Categories
Berita Media EKOSOB slide

Soal Gugatan Warga, BPN Wajo Tunggu Proses Pengadilan

Kepala BPN Wajo Sapang Allo mengatakan, mengenai gugatan warga Paselloreng, Kecamatan Gilireng, Wajo, terkait ganti rugi lahan, pihaknya siap menunggu proses di pengadilan.

Sappang menyebutkan, bahwa pada saat dilakukan musyawarah bentuk ganti rugi, kepada warga pemilik tanah, sebagai salah satu tahapan dalam proses pengadaan tanah, BPN selaku pelaksana pengadaan tanah menyampaikan nilai ganti rugi yang merupakan nilai dari penilai pertanahan (apprasial), kepada pemilik tanah.

“Pada saat musyawarah bentuk ganti rugi, kami sudah menjelaskan mengenai bentuk ganti rugi dan nilai, dan yang dimuysyawarahkan adalah bentuk ganti rugi yi bisa ganti dalam bentuk uang tunai, tanah pengganti, penanaman modal (saham) dan lainnya sesuai ketentuan yang diatur oleh Undang-undang pengadaan tanah dan aturan pelaksanaannya,” ujar Sappang, kepada sulselekspres.com, via pesan singkatnya.

Menyangkut nilai ganti rugi. Lanjut dia BPN tidak mempunyai kewenangan mengubah atau menaik turunkan nilai, hal ini secara transparan sudah dijelaskan pada saat musyawarah bentuk ganti kerugian.

Pihaknya juga telah menyampaikan, tanpa mengurangi hak keperdataan pemilik tanah, apabila keberatan terhadap nilai dari apresial, maka sesuai ketentuan Undang-undang pengadaan tanah, yang bersangkutan mengajukan keberatan ke Pangadilan Negeri setempat paling lambat 14 hari setelah musyawarah.

“Oleh karena itu gugatan yang diajukan para pemilik tanah kepada pengadilan (sebutannya dalam aturan adalah keberatan) tentunya merupakan hak pemilik tanah yang kita hormati. Sehingga kami BPN selaku pelaksana pengadaan tanah menuggu proses di pengadilan dan tentunya apa pun keputusan pengadilan kalau sudah berkekuatan hukum tetap, kita harus hormati dan laksanakan,” tandas Sappang.

Sebelumnya, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan LBH Makassar mendampingi puluhan Warga Desa Passeloreng, Kecamatan Gilireng, Wajo untuk melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Sengkang, Kamis (18/6/2020), terlait ganti rugi lahan pembangunan Proyek Bendungan Passeloreng.

 

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di median online sulselekspres.com pada 21 Juni 2020

Categories
Berita Media EKOSOB slide

Digugat Warga Paselloreng Wajo, Ini Kata BPN Wajo

Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Wajo, digugat oleh masyarakat Desa Paselloreng, Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo di Pengadilan Negeri Sengkang.

Gugatan tersebut sekaitan dengan pembayaran ganti rugi lahan proyek Bendungan Paselloreng.

Sekretaris Panitia Pengadaan Tanah (P2T) Bendungan Paselloreng, Andi Akhyar Anwar malah tak tahu menahu soal gugatan tersebut.

“Seharusnya kalau ada seperti itu mereka melapor dulu ke kita. Kalau sampai 25 Juni nanti belum datang, kita anggap mereka telah menerima nilai yang rencananya akan diajukan ke Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN),” katanya, Sabtu (20/6/2020).

Kasi Pengadaan Tanah BPN Wajo itu juga menambahkan, ia belum mengetahui berapa total nilai yang ada dalam bidang tanah yang diperkarakan.

Dirinya menyebutkan jika pihak BPN Wajo telah bekerja sebagaimana mestinya.

Baca Juga:

  1. Soal Gugatan Warga, BPN Wajo Tunggu Proses PengadilanWarga Paselloreng Gugat BPN Wajo Terkait Ganti Rugi Lahan Bendungan
  2. Digugat Warga Paselloreng Wajo, Ini Kata BPN Wajo
  3. Soal Gugatan Warga, BPN Wajo Tunggu Proses Pengadilan

 

Sebagaimana diketahui, BPN Wajo digugat oleh 17 masyarakat asal Desa Paselloreng pada Kamis (18/6/2020) lalu.

Masyarakat Pasellireng tersebut didampingi oleh YLBHI-LBH Makassar.

“Kami sudah mengajukan gugatan kepada pihak BPN selaku Ketua Pengadaan Tanah Bendungan Passeloreng di Pengadilan Negeri Sengkang, dan kami tinggal menunggu kapan agenda sidang berikutnya,” kata salah satu pendamping hukum masyarakat, Firmansyah.

