Categories
EKOSOB slide

Press Release YLBHI-LBH Makassar: Ombudsman Sul-Sel Terkesan Lambat dalam Menangani Kasus Do Mahasiswa UKI Paulus Makassar dan STIMIK Akba Makassar

Akhir tahun 2019 dan awal tahun 2020 menjadi titik kelam bagi gerakan mahasiwa dan dunia perguruan tinggi di Sulawesi Selatan. Akhir tahun 2019 28 mahasiswa UKI Paulus Makassar dikenakan sanksi Drop Out (DO) oleh pihak Kampus. Kemudian di awal tahun 2020 11 mahasiswa STIMIK AKBA Makassar juga mengalami hal demikian. Dalam kasus DO Mahasiswa di dua kampus ini terdapat kesamaan alasan, yaitu karena melakukan aksi (demonstrasi) protes terkait aturan kemahasiswaan yang dianggap sangat mengekang Lembaga Kemahasiswaan, serta beberapa diantara mahasiswa yang di DO adalah ketua lembaga di tingkatan fakultas dan univeritas.

Mahasiswa jorban DO dua kampus tersebut telah mempertanyakan dan melakukan upaya keberatan atas sanksi yang diterima. Upaya itu dilakuan karena mahasiwa merasa sanksi DO yang diberikan oleh pihak kampus tidak sesuai prosedural atau maladministrasi karena dilakukan tidak sesuai dengan peraturan kampus. Akan tetapi, upaya tersebut tidak menggoyahkan kampus untuk mencabut SK DO yang telah dikeluarkan, akhirnya mahasiswa melalui perwakilan masing masing kampus melaporkan tindakan kampus ke kantor Ombudsman RI perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan.

Namum nasib mahasiswa dari kedua kampus yang menjadi korban DO semakin kelam. Penanganan laporan mereka di Ombusdman Sul-Sel dianggap sangat lambat . Hal ini dikarenakan Laporan mahasiswa UKI Paulus tertanggal 27 januari 2020 dan mahasiswa STIMIK AKBA 31 Januari 2020 di Ombudsman Sulsel sampai saat ini belum ada kejelasan. Padahal bila melihat surat edaran No. 19 tahun 2019 di lingkup Ombudsman RI dan penjelasan Ombudsman Sul-Sel bahwa kasus ini masuk dalam kategori sederhana yang masa penyelesaianya 30 hari. Namun sampai saat ini laporan ini belum ada hasil.

Sebenarnya kami berharap bahwa dengan adanya surat edaran ini serta aturan lainnya di lingkup Ombudsman kasus kasus seperti ini bisa diselesaikan dengan cepat dan menjadi sekala prioritas. Hal ini didasarkan :

  1. Berdasarkan UU Ombudsman serta aturan lainnya, Ombudsman bisa memutuskan kasus ini dengan cepat dan putusannya memiliki kekuatan hukum serta dapat langsung dilaksanakan. Sehingga lebih efektif dibanding upaya lainnya.
  2. Bila kasus ini masuk kerana hukum , khususnya berproses di PTUN konsekuensinya akan memakan waktu bertahun tahun sampai berkekuatan hukum tetap dan konsekuensi lainnya laporan di Ombudsman akan di hentikan sesuai aturan di Ombudsman.
  3. Kasus Kekerasan akademik salah satunya kasus Drop Out bila prosedur pemberiannya tidak sesuai aturan yang ada, maka akan sangat merugikan mahasiwa dan sangat bertententangan dengan prinsip NEGERA HUKUM, HAM dan Demokrasi. Hal ini dikarenakan hak untuk menyapaikan pendapat di depan umum telah dijamin oleh undang undang, serta proses pemberian sanksi yang harus melalui proses mendengarkan dua bela pihak serta hak atas pendidikan dan hak atas pekerjaan akhirnya hilang dikarenakan sanksi DO yang diberikan. Padahal negra seharusnya menjamin dan melindungi hak asasi warga negaranya.

Harapan bangsa ini salah satunya terletak di pundak para mahasiwa selaku genarasi penerus bangsa untuk mengisi kemerdekaan ini dengan kemerdekaan berpikir dan kemerdekaan bertidak sesuasi hak asasi manusia guna menumbangkan praktk praktek otoritarianisme penguasa.

Oleh karena itu, YLBHI-LBH Makassar mendesak kepada Ombudsman RI perwakilan Sul-Sel menangani dengan cepat kasus DO yang dialami oleh Mahasiswa UKI Paulus Makassar dan STIMIK AKBA.

 

 

Makassar, 18 Maret 2020

YLBHI-LBH Makassar

 

Andi Haerul Karim, S.H.

Categories
EKOSOB slide

Ombudsman Dinilai Lamban Menangani Kasus DO Mahasiswa di Makassar

Kasus DO 11 mahasiswa STMIK AKBA Makassar yang dinilai cacat procedural hingga kini belum menuai titik terang. Setelah melaporkan kasusnya di Kantor Ombusdman RI Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan pada 31 januari 2020, hingga kini mereka belum mendapat kejelasan.

Mahasiswa STMIK AKBA sendiri telah mendatangi kantor Ombudsman pada 2 maret 2020 untuk mengkonfirmasi mengenai kejelasan kasusnya, namun mereka tidak mendapatkan jawaban memuaskan. “Silahkan pulang dulu, karena masih dalam proses, nanti tunggu panggilan karena Staf yang menerima laporan sedang berada di luar kota,” Pungkas Asmin, staf Ombudsman.

Sebelumnya juga korban DO Mahasiswa UKI Paulus telah masukkan laporan ke Ombudsman pada 27 januari 2020 namun hingga kini belum juga mendapatkan respon.

Berdasarkan Aturan Ombudsman terhadap penilaian klasifikasi laporan, kasus mahasiswa DO masuk Kategori Sederhana, penyelesaian laporan sederhana  paling lama dilakukan dalam 30 hari, Namun  hingga kini belum ada kejelasan tentang kelanjutan kasusnya, baik itu STMIK Akba maupun UKI Paulus. Sehingga, penanganan kasus DO ini terkesan lambat.

YLBHI-LBH Makassar berharap agar kasus mahasiswa DO di jadikan prioritas sehingga dapat diproses cepat dengan melihat beberapa pertimbangan yaitu batas waktu dari  pelaporan ke Pengadilan Tata Usaha Negara hanya  90 hari, maka ketika masuknya Pelaporan ke PTUN maka Ombudsman tak bisa lagi melanjutkan kasus, padahal Ombudsman ini punya daya eksekusi cepat berdasarkan durasi waktu tidak lebih dari 90 hari terkait penyelesain seperti kasus DO dan berdasarkan pasal 31 ayat (1) Undang-undang dasar 1945 “Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan.

Oleh karena itu jika hal seperti kasus DO ini lambat penanganannya, maka dari itu 11 Mahasiswa UKI Paulus yang juga sebagai warga Negara Indonesia akan kehilangan haknya atas pendidikan.

Categories
EKOSOB slide

Siaran Pers LBH Makassar & Aliansi Bara-Baraya Bersatu: Warga Bara-Baraya Bersatu, Dua Kali Tumbangkan “Mafia Tanah” dan Pangdam XIV Hasanuddin Di Pengadilan

 

Siaran Pers: LBH Makassar & Aliansi Bara-Baraya Bersatu

014/SK/LBH-Mks/III/2020

Warga Bara-Baraya Bersatu, Dua Kali Tumbangkan “Mafia Tanah” dan Pangdam XIV Hasanuddin Di Pengadilan

 

Perjuangan Aliansi Bara-Baraya Bersatu mempertahankan tanah tempat tinggalnya di Jl. Abubakar Lambogo, Kelurahan Bara-Baraya, Kec. Makassar, Kota Makassar, melalui jalur pengadilan berhasil dua kali menumbangkan “mafia tanah” dan Pangdam XIV Hasanuddin.

