Categories
EKOSOB slide

Warga Bara-Baraya Kembali Lakukan Unras, Kawal Sidang di Pengadilan Negeri Makassar

Aliansi Bara-baraya Bersatu Kota Makassar kembali menggelar aksi demonstrasi di depan Kantor Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, Selasa, (26/11/2019).

Aksi tersebut diikuti sekitar 50-an orang massa, yang didominasi dari warga Bara-baraya, dan mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di Kota Makassar.

Diketahui, sidang pada hari ini merupakan Pemberian Alat Bukti dari pihak penggugat ke PN Makassar.

“Kami datang ke sini untuk mengawal sidang Bara-baraya di PN Makassar ini,” ucap Rati, Warga Bara-baraya.

Lanjut, mereka juga meminta agar si penggugat langsung dihadirkan dalam sidang.

“Selama proses persidangan, selama 3 tahun, si penggugat belum pernah menunjukkan dirinya. Kami tidak tahu, ini penggugat masih hidup atau bagaimana,” ungkap Nur, yang merupakan salah satu Jubir warga Bara-baraya.

Menurutnya, jika penggugat memiliki itikad baik, maka dia akan menghadiri persidangan.

“Di perkara sebelumnya dengan kasus yang sama, kami berhasil menang, dan mereka kalah, tapi mereka menggugat kembali,” pungkas Nur.

“Kami terus mengawasi proses penegakan hukum yang dijalankan oleh PN Makassar, kami tidak akan lepas tangan,” tegas Nur.

Sementara itu, sebagai Juru Bicara Bara-baraya Bersatu, berharap kepada pihak PN Makassar, agar menjalankan proses sidang yang jujur, dan berpegang teguh pada prinsip keadilan.

“Kami minta pengadilan seadil-adilnya, jangan ada intervensi kekuasaan terhadap hukum dan penegak hukum di PN Makassar ini,” tandasnya.

“Kami tidak takut dengan ancaman apapun, tanah kami harga mati,” kecamnya.

Selama kurang lebih 2 jam aksi di PN Makassar, lalu massa bergerak ke Perempatan Jalan R.A Kartini, Kecamatan Ujung Pandang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, dengan membentangkan spanduk.

“Kami dari kantor pengadilan, jalan ke perempatan dekat Pos Polisi, membentangkan spanduk sebagai bentuk kampanye, bahwa kasus Bara-baraya belum usai, dan kami akan terus bersama warga dalam mengawal,” tutup Fariz, Kordinator Mahasiswa yang bersolidaritas dalam Aliansi Bara-baraya Bersatu.

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online sulawesiekspos.com pada 26 November 2019

Categories
EKOSOB slide

Polda Sultra Segera Bebaskan Jasmin & Stop Kriminalisasi 27 Warga Wawonii oleh Tambang PT. Gema Kreasi Perdana

Permintaan desakan solidaritas

Jasmin, warga Pulau Wawonii ditangkap Polda Sultra sore tadi, Pkl. 17.00 Wita, tadi sore tgl 24 November 2019 di rumah Kakak-nya di Kendari.

Jasmin, yang sejak awal getol menolak tambang, adalah satu dari 27 warga Wawonii yang telah dilaporkan ke Polisi oleh pihak PT Gema Kreasi Perdana (GKP). Jasmin sendiri dilaporkan pada 24 Agustus 2019 lalu, bersama dengan 20 warga Wawonii lainnya, dengan tuduhan merampas kemerdekaan seseorang.

 

Baca Juga link Terkait: 

Stop Kriminalisasi Petani-Cabut & Proses Hukum PT. GKP Di Pulau Wawoni !!!

Lagi, PT GKP Serobot Lahan Warga

 

Sebagai informasi, PT GKP, anak usaha Harita Group, telah 3 (tiga) kali menerobos lahan masyarakat. Penerobosan yang dikawal ketat aparat kepolisian itu terakhir terjadi pada 22 Agustus tengah malam lalu.

Laporan warga atas penerobosan lahan itu tak kunjung ditindaklanjuti polisi, sebaliknya, laporan pihak PT GKP yang cenderung dengan mudah diproses oleh polisi.

