruh bentuk tindakan yang berada dalam kekuasaannya untuk mencegah, menindak atau melaporkan teindakan tersebut.

Maka berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas, YLBHI-LBH Makassar selaku lembaga yang selama ini konsern mendorong penegakan hukum, HAM dan demokrasi sekaligus bertindak selaku Penasehat Hukum korban, dengan ini mendesak Kabareskrim Polri Cq. Reskrim Polda Sulsel, Komnas HAM RI dan Kompolnas RI untuk segera turun tangan melakukan penyelidikan, penyidikan terkait peristiwa ini.

Makassar, 19 Maret 2020

Tim Kuasa Hukum Korban

Abdul Azis Dumpa/082217485826

(Kadiv Hak Sipil LBH Makassar)

Muh. Ismail/082291519628

(Asisten Pembela Umum LBH Makassar)

Categories
EKOSOB slide

Press Release YLBHI-LBH Makassar: Ombudsman Sul-Sel Terkesan Lambat dalam Menangani Kasus Do Mahasiswa UKI Paulus Makassar dan STIMIK Akba Makassar

Akhir tahun 2019 dan awal tahun 2020 menjadi titik kelam bagi gerakan mahasiwa dan dunia perguruan tinggi di Sulawesi Selatan. Akhir tahun 2019 28 mahasiswa UKI Paulus Makassar dikenakan sanksi Drop Out (DO) oleh pihak Kampus. Kemudian di awal tahun 2020 11 mahasiswa STIMIK AKBA Makassar juga mengalami hal demikian. Dalam kasus DO Mahasiswa di dua kampus ini terdapat kesamaan alasan, yaitu karena melakukan aksi (demonstrasi) protes terkait aturan kemahasiswaan yang dianggap sangat mengekang Lembaga Kemahasiswaan, serta beberapa diantara mahasiswa yang di DO adalah ketua lembaga di tingkatan fakultas dan univeritas.

Mahasiswa jorban DO dua kampus tersebut telah mempertanyakan dan melakukan upaya keberatan atas sanksi yang diterima. Upaya itu dilakuan karena mahasiwa merasa sanksi DO yang diberikan oleh pihak kampus tidak sesuai prosedural atau maladministrasi karena dilakukan tidak sesuai dengan peraturan kampus. Akan tetapi, upaya tersebut tidak menggoyahkan kampus untuk mencabut SK DO yang telah dikeluarkan, akhirnya mahasiswa melalui perwakilan masing masing kampus melaporkan tindakan kampus ke kantor Ombudsman RI perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan.

Namum nasib mahasiswa dari kedua kampus yang menjadi korban DO semakin kelam. Penanganan laporan mereka di Ombusdman Sul-Sel dianggap sangat lambat . Hal ini dikarenakan Laporan mahasiswa UKI Paulus tertanggal 27 januari 2020 dan mahasiswa STIMIK AKBA 31 Januari 2020 di Ombudsman Sulsel sampai saat ini belum ada kejelasan. Padahal bila melihat surat edaran No. 19 tahun 2019 di lingkup Ombudsman RI dan penjelasan Ombudsman Sul-Sel bahwa kasus ini masuk dalam kategori sederhana yang masa penyelesaianya 30 hari. Namun sampai saat ini laporan ini belum ada hasil.

Sebenarnya kami berharap bahwa dengan adanya surat edaran ini serta aturan lainnya di lingkup Ombudsman kasus kasus seperti ini bisa diselesaikan dengan cepat dan menjadi sekala prioritas. Hal ini didasarkan :

  1. Berdasarkan UU Ombudsman serta aturan lainnya, Ombudsman bisa memutuskan kasus ini dengan cepat dan putusannya memiliki kekuatan hukum serta dapat langsung dilaksanakan. Sehingga lebih efektif dibanding upaya lainnya.
  2. Bila kasus ini masuk kerana hukum , khususnya berproses di PTUN konsekuensinya akan memakan waktu bertahun tahun sampai berkekuatan hukum tetap dan konsekuensi lainnya laporan di Ombudsman akan di hentikan sesuai aturan di Ombudsman.
  3. Kasus Kekerasan akademik salah satunya kasus Drop Out bila prosedur pemberiannya tidak sesuai aturan yang ada, maka akan sangat merugikan mahasiwa dan sangat bertententangan dengan prinsip NEGERA HUKUM, HAM dan Demokrasi. Hal ini dikarenakan hak untuk menyapaikan pendapat di depan umum telah dijamin oleh undang undang, serta proses pemberian sanksi yang harus melalui proses mendengarkan dua bela pihak serta hak atas pendidikan dan hak atas pekerjaan akhirnya hilang dikarenakan sanksi DO yang diberikan. Padahal negra seharusnya menjamin dan melindungi hak asasi warga negaranya.