Sengketa pertama bergulir selama satu tahun, sejak 21 Agustus 2017 sampai dengan 24 Juli 2018 dengan nomor perkara: 255/Pdt.G/2017/PN.Mks. Majelis Hakim yang dipimpin langsung oleh Ketua Pengadilan Negeri Makassar, Kemal Tampubolon, menjatuhkan putusan dengan amar, “tidak dapat menerima gugatan Penggugat” dengan pertimbangan bahwa Penggugat dalam sidang pemeriksaan setempat, tidak dapat menunjuk batas tanah sengketa. Putusan ini diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Makassar melalui putusan nomor: 501/pdt/2018/PT.Mks.

Penggugat (Nurdin Dg. Nombong) bersama Pangdam XIV Hasanuddin kembali mengajukan gugatan. Lalu bergulirlah sengketa kedua selama delapan bulan, sejak 10 Juli 2019 sampai dengan 12 Maret 2020 dengan nomor perkara: 239/Pdt.G/2019/PN.Mks. Majelis Hakim yang dipimpin oleh Suratno kembali menjatuhkan putusan dengan amar, “tidak dapat menerima gugatan Penggugat” dengan pertimbangan bahwa warga/Tergugat menguasai tanah sengketa berdasarkan perjanjian jual beli dari Daniah Dg. Ngai selaku ahli waris Moedhinong Dg. Matika. Untuk menentukan sah tidaknya jual beli tersebut, maka Pejabat Pembuat Akta Tanah Kec. Makassar selaku pembuat akta jual beli mutlak ditarik sebagai tergugat. Akan tetapi, dalam perkara ini Penggugat tidak menariknya sebagai Tergugat. Di sisi lain, dalam sidang pemeriksaan setempat Penggugat tidak mampu menunjuk tanah yang dikuasai oleh masing-masing Tergugat.

Adanya dua putusan pengadilan yang keduanya dimenangkan oleh warga/Tergugat, semakin meneguhkan dan menguatkan hak kepemilikan warga atas tanah sengketa. Sebaliknya, putusan ini secara otomatis membantah klaim Penggugat yang selama ini menganggap bahwa tanah sengketa termasuk tanah okupasi TNI-AD Kodam XIV.

Selain itu, terdapat kejanggalan dalam perkara ini dimana Nurdin Dg. Nombong sudah dua kali menggugat warga, akan tetapi tidak berani menarik Daniah Dg. Ngai sebagai Tergugat di pengadilan selaku pihak yang telah menjual tanah sengketa kepada warga secara sah. Sementara itu, Daniah adalah saudara kandung Dg. Nombong yang keduanya adalah ahli waris dari Moedhinong Dg. Matika, pemilik tanah sengketa. Dengan demikian, Daniah secara hukum punya hak untuk menjual sebagian tanah warisan Dg. Matika kepada warga, demikian pula Penggugat yang menyewakan sebagian tanah warisan kepada Kodam XIV untuk dijadikan asrama TNI-AD. Sebaliknya, jika Daniah dinyatakan tidak berhak menjual tanah warisan, maka Penggugat juga tentu tidak berhak menyewakan sebagian tanah warisan kepada Kodam XIV.

Kemenangan ini adalah buah perjuangan kolektif dan konsistensi warga melalui Aliansi Bara-Baraya Bersatu, yang didalamnya tergabung organisasi mahasiswa, NGO, serikat buruh, serikat juru parkir dan organisasi masyarakat miskin kota lainnya.

Kasus ini mulai hangat dan mencekam kehidupan warga Bara-Baraya, sejak Februari 2017, ditandai dengan adanya klaim dari pihak Kodam VII Wirabuana (sekarang Kodam XIV Hasanuddin) bahwa tanah yang ditempati warga merupakan bagian dari tanah okupasi Asrama TNI-AD Bara-Baraya, padahal faktanya tanah yang dikuasasi oleh warga adalah tanah miliknya sendiri berdasarkan akta jual beli. Hal mana klaim Kodam tersebut, ditindaklanjuti dengan adanya Surat Kodam VII Wirabuana, perihal: Pengosongan Lahan, masing-masing tertanggal 13 Februari 2017 dan 6 Maret 2017 yang ditujukan kepada masing-masing warga.

Atas klaim dan desakan dari Pihak Kodam tersebut, warga menolak dan melakukan upaya perlawanan secara hukum dengan melaporkan tindakan Kodam ke instansi terkait yang berwenang, termasuk ke Presiden RI. Kemudian Presiden RI mengeluarkan surat kepada Kodam untuk tidak melakukan pengosongan lahan tanpa melalui proses hukum di pengadilan. Senada dengan Komnas HAM, yang akhirnya mengeluarkan rekomendasi pada pokoknya menyatakan bahwa Kodam VII Wirabuana untuk tidak melakukan pengosongan lahan secara sepihak tanpa melalui putusan pengadilan. Dua rekomendasi tersebut, memaksa Penggugat dan Kodam untuk menempuh jalur pengadilan dengan mengajukan gugatan perdata-pengosongan lahan terhadap warga. Dan hasilnya, warga memenangkan gugatan di pengadilan.

 

Makassar, 13 Maret 2020

LBH Makassar & Aliansi Bara-Baraya Bersatu

 

 

Narahubung:

Nur-Warga Bara-Baraya (0852-3101-1007);

Randa Layuk-Warga Bara-Baraya (0821-8790-5454);

Edy Kurniawan Wahid-Kadiv. Tanah & Lingkungan YLBHI/LBH Makassar

 

###

Categories
EKOSOB slide

Dua kali digugat Kodam XIV Hasanuddin dan Nurdin dg.Nombong, PN Makassar Menangkan Warga Bara-baraya

Usai pembacaan putusan sengketa tanah, Kamis, 12/3, ratusan Warga Jalan Abubakar Lambogo, kampung Bara-baraya kota Makassar larut dalam suasana gembira, mereka bersyukur karena Majelis hakim PN Makassar yang dipimpin Suratno memutuskan tidak dapat menerima gugatan penggugat yakni Pangdam XIV Hasanuddin dan Nurdin dg. Nombong atas tanah yang warga diami selama ini.

Edy Kurniawan Kadiv. Tanah dan lingkungan LBH Makassar selaku pendamping hukum warga mengurai bahwa majelis hakim dalam putusannya mempertimbangkan bukti yang diajukan oleh tergugat (warga Bara-baraya) berupa Akta Jual beli yang dimiliki masyarakat yang diperoleh dari Daniah Dg. Ngai sebagai salah satu ahli waris sekaligus penjual atas sebagian tanah objek sengketa.

Pertimbangan hukum majelis hakim lainnya dalam putusan ini adalah saat dilakukan sidang Pemeriksaan Setempat (PS), penggugat tidak mampu menunjuk satu-persatu rumah dari Para Tergugat, walaupun Penggugat telah diberikan kesempatan oleh Majelis Hakim, tegas Edy.

Direktur LBH Makassar, Haswandy Andy Mas menyampaikan, bahwa sengketa tanah ini sudah berlangsung sejak 10 Juli 2019, dimana tanah seluas 3 hektar yang dihuni 28 KK digugat oleh Pangdam XIV Hasanuddin dan Nurdin Dg. Nombong dengan dasar bahwa tanah tersebut adalah bekas lahan okupasi asrama TNI-AD.

“Fakta dipersidangan menunjukan bahwa tanah sengketa ini telah dihuni oleh masyarakat Bara-baraya sejak tahun 1960-an dan tidak pernah dikuasai oleh Kodam XIV Hasanuddin” sebut Haswandy.

Dalam siaran pers yang diterima sulawesi24.com hari ini, Kamis 12 Maret, YLBHI-LBH Makassar selaku Kuasa Hukum warga Bara-Baraya mengapresiasi sikap tegas dan kebijaksaan serta imparsialitas Majelis Hakim dalam memimpin jalannya persidangan.