 

Untuk itu kami mendesak Komnasham, Kapolri dan Kapolda Sultra untuk ;

  1. Komnas HAM segera Membuka Ke publik rekomendasi kepada Polda sultra terkait pelanggaran HAM dan kriminalisasi terhadap warga dan petani Wawonii yg memperjuangkan lingkungan hidup dengan menolak tambang.
  2. Komnas HAM segera menghubungi Kapolri dan Kapolda Sultra untuk menghentikan proses kriminalisasi terhadap petani dan warga Wawonii segera. Apalagi legalitas perusahaan tambang beserta Tersus pelabuhan PT. Gema Kreasi Perdana diduga tak lengkap dan tak memiliki izin lingkungan
  3. Komnas HAM segera mengeluarkan Jasmin dari tahanan karena Polda sultra melakukan penahan warga dan petani yg didasarkan oleh laporan perusahaan yg ilegal karena perusahaan tersebut tidak lengkap dokumen perizinannya.
  4. Komnas HAM segera mengumumkan kepada publik bahwa Jasmin adalah Pejuang Lingkungan Hidup dan segera mengkoordinasikan kepada Polda Sultra utk membatalkan penahanan, karena peran Jasmin yg menghentikan perusahaan dan tersus pelabuhan yg ilegal adalah memperjuangkan lingkungan hidup sesuai ketentuan pasal 66 UU 32 / 2009 ttg PPLH ( Jasmin tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana ).
  5. Mendesak Kapolri segera memerintahkan Kapolda untuk Membatalkan Penahanan dan membebaskan Jasmin
  6. Mendesak Kapolda Sultra utk membatalkan penahanan Jasmin dan segera membebaskan karena Jasmin adalah pejuang lingkungan hidup atau masuk kategori Anti Slapp (Strategic Lawsuit Against Public Participation) sesuai dengan Pasal 66 UU PPLH (Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) No 32 Tahun 2009
  7. Kapolda Sultra segera membebaskan seluruhnya 27 warga yg dikriminalisasi dan 3 sudah ditahan skrg karena desakan perusahaan tambang
  8. Mendesak Menteri KLHK utk mengintervensi Kapolri dan Kapolda Sulawesi Tenggara Agar penahanan Jasmin dibatalkan dan segera membebaskan, karena Jasmin adalah pejuang lingkungan hidup atau masuk kategori Anti Slapp (Strategic Lawsuit Against Public Participation) sesuai dengan Pasal 66 UU PPLH (Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) No 32 Tahun 2009

 

Baca Juga Link Terkait:

Pemerintah dan Polisi di Sultra Pandang Sebelah Mata Kasus Tambang Wawonii

 

Kirimkan pesan berupa WA maupun SMS kepada

  1. Kapolri, Idham Azis (+62 (0) 812 1898888)
  2. Kapolda Sultra, Merdisyam (+62 (0) 811 401975)
  3. Ketua Komnasham, Ahmad Taufan Damanik (0811 659718)
  4. Siti Nurbaya, Menteri LHK (+62 812-1116-061)

Kirim ketujuh desakan tersebut kepada mereka masing-masing agar segera mengambil tindakan, jangan sampai pemeriksaan dan penahanan petani -warga melanggar prinsip-prinsip pemeriksaan yg benar dan sesuai prosedur yg menghargai Hak Asasi Manusia.

 

Narahubung:

Mando Maskuri – Warga Wawonii – 081341714199

Muh Jamil – Div Hukum JATAM – 082156470477

Edy Kurniawan – LBH Makassar – 085395122233

Categories
EKOSOB slide

Tahun 2020 UMP Sulsel Rp 3,1 Juta, LBH Sebut Jumlah ini Paling Tepat

Upah Minimum Provinsi (UMP) Sulsel tembus Rp 3,1 juta, resmi pada 1 Januari 2020 nanti.

Hal tersebut diumumkan Gubernur Nurdin Abdullah, di kantor Gubernur Sulsel, Kota Makassar, Jumat (1/11/2019) pagi tadi.

Walau begitu, aktivisi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar bukanlah menjadi angin segar bagi kaum buruh di Makassar.

Menurut wakil Direktur LBH Makassar M. Fajar Akbar, kenaikan UMP Rp 3,1 juta itu tidak banyak memberikan dampak besar.

“Ini timpang, naik tetapi tidak banyak beri dampak, dibanding dengan kenaikan BPJS 100 persen, misalnya,” ujar Akbar, petang.