Harapan bangsa ini salah satunya terletak di pundak para mahasiwa selaku genarasi penerus bangsa untuk mengisi kemerdekaan ini dengan kemerdekaan berpikir dan kemerdekaan bertidak sesuasi hak asasi manusia guna menumbangkan praktk praktek otoritarianisme penguasa.

Oleh karena itu, YLBHI-LBH Makassar mendesak kepada Ombudsman RI perwakilan Sul-Sel menangani dengan cepat kasus DO yang dialami oleh Mahasiswa UKI Paulus Makassar dan STIMIK AKBA.

 

 

Makassar, 18 Maret 2020

YLBHI-LBH Makassar

 

Andi Haerul Karim, S.H.

Categories
EKOSOB slide

Ombudsman Dinilai Lamban Menangani Kasus DO Mahasiswa di Makassar

Kasus DO 11 mahasiswa STMIK AKBA Makassar yang dinilai cacat procedural hingga kini belum menuai titik terang. Setelah melaporkan kasusnya di Kantor Ombusdman RI Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan pada 31 januari 2020, hingga kini mereka belum mendapat kejelasan.

Mahasiswa STMIK AKBA sendiri telah mendatangi kantor Ombudsman pada 2 maret 2020 untuk mengkonfirmasi mengenai kejelasan kasusnya, namun mereka tidak mendapatkan jawaban memuaskan. “Silahkan pulang dulu, karena masih dalam proses, nanti tunggu panggilan karena Staf yang menerima laporan sedang berada di luar kota,” Pungkas Asmin, staf Ombudsman.

Sebelumnya juga korban DO Mahasiswa UKI Paulus telah masukkan laporan ke Ombudsman pada 27 januari 2020 namun hingga kini belum juga mendapatkan respon.

Berdasarkan Aturan Ombudsman terhadap penilaian klasifikasi laporan, kasus mahasiswa DO masuk Kategori Sederhana, penyelesaian laporan sederhana  paling lama dilakukan dalam 30 hari, Namun  hingga kini belum ada kejelasan tentang kelanjutan kasusnya, baik itu STMIK Akba maupun UKI Paulus. Sehingga, penanganan kasus DO ini terkesan lambat.

YLBHI-LBH Makassar berharap agar kasus mahasiswa DO di jadikan prioritas sehingga dapat diproses cepat dengan melihat beberapa pertimbangan yaitu batas waktu dari  pelaporan ke Pengadilan Tata Usaha Negara hanya  90 hari, maka ketika masuknya Pelaporan ke PTUN maka Ombudsman tak bisa lagi melanjutkan kasus, padahal Ombudsman ini punya daya eksekusi cepat berdasarkan durasi waktu tidak lebih dari 90 hari terkait penyelesain seperti kasus DO dan berdasarkan pasal 31 ayat (1) Undang-undang dasar 1945 “Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan.

Oleh karena itu jika hal seperti kasus DO ini lambat penanganannya, maka dari itu 11 Mahasiswa UKI Paulus yang juga sebagai warga Negara Indonesia akan kehilangan haknya atas pendidikan.

Categories
EKOSOB slide

Siaran Pers LBH Makassar & Aliansi Bara-Baraya Bersatu: Warga Bara-Baraya Bersatu, Dua Kali Tumbangkan “Mafia Tanah” dan Pangdam XIV Hasanuddin Di Pengadilan

 

Siaran Pers: LBH Makassar & Aliansi Bara-Baraya Bersatu

014/SK/LBH-Mks/III/2020

Warga Bara-Baraya Bersatu, Dua Kali Tumbangkan “Mafia Tanah” dan Pangdam XIV Hasanuddin Di Pengadilan

 

Perjuangan Aliansi Bara-Baraya Bersatu mempertahankan tanah tempat tinggalnya di Jl. Abubakar Lambogo, Kelurahan Bara-Baraya, Kec. Makassar, Kota Makassar, melalui jalur pengadilan berhasil dua kali menumbangkan “mafia tanah” dan Pangdam XIV Hasanuddin.