Pasalnya menurut LBH Makassar, sejak sengketa lahan pertama kali di PN Makassar tahun 2017 dikuatirkan akan adanya kekuatan-kekuatan tertentu yang akan mengintervensi dan merusak marwah Pengadilan.

Diketahui dari data base kasus LBH Makassar, ternyata kasus ini sudah pernah bergulir di Pengadilan Negeri Makassar pada 21 Agustus 2017 dengan objek sengketa dan para pihak yang sama.

Oleh Majelis Hakim yang saat itu dipimpin oleh Kemal Tompobulu, memutuskan “Tidak menerima gugatan Penggugat/Nurdin Dg. Nombong” dengan pertimbangan bahwa penggugat tidak dapat menunjuk batas-batas tanah objek sengketa.

Putusan ini sejalan dengan putusan Pengadilan Tinggi Makassar yang menguatkan putusan PN Makassar.

YLBHI/LBH Makassar menilai “Tidak dapat diterimanya gugatan Penggugat” adalah buah hasil perjuangan panjang warga Bara-baraya yang kedua kalinya yang menunjukan kekuatan solidaritas rakyat, pemuda dan mahasiswa melawan upaya perampasan tanah.

 

Berita Ini telah terbit dimedia online sulawesi24.com pada 13 maret 2020

Categories
EKOSOB slide

Hakim Pengadilan Makassar Tolak Gugatan Atas Lahan yang Dikuasai 167 Warga Barabaraya

Perjuangan warga Barabaraya, Kecamatan Makassar, Kota Makassar, Sulawesi Selatan selama sembilan bulan mempertahankan tanahnya berbuah manis. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar yang dipimpin Suratno menolak gugatan penggugat atas lahan dihuni 167 warga dalam sidang putusan, Kamis (12/3/2020)

Lahan yang dihuni sekitar 28 kepala keluarga (KK) tersebut digugat oleh Nurdin Dg. Nombong bersama Kodam XIV Hasanuddin yang mengklain sebagai pemilik tanah.

“Hakim memutuskan gugatan penggugat tidak dapat diterima,” kata Kepala Divisi Tanah & Lingkungan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Edy Kurniawan Wahid selaku pendamping hukum warga.

Menurut Edy sapaan akrabnya bahwa hakim memutuskan menolak gugatan penggugat dengan beberapa pertimbangan. Warga atau selalu tergugat menguasai tanah sengketa berdasarkan akta jual beli dari Daniah Dg. Ngai (ahli waris Moedhinong Dg. Matika) yang diterbitkan oleh PPAT Kecamatan Makassar. Sehingga kata dia, untuk menilai sah tidaknya Akta Jual Beli ( AJB), maka mutlak Daniah dan PPAT ditarik sebagai tergugat. Akan tetap dalam perkara ini penggugat tidak menarik sebagai tergugat.

“Penggugat juga tidak mampu menunjuk tanah atau rumah yang dikuasai oleh masing masing tergugat,” sebutnya. Edy mengaku sejak awal yakin Hakim akan menolak gugatan penggugat. Alasanya, sejak proses sidang telah terungkap beberapa fakta hukum yang menjadi pertimbangan kuat Majelis Hakim untuk menolak gugatan Penggugat.

Pertama, tanah objek sengketa yang saat ini dikuasai oleh warga di Kelurahan Bara-Baraya bukan bagian dari tanah okupasi/asrama TNI-AD Kodam XIV Hasanuddin. Hal berdasarkan keterangan saksi-saksi terang menyatakan bahwa pihak Kodam XIV tidak pernah menguasai/beraktifitas di atas tanah objek sengketa.

Tanah okupasi yang diklaim oleh Kodam disebutkan terletak dalam asrama Bara-Baraya yang dikelilingi oleh tembok, sedangkan tanah objek sengketa jelas terletak di luar tembok asrama.

“Lagipula, surat Perjanjian Sewa Menyewa antara Kodam dengan Dg. Nombong yang menjadi dasar klaim Kodam atas tanah sengketa, tidak menyebutkan batas-batas objek tanah yang dipersewakan. Sehingga klaim Kodam dan Nurdin hanyalah sepihak, tidak berdasar dan mengada-ada,” ujarnya.

Hal berdasarkan keterangan saksi-saksi terang menyatakan bahwa pihak Kodam XIV tidak pernah menguasai/beraktifitas di atas tanah objek sengketa.

Tanah okupasi yang diklaim oleh Kodam disebutkan terletak dalam asrama Bara-Baraya yang dikelilingi oleh tembok, sedangkan tanah objek sengketa jelas terletak di luar tembok asrama.

“Lagipula, surat Perjanjian Sewa Menyewa antara Kodam dengan Dg. Nombong yang menjadi dasar klaim Kodam atas tanah sengketa, tidak menyebutkan batas-batas objek tanah yang dipersewakan. Sehingga klaim Kodam dan Nurdin hanyalah sepihak, tidak berdasar dan mengada-ada,” ujarnya.

 

 

Berita Ini telah terbit dimedia online tribunnews.com pada 12 maret 2020

Categories
EKOSOB slide

Siaran Pers ALARM Tolak Penggusuran: Mengecam Tindakan Perusakan tanaman, pohon dan upaya penggusuran tempat tinggal Aliamin

Semenjak tahun 1995 hingga saat ini Aliamin yang mengelola dan merawat taman di depan benteng Rotterdam. Dalam pengelolaan taman tersebut, tak ada kontribusi nyata dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan (BPCB Sulsel) untuk merawat dan menjaga taman tersebut. Upaya pengosongan paksa yang dilakukan oleh BPCB merupakan tindakan yang hanya terima beres, tidak menghargai konstribusi Aliamin, serta melanggar hukum dan hak asasi manusia.

Keberadaan Aliamin di lokasi yang saat ini dikuasainya bukanlah perbuatan melawan hukum. Usaha pengosongan paksa tempat tinggal dan taman yang telah dirawat oleh Aliamin dan keluarganya merupakan tindakan yang mengabaikan kontribusi nyata Aliamin dalam menjaga taman dan kontribusi nyata Aliamin dalam Pelestarian Cagar Budaya di depan Benteng Rotterdam.

Usaha untuk mencari solusi yang bisa diterima oleh kedua belah pihak telah dilakukan oleh Aliamin di damping  Aliansi Rakyat dan Mahasiswa (ALAR|M) Tolak Penggusuran. Tanggal 25 Maret 2019, digelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dihadiri diantaranya :

  1. DPRD Komisi B ; H.A. Jamaluddin Jafar, SE, MM (Ketua), Ir. Selle KS Dalle (Sekretaris), Drs. H.A. Marzuki Wadeng (Anggota), Muhammad Anas Hasan, SH. (Anggota) dan H. Ariady Arsal, SP. M.Si (Anggota)
  2. Muh. Firda, M.Si, mewakili Gubernur Sulawesi Selatan.
  3. Manai Sophian mewakili Walikota Makassar
  4. Laode M. Aksa Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawes Selatan
  5. Ahmad Mudzaffar Kepada Biro Hukum Kementrian Pendidikan dan Kebudayaa Republik Indonesia.
  6. Hasnia mewakili Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan.
  7. Mukhtar Guntur K, Perwakilan Alarm Tolak Penggusuran
  8. Edy Kurniawan, Kuasa Hukum Aliamin (LBH Makassar)
  9. Aliamin Pengelolah Taman Patung Kuda Benteng Roterdam.