Pasalnya, kenaikan UMP ini dari tingkat inflasi 3% dan pertumbuhan ekonomi 5%. Maka, didaptlah angkanya sebesar 8%.

LBH pun menilai, secara hukum memang angka 8% itu yang harus dkritisi. Karena kenaikan itu menurut PP 78 THN 2015.

Kata Akbar, Ini yang harus dikritisi, karena penetapan UMP harusnya itu berdasarkan survey Kebutuhan Hidup Layak atau KHL.

Survey KHL ini seperti, survey harga-harga kebutuhan riil di pasar-pasar. Dan tentunya ini harus dilakukan Dewan Pengupahan.

“Bukan berdasarkan surat edaran menteri ketenagakerjaan yang mengacu ke inflasi dan pertumbuhan ekonomi,” tegas Akbar.

Lanjut Akbar, metode penetapan upah ini tidal konkrit. Karena jika dipakai hitungan buruh, KHL ada 78 item yang disurvey.

Maka rasionalnya itu, kenaikan UMP bila dibanding dengan tingkat harga kebutuhan pasar, harusnya naik sampai 10 atau 15%.

Jadi secara hukum, Presiden harusnya itu didesak agar PP Pengupahan direvisi. Agar perhitungan minimum berdasarkan KHL.

“Jadi bukan kenaikan UMP ini berdasarkan pada inflasi dan prtumbuhan ekonomi. Ini tidak memberikan dampak,” jelas Akbar.

Untuk itu menurut LBH Makassar, kalau berdasarkan survey 78 item KHL, UMP di Sulsel harusnya menyentuh Rp 3,5 juta.

“Iya, kalau saja pemerintah naikan UMP berdasarkan KHL tahunan maka Sulsel itu UMP sudah 3,5 juta,” tambah Akbar.

 

Catatan: Berita ini telah terbit di media online tribunnews.com pada 01 November 2019

Categories
EKOSOB

Soal Tambang di Salipolo, LBH Makassar: Rusak Tatanan Sosial Masyarakat

Aksi warga menolak tambang pasir laut PT. Alam Sumber Rejeki di pinggiran sungai Saddang, Kab. Pinrang, 13 Oktober 2019.

 

Aktivitas tambang pasir yang dilakukan oleh PT Alam Sumber Rejeki di Desa Salipolo, Kecamatan Cempa, Pinrang, membuat resah warga. Pasalnya wilayah tersebut merupakan daerah rawan banjir. Hingga saat ini warga masih melakukan upaya penolakan atas aktivitas PT Alam Sumber Rejeki.

Kepala Divisi Tanah dan Lingkungan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Edy Kurniawan menilai, masuknya tambang pasir ke Desa Salipolo dapat merusak tatanan sosial masyarakat. “Sebelum masuk tambang, masyarakat hidup harmonis dan tentram. Setelah masuknya tambang, masyasakat terpecah belah ada  yg pro dan kontra. Kehidupan selalu merasa terancam intimidasi preman, apalagi diduga ad keterlibatan aparat,” kata Pengacara Publik LBH Makassar ini, saat dihubungi, Rabu (30/10/2019).

Baca Juga: Aktivitas Tambang Pasir Laut PT. ASR Merugikan Lahan Milik Warga Desa Salipolo

Sebelumnya warga Desa Salipolo telah mengaduhkan kasus ini ke LBH Makassar untuk mendapat pendampingan hukum. Sudah 5 orang warga desa yang dilaporkan ke polisi oleh PT Sumber Alam Rejeki, karena melakukan aksi penolakan atas aktivitas pertambangan yang berlokasi di Muara Sungai Saddang ini.

“Aparat polisi berupaya lakukan kriminalisasi terhadap warga pejuang lingkungan. Padahal pasal 66 UUPPLH menyatakan setiap orang yg memperjuangkan lingkungam hidup sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata,” tegasnya

Dari laporan yang diterima pihaknya, Edy Kurniawan menilai, jika pemerintah mulai dari aparat desa, camat hingga pemerintah kabupaten Pinrang, cenderung melakukan pembiaran terhadap tambang hingga menimbulkan keresahan bagi warga Desa Salipolo.

“Tambang menghilangkan ruang hidup masyarakat dan merusak lingkungan yang berdampak langsung pada hilangnya mata pencaharian dan ancaman banjir dan erosi,” imbuh Edy membeberkan dampak yang dapat terjadi jika aktivitas tambang tetap dilanjutkan.