Sengketa pertama bergulir selama satu tahun, sejak 21 Agustus 2017 sampai dengan 24 Juli 2018 dengan nomor perkara: 255/Pdt.G/2017/PN.Mks. Majelis Hakim yang dipimpin langsung oleh Ketua Pengadilan Negeri Makassar, Kemal Tampubolon, menjatuhkan putusan dengan amar, “tidak dapat menerima gugatan Penggugat” dengan pertimbangan bahwa Penggugat dalam sidang pemeriksaan setempat, tidak dapat menunjuk batas tanah sengketa. Putusan ini diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Makassar melalui putusan nomor: 501/pdt/2018/PT.Mks.

Penggugat (Nurdin Dg. Nombong) bersama Pangdam XIV Hasanuddin kembali mengajukan gugatan. Lalu bergulirlah sengketa kedua selama delapan bulan, sejak 10 Juli 2019 sampai dengan 12 Maret 2020 dengan nomor perkara: 239/Pdt.G/2019/PN.Mks. Majelis Hakim yang dipimpin oleh Suratno kembali menjatuhkan putusan dengan amar, “tidak dapat menerima gugatan Penggugat” dengan pertimbangan bahwa warga/Tergugat menguasai tanah sengketa berdasarkan perjanjian jual beli dari Daniah Dg. Ngai selaku ahli waris Moedhinong Dg. Matika. Untuk menentukan sah tidaknya jual beli tersebut, maka Pejabat Pembuat Akta Tanah Kec. Makassar selaku pembuat akta jual beli mutlak ditarik sebagai tergugat. Akan tetapi, dalam perkara ini Penggugat tidak menariknya sebagai Tergugat. Di sisi lain, dalam sidang pemeriksaan setempat Penggugat tidak mampu menunjuk tanah yang dikuasai oleh masing-masing Tergugat.

Adanya dua putusan pengadilan yang keduanya dimenangkan oleh warga/Tergugat, semakin meneguhkan dan menguatkan hak kepemilikan warga atas tanah sengketa. Sebaliknya, putusan ini secara otomatis membantah klaim Penggugat yang selama ini menganggap bahwa tanah sengketa termasuk tanah okupasi TNI-AD Kodam XIV.

Selain itu, terdapat kejanggalan dalam perkara ini dimana Nurdin Dg. Nombong sudah dua kali menggugat warga, akan tetapi tidak berani menarik Daniah Dg. Ngai sebagai Tergugat di pengadilan selaku pihak yang telah menjual tanah sengketa kepada warga secara sah. Sementara itu, Daniah adalah saudara kandung Dg. Nombong yang keduanya adalah ahli waris dari Moedhinong Dg. Matika, pemilik tanah sengketa. Dengan demikian, Daniah secara hukum punya hak untuk menjual sebagian tanah warisan Dg. Matika kepada warga, demikian pula Penggugat yang menyewakan sebagian tanah warisan kepada Kodam XIV untuk dijadikan asrama TNI-AD. Sebaliknya, jika Daniah dinyatakan tidak berhak menjual tanah warisan, maka Penggugat juga tentu tidak berhak menyewakan sebagian tanah warisan kepada Kodam XIV.

Kemenangan ini adalah buah perjuangan kolektif dan konsistensi warga melalui Aliansi Bara-Baraya Bersatu, yang didalamnya tergabung organisasi mahasiswa, NGO, serikat buruh, serikat juru parkir dan organisasi masyarakat miskin kota lainnya.