Kesimpulan RDP Komisi B DPRD Provinsi Sulawesi Selatan;

  1. Komisi B DPRD Provinsi Sulawesi Selatan mengharapkan agar :
  • Ada Komunikasi yang dibuka oleh para pihak dan berharap agar ruang itu dapat dimanfaatkan secara baik dengan mengedepankan asas kekeluargaan dalam mencari kesepakatan tanpa merugikan dari masing-masing pihak.
  • Untuk Pembicaraan kedepan dalam membicarakan proses kekeluargaan diharapkan Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi SelatanMengundang Pihak Sdr. Aliamin dan Pemerintah Kota Makassar terkait waktu dan tempat pelaksanaan pertemuan.
  1. Komis B, Memberikan batasan waktu selama 1 bulan dari sekarang kepada masing-masing pihak, dan apapun hasil dari kesepakatan tersebut kiranya dapat disampaikan ke DPRD Provinsi Sulawesi Selatan untuk diketahui.
  2. Mengingat latar belakang keberadaan sdr. Aliamin dan juga bagian dari tanggungjawab social pemerintah terhadap setiap warganya, maka pemerintah Kota Makassar diharapkan turut serta dalam pembicaraan untuk mencari penyelesaian secara kekeluargaan antara sdr. Aliamin dan Balai Pelestarian Cagar Budaya.

Namun dari kesimpulan RDP DPRD tersebut, Kepala BPCB Sulawesi Selatan tidak pernah mengundang Aliamin dan ALARM Tolak Penggusuran untuk membicarakan penyelesaiaan masalah ini. Justru kamis tanggal 2 Januari hingga rabu 09 Januari 2020 pihak BPCB justru melakukan tindakan yang mengingkari kesimpulan RDP.

Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) justru melakukan pengrusakan Tanaman  bunga dan pohon yang ditanam dan dirawat oleh Aliamin selama puluhan tahun. Tindakan BPCB ini adalah tindakan yang tak menghargai dan melecehkan instansi DPRD Sulsel sebagai Dewan perwakilan rakyat. Lebih dari itu, tindakan itu merupakan tindakan melanggar hukum dan hak asasi manusia (HAM).

Pengosongan/penggusuran hanya boleh dilakukan jika terdapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Upaya pengosongan paksa dan perusakan tanaman akan berujung pada pelanggaran  hukum dan HAM, mulai; hak atas kebudayaan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, keluarga sampai hak atas kehidupan yang layak. BPCB sebagai instansi Pemerintah harus mengedapankan penghormatan terhadap hukum, HAM dan nilai nilai budaya yang lahir dan hidup di masyarakat.

Tindakan yang dilakukan oleh pihak BPCB yang merusak tanaman dan pohon yang ditanam oleh Aliamin merupakan tindakan yang seharusnya tidak dilakukan. Tindakan-tindakan yang memaksakan kehendak sebagaimana yang BPCB telah lakukan tak boleh dibiarkan terus terjadi. Selain itu, tindakan menebang pohon tersebut adalah tindakan yang melawan hukum, mengingat Aliamin selama ini adalah pemilik dari pohon-pohon tersebut, sehingga pihak BPCB tidak memiliki hak untuk menebang pohon-pohon tersebut. Lagipula tindakan Aliamin yang memelihara taman tersebut dan berjualan diatasnya bukanlah sebuah perbuatan yang melawan hukum dan Aliamin selama ini legal menempati lokasi tersebut.

Perlu kami tegaskan lagi bahwa, seharusnya perda no. 2 tahun 2014 tentang pelestarian cagar budaya, pasal 36“setiap orang yang telah berkontribusi melestarikan dalam menjaga cagar budaya harus dihargai  oleh negara dalam bentuk penghargaan  insentif dan konvensasi. menjadi alas hukum bagi BPCD untuk memberikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada pak aliamin sebagai orang yang mempertahakan fungsi ekologi dan estetikan di depan cagar budaya Rotterdam, hal ini tidak diindahkan oleh pihak BPCD, malah melakukan penebangan pohon dan Bungan dan ingin menggusur pak aliamin secara paksa. Yang kami sayangkan lagi adalah pohon dan bungan yang ditanam dan dirawat oleh pak Aliamin selama 25 tahun dirusak secara merata dengan tanah tanpa ada pemberitahuan sebelumnya kepada pak Aliamin. Dengan tujuan untuk merubah fungsi pohon dan bungan menjadi lahan parkir. Tindakan BPCD bukan lagi memperbaiki fungsi pohon dan bunga sebagai area resapan air dan estetika, justru membuat hal yang tidak memiliki nilai ekologis dan estetika. Hal ini akan mengurangi pengunjung untuk datang di lokasi cagar budaya di Rotterdam.

Atas dasar itu, maka kami dari Aliansi Rakyat dan Mahasiswa (ALARM) Tolak Penggusuran menuntut;

  1. Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan untuk bertanggung jawab atas tindakan pengrusakan tanaman dan pohon yang ditanam dan dirawat oleh Aliamin;
  2. Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulsel harus menghormati proses khususnya Kesimpulan RDP DPRD provinsi Sulawesi Selatan.
  3. Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan untuk menghentikan tindakan-tindakan pengrusakan sebelum ada solusi yang bisa diterima oleh semua pihak.
  4. Kepada DPRD Provinsi Sulawesi Selatan segera melakukan RDP Ulang atas ingkar Kepala Balai dari hasil RDP sebelumnya.
  5. Kepada Aparat Keamanan memberikan perlindugan rasa aman kepada Aliamin dan keluarganya selama masih dalam proses kasus tersebut.
  6. Dan mengajak kepada seluruh komponen masyarakat untuk bersama-sama melawan penggusuran apapun alasannya, karena kehidupan manusasi tidak dibenarkan saling menggusur apalagi aparatur Negara yang di gaji dari hasil keringat rakyat.

Disamping itu, kami dari Aliansi Rakyat dan Mahasiswa (ALARM) Tolak Penggusuran mendesak DPRD Sulsel segera membuat pertemuan multipihak untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi pak aliamin salaku korban.

 

Juru Bicara :

Perwakilan Organisasi yang tergabung dalam ALARM Tolak Penggusuran ;

  1. Aliamin (korban upaya Penggusuran) Hp. 085254477117
  2. Muhammad Haedir, SH. Wakil Direktur LBH Makassar) Hp. 085341016455
  3. Muhaimin Arsenio (WALHI Sulsel) Hp. 082393272394
  4. Mukhtar Guntur K Presiden KSN Hp. 081355111099
  5. Wardah Wafiqah Ramdhana (Mahasiswa) Hp. 085242778464

 

Anggota ALARM Tolak Penggusuran

LBH Makassar, WALHI Sulsel, FIK ORNOP Sulsel, KSN Sulsel, KPA Sulsel, FSPBI Sulsel, FSP TRASINDO, FSP TUGASKU, FSP NAPAS, FSP KOBAR, Pembebasan, KOMUNAL, CGMT, PMII Rayon FAI, BEM FAI UMI, FOSIS, FMK, Srikandi, FNKSDA Makassar, dan Aliansi Pelajar Makassar,

Categories
EKOSOB slide

Tindakan Brutal Balai Cagar Budaya Benteng Rotterdam, Dihadang Aktivis LBH Makassar, Mahasiswa dan Buruh

Aksi Aliansi Rakyat & Mahasiswa (Alaram) Tolak Penggusuran di depan Benteng Rotterdam Makassar menolak upaya penggusuran terhadap rumah Aliamin, Rabu, 08 Januari 2020

 

Aksi brutal pihak Balai Cagar Budaya Benteng Rotterdam, Makassar, Sulawesi Selatan. Tanpa memberi perberitahuan baik lisan maupun tertulis kepada Ali Amin “penjaga taman patung kuda”. Mendadak puluhan orang yang dengan brutalnya mencabut tanaman bunga dan menumbangkan pohon pohon yang berada di  taman patung kuda Jl. Ujungpandang No. 1, tanggal 8 Januari 2019.