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online sulselekspres.com pada 30 Oktober 2019

Categories
EKOSOB

Aktivitas Tambang Pasir Laut PT. ASR Merugikan Lahan Milik Warga Desa Salipolo

Aksi Aliansi Peduli Rakyat Salipolo di depan Kantor Gubernur Provinsi Sulsel, Jumat, 25 Oktober 2019

 

Aliansi Peduli Rakyat Salipolo menggelar aksi demonstrasi di depan Kantor Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan (Jumat, 25 Oktober 2019). Aksi tersebut terkait  penolakan mereka terhadap aktivitas tambang pasir sungai (Galian C) yang menimbulkan kerugian di lahan warga Desa Salipolo, Kecamatan Cempa, Kabupaten Pinrang. Aktifitas pertambangan tersebut dilakukan PT. Alam Sumber Rejeki (ASR).

PT. ASR melakukan aktivitas penambangan di Desa Salipolo sejak tanggal 28 Agustus 2019. Penambangan dilakukan di Aliran Sungai Saddang dengan menggunakan eskavator. Sebelumnya, PT. ASR melakukan aktivitas tambang pasir di Muara Sungai Saddang pada bulan November tahun 2017, tepatnya di Desa Bababinanga, Kec. Duampanua.

Terkait aktifitas penambangan tersebut, secara spontan warga melakukan perlawanan atas kegiatan PT SAR.

Aksi warga menolak tambang pasir laut PT. Alam Sumber Rejeki di pinggiran sungai Saddang, Kab. Pinrang, 13 Oktober 2019.

 

Berbagai cara telah dilakukan warga Desa Salipolo untuk menghentikan aktivitas pertambangan PT. ASR. Warga menilai aktifitas pertambangan sangat merugikan masyarakat dengan dampak lingkungan berupa erosi yang mengganggu aktivitas pertanian masyarakat.

Dalam perlawanannya, warga mendapat intimidasi dari Polisi dengan mengatakan bahwa jangan sampai ada warga yang menghalangi proses penambangan. Jika ada yang menolak maka akan di denda.

Aksi yang dilakukan oleh Aliansi dengan membentangkan spanduk penolakan dan orasi secara bergantian oleh organisasi-organisasi yang terlibat. Tak berselang lama perwakilan gubernur Sulawesi Selatan datang menghampiri massa aksi, mengajak massa aksi untuk berdiskusi di dalam kantor Gubernur. Namun tawaran itu ditolak karena hari itu massa aksi hanya ingin mengkampanyekan masalah tersebut kepada masyarakat.

Aksi warga menolak tambang pasir laut PT. Alam Sumber Rejeki di pinggiran sungai Saddang, Kab. Pinrang, 13 Oktober 2019.

 

Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Ady Anugrah Pratama menyayangkan tindakan intimidasi yang dilakukan oleh oknum aparat Kepolisian. Sebagai orang yang merasakan langsung dampak aktifitaas pertambangan, warga berhak untuk menilai bahkan menolak aktifitas pertambangan tersebut.

“Jika warga menolak tambang itu sah sah saja. itu kan pendapat warga yang harus didengar dan dihormati. kebebasan menyampaiakan pendapat itu hak setiap orang dan tak boleh dilarang”.

Fandi salah satu mahasiswa dari Pinrang mengatakan bahwa ia bersama rekan-rekannya akan tetap mengawal masalah ini. “Hari senin kami akan kembali aksi di Pinrang dan bertemu dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan stakholder terkait untuk membahas masalah ini”.

 

Categories
EKOSOB slide

Cerita Kakek La Baa yang Pertahankan Lahannya dari PT GKP

Excavator milik PT GKP saat memasuki lahan perkebunan milik warga, Foto; Diambil dari media online kumparan.com

 

Perseteruan antara warga Desa Sukarela Jaya, Kecamatan Wawonii Tenggara, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra) dan PT Gema Kreasi Perdana (GKP) seakan tidak ada habisnya. Sejak perusahaan tambang milik Harita Grup itu masuk pada 2016 di Wawonii, gesekan dengan warga setempat sudah terjadi. Penyebabnya pembebasan lahan.

Sampai sekarang, ada tiga warga yang menolak lahannya diambil alih PT GKP. Ketiganya masing-masing La Baa, Amin, dan Wa Ana.