Kasus ini mulai hangat dan mencekam kehidupan warga Bara-Baraya, sejak Februari 2017, ditandai dengan adanya klaim dari pihak Kodam VII Wirabuana (sekarang Kodam XIV Hasanuddin) bahwa tanah yang ditempati warga merupakan bagian dari tanah okupasi Asrama TNI-AD Bara-Baraya, padahal faktanya tanah yang dikuasasi oleh warga adalah tanah miliknya sendiri berdasarkan akta jual beli. Hal mana klaim Kodam tersebut, ditindaklanjuti dengan adanya Surat Kodam VII Wirabuana, perihal: Pengosongan Lahan, masing-masing tertanggal 13 Februari 2017 dan 6 Maret 2017 yang ditujukan kepada masing-masing warga.

Atas klaim dan desakan dari Pihak Kodam tersebut, warga menolak dan melakukan upaya perlawanan secara hukum dengan melaporkan tindakan Kodam ke instansi terkait yang berwenang, termasuk ke Presiden RI. Kemudian Presiden RI mengeluarkan surat kepada Kodam untuk tidak melakukan pengosongan lahan tanpa melalui proses hukum di pengadilan. Senada dengan Komnas HAM, yang akhirnya mengeluarkan rekomendasi pada pokoknya menyatakan bahwa Kodam VII Wirabuana untuk tidak melakukan pengosongan lahan secara sepihak tanpa melalui putusan pengadilan. Dua rekomendasi tersebut, memaksa Penggugat dan Kodam untuk menempuh jalur pengadilan dengan mengajukan gugatan perdata-pengosongan lahan terhadap warga. Dan hasilnya, warga memenangkan gugatan di pengadilan.

 

Makassar, 13 Maret 2020

LBH Makassar & Aliansi Bara-Baraya Bersatu

 

 

Narahubung:

Nur-Warga Bara-Baraya (0852-3101-1007);

Randa Layuk-Warga Bara-Baraya (0821-8790-5454);

Edy Kurniawan Wahid-Kadiv. Tanah & Lingkungan YLBHI/LBH Makassar

 

###

Categories
EKOSOB slide

Dua kali digugat Kodam XIV Hasanuddin dan Nurdin dg.Nombong, PN Makassar Menangkan Warga Bara-baraya

Usai pembacaan putusan sengketa tanah, Kamis, 12/3, ratusan Warga Jalan Abubakar Lambogo, kampung Bara-baraya kota Makassar larut dalam suasana gembira, mereka bersyukur karena Majelis hakim PN Makassar yang dipimpin Suratno memutuskan tidak dapat menerima gugatan penggugat yakni Pangdam XIV Hasanuddin dan Nurdin dg. Nombong atas tanah yang warga diami selama ini.

Edy Kurniawan Kadiv. Tanah dan lingkungan LBH Makassar selaku pendamping hukum warga mengurai bahwa majelis hakim dalam putusannya mempertimbangkan bukti yang diajukan oleh tergugat (warga Bara-baraya) berupa Akta Jual beli yang dimiliki masyarakat yang diperoleh dari Daniah Dg. Ngai sebagai salah satu ahli waris sekaligus penjual atas sebagian tanah objek sengketa.

Pertimbangan hukum majelis hakim lainnya dalam putusan ini adalah saat dilakukan sidang Pemeriksaan Setempat (PS), penggugat tidak mampu menunjuk satu-persatu rumah dari Para Tergugat, walaupun Penggugat telah diberikan kesempatan oleh Majelis Hakim, tegas Edy.

Direktur LBH Makassar, Haswandy Andy Mas menyampaikan, bahwa sengketa tanah ini sudah berlangsung sejak 10 Juli 2019, dimana tanah seluas 3 hektar yang dihuni 28 KK digugat oleh Pangdam XIV Hasanuddin dan Nurdin Dg. Nombong dengan dasar bahwa tanah tersebut adalah bekas lahan okupasi asrama TNI-AD.

“Fakta dipersidangan menunjukan bahwa tanah sengketa ini telah dihuni oleh masyarakat Bara-baraya sejak tahun 1960-an dan tidak pernah dikuasai oleh Kodam XIV Hasanuddin” sebut Haswandy.

Dalam siaran pers yang diterima sulawesi24.com hari ini, Kamis 12 Maret, YLBHI-LBH Makassar selaku Kuasa Hukum warga Bara-Baraya mengapresiasi sikap tegas dan kebijaksaan serta imparsialitas Majelis Hakim dalam memimpin jalannya persidangan.