Aksi pengrusakan tanaman bunga dan pohon oleh pihak Balai Cagar Budaya Benteng Rotterdam, mendapan protes dari pihak LBH Makassar, aktivis Mahasiswa dan Buruh yang tergabung dalam Aliansi Rakyat dan Mahasiswa (ALARM) Tolak Penggusuran.

 

Baca Juga Berita Terkait:

Mediasi di DPRD SUlsel Capai Titik Terang: Kasus Revitalisasi Kawasan Cagar Budaya Rotterdam

Tolak Penggusuran Berdalih Revitalisasi Cagar Budaya Benteng Rotterdam

 

“Harusnya pihak Balai menyampikan terlebih dahulu atas rencananya kepada pak Ali Amin. Jangan langsung main rusak bunga dan pohon”. Ujar Mukhtar Guntur perwakilan Buruh.

Mukhtar menambahkan, bahwa peristiwa ini akan ditindaklanjuti ALARM Tolak Penggusuran. Dan kepada pihak yang terkait, termasuk DPRD Sulsel harus tetap melakukan pengawasan dan pengawalan terhadap aspirasi rakyat yang terancam digusur sewenang-wenang oleh Pihak Balai.

 

Kuasa hukum Aliamin, Ady Anugrah Pratama saat berbicara dengan perwakilan Balai Pelestarian Cagar Budaya Kota Makassar, Rabu 08 Januari 2020. Gambar diambil dari dip4news.com

 

Menurut Ady Anugrah, Kuasa Hukum Ali Amin dari LBH Makassar menegaskan, bahwa tidak boleh ada penebangan dan pencabutan bunga sebelum kami ketemu dengan kepala Balai. Karena hasil RDP di DPRD Sulsel harus saya sampaikan. Hasilnya adalah pihak Balai harus melakukan pertemuan terlebih dahulu dengan Pak Ali Amin baru ada langkah yang dilakukan pihak Balai. Bukan begini caranya melakukan cara-cara brutal. Ini adalah tindak pidana pengrusakan secara bersama-sama, Ujar Cappa panggilan akrab Ady Anugrah

“Pak Ali Amin merawat dan membiayai Taman Benteng Patung Kuda, tanpa menggunakan dana pemerintah. Dan akhirnya dirusak secara brutal, dimana rasa kemanusiaannya,” tambah Cappa.

Sekedar dikatahui, jika ancaman penggusuran pihak Balai ke Ali Amin, telah melalui proses pertemuan ke DPRD SulSel. Dan Komisi C merekomendasikan adanya pertemuan antara kedua pihak guna mencari solusi terbaik.

 

Catatan: Berita ini telah terbit di media online dip4news.com pada 08 Januari 2020

Categories
EKOSOB slide

Penggugat Warga Barabarayya Makassar Tidak Pernah Hadiri Sidang di Pengadilan

Penggugat warga Barabarayya Makassar, disebut tidak pernah hadir dalam agenda sidang Pengadilan Negeri (PN) Makassar.

Menurut kuasa hukum warga Barabarayya, Edy Kurniawan, hingga agenda sidang PN, Selasa (17/12/2019) penggugat tidak ada.

“Sampai agenda sidang ini (Selasa) yang bersangkutan (penggugat) tidak ada,” kata Edy Kurniawan dikonfirmasi tribun, sore.

Padahal lanjut Edy, kuasa hukum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar. Ini bukan kali pertama warga Barabarayya digugat.

Karena ditahun 2017 dan 2018, penggugat yang sama yang mengatasnamakan pihak ahli waris, menggugat warga Barabarayya.

Pada tahun itu (2017-2018) juga kata Edy, penggugat yang sama tidak pernah hadir, dan PN Makassar pun menangkan warga.

Tidak hanya PN Makassar, bahkan kasus ini sampai digugat ke tingkat Pengadilan Tinggi Makassar, penggugat tidak hadir.

“Ini sudah kali kedua warga digugat oleh orang yang mengaku ahli waris, tapi tetap saja penggugat tidak hadir,” ungkap Edy.

Sebelumnya, agenda Mediasi. Penggugat tidak hadir, padahal diatur di PP nomor 1 tahun 2016 kedua pihak wajib untuk hadir.

“Tapi disitu dari pihak penggugat ini tidak hadir. Harusnya penggugat hadir agar bisa jelaskan objek perkaranya ini,” lanjut Edy.

Diketahui, gugatan pertama ditahun 2017-2018 dimenangkan warga di PN Makassar dan di Pengadilan Tinggi (PT) Makassar.

Pasalnya, pihak PN dan PT menangkan warga karena objek perkara yang digugat kabur, dan tidak memenuhi fakta formil.

Diketahui, duduk perkara kasus bermula pada 2017 seorang bernama Nurdin daeng Nombong mengaku sebagai ahli waris.

Ditahun 2017-2018, sekiranya ada 17 KK warga Barabarayya yang digugat, dengan luas objek tanahnya 6000 meter persegi.

Tapi pada gugatan kedua ditahun 2019 ini, gugatan luas objek menjadi 9000 meter persegi, dan dari 17 KK menjadi 40 KK.

Nurdin daeng Nombong mengaku sebagai ahli waris dari Moeding daeng Matika lalu gugat 40 KK Barabaraya di PN Makassar.

Nomor perkara : 255/Pdt.G/2017/PN Mks. Nurdin Dg. Nombong bersama Kodam XIV Hasanuddin mengklain tanah Barabaraya.

Disebutkan, tanah yang ditinggali 40 KK tersebut merupakan lahan atau sebidang tanah bekas okupasinya asrama TNI-AD.

Sementara, warga telah menempati objek tanah tersebut sejak tahun 1960an dengan bukti atas hak kepemilikan tanah tersebut.

Diketahui, sidang lanjutan perkara ini akan dilanjutkan pada tanggal 7 Januari 2020 nanti, dengan agenda pembuktian.

 

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online makassar.tribunnews.com pada 17 Desember 2019

Categories
EKOSOB slide

Dengan Bambu Runcing, Mereka Menolak Tambang di Sungai Saddang

Aksi warga menolak tambang pasir laut PT. Alam Sumber Rejeki di pinggiran sungai Saddang, Kab. Pinrang, 13 Oktober 2019.

 

Oleh: Ady Anugrah Pratama

Advokat Publik di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar

Ratusan warga dari dusun Salipolo menuju pinggir sungai di dusun mereka, mempersenjatai diri dengan bambu runcing dan spanduk berisi penolakan tambang pasir. Mereka berdiri di atas tanggul dan meminta Camat Kecamatan Cempa, Kapolsek dan Kepala Desa agar mengusir eskavator milik perusahaan tambang pasir PT Alam Sumber Rezeki.

***

Matahari sedang panas-panasnya. Halili mengajak saya dan beberapa rekan melihat tanah bekas rumah-rumah warga di Dusun Cilallang, Desa Bababinanga, Kecamatan Duampanua, Pinrang. Hari itu, ia ingin memperlihatkan kepada kami lokasi bekas rumah warga yang telah pindah karena peristiwa banjir besar tahun 2010 silam.

Di siang yang terik, Halili mengenakan baju berkerah berwarna merah marun, celana pendek berwarna abu-abu dan peci beludru di atas kepala bermotif menyerupai sarang laba-laba. Di kantong bajunya, ia menyimpan rokok dan korek. Sementara tangan kanannya memegang tongkat kayu berwarna hitam yang panjangnya melewati setengah tinggi badannya.

“Kayu ini bisa mengalahkan parang,” tuturnya sambil tersenyum.

Tongkat kayu yang ia bawa berfungsi ganda; membantu berjalan dan menjadi senjata jika ada yang menyerang. Setelah peristiwa perkelahian antara warga dan perusahaan, Halili selalu bersikap waspada.

Hanya butuh sekitar 10 menit berjalan kaki dari Salipolo ke Cilallang. Tanggul yang berupa gundukan tanah adalah jalan utama yang di atas permukaannya terdapat kerikil lepas. Di samping kiri jalan, terhampar kebun-kebun jagung masyarakat yang tumbuh sejengkal dan di kanan jalan sungai Saddang yang letaknya hanya beberapa langkah dari badan jalan.