Kemarin, La Baa bertolak dari Wawonii ke Kota Kendari. Kepergiannya ke Kendari tiada lain meminta perlindungan hukum.

Saat ditemui di sekretariat bersama Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Pusat Kajian Dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Puspaham), La Baa mengaku sudah 35 tahun mengelola lahannya.

Selama itu pun, La Baa mengaku terus menyetor uang pajak ke negara, Rp 70 ribu pertahun. Dari hasil berkebun di lahan seluas setengah hektar, La Baa menghidupi istri dan delapan orang anaknya.

La Baa pemilik lahan yang di ambil paksa oleh PT GKP, Foto; Diambil dari media online kumparan.com

 

“Alhamdulillah dari hasil berkebun juga saya sudah umrah. Tidak seperti mereka (warga) yang sudah jual lahan, dijanji mau diberangkatkan umrah tapi tidak jadi-jadi,” kata Labaa di sekretariat bersama KPA dan Puspaham Sulawesi Tenggara di Kelurahan Lepo-lepo, Kendari.

Kakek berusia 78 tahun itu mengaku mulai terusik sejak PT GKP masuk. Jalan hauling sepanjang lima kilometer dengan lebar 20 meter yang dibangun PT GKP melalui lahan perkebunan milik La Baa, Amon, dan Wa Ana.

Puncaknya Jumat malam (21/8), saat PT GKP melakukan pengerjaan jalan di dikuasai ketiga warga tersebut. Warga desa marah dan mengikat 10 operator PT GKP. “Itu lahan kita. Jadi kita marahlah,” ucap La Baa.

La Baa menuturkan, pihak GKP sudah beberapa kali mendatangi rumahnya. Tujuannya meminta agar La Baa sudi menerima kompensasi atas lahannya. “Saya tidak mau memang. Saya keras, saya tidak mau,” ucapnya.

Korwil KPA Sultra, Torop Prudendi, mengakatakan lahan yang bermasalah ini adalah hutan negara. Namun, warga setempat sudah berhak memiliki sertifikat tanah karena sudah mengelola dan membayar pajak selama 35 tahun.

“Itu kan minimal 20 tahun sudah bisa diterbitkan setifikat,” ujar Torop Prudendi.

 

Catatan: Brita ini telah dimuat di media kumparan.com pada 27 Agustus 2019

Categories
EKOSOB slide

Pemerintah dan Polisi di Sultra Pandang Sebelah Mata Kasus Tambang Wawonii

Ketegangan dan konflik tambang di Wawonii Tenggara, Konawe Kepulauan (Konkep) memanas, situasi ini dipicu oleh tindakan sejumlah karyawan perusahaan tambang PT. Gema Kreasi Perdana (GKP) yang mengaku diperintah oleh pimpinan perusahaan untuk melakukan perampasan lahan & pengrusakan tanaman milik warga/petani, pada 22 Agustus 2019.

Atas penyerobotan lahan tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil ( KMS ) yang terdiri dari Perwakilan Warga Wawonii, LBH Makassar-YLBHI, LBH Kendari, JATAM, KPA Sultra, PUSPAHAM Sultra, WALHI Sultra, DPK GMNI (Hukum, FITK, FKIP) UHO, KBS, SP Kendari, STKS, FORSDA Kolaka, Komdes Sultra, menyatakan sikap bela Wawonii, Selasa (27/8/2019).

Situasi di Wawonii Tenggara tak kondusif, jika pihak perusahaan meneruskan perampasan lahan dan Pemkab Konkep, Gubernur Sultra dan Polda Sultra, tak segera menghentikan aktivitas PT. GKP.

Jika ada pembiaran, KSM mengkhawatirkan konflik sosial semakin luas dan tak terkendali.

“Peristiwa 22 Agustus 2019 adalah bentuk tindakan PT. GKP yang main hakim sendiri, sewenang-wenang, melawan hukum dan menimbulkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berupa hak milik, hak atas lingkungan hidup yang sehat, hak atas pekerjaan termasuk mencari nafkah, hak untuk hidup tentram tanpa gangguan/ancaman dan hak kehidupan layak,” ujar, kuasa hukum warga dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar-YLBHI, Edy Kurniawan.

KSM menilai, aksi sepihak PT GKP yang diduga menyerobot lahan warga dipandang sebelah mata kasusnya oleh pejabat di daerah ini, akibatnya masyarakat juga terkesan mempejuangkan hak-hak mereka sendiri.