Pasalnya menurut LBH Makassar, sejak sengketa lahan pertama kali di PN Makassar tahun 2017 dikuatirkan akan adanya kekuatan-kekuatan tertentu yang akan mengintervensi dan merusak marwah Pengadilan.

Diketahui dari data base kasus LBH Makassar, ternyata kasus ini sudah pernah bergulir di Pengadilan Negeri Makassar pada 21 Agustus 2017 dengan objek sengketa dan para pihak yang sama.

Oleh Majelis Hakim yang saat itu dipimpin oleh Kemal Tompobulu, memutuskan “Tidak menerima gugatan Penggugat/Nurdin Dg. Nombong” dengan pertimbangan bahwa penggugat tidak dapat menunjuk batas-batas tanah objek sengketa.

Putusan ini sejalan dengan putusan Pengadilan Tinggi Makassar yang menguatkan putusan PN Makassar.

YLBHI/LBH Makassar menilai “Tidak dapat diterimanya gugatan Penggugat” adalah buah hasil perjuangan panjang warga Bara-baraya yang kedua kalinya yang menunjukan kekuatan solidaritas rakyat, pemuda dan mahasiswa melawan upaya perampasan tanah.

 

Berita Ini telah terbit dimedia online sulawesi24.com pada 13 maret 2020

Categories
EKOSOB slide

Hakim Pengadilan Makassar Tolak Gugatan Atas Lahan yang Dikuasai 167 Warga Barabaraya

Perjuangan warga Barabaraya, Kecamatan Makassar, Kota Makassar, Sulawesi Selatan selama sembilan bulan mempertahankan tanahnya berbuah manis. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar yang dipimpin Suratno menolak gugatan penggugat atas lahan dihuni 167 warga dalam sidang putusan, Kamis (12/3/2020)

Lahan yang dihuni sekitar 28 kepala keluarga (KK) tersebut digugat oleh Nurdin Dg. Nombong bersama Kodam XIV Hasanuddin yang mengklain sebagai pemilik tanah.

“Hakim memutuskan gugatan penggugat tidak dapat diterima,” kata Kepala Divisi Tanah & Lingkungan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Edy Kurniawan Wahid selaku pendamping hukum warga.

Menurut Edy sapaan akrabnya bahwa hakim memutuskan menolak gugatan penggugat dengan beberapa pertimbangan. Warga atau selalu tergugat menguasai tanah sengketa berdasarkan akta jual beli dari Daniah Dg. Ngai (ahli waris Moedhinong Dg. Matika) yang diterbitkan oleh PPAT Kecamatan Makassar. Sehingga kata dia, untuk menilai sah tidaknya Akta Jual Beli ( AJB), maka mutlak Daniah dan PPAT ditarik sebagai tergugat. Akan tetap dalam perkara ini penggugat tidak menarik sebagai tergugat.

“Penggugat juga tidak mampu menunjuk tanah atau rumah yang dikuasai oleh masing masing tergugat,” sebutnya. Edy mengaku sejak awal yakin Hakim akan menolak gugatan penggugat. Alasanya, sejak proses sidang telah terungkap beberapa fakta hukum yang menjadi pertimbangan kuat Majelis Hakim untuk menolak gugatan Penggugat.

Pertama, tanah objek sengketa yang saat ini dikuasai oleh warga di Kelurahan Bara-Baraya bukan bagian dari tanah okupasi/asrama TNI-AD Kodam XIV Hasanuddin. Hal berdasarkan keterangan saksi-saksi terang menyatakan bahwa pihak Kodam XIV tidak pernah menguasai/beraktifitas di atas tanah objek sengketa.

Tanah okupasi yang diklaim oleh Kodam disebutkan terletak dalam asrama Bara-Baraya yang dikelilingi oleh tembok, sedangkan tanah objek sengketa jelas terletak di luar tembok asrama.

“Lagipula, surat Perjanjian Sewa Menyewa antara Kodam dengan Dg. Nombong yang menjadi dasar klaim Kodam atas tanah sengketa, tidak menyebutkan batas-batas objek tanah yang dipersewakan. Sehingga klaim Kodam dan Nurdin hanyalah sepihak, tidak berdasar dan mengada-ada,” ujarnya.