“Ini dulu lokasi rumah saya,” tangannya menunjuk ke arah sungai. Sebagian lokasi rumahnya kini menjadi tanggul yang menjadi benteng terakhir di Cilallang dari banjir.

Ia membuka tiga lembar kalender bekas yang tergulung dan diletakkan di jalan. Di bagian belakang kalender berwarna dasar abu, gambar peta kampung Cilallang dan Salipolo sebelum dan sesudah banjir. Peta tersebut digambar dengan menggunakan pulpen bertinta hitam. Halili mencoba menjelaskan Salipolo dan Cilallang berdasarkan peta yang dibuatnya bersama warga Salipolo. Banyak yang sudah berubah.

Selain melihat lokasi bekas rumahnya, Halili mengajak kami melihat bekas rumah yang kini ditinggalkan. Masih kelihatan bekas sumur-sumur warga yang sudah tak digunakan lagi, kamar mandi yang dikelilingi rumput liar, lokasi bekas gedung sekolah yang sudah ditinggalkan yang kini jadi kebun jagung yang berbatasan langsung dengan sungai.

Tak jauh dari tanggul dan lokasi bekas rumah Halili, berdiri gedung Sekolah Menengah pertama yang sementara diperbaiki. Halili khawatir jika air besar datang lagi, gedung sekolah itu akan terbawa air.

Saat berada di pinggir jalan, empat orang warga datang menghampiri kami. Mereka mengalami hal yang sama dengan Halili, memilih pindah dari Cilallang karena banjir besar yang pernah melanda dusun tersebut. Kepada kami, Mereka juga menunjuk lokasi di mana rumah dan kebun mereka yang sekarang telah menjadi bagian dari sungai.

***

Muhammad Sakir, 53 tahun, sehari-hari bekerja di tambak miliknya yang letaknya tak terlalu jauh dari rumahnya. Seperti biasa setelah sarapan pagi, ia beranjak ke tambak. Sebelum jam makan siang, Sakir kembali ke rumah untuk makan dan beristirahat. Menjelang sore, ia kembali lagi ke tambak dan pulang sebelum matahari tenggelam.

Mengurus tambak adalah pekerjaan sehari-hari Sakir. Profesi ini sudah turun temurun di keluarganya. Ia juga memiliki kebun, namun Sakir lebih banyak menghabiskan waktu di tambak karena hasilnya lebih banyak dibandingkan dengan mengelola kebun.

Sakir sudah 9 tahun tinggal di Dusun Salipolo. Walaupun lahir di Salipolo, awalnya ia tak tinggal di dusun ini. karena banjir, ia dan keluarganya hidup berpindah-pindah. Sebelum masuk sekolah dasar ia tinggal di Libukang. Dia dan keluarganya dipindahkan ke oleh pemerintah desa ke Dusun Cilallang karena di Libukang sering terjadi banjir.

Sakir tinggal di Cilallang dari tahun 1976 sampai 2010. Peristiwa banjir besar tahun 2010 membuatnya memutuskan untuk pindah ke Salipolo. Saat banjir besar itu, terdapat 215 rumah harus dipindahkan. Kebanyakan warga memutuskan pindah ke Salipolo, termasuk keluarganya. Dua ratusan rumah yang memilih pindah itu terdiri dari dusun Cilallang, Bulu-Bulu, dan tanah Ciccak.

Sebagaian besar lokasi rumah di Cilallang kini menjadi bagian dari sungai. Tersisa hanya sekitar 5 meter yang ditumbuhi pohon pisang. Pengalaman bencana banjir yang sering dialami bersama keluarganya membuat ia menolak keberadaan tambang pasir di Salipolo.

“Tidak ditambang saja sering terjadi banjir, apalagi kalau ditambang,” tegas Sakir. Baginya menolak tambang pasir adalah cara untuk menghindari bencana banjir yang bisa kembali masuk ke kampungnya.

Sungai Saddang dan dusun Salipolo kini hanya dibatasi dengan tanggul besar yang dibangun setelah peristiwa banjir tahun 2010. Tanggul tersebut adalah pertahanan terakhir warga jika volume air bertambah saat memasuki musim hujan.

Setelah tanggul dibuat, di dusun ini banjir sudah sangat berkurang. Selain itu, pengikisan air berkurang karena ada endapan-endapan pasir yang terbentuk secara alami. Endapan yang membuat pertahanan kampung menjadi sangat kuat. Endapan tempat tumbuhnya pohon kersen.

“Endapan yang di pinggir itulah yang kita jaga, jangan sampai diambil, karena itulah tempat tumbuhnya pohon. Dengan adanya pertambangan itu, kampung akan hilang.”

Sakir ingat betul di tahun 1995 tanggul pernah bobol. Semua tambak gagal panen, termasuk tanggul dusun Salipolo, Cilallang dan Babana.

“Tahun 1998 mulai terjadi pengikisan tapi belum terlalu parah. Puluhan tambak berubah menjadi sungai. 2005 banjir lagi di situ, menyebabkan tanggul di ujung kampung Cilallang Bobol. Bobolnya tanggul disebabkan karena terjadinya pengikisan,” tambahnya.

Sebelum tanggul dibuat, di Salipolo menjadi dusun langganan banjir. Ketika tambang pasir beroperasi, akan terjadi pengikisan sehingga tanggul bisa jebol kembali. Jika itu terjadi, kampung mereka akan terendam dan tambak-tambak warga bisa gagal panen.

 

Penolakan Demi Penolakan  

PT Alam Sumber Rezeki (ASR) adalah perusahaan tambang pasir yang mendapatkan Izin Usaha Pertambangan di Kecamatan Duampanua di Desa Paria dan Bababinanga. Perusahaan ini beralamat di Kompleks Griya Golden Hills Manggala Blok K Nomor 06 Makassar.  Berdasarkan dokumen Izin Usaha Pertambangan, perusahaan ini memiliki wilayah usaha pertambangan 182, 46 hektar.

Perusahaan ini yang datang ke Salipolo dan ditolak oleh warga Salipolo. Sebelum berpindah ke Desa Salipolo, PT Alam Sumber Rezeki ditolak oleh masyarakat di Desa Bababinanga.

Masyarakat di Dusun Babana Desa Bababinga kaget ketika melihat kapal penyedot pasir berada di sungai. Setelah melihat kapal penyedot pasir, warga ramai-ramai mendatangi rumah kepala desa untuk menyampaiakan penolakan terhadap tambang pasir. Sekitar 300 orang datang dan menyampaikan penolakannya. Hari itu alat penghisap pasir ditarik keluar. Masyarakat mengancam akan membakar kapal penghisap pasir tersebut jika tak ditarik kembali.

“Tidak pernah ada sosialisasi, warga tahu ada aktifitas tambang setelah ada alat yang datang,” ungkap Nawir, 61 tahun. Ia adalah salah satu perwakilan warga yang menolak tambang pasir. Di Desa Bababinanga, ia adalah ketua Badan Perwakilan Desa.

Lokasi tambang di Salipolo. Foto: Aliansi Perjuangan Rakyat Salipolo.

Setelah kapal penyedot itu ditarik keluar, tanggal 24 Oktober warga datang demonstrasi ke kantor Bupati. Warga yang datang antara lain; warga dusun Cilallang, Babana dan dusun Tanroe. Kedatangan mereka untuk menyampaikan penolakan terhadap masuknya tambang pasir di desa Mereka. Saat aksi di kantor bupati, warga bertemu langsung dengan Bupati Pinrang saat itu; Aslam Patonangi.

“Dari pertemuan itu, Pak Bupati mengirim surat ke Balai Besar Pompengan untuk peninjauan ulang izin tambang. Setalah itu tidak ada lagi aktifitas pertambangan,” tutur Nawir.