Lelaki yang akrab disapa Anca itu menambahkan, jika ada beberapa proses yang tak dipatuhi oleh panitia pengadaan tanah, dalam hal ini BPN Wajo.

“Berdasarkan informasi yang kami terima dari klien kami bahwa ada perlakuan istimewa kepada kelompok tertentu. Nah, ini bisa jadi salah sumber dari ketidakadilan dan itu salah satu fakta yang akan kami uji dalam persidangan nantinya,” katanya.

Gugatan perdata tersebut terdaftar di Pengadilan Negeri Sengkang dengan nomor perkara 20/Pdt.G/2020/PN Skg. Sidang perdananya sendiri diagendakan pada Kamis (25/6/2020) mendatang.

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di median online makassar.tribuntimur.com pada 21 Juni 2020

Categories
Berita Media EKOSOB slide

Dukungan Berbalik Jadi Protes, Warga Adukan Tenaga Medis ke LBH Makassar

Jika sebelumnya tenaga medis mendapatkan dukungan penuh dari semua kalangan masyarakat untuk menjadi garda terdepan mengatasi penyebaran virus corona, COVID-19 di Sulsel. Belakangan ini, usai munculnya fenomena jemput paksa jenazah yang diklaim terinfeksi COVID-19, situasinya justru berbalik dan berubah menjadi luapan protes kepada para tenaga medis.

Penanggungjawab posko pengaduan korban vonis rekatif corona, Azis Dumpa dari LBH Makassar mengatakan, pihaknya akhirnya harus mengatensi tindakan vonis dini tersebut. Pasalnya berdasarkan data sementara yang dikumpulkan oleh lembaganya di bawah naungan YLBHI, sejumlah orang telah dirugikan atas vonis reaktif yang dilakukan tenaga medis.

Azis mengatakan, sejauh ini sudah ada beberapa aduan terkait vonis dini reaktif corona yang masuk. Diantaranya adalah pasien yang mengalami gejala mirip cOVID-19 dengan dan tanpa akurasi yang jelas ditetapkan sebagai PDP, meski kata Dia hasil swab test belum keluar.

“Wajar saja prosedur tersebut menuai protes, banyak masyarakat yang menolak pemakaman jenazah keluarganya yang meninggal dunia dengan Status PDP dilakukan dengan perosedur penanganan pencegahan COVID-19 dengan alasan bahwa proses penetapan status pasien yang tidak akurat dan proses pengurusan jenazah sampai pemakaman dikhawatirkan tidak dilakukan dengan menggunakan ritual budaya maupun keagamaan yang bersangkutan. Bahkan keluarga pasien yang kemudian dinyatakan negatif COVID-19 meminta pemindahan jenazah,” tukasnya kepada SINDOnews.

Azis mengaku hal tersebut bukan berarti LBH Makassar mendukung ketidakpercayaan publik terkait penyebaran corona. Ia menuturkan LBH Makassar hanya fokus dalam pemenuhan hak-hak yang seharusnya dipenuhi oleh negara di masa pandemi ini.

“Konteksnya inikan ada dari masyarakat kita yang justru menjadi korban dari penanganan virus corona yang tidak optimal, terlebih lagi persoalan transparansi dan akuntabilitas dalam pemebrian layanan kesehatan terasuk penaganan Jenazah,” jelas Dia.

Kendati banyak pihak yang menganggap hal itu sebagai hak periorigatif dokter dan tenaga medis, sebagai aksi cepat tanggap belaka. Namun tak sedikit juga menganggap tindakan berupa vonis PDP kepada pasien yang gejalanya mirip gejala COVID-19 adalah tindakan yang melanggar etik.

Terpisah Ketua IDI Makassar, dr Siswanto Wahab yang dikonfirmasi menolak berkomentar. “Saya tidak berkompeten menjawab, hubungi pengurus IDI,” singkatnya.

 

 

Catatan: Berita ini telah terbit di media online makassar.sindonews.com pada 17 Juni 2020

Categories
Berita Media EKOSOB slide

Warga Paselloreng Gugat BPN Wajo Terkait Ganti Rugi Lahan Bendungan

Ganti rugi lahan Bendungan Paselloreng di Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo kembali bermasalah.

Pasalnya, pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Wajo dinilai tidak transparan dalan menilai ganti rugi tanah warga.

Olehnya, ada sekitar 17 warga Desa Paselloreng mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Sengkang, Kamis (18/6/2020). Warga tersebut didampingi oleh YLBHI-LBH Makassar mengajukan gugatan.

Pada 2016 lalu, warga dan pemerintah desa telah sepakat menerima pembangunan proyek strategis nasional itu dengan catatan ganti rugi lahan benar-benar sesuai dan tidak merugikan masyarakat.

“Tapi BPN Wajo diskriminasi dalam rangka penilaian oleh karena sama-sama tanah sawah tapi harganya beda-beda padahal tanah saya juga sama tanah sawah,” kata salah satu warga, Mustari.

Masyarakat yang hendak dibayarkan ganti ruginya tersebut merasa dirugikan dan menggugat pihak BPN Kabupaten Wajo.

Perbadaan perhitungan pembayaran ganti rugi disebutkan Mustari, seperti tanah sawah ada tang dibayar 40.000 sementara ada juga yang dibayar 70.000. Disesalkan warga, pihak BPN Kabupaten Wajo tak pernah merincikan item yang ada dalam penilaian perhitungan lahan.

“Kami hanya dikasi undangan dan ada tertulis bidang tanah serta nilai tanah kami. Pihak BPN selaku ketua pengadaan tanah sama sekali mengabaikan kesepakatan kami dengan pemerintah desa pada tahun 2016,” katanya.

Tim kuasa hukum masyarakat Desa Paselloreng dari YLBHI-LBH Makassar, Firmansyah membenarkan pengajuan gugatannya ke PN Sengkang.

“Hari ini kami sudah mengajukan gugatan kepada pihak BPN selaku Ketua Pengadaan Tanah Bendungan Passeloreng di Pengadilan Negeri Sengkang, dan kami tinggal menunggu kapan agenda sidang berikutnya,” katanya.

Firman menambahkan, jika ada beberapa proses yang tak dipatuhi oleh panitia pengadaan tanah, dalam hal ini BPN Wajo.

“Berdasarkan informasi yang kami terima dari klien kami bahwa ada perlakuan istimewa kepada kelompok tertentu. Nah, ini bisa jadi salah sumber dari ketidakadilan dan itu salah satu fakta yang akan kami uji dalam persidangan nantinya,” katanya.

 

Catatan: Artikel ini telah tayang di tribun-timur.com dengan judul Warga Paselloreng Gugat BPN Wajo Terkait Ganti Rugi Lahan Bendungan  pada 18 Juni 2020

Categories
EKOSOB slide

Kriminalisasi Berulang Salmia: 23 tahun Menguasai Lahan Dituduh Menyerobot

Salmia. Foto: LBH-Makassar

 

Salmia binti Ahmad Abadi  kembali dikriminalisasi. Perempuan berusia 52 tahun ini kembali dilaporkan dengan dugaaan penyerobotan lahan yang terletak di Parapa, Desa Rappang, Kecamatan Tapango, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.

Salmia dituduh  menyerobot tanah yang sudah ia kuasai sejak tahun 1987 hingga saat ini. Tanah tersebut tak pernah ia jual, hibahkan atau dikelola orang lain. Tanah berupa sawah yang letaknya tak terlalu jauh dari rumahnya.

Tanggal 30 Desember 2019 Salmia dilaporkan oleh salah seorang warga bernama Syahril.  Setelah mendapatkan panggilan dari penyidik, Salmia menemui penyidik dan diperiksa dengan status sebagai saksi.  Berselang beberapa bulan, ia kemudian ditetapkan sebagai tersangka.

Sudah berulang kali Salmia dilaporkan dengan dugaan penyerobotan lahan. Sudah tiga kali  ia berstatus tersangka. Pertama kali dilaporkan pada tahun 2006. Setelah diperiksa, ia kemudian ditetapkan menjadi tersangka.  Setelah penetapan tersangka, kasusnya dihentikan.

Tahun 2012 ia kembali dilaporkan dan ditetapkan sebagai tersangka. Namun proses hukum yang dihadapinya menggantung dan tak ada kejelasan. Tahun 2013 dan 2016 ia kembali dilaporkan dan hanya berstatus sebagai saksi.

Akhir tahun 2019, ia kembali dilaporkan. Setelah satu kali menghadap penyidik, ia kembali ditetapkan sebagai tersangka. Ia heran kenapa ia dilaporkan berulang-ulang di objek yang sama. Ia berharap  penyidik yang ,menangani perkaranya bisa bersikap objektif atas pelaporan dirinya.

 

Gelar Perkara atas tuduhan penyerobotan yang dilakukan oleh Salmia dipimpin oleh Muh. Ansar dan Ady Anugrah pratama (LBH – Makassar). Foto: LBH-Makassar

 

Sehari-harinya, Salmia bekerja sebagai seorang petani. Ini dilakukannya untuk menghidupi keluarganya. Ia adalah tulang punggung keluarga.

Sebagai petani, ia menanam padi dan kakao. Hasil panen sawah dan kebun kakao ia gunakan untuk membiayai 6 orang anak angkatnya. Sebagai orang tua tunggal, jika ia bekerja, tak ada orang yang akan membiayai kebutuhan keluarganya.

Proses hukum yang ia jalani membuat ia tak nyaman bekerja, terlebih ini sudah berulang-ulang dilakukan padanya. namun ia menghormati proses hukum yang harus ia hadapi.

“Saya tak salah, jadi saya harus hadapi dengan berani”. Tuturnya dengan ekspresi penuh keyakinan

Tahun 1993, Ahmad Abadi yang merupakan ayah kandung Salmia pernah dilaporkan dengan dugaan penyerobotan lahan. Objek tanahnya sama dengan tanah yang saat ini dikuasai Salmia. Pengadilan Negeri Polewali Mamasa memutuskan bahwa Ahmad Abadi dan beberapa warga Parapa yang juga dilaporkan dinyatakan tidak bersalah dan harus dibebaskan.

Sepeniggal ayahnya, kriminalisasi itu berlanjut pada Salmia.

Naharuddin mengaku heran dengan laporan berulang-ulang yang dialami oleh Salmia. Ia tahu persis tuduhan yang dialamatkan pada Salmia.

 

Gelar Perkara atas tuduhan penyerobotan yang dilakukan oleh Salmia dipimpin oleh Muh. Ansar dan Ady Anugrah pratama (LBH – Makassar). Foto: LBH-Makassar

 

“Saya sudah lama tinggal di Parapa, jadi saya tahu persis kasus ini. Tanah yang dikuasai dan dikelola Salmia adalah tanah yang dibuka sendiri oleh ayahnya. Jadi tidak mungkin menyerobot” ungkap Naharuddin.

Sebelum jadi sawah, dulu Parapa adalah rawa yang menjadi sarang buaya. Masyarakat bergotong royong dan membangun tanggul hingga menjadi kampung dan lahan pertanian. Setelah menjadi lahan pertanina produktif, barulah orang-orang dari luar datang dan mengaku pemilik tanah tersebut. Tambah Naharuddin.

Tak hanya tanah Salmia, tanah warga Parapa lainnya juga menjadi incaran banyak pihak. Pelaporan warga ke Polisi sudah sering dialami warga Parapa. Masyarakat di Parapa berharap proses hukum yang sedang dijalani Salmia dihentikan. Mereka mengaku juga akan mengawal kasus ini secara bersama-sama, terlebih yang menjadi korban tidak hanya Salmia.

Setelah penetepan tersangka oleh penyidik, Salmia kini menunggu kelanjutan proses hukum yang dijalaninya. Ia berharap penegak hukum yang memeriksa perkaranya menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya.

Categories
EKOSOB slide

Sempat Tertunda, Hasil Sidang Putusan Gugatan Sengketa Tanah di Salomatti dimenangkan Warga Petani

Sidang putusan akhir atas gugatan sengketa lahan yang diajukan oleh Dg. Nompo dkk diduga disinyalir PT. CONST, akhirnya dimenangkan warga petani Kampung Salomatti, kamis (28/05/2020).

Dalam putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Maros menolak gugatan pengugat hingga perkara dinyatakan selesai dan memutuskan dimenangkan oleh pihak tergugat.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Maros, Mustamin, SH., MH. Mengatakan kami menolak bukti hasil yang dihadirkan oleh penggugat dan memang itu sudah di pertimbangkan pada saat musyawarah karena dengan alasan bukti kurang kuat, dan pihak penggugat sendiri banyak yang tidak hadir.

“Gugatan tidak dapat diterima, artinya syarat formal gugatan itu belum terpenuhi. letak lokasi yang dimaksudkan juga sangat tidak sesuai data dan faktanya, hingga Majelis Hakim memutuskan untuk memenangkan tergugat, karena masih ada syarat-syarat yang tidak terpenuhi, jadi tidak ada pokok perkara,” ujarnya Mustamin.

Sementara, Kuasa Hukum warga petani, Ratna Kahali menjelaskan, alhamdulillah sebanyak 28 petani sudah di menangkan atas pembebasan lahannya, dan majelis hakim mengatakan masih ada pihak yang harus di hadirkan oleh penggugat, karena objek tanah yang dimaksudkan sangat berbeda dengan bukti yang diterima sehingga hasil musyawarah menguatkan pihak agraris sebagai bentuk perampasan tanah.” ucapnya Ratna, yang juga merupakan anggota LBH Makassar.

“Kami memang sebelum ada putusan sudah lebih siap, karena memang kita sudah menganalisa dan mengumpulkan data dari para petani yang tergugat sehingga kami juga punya banyak bukti untuk terus melawan,” jelasnya.

 

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online reaksipers.com pada 29 Mei 2020

Categories
EKOSOB slide

PRESS RELEASE; Hentikan Kriminalisasi-Pemeriksaan Terhadap Petani Kecil, Fokuslah Tangani Pandemi Covid-19!!!

Wabah Covid-19 kian merebak, Penyidik Polres Soppeng kebut pemeriksaan tiga petani kecil asal kampung Ale Sewo, Kel. Bila, Kec. Lalabata, Kab. Soppeng. Adalah pak Natu, yang akrab disapa wa’ (kakek/orang dituakan) dengan usianya yang sepuh (75 tahun) bersama anaknya, Ario Permadi (31 tahun) dan ponakannya, Sabang (47 tahun) tak seberuntung masyarakat pada umumnya. Di tengah merebaknya wabah Covid-19, bahkan Pemerintah telah menghimbau warga untuk #DiRumahAja sejak tanggal 14 Maret 2020 dan telah menetapkan status masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada 2 April 2020. Namun Penyidik Polres Soppeng tetap melakukan pemanggilan terhadap wa’ Natu bersama anak dan ponakannya, pada tanggal 3 Maret dan 2 April 2020, kemarin.

Mereka dipanggil untuk diperiksa sebagai saksi terkait perbuatannya menebang pohon di dalam kebun miliknya sendiri yang kayunya akan digunakan membangun rumah milik AP, namun belakangan ada klaim pihak kehutanan bahwa kebun milik NT masuk dalam kawasan hutan lindung. Sehingga mereka pun terancam pidana berdasarkan Pasal 82 Ayat (1) huruf b Jo. Pasal 12 huruf b dan/atau Pasal 82 Ayat (2) UU No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H).

Padahal NT dan SB secara usia, rentan terpapar virus Corona sehingga panggilan pertama tidak dipenuhi. Namun Penyidik tetap saja melayangkan panggilan kedua kepada mereka, yang menurut hukum jika tidak dipenuhi maka Penyidik bisa saja melakukan upaya paksa.

Akhirnya dengan bermodal nekat dan mengumpulkan keberanian, mereka memenuhi panggilan untuk memberikan keterangan di Kantor Polres Soppeng, didampingi oleh Para Advokat LBH Makassar bersama Paralegal LBH asal Soppeng, yang tentunya sepanjang perjalanan dan proses pemeriksaan dipenuhi rasa was-was, mengingat di Kab. Soppeng telah terdapat 28 pasien ODP, 2 Pasien PDP dan terakhir diinformasikan telah ada 1 Pasien Positif Covid-19.

NT, AP dan SB sehari-harinya berladang dengan menanam jahe dan lengkuas untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari bersama keluarga. Di kebun milik wa’ Natu yang seluas ±26 are terdapat beberapa tanaman yang cukup menunjang kehiduapan bersama keluarga, seperti jahe dan lengkuas. Setiap minggu ia panen lalu dijual ke pasar. Di kebunnya pula, terdiri puluhan pohon jati yang berumur puluhan bahkan ratusan tahun yang ditanam oleh leluhurnya sendiri. Pohon jati itu, dari dulu dipergunakan untuk kebutuhan papan-membangun rumah. Bahkan dari tanaman jati itu sudah berdiri dua rumah panggung-rumah yang dibangun orangtua wa’ Natu dan rumah anak pertamanya. Sejak tahun 1990-an sampai dengan tahun 2019, ia aktif membayar PBB kebun yang ia kelola.

Sebelum wa’ Natu, tiga orang petani Soppeng juga pernah dijerat dengan UU P3H, yaitu; Jamadi, Sukardi dan Sahidin pernah ditangkap dengan sangkaan pasal dan UU yang sama. Ketiganya ditangkap di kebun masing-masing. Tak berbeda dengan wa’ Natu, ketiganya sudah menguasai dan mengelola kebun mereka secara turun-temurun dan memanfaatkan hasilnya untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari bersama keluarga.

Kurang lebih tiga bulan bergulir di Pengadilan Negeri Watansoppeng, hakim memutus ketiganya tidak bersalah dan bebas. Dalam putusannya, hakim menyatakan bahwa ketiganya tak dapat dijerat dengan UU P3H, karena merupakan petani tradisional yang sudah turun-temurun mengelola kebun yang diklaim masuk dalam kawasan hutan dan memanfaatkan hasil kebun untuk kebutuhan sehari-hari; sandang-pangan-papan. Penuntut Umum mengajukan kasasi dan pada Februari 2019, Mahkamah Agung menjatuhkan putusan yang isinya menguatkan putusan PN. Watansoppeng.

Padahal, UU P3H ini sejatinya dibuat untuk menjerat pelaku pembalakan liar dari kelompok atau korporasi dengan modus operandi canggih untuk kepentingan komersil. Dalam implementasinya, undang-undang ini justru digunakan untuk menjerat petani tradisional yang tinggal di dalam/sekitar kawasan hutan dan menggantungkan hidup dari sumber daya hutan.

 

Kasus wa’ Natu yang saat ini berproses di Polres Soppeng semakin menguatkan bahwa UU P3H mengandung ketidakpastian hukum. Hal mana rumusan pasal-pasal pidana dalam UU P3H bersifat diskriminasi, tidak cermat, tidak jelas, multitafsir dan bertentangan satu dengan yang lain. Sehingga dengan mudah disalahgunakan oleh penegak hukum.

Upaya kriminalisasi terhadap wa’ Natu adalah bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), yaitu: hak atas milik pribadi (vide Pasal 28H UUD 1945), hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (vide Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945), hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya (vide Pasal 28A UUD 1945) dan hak untuk mengembangkan diri dan keluarga (vide Pasal 28C UUD 1945).

Rentetan peristiwa kriminalisasi petani tradisional membuktikan bahwa Agenda Reforma Agraria Presiden Joko Widodo yang sejak periode pertama tidak berjalan. Program Tanah Objek Reforma Agraria-TORA khususnya angka 4,1 juta Ha redistribusi kawasan hutan tidak terealisasi. Agenda Reforma Agraria yang terlihat tidak lebih dari sekedar program sertifikasi–bagi-bagi sertifikat semata, sementara konflik agraria signifikan tak terhenti. Pun Peraturan Presiden No. 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria telah dikeluarkan namun tidak membawa dampak positif bagi agenda Reforma Agraria di Indonesia.

Klaim dan penetapan kawasan hutan secara sepihak dan semena-mena oleh rezim kehutanan yang tertuang dalam SK.434/Menhut-II/2009, tanggal 23 Juli 2016, tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Sulawesi Selatan seluas ± 2.725.796 Ha telah memposisikan masyarakat sebagai penjahat dan perambah hutan. Tragisnya tahun 2019, kementerian kehutanan kembali melakukan perubahan peruntukan fungsi kawasan hutan dan penunjukan bukan kawasan menjadi kawasan hutan di provinsi Sulawesi Selatan dalam SK: 362/Menlhk/setjen PLA.0/ 05/ 2019. Penunjukan dan penetapan ini seharusnya mengembalikan hak-hak masyarakat yang telah diambil selama puluhan tahun sekaligus menjadi niat baik dari penyelesaian konflik-konflik agraria dan menghentikan praktik perampasan tanah-tanah rakyat oleh kehutanan. Namun ternyata nihil. Bisa dipastikan kampung-kampung, desa-desa di Indonesia dalam catatan BPS sejumlah 25.863 yang berada dalam klaim kehutanan atau 1.028 desa/kelurahan yang berada dalam klaim kawasan hutan dari 3.030 desa/kelurahan yang berada di Propinsi Sulawesi Selatan akan menjadi bom waktu massifnya kriminalisasi rakyat dan pengusiran petani-petani, masyarakat adat dari sumber-sumber agraria, penghidupan dan tanah-tanah leluhurnya.

Berdasarkan uraian di atas, maka kami mendesak:

  1. Polres Soppeng dan jajaran kepolisian dimanapun berada untuk  menghentikan upaya kriminalisasi terhadap wa’ Natu, Ario Permadi dan Sabang, juga masyarakat lainnya yang menebang pohon hanya semata-mata untuk kebutuhan sandang-pangan-papan, bukan untuk kepentingan komersil;
  2. Mendesak Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup dan seluruh lembaga terkait untuk menghentikan praktik kriminalisasi dan intimidasi terhadap petani yang sudah turun-temurun mengelola lahan dan tidak menjadikan hasil kebun untuk tujuan komersil;
  3. Mendesak Presiden Joko Widodo menjalankan agenda Reforma Agraria secara menyeluruh dan segera melepaskan tanah-tanah masyarakat yang berada di dalam klaim kawasan hutan demi kepastian hukum, keadilan serta penghormatan kedaulatan hak-hak rakyat sehingga tidak terjadi kriminalisasi petani di kemudian hari;

 

Makassar, 4 April 2020

 

Narahubung:

Forum Bersama (Forbes) Petani Latemmamala Soppeng; +62823-4532-9912 (Riko)

YLBHI-LBH Makassar; +62853-4297-7545 (Ady Anugrah)

KPA Wilayah Sulsel; +62813-4210-0642 (Rizki Anggriana Arimbi)

Categories
EKOSOB slide

LBH Makassar Desak Pemerintah di Sulsel Lebih Sigap Tangani COVID-19

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Makassar menyoroti kinerja pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan Kota Makassar dalam mengedukasi warga, terkait penanganan jenazah pasien terkait virus corona (COVID-19). Pemprov dan pemkot dianggap lamban dalam memberikan pemahaman ke warga.

Menurut LBH Makassar, sebagian besar masyarakat terkhusus di Kota Makassar sejauh ini masih khawatir dan panik berlebihan memandang pasien terkait corona. Baik mereka yang masih berstatus orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), pasien positif, hingga mereka yang telah meninggal dunia dan dicurigai terpapar wabah virus

“Sikap ini akan menambah stigma yang lebih buruk di kalangan masyarakat dan masyarakat akan menganggap bahwa penyebaran virus ini benar-benar sangat berbahaya,” kata Kepala Divisi Hak Sipil dan Keberagaman LBH Makassar, Abdul Azis Dumpa kepada IDN Times, Selasa (31/3).

 

  1. Keluarga ODP, PDP, positif hingga tenaga medis tak luput dari perlakuan diskriminatif

LBH Makassar menampung sejumlah aduan dari berbagai sumber informasi bahwa ODP, PDP, positif hingga tenaga medis, mendapat perlakuan diskriminatif dari lingkungannya. Umumnya, sikap diskriminatif didapatkan dari warga yang belum begitu memahami pola interaksi dengan orang-orang terkait COVID-19.

Menurut Azis, ketakutan yang berlebihan masyarakat dalam menanggapi penyebaran virus melahirkan stigma buruk dan diskriminasi terhadap orang-orang tersebut. Tenaga medis yang sejatinya bertugas sebagai garda terdepan penanganan pasien bahkan tak luput dari rundungan.

“Lebih buruk lagi, bahkan dokter dan perawat yang diketahui telah menangani pasien COVID-19 juga tidak luput mendapatkan tindakan diskriminasi. Tidak hanya itu, keluarga pasien juga mendapatkan stigma buruk, bahkan dihindari oleh masyarakat karena dianggap bahwa virus ini merupakan aib,” jelas Azis.

Jika pemerintah betul-betul serius, kata Azis, situasi ini dari awal tidak seharusnya terjadi. Azis mengatakan, kondisi ini tercipta karena begitu lambannya pemerintah dalam melakukan sosialisasi dan edukasi ke masyarakat luas.

 

  1. Belum sepekan, 2 kasus penolakan warga terhadap jenazah terkait kasus corona terjadi di Sulsel

Belum lama ini, seorang pasien dalam pengawasan (PDP) asal Kabupaten Gowa, harus dimakamkan di lokasi lain karena mendapat penolakan warga di Kecamatan Manggala, Makassar. Kasus kedua terjadi siang tadi, di mana ratusan orang kembali memblokade pintu masuk pemakaman Pannara, Antang, Kota Makassar. Mereka menolak keras jenazah PDP corona dimakamkan di lokasi itu. Ambulans pengangkut jenazah terpaksa kembali dan mencari lokasi pemakaman lain.

Dua fakta kasus tersebut, menurut LBH Makassar, merupakan bukti lamban dan tidak becusnya pemerintah tingkat provinsi hingga kota dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat. Jika situasi ini terus menerus berlangsung, menurut Azis, konflik horizontal antar warga bisa saja terjadi.

“Situasi tersebut membuat masyarakat menjadi over panic. Hal ini diperparah dengan sikap pemerintah yang kurang informatif dan lamban dalam menyikapi penyebaran wabah pandemi COVID-19. Jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat akan melahirkan konflik horizontal antar masyarakat,” ungkap Azis.

 

  1. Pemerintah didesak untuk turun langsung memberikan pemahaman kepada warga

Azis lebih jauh menganggap, krisis pemahaman yang terjadi di masyarakat akibat dari buruknya kinerja pemerintah dalam memberikan edukasi. Dua contoh kasus yang baru-baru ini terjadi, menurut Azis, sudah seharusnya dan wajib dijadikan sebagai evaluasi pemerintah dalam bertindak.

Pemprov Sulsel khususnya Kota Makassar, didesak untuk turun langsung mengedukasi warga terkait pandemi COVID-19 yang terjadi. Jika dibiarkan dan dianggap remeh, situasi ke depan, diperkirakan akan semakin parah. Bukan hanya menolak, masyarakat yang belum paham tidak menutup kemungkinan bakal bertindak di luar kontrol.

“Pemerintah, segera bertindak memberikan informasi yang jelas dan efektif yang bersifat edukasi kepada masyarakat terkait upaya-upaya yang harus dilakukan dalam mencegah penularan COVID-19 dan penanganan pasien dan jenazah COVID-19 tanpa perlakuan yang diskriminatif untuk menghindari konflik horizontal masyarakat,” pungkas Azis.

 

 

Catatan: Berita Iini telah dimuat di media online sulsel.idntimes.com edisi 31 Maret 2020

Categories
EKOSOB slide

Press Release YLBHI-LBH Makassar Terkait Stigma buruk dan Penolakan Warga terhadap Pemakaman Jenazah Pasien Covid-19

Covid-19 atau Virus Corona ditetapkan sebagai Pandemi oleh World Health Organization (WHO) karena tingkat penyebaran dan keparahan dianggap menghawatirkan dan mengancam umat manusia. Sampai saat ini, terdokumentasikan sebanyak 720.117 Orang di 170 Negara di belahan dunia telah terinfeksi Covid-19 (Kompas.com edisi 30/03).

Tak terkecuai di Indonesia, penyebaran Covid-19 telah menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat. Sejak pemerintah mengeluarkan Rilis warga Indonesia yang positif terjangkit Covid-19 pada 02 Maret 2020 hingga saat ini jumalahnya terus mengalami peningkatan dan tercatat jumlah kasus per 30 Maret 2020 sebanyak 1.285 kasus – telah meninggal sebanyak 114 Orang. Terkhusus di Provinsi Sulawesi Selatan, sebanyak 50 orang telah dinyatakan positif.

Situasi tersebut membuat masyarakat mejadi “Over Panic”. Hal ini diperparah dengan sikap Pemerintah, baik itu pemerintah Pusat, Provinsi, maupaun Kota/Kabupaten yang “kurang informatif” dan lamban dalam menyikapi penyebaran wabah Pandemi Covid-19 di Indonesia.

Dampak dari “Over Panic” menimbulkan problem stabilitas sosial. Ketakutan yang berlebihan masyarakat dalam menanggapi penyebaran Virus Corona melahirkan stigma buruk dan diskriminasi terhadap orang-orang yang diindikasikan mengidap Virus Corona (ODP, PDP, Positif). Lebih buruk lagi, bahkan dokter dan perawat yang diketahui telah menangani pasien Covid-19 juga tidak luput mendapatkan tindakan diskriminasi. Tidak hanya itu, keluarga pasien juga mendapatkan stigma buruk, bahkan dihindari oleh masyarakat karena dianggap bahwa virus ini merupakan aib.

Di Sulsel, informasi yang dilansir dari beberapa media online tertanggal 29 dan 30 Maret 2020, salah seorang warga Kabupaten Gowa korban Covid-19 (52 Tahun) yang telah meninggal dunia tanggal 28 Maret 2020 setelah mendapat perawatan di RS Wahidin Sudirohusodo, mendapat perlakukan diskriminatif dan stigma buruk saat jenazah akan di makamkan di pemakaman Umum Antang, Makassar. Warga sekitar pemakaman menolak Jenazah dimakamkan di pemakaman tersebut.

Para pembawa jenazah diusir secara paksa oleh warga. Sehingga petugas memulangkan kembali jenazah ke RS Wahidin Sudirohusodo yang juga menolak karena sebelumnya telah keluar yang berdampak Jenazah sempat terlantung meskipun akhirnya dapat dimakamkan di Pemakaman Umum di Sudiang Makassar, atas fasilitasi Pemerintah Provinsi Sulsel dan bantuan dari pihak keamanan.

Sikap ini akan menambah stigma yang lebih buruk di kalangan masyarakat dan masyarakat akan menganggap bahwa penyebaran virus ini benar-benar sangat berbahaya. Bahkan penolakan masyarakat terhadap keberadaan Pasien Covide-19 maupaun keluarga atau orang-orang yang diketahui telah berinteraksi dengan korban akan semakin parah. Hal tersebut jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat akan melahirkan konflik horizontal antar masyarakat.

Tindakan warga sekitar pemakaman di Anatang Kecamatan Manggala Makassar tersebut dampak dari kurangnya informasi dan edukasi dari pihak Pemerintah kepada warga masyarakat, khususnya di sekitar wilayah pemakaman terkait Prosedur penanganan dan Pemakaman Jenazah Pasien Covid-19, yang tentunya pemakaman harus dilakukan pada kawasan Taman Pemakaman (TP) yang memenuhi syarat dan prosedur yang telah ditetapkan WHO dan Pemerintah.

Menanggapi situasi di atas YLBHI-LBH Makassar menyampaikan Pernyataan Sikap kepada Pemerintah Provinsi Sulsel dan Kota/Kabupaten untuk:

Segera melakukan informasi yang jelas dan efektif yang bersifat edukasi kepada masyarakat terkait upaya-upaya yang harus dilakukan dalam mencegah penularan Covid-19 dan penanganan Pasien dan Jenazah Covid19 tanpa perlakuan yang diskriminatif untuk menghindari konflik horizontal masyarakat.

 

Makassar, 31 Maret 2020

YLBHI-LBH Makassar

 

 

Abdul Azis Dumpa, S