Hal berdasarkan keterangan saksi-saksi terang menyatakan bahwa pihak Kodam XIV tidak pernah menguasai/beraktifitas di atas tanah objek sengketa.

Tanah okupasi yang diklaim oleh Kodam disebutkan terletak dalam asrama Bara-Baraya yang dikelilingi oleh tembok, sedangkan tanah objek sengketa jelas terletak di luar tembok asrama.

“Lagipula, surat Perjanjian Sewa Menyewa antara Kodam dengan Dg. Nombong yang menjadi dasar klaim Kodam atas tanah sengketa, tidak menyebutkan batas-batas objek tanah yang dipersewakan. Sehingga klaim Kodam dan Nurdin hanyalah sepihak, tidak berdasar dan mengada-ada,” ujarnya.

 

 

Berita Ini telah terbit dimedia online tribunnews.com pada 12 maret 2020

Categories
SIPOL slide

YLBHI-LBH Makassar Dampingi Kasus Kematian Mursalim di Dalam Tahanan Polres Sidrap

Ridwan, Advokat Publik YLBHI-LBH Makassar saat diwawancarai mengenai kematian Mursalim di dalam sel tahanan Polres Sidrap. Foto: YLBHI-LBH Makassar

 

YLBHI-LBH Makassar berikan pendampingan terhadap kasus kematian Mursalim dalam tahanan Polres Kabupaten Sidrap. Mursalim dikerahui mninggal pada 22 Oktober 2019 yang diduga telah bunuh diri oleh pihak kepolisian. Mursalim ditangkap dirumahnya oleh pihak kepolisian Polres Sidrap pada 17 Oktober 2019 atas tuduhan telah mengedarkan Narkoba. Selain melakukan penangkapan, pihak kepolisain juga melakukan penggeledahan di dalam rumah Mursalim tanpa menunjukkan surat perintah penangkapan dan penggeledahan. Penggeledahan dilakukan tidak disaksikan oleh Pemerintah Setempat.

Siti hadijah, Suami Mursalim mendapatkan kabar dari pihak kepolisian melalui via telepon untuk datang ke rumah sakit Nenemalomo Sidrap guna melihat kondisi Mursalim. Sebelumnya, Hadijah belum mengetahui bahwa Mursalim telah meninggal. Setibanya di Rumah Sakit, Hadijah melihat Mursalim terbaring kaku tidak bernyawa (22/10/2019).

 

Suasana saat proses otopsi jenazah Mursalim berlangsung. Foto: YLBHI-LBH Makassar.

 

Hadijah beserta keluarga menganggap kematian Mursalim teradapat kejanggalan. Saat ditangkap sampai dengan sekarang ini, tidak ada bukti yang diperlihatkan berdasarkan tuduhan, hanya keterangan dari kepolisan bahwa hasil tes urin menunjukkan positif telah mengkonsumsi narkoba namun hasilnya tidak pernah diperlihatkan kepada pihak keluarga.

Hadijah juga memberikan keterangan bahwa satu hari sebelum Alm. meninggal yakni pada tanggal 21 Oktober 2019 dia menemui suaminya di dalam tahanan Polres dan melihat  Mursalim dalam kondisi sehat dan tidak ada tanda-tanda bahwa Ia mengalami depresi. Selain itu, Sumantri anak sulung Mursalim menemukan luka lebam pada bagian leher Mursalim saat dimandikan sebelum proses pemakaman.

 

Suasana saat proses otopsi jenazah Mursalim berlangsung. Foto: YLBHI-LBH Makassar.

 

Jenazah Mursalim dimakamkan di pemakaman Allakuang Kab. Sidrap. Pada 30 Oktober 2019 setelah proses pemakanamn berlangsung, Hadijah beserta keluarganya melaporkan kematian Suaminya. Laporan ditujukan ke Propam Polda Sulsel dan pada 13 November 2019 Hadijah juga mengadu ke Reskrimum Polda Sulsel. Alhasil, laporan tgersebut ditindak lanjuti oleh pihak Polda Sulsel dan pada 29 November 2019 dikeluarkan SP2HP untuk gelar perkara.