Tak jauh berbeda dengan Salipolo, dusun Babana tempat tinggal Nawir juga merupakan kampung yang menjadi langganan banjir.

“Dulu kalau banjir, di kampung kita pake perahu,” ujarnya lagi, “setiap musim hujan, air sungai masuk ke kampung dan itu bisa berlangsung berhari-hari hingga berminggu-minggu.

Tahun 2013 dibangun tanggul sepanjang satu kilometer dan batu gajah yang disusun di pinggir sungai sepanjang 300 meter. Tanggul inilah yang menghalangi air masuk ke Babana. Setelah tanggul dibangun, banjir tak pernah masuk ke Babana.

“Kami juga mengusulkan ke pemerintah agar ada penambahan batu gajah, hanya dikasi sekitar 250 meter dan sekarang kami tunggu realisasinya,” ungkap Nawir.

Di Babana, selain sering terjadi banjir, masyarakat juga mengalami kerugian ekonomi setiap banjir datang. Sebagian besar masyarakat di Babana bekerja sebagai petambak, pencari balacang (udang sungai) dan petani jagung. Di Babana, 147 hektar tambak berubah menjadi sungai setelah banjir. Tambak tersebut menjadi bagian sungai setelah mengalami pengikisan saat volume air sungai bertambah. Tambak yang kini ini jadi sungai itu masih terbit SPPT yang tiap tahunnya dibayar oleh warga.

Setelah ditolak oleh warga di desa Bababinanga, PT ASR berpindah ke ke Desa Salipolo. Namun hal yang sama terjadi, warga di Desa Salipolo menolak tambang pasir yang datang ke desa mereka.

Eskavator pertama kali datang di Salipolo pada tanggal 27 Agustus 2019. Kedatangan alat tersebut dikawal oleh salah seorang anggota Kepolisian (Kantibmas) yang diketahui bernama Tajuddin. Saat datang sore hari, Tajuddin mengatakan kepada warga, jangan ada yang menghalangi tambang pasir, jika ada yang melakukan penghalangan, maka akan diproses hukum.

Malamnya, Tajuddin kembali datang ke Salipolo, ia menyampaikan kepada masyarakat bahwa tidak akan ada aktifitas tambang pasir di Salipolo. Mendengar pernyataan Tajuddin, keesokan harinya, masyarakat tak curiga dengan adanya eskavator.

“Awalnya kami tak curiga karena eskavator membuat jalan tani,” ungkap Abdul Hakim.

Namun setelah membuat jalan tani, eskavator berada di pinggir sungai dan mengeruk pasir. Melihat aktifitas pengerukan pasir, warga berkumpul dan membicarakan aktifitas eskavator milik perusahaan. Setelah berbincang-bincang, warga mendatangi eskavator dan meminta alat tersebut berhenti dan dikeluarkan dari pinggir sungai.

Aksi penolakan pertama kali dilakukan oleh warga Salipolo tanggal 28 Agustus 2019. Hari itu juga warga beramai-ramai mendatangi kantor camat untuk menyampaikan penolakan tersebut kepada camat Cempa. Saat itu, eskavator berhenti beraktifitas.

Abdul Hakim sudah tiga kali ikut melakukan pengusiran bersama warga di Desa Salipolo. Ia bersama dengan warga lain melakukan aksi pengusiran itu karena khawatir kampung mereka rusak karena banjir yang bisa muncul kalau pasir sungai di tambang. Warga meminta para penambang pasir agar membawa pulang eskavator. Bahkan banyak warga yang ingin membakar eskavator karena jengkel dengan tindakan penambang yang terus datang ke Salipolo.

“Ketika masyarakat tahu kalau ada eskavator beroperasi, mereka akan datang sendiri dan berkumpul sebelum melakukan pengusiran. Kami sudah komitmen, kalau ada eskavator beroperasi, kita usir bersama-sama. Jadi wajar kalau banyak yang berkumpul.”

Dua kali pengisiran yang dilakukan oleh warga, mereka hanya berdiri di atas tanggul dan meminta agar pihak perusahaan berhenti melakukan penambangan dan menarik eskavator dari pinggir sungai. Pengusiran terakhir tanggal 5 November 2019. Saat melihat eskavator kembali berada di sungai, warga datang dan berkumpul di pos ronda pada jam delapan pagi. Setelah shalat dzuhur warga beramai-ramai mendatangi pihak penambang yang berada dipinggir sungai.

Pengusiran yang ketiga kalinya itu diikuti oleh warga dari Jawi-Jawi, Salipolo, Tanah Cicak dan Wakka. Sementara di sebrang sungai, warga dusun Babana menuggu untuk bergerak. Kebanyakan warga membawa bambu runcing saat mendatangi pihak perusahaan.

“Pas di dekat eskavator, beberapa warga naik semua mi di eskavator. Di situ ada Tommi juga Kapolsek Cempa. Warga sudah sempat siram bensin itu eskavator. Karena masih ada Kapolsek di lokasi, dan meminta warga agar tidak membakar eskavator tersebut,” cerita Abdul Hakim, “kami warga mendengar perkataan Kapolsek, eskavator tidak jadi dibakar karena kami menghargai Kapolsek.”

Setelah tak jadi membakar eskavator, warga berjalan ke arah gubuk tempat penambang. Kedatangan warga beramai-ramai untuk berbicara dengan penambang agar menarik kembali eskavator. Sebelum sampai ke rumah rumah itu, tiba-tiba ada lima orang dari pihak penambang menghadang warga. Kelimanya terlihat sudah mengeluarkan parang dari sarungnya.

Hingga akhirnya hari itu terjadi perkelahian antara karyawan perusahaan tambang dan warga yang datang beramai-ramai untuk mengusir para penambang. Setelah dua kali diusir oleh warga, perusahaan tambang pasir tetap memaksa melakukan aktifitas pengerukan pasir di Salipolo. Peristiwa itu mengakibatkan tiga orang mengalami luka. Dua orang dari perusahaan dan satu orang dari pihak warga. Korban-korban akan masih tetap bermunculan ketika perusahaan tambang memaksa untuk melakukan aktifitas pertambangan.

***

Melihat lima orang melepaskan parang dan mengayungkannya, Hasbullah berlari ke tengah dan mencoba menghalau kedua kelompok yang akan bertemu.

“Saya lihat lima orang, kasi keluar parangnya terus diayunkan. Saya bilang pada lima orang itu untuk pulang, dia tak mau pulang dan terus mengayunkan parangnya,” ungkap Hasbullah

Hari itu, Habsullah sedang menanam jagung di salah satu kebun milik warga. Letaknya tak terlalu jauh dari lokasi penambangan pasir. Ia kaget tiba-tiba banyak orang datang ke lokasi tambang.

Usahanya menghadang dua kelompok tersebut, justru menjadikan dirinya korban. Pergelangan tangan kanan dan paha kiri terkena sabetan parang, ia tersungkur.

Setelah itu, ratusan warga marah dan mulai menyerang balik kelima orang dari pihak perusahaan tersebut. Dari kelima orang itu, tiga orang lari dan dua orang tertinggal. Dua orang itulah yang menjadi sasaran kemarahan warga.

Setelah mengalami luka, Hasbullah tetap mencoba melerai warga. Di dekatnya juga ada Kapolsek Cempa. Sambil terus menenangkan warga, ia memegang pergelangan tangan kanannya yang terus mengeluarkan darah. Hasbullah kenal dengan orang yang melukainya.

“Dia itu teman SD saya dulu, sampai sekarang saya juga masih bersama dia.”

Ia mengaku tak dendam dengan peristiwa yang dialaminya. Namun ia berharap pelaku kekerasan padanya meminta maaf atas tindakan yang dilakukan padanya.