“Padahal, kasus ini sedang dalam proses penyelidikan Polda Sultra atas laporan perusahaan terhadap tiga orang warga Wawoni dengan sangkaan menghalangi kegiatan tambang sesuai Pasal 162 Jo. Pasal 136 UU Minerba,” lanjutnya.

Seharusnya dalam kasus ini Polda Sultra bertindak professional, bekerja cepat melakukan penyelidikan dan mencegah tindakan yang dapat merugikan masyarakat.

“Pihak Kepolisian justru melakukan pengawalan terhadap tindakan sewenang-wenang PT. GKP,” tambahnya.

Warga Wawonii disebutkan memiliki bukti kuat atas pemilikan dan penguasaan lahan. Dilain pihak PT. GKP juga mengklaim pemilik lahan.

 

Catatan: Brita ini telah dimuat di media onlinedetiksultra.com pada 27 Agustus 2019

Categories
EKOSOB slide

Komnas HAM Janji Akan Selesaikan Konflik Agraria di Bulukumba

Dokumentasi oleh LBH Makassar: Diskusi upaya penyelesaian konflik lahan antara Masyarakat adat Kajang dan PT.Lonsum di sekretarian AGRA Bulukumba.

 

Tim Agraria Komnas HAM RI menginisiasi pertemuan dengan Masyarakat Adat Ammatoa Kajang, AGRA Cabang Bulukumba, beserta LBH Makassar untuk membahas penyelesaian konflik agraria secara konprehensif, antara Masyarakat Adat Ammatoa Kajang melawan PT. Lonsum. Kamis, (22/8/2019).

Kegiatan tersebut diikuti sejumlah Pemangku Adat dari Ammatoa Kajang, masyarakat penggugat, LBH Makassar, dan Pimpinan AGRA Bulukumba di Kantor Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Cabang Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan.

Tim Agraria Komnas HAM, Nisa menyampaikan maksud dan tujuan kehadiran mereka di Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.

“Ini merupakan agenda penyelesaian kasus konflik Agraria yang terjadi di Bulukumba. Khusunya konflik antara Masyarakat Adat Ammatoa Kajang dengan PT. Lonsum,” ujarnya.

Selanjutnya, diberikan kesempatan kepada peserta pertemuan untuk menjelaskan peta konflik antara masyarakat adat dengan PT.Lonsum.

Salah satu pimpinan AGRA Bulukumba, Amir sekaligus bagian dari Masyarakat Adat Ammatoa Kajang menjelaskan sejarah perampasan lahan oleh penjajah Belanda hingga berganti nama menjadi PT. Lonsum.

“Tindakan kriminalisasi, pemukulan, pengrusakan tanaman beserta pembongkaran secara paksa oleh pihak PT. Lonsum, bahkan pemukulan oleh pihak Kepolisian dari Polsek Ujung Loe semua telah terjadi. Kasus ini sudah sangat lama dan kami berharap ini segera dapat ditindaklanjuti,” imbuhnya.

Sementara itu, Tim LBH Makassar, Edy Kurniawan Wahid menjelaskan, poin mengenai pelangaran yang dilakukan oleh PT. Lonsum.

“Pelanggaran yang dimaksud menyangkut soal tidak adanya Izin Usaha Perkebunan, Izin Lingkungan dan beberapa izin-izin yang lain yang seharusnya dimiliki oleh PT. Lonsum selama ini,” pungkasnya.

Terakhir, Tim Agraria Komnas HAM  berjanji akan segera memproses kasus tersebut.

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online suarajelata.com pada 22 Agustus 2019

Categories
EKOSOB slide

Upaya Penyelesaian Konflik Agraria, Tim Agraria Komnas HAM Berkunjung ke Bulukumba

Dokumentasi LBH Makassar pada peninjauan Lokasi konflik lahan HGU antara Masyarakat adat Kajang vs PT. Lonsum bersama AGRA Bulukumba, Masyarakat Adat dan Komnas HAM

 

Bertempat di Kantor Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Cabang Bulukumba, berlangsung agenda diskusi penyelesaian kasus konflik agraria antara masyarakat adat Ammatoa Kajang dengan PT. Lonsum.