Pada 28 Februari 2019, kuburan Mursalim dibongkar guna melakukan Otopsi yang dilakukan oleh Tim Kedokteran Forensik Subbid Biddokkes Polda Sulsel. Ridwan, S.H., M.H. beserta Tim Investigasi YLBHI-LBH Makassar turut hadir dalam proses Otopsi. “Saya pun sangat menaruh harapan besar terhadap proses autopsi yang dilakukan oleh tim Kedokteran Forensik SubBid Dokkes Polda Sulawesi Selatan terhadap Korban. Agar kebenaran tentang penyebab kematian Almarhum dapat terungkap,” Ujar Ridwan.

Categories
SIPOL slide

“Lari” dari Panggilan RDP, SK DO 28 Mahasiswa UKI Paulus Dinilai Cacat Administrasi

Aliansi Pro Demokrasi Kampus (API), Kembali gelar aksi demonstrasi di Flyover Urip. Sumoharjo dan DPRD Provinsi Sulsel, 12 Februari 2020. Mereka menuntut pencabutan surat keputusan Droup Out 28 mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKI) Paulus Makassar.

Saat menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) di kantor DPRD Sulsel, Massa aksi kecewa lantaran “Rektor dari Uki Paulus tidak memenuhi panggilan. Sejak keluarnya SK Droup Out sampai hari ini, teman-teman tidak pernah sama sekali bertatap muka dengan Rektor. Ini yang menjadi pertanyaan kami “ada apa?”. Mengapa Rektor UKI Paulus kemudian tidak memiliki itikad baik untuk bertemu dengan massa aksi korban DO. Padahal persoalan seperti ini bisa diselesaikan secara baik-baik. Maka jika Rektor UKI Paulus tidak lagi menghadiri RDP yang akan di digelar kembali oleh DPRD Provinsi Sulsel, maka kami akan tetap melakukan aksi demonstrasi kedepannya untuk mengecam tindakan rektor yang menyepelekan persoalan-persoalan seperti ini.” Pungkasnya Lexi Datuan, Jendral Lapangan,

Anggota DPRD Sulsel mengungkapkan bahwasannya Pemberian Sanksi Droup Out adalah merupan langkah kurang bijak, kurang tepat ketika hanya masalah sesederhana itu dijatuhkan sanksi yang sangat berat bahkan menurut saya itu berlebihan. Kami pula akan menyurati kembali Rektor Ukip Paulus untuk meninjau ulang SK Droup Out kepada 28 mahasiswa.

Selain itu, Andi Herul Karim (Kadiv Anti Korupsi LBH Makassar) selaku pendamping Hukum mengungkapkan bahwa seharusnya mahasiswa yang di berikan sanksi DO itu harus melalui mekanisme sidang etik terlebih dahulu. Tapi yang menjadi masalah, bahwa dalam proses pemberian sanksi DO 28 mahasiswa Uki Paulus tidak ada mekanisme sidang etik atau komisi disiplin yang dilakukan pihak kampus. Jadi patut dikatakan, Uki Paulus itu cacat Adminitrasi dan sikap rektor sama sekali tidak mencerminkan pemimpin bijak melainkan pemimpin yang otoriter.

Berdasarkan data LBH Makassar, 28 mahasiswa UKI Paulus di-DO Karena aksi demonstrasi. Sebelumnya, mereka tergabung dalam empat fakultas, Fakultas Teknik, Fakultas Informatika, Fakultas Ekonomi dan Fakultas Hukum yang menolak keras Surat keputusan Rektor tentang peraturan Ormawa yang mengekang kebebasan berekspresi.

Categories
Perempuan dan Anak slide

LBH Desak Polda Gelar Perkara Kasus Pencabulan 3 Bocah Asal Lutim

Tim pendamping hukum menyoroti kinerja Polda Sulawesi Selatan (Sulsel) dalam menangani tindak lanjut visum pembanding kasus dugaan pencabulan tiga bocah asal Luwu Timur (Lutim) oleh ayah kandungnya sendiri.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Haswandy Andi Mas selaku koordinator tim pendamping hukum menilai, Polda Sulsel terkesan mengulur-ulur waktu terkait pelaksanaan gelar perkara hasil visum pembanding.