“Waktu itu saya lihat itu fotonya saya mau menangis, kenapa begini kejadianya, seandainya bisa ditarik seperti biasa lagi,” tambahnya.

Setelah mengalami luka di pergelangan tangan dan paha, Hasbullah menghentikan aktifitas hariannya. Ia memilih di rumah saja dan menunggu luka sembuh. Hasbullah termasuk warga yang menolak tambang pasir. Tempat tinggalnya di kampung baru menjadi langganan banjir. Tak jauh berbeda dengan warga lain, ia berharap tambang pasir tak melakukan penambangan di desanya.

 

Berujung Panggilan Polisi

Penolakannya bersama warga terhadap tambang pasir, membuat Nawir harus berurusan dengan Kepolisian. Ia dua kali dipanggil oleh Polres Pinrang karena dituduh menghalangi aktifitas pertambangan. Dua kali surat panggilan yang dikirimkan padanya selalu dihadiri.

“Saya datang terus, saya bilang saya taat hukum. Jadi saya datang.”

Panggilan pertama tanggal 12 September 2018 dan panggilan kedua 24 oktober 2018. Dari dua kali panggilan itu, Nawir dituduh menghalangi tambang masuk. Saat ditanya penyidik kenapa ia menghalangi tambang, Nawir balik tanya ke Polisi

“Perusahaan tambang mana yang saya halangi? Terus Polisi bilang PT ASR. Saya bilang saya tak pernah halangi. Yang saya lakukan adalah menolak.”

Nawir mengaku diancam ketika berada di kantor Polisi.

“Kalau kamu menghalangi, kamu bisa ditangkap karena menghalangi penambangan. Beda itu menolak sama menghalangi. Kalau menolak sebelum bekerja kita sudah tolak. Kalau menghalangi orang sudah bekerja baru kita minta berhenti,” ujar Penyidik, seperti diungkapkan Nawir.

Tak hanya Nawir, tanggal 11 Oktober 2019, dua orang warga dusun Salipolo bernama Tahang dan Akkas,  mendapat panggilan dari Polres Pinrang. Dua orang warga ini kemudian diminta memberi klarifikasi terkait penolakan mereka terhadap perusahaan tambang pasir.

Berselang seminggu, Muhammad Sakir, Abdul Hakim dan Abdul Latif, juga mendapatkan surat panggilan dari Polres Pinrang. Perihal panggilan ketiganya, mereka juga diminta menjelaskan alasan penolakan dan pengusiran aktifitas perusahaan tambang pasir tersebut.

“Kamu tahu kalau kamu menghalangi tambang, kamu tahu kalau itu ada ancaman pidananya?” tanya penyidik seperti diceritakan Abdul Hakim.

“Iya saya tahu, tapi saya tetap menolak!”

Pemanggilan beberapa warga oleh Polres Pinrang tak menyurutkan penolakan warga terhadap tambang pasir. Setelah dipanggil mereka tetap melakukan pengusiran jika eskavator perusahaan tambang kembali beroperasi di Salipolo.

“Setiap ada warga yang dipanggil kami selalu dampingi. Kami tidak akan membiarkan warga dipanggil sendiri, kalau ada yang ditangkap, kami semua juga harus ditangkap,” ujar Abuld Hakim dengan tegas.

Setelah tiga kali warga Salipolo melakukan pengusiran penambang PT ASR, digelar pertemuan parapihak di Kantor Dinas Penanaman Modal dan PTSP di Makassar, 3 November 2019. Mereka yang hadir adalah perwakilan warga, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Dinas ESDM, Inspektorat Provinsi, Dinas Penanaman Modal, Pemerintah Kabupaten Pinrang, anggota DPRD Pinrang dan juga dari perusahaan tambang pasir.

Pertemuan yang berlangsung sejam lebih itu menghasilkan kesepakatan untuk menghentikan sementara aktifitas pertambangan di Salipolo. Selain itu, akan dibentuk tim evaluasi izin dan dampak sosial, ekonomi serta lingkungan yang bisa timbul jika terjadi aktifitas pertambangan. Masyarakat berharap proses evaluasi yang akan dilakukan melibatkan masyarakat secara aktif sehingga hasilnya bisa benar-benar maksimal dan sesuai dengan harapan masyarakat.(*)

 

Catatan: Liputan ini telah dimuat dimedia online lipunaratif.com pada 15 Desember 2019

Categories
EKOSOB slide

Ada yang Aneh! LBH: Polda Sultra Terkesan Paksakan Jasmin Jadi Tersangka

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar menilai Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tenggara (Sultra) terkesan memaksakan dalam menetapkan Jasmin sebagai tersangka.

Ada yang aneh dalam kasus ini, anennya, jika PT Gema Kreasi Perdana (GKP) melapokan warga Wawonii ke pihak kepolisian langsung diproses sehingga Jasmin yang kini berstatus sebagai tersangka.

Selain, Jasmin ada 26 warga penolak tambang di Wawonii yang telah dilaporkan PT GKP ke pihak kepolisian.

“Kami melihat Polda Sultra terkesan memaksakan penetapan tersangka terhadap Jasmin,” kata
Koordinator Bidang Hak atas Lingkungan Hidup LBH Makassar, Edy Kurniawan Wahid, kepada Inikatasultra.com, Kamis (28/11/2019).

Sebelumnya, Jasmin ditetapkan sebagai tersangka diduga terlibat dalam penyekapan pekerja PT GKP, yang merupakan perusahaan tambang nikel.

Jasmin ditangkap terlebih dahulu oleh Polda Sultra pada Minggu, 24 November 2019, sekira pukul 17.00 WITA, di rumah kakaknya, di Kota Kendari.

“Terkait tindak pidana perampasan kemerdekaan yang dituduhkan kepada Jasmin, saya kira yang dilakukan warga dengan mengikat tangan para karyawan PT GKP di lokasi kerja pada ruang terbuka dan saat itu ada aparat keamanan,” jelas Edy.

 

Baca Juga: Polda Sultra Segera Bebaskan Jasmin & Stop Kriminalisasi 27 Warga Wawonii oleh Tambang PT. Gema Kreasi Perdana

 

“Jadi tindakan tersebut menurut kami tidak bisa dikualifikasi sebagai tindakan perampasan kemerdekaan,” tegasnya.

Menurut Advokat Publik itu, tindakan tersebut tidak ada pengekangan fisik secara ketat, sepeti mengikat karyawan di dalam ruangan tertutup.

“Melainkan tindakan warga hanya menahan para karyawan untuk menghindari terjadinya konflik sosial,” pungkasnya.

Diketahui, PT GKP yang dikawal ketat aparat kepolisian, tercatat sudah 3 kali menerobos lahan milik masyarakat untuk membangun jalan tambang.

Penerobosan pertama terjadi pada 9 Juli 2019 di lahan milik Ibu Marwah, penerobosan kedua pada 16 Juli 2019 di lahan milik Bapak Idris, dan penerobosan ketiga yang berlangsung tengah malam pada 22 Agustus 2019, di lahan milik Bapak Amin, Ibu Wa Ana, dan Bapak La Aba.

Lahan-lahan yang diterobos itu, merupakan milik sah masyarakat, telah dikelola lebih dari tiga puluh tahun dan selalu bayar pajak.

Namun, saat warga melaporkan kepada polisi soal penerobosan lahan berulang-ulang yang dilakukan oleh PT GKP itu. Misailnya, Idris, warga Desa Sukarela Jaya, Kecamatan Wawonii Tenggara, telah melaporkan PT GKP ke Polres Kendari pada 14 Agustus 2019 lalu.

Laporan itu sudah diterima dan diregistrasi dengan Laporan Pengaduan Nomor: B/591/VIII/2019/Reskrim. Namun sayangnya, laporan itu tampak didiamkan hingga saat ini oleh pihak kepolisian. 

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online sultra.inikata.com pada 28 November 2019