Agenda ini dihadiri  oleh Tim Agraria Komnas HAM, sejumlah pemangku adat dari Ammatoa Kajang, masyarakat penggugat, LBH Makassar dan 2 pimpinan Agra Cabang Bulukumba, Selasa (20/08/2019).

Pertemuan ini sebelumnya merupakan hasil inisiasi dari Tim Agraria Komnas HAM. Nisa, salah satu utusan Komnas HAM menyampaikan bahwa kunjungan tersebut merupakan agenda untuk penyelesaian kasus konflik agraria yang terjadi di Bulukumba. Khusunya konflik antara masyarakat adat Ammatoa Kajang dengan PT. Lonsum.

Amir salah satu pimpinan AGRA Bulukumba dan juga bagian dari masyarakat adat Ammatoa Kajang memaparkan sejarah perampasan lahan masyarakat adat oleh pemerintah Hindia Belanda hingga berganti nama menjadi PT. Lonsum. Ia juga  memaparkan berbagai tindakan kriminalisasi, pemukulan, pengrusakan tanaman jagung dan padi, serta pembongkaran secara paksa  rumah-rumah masyarakat oleh pihak PT Lonsum.

Selain itu juga disampaikan kejadian pemukulan oleh pihak kepolisian dari Polsek Ujung Loe kepada kawannya.

Lebih jauh, Amir menambahkan bahwa kasus ini sudah sangat lama dan masyarakat berharap ini segera dapat terselesaikan dengan dikembalikannya tanah ulayat mereka .

Edy, peserta pertemuan yang mewakili LBH Makassar juga menyampaikan beberapa point mengenai  pelangaran-pelanggaran yang dilakukan oleh PT. Lonsum.

Pelanggaran yang dimaksud menyangkut soal tidak adanya Izin usaha Perkebunan, Izin Lingkungan dan beberapa izin-izin yg lain yg seharusnya di miliki oleh  PT. Lonsum selama ini.

Setelah pertemuan tersebut, para peserta memenuhi  permintaan mayarakat Adat Kajang untuk berkunjung ke lokasi pendudukan AGRA Bulukumba bersama masyarakat adat Ammatoa Kajang. Kegiatan diakhiri dengan  penyerahan berkas-berkas menyangkut konflik yang ada kepada Tim Agraria Komnas HAM.

Tim Agraria Komnas HAM  berjanji akan segera memproses kasus ini dan menpelajari seluruh berkas yang telah diserahkan oleh masyarakat.

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online KATALOGIA.ID pada 21 Agustus 2019

Categories
EKOSOB slide

Mediasi di DPRD Sulsel Capai Titik Terang; Kasus Revitalisasi Kawasan Cagar Budaya Rotterdam

Mediasi dipimpin langsung oleh ketua komisi B DPRD Sulsel, Jamaluddin Jafar dibantu sekretaris komisi B, Selle KS Dalle, dan diikuti oleh seluruh anggota komisi B. Semua pihak yang diundang, juga hadir dalam mediasi ini, antara lain ; Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya, Kepala Biro Hukum Direktorat Kebudayaan R.I., Kepala Dinas Pariwisata Sulsel, Perwakilan Gubernur Sulsel, Kepala Dinas Pertanahan Kota Makassar, Kepala Bagian Hukum Kota Makassar, dan juru bicara ALARM Tolak Penggusuran.

Mediasi berlangsung tegang dan alot, karena masing – masing pihak bertahan dengan argumen hukum. Kepala balai berpegang pada sertifikat hak pakai yang dimiliki balai. Sedangkan kuasa hukum Aliamin, LBH Makassar menyarankan balai untuk menggugat ke pengadilan jika ingin melakukan pengosongan, tegas Edy Kurniawan.

Setelah mediasi berjalan beberapa jam, maka pimpinan rapat menyarankan penyelesaian masalah ditempuh secara kekeluargaan. Kalau bisa kita kesampingkan argumen hukum masing – masing pihak, terang Selle. Komisi B kemudian memberikan waktu bagi para pihak untuk menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan dalam waktu satu bulan terhitung sejak saat ini, ujar Selle. Terhadap saran tersebut, maka disepakati untuk mengadakan pertemuan lanjutan antara balai, aliansi, Pemkot Makassar dan Pemprov Sulsel. Pertemuan lanjutan ini dipercayakan kepada balai untuk memfasiliasi waktu dan tempat pertemuan.