“Polda harus betul-betul memberikan atensi kasus ini. Jangan sampai polda misalnya nanti disoroti oleh pemerintah pusat. Ini perhatian besar, apalagi ada perintah Presiden Jokowi terkait kasus-kasus yang menjadi sorotoan khususnya kasus kekerasan perempuan dan anak harus dituntaskan,” kata Haswandy kepada SINDOnews, Senin (20/1/2020).

Baca Juga:

Kasus Tiga Anak di Lutim Diduga Diperkosa Ayah Kandung Segera Digelar Kembali

Apa Kabar Kasus Dugaan Ayah Cabuli Anak di Lutim?

Haswandy mendesak Polda Sulsel khususnya Direktorat Reserse Kriminal Umum, untuk sesegera mungkin, menggelar perkara hasil visum pembanding yang telah dilayangkan pihaknya sejak Desember 2019 lalu.

“Kita sebenarnya dari lawyer, mengutamakan bagaimana mekenisme internal Polda Sulsel yang sudah diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019. Syarat-syaratnya itu sudah pasti, sudah jelas memenuhi unsur untuk digelar,” tegasnya.

Terlebih, menurutnya kasus ini sudah jadi pantauan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) RI. Sehingga kata Haswandy konteks perjalanan  kasus sudah menyentuh level nasional. Didiamkannya kasus ini, menurut dia akan menjadi catatan buruk kepolisian.

Baca Juga:

Sejumlah Ahli Dilibatkan Advokasi Kasus Pencabulan 3 Bersaudara di Lutim

Difasilitasi LBH, Kasus Dugaan Sodomi Ayah Kandung Diambil Alih Polda Sulsel

“Kasus ini juga sudah menjadi perhatian publik bukan hanya di level Sulsel tapi juga di level nasional. Dan kasus ini juga dipantau oleh Kementerian. Agar Polda Sulsel melakukan juga gelar perkara internal kemudian, untuk memastikan juga bagaimana prosedur tindak lanjut kasus ini berjalan,” ungkapnya.

Dia melanjutkan, pihaknya tidak menutup kemungkinan, bakal menempuh upaya hukum lanjutan apabila gelar perkara belum juga dilakukan Polda Sulsel. Praperadilan dianggap Haswandy, menjadi jalur yang tepat untuk ditempuh korban.

“Kalau praperadilan kan pasti akan terungkap, dipublish dan langsung dilihat ada apa ini kemudian kasus ini ditutup. Nah kami menghindari sebenarnya itu. Karena kami menghargai mekanisme dari Polda apalagi hanya karena persoalan waktu,” ucapnya.

Sementara itu, Direktur Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Sulsel, Kombes Pol Andi Indra Jaya menegaskan pihaknya tidak bakal melakukan gelar perkara hasil visum pembanding, kasus dugaan pencabulan yang dilakukan oleh ayah kandung terhadap anaknya di Kabupaten Luwu Timur.

Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3), yang diterbitkan Polres Lutim pada 10 Desember 2019 lalu, menjadi dalih gelar perkara tidak dilakukan.

“Tidak ada rencana gelar. Kasusnya sudah dihentikan di Polres (Lutim) karena tidak cukup bukti,” tegas dihubungi SINDOnews melalui pesan WhatsApp, Senin (20/1/2020).

Pernyataan Indra Jaya ini berbanding terbalik dengan Kabid Humas Polda Sulsel, Kombes Pol Ibrahim Tompo yang mengatakan agenda gelar perkara untuk membuka kasus itu kembali sudah ada. Hanya saja gelar perkara oleh penyidik krimum berbenturan dengan sejumlah agenda internal.

“Sampai sekarang belum digelar, tidak ada kendala teknis cuman agendanya yang terlambat. Karena kesibukan Krimum, akan diusahakan secepatnya. Kita tunggu saja pastinya dari krimum, kemarin itu malah dijadwalkan minggu lalu,” tutur Ibrahim melalui sambungan telepon.

 

 

Catatn: Berita ini telah dimuat di media online makassar.sindonews.com pada 20 Januari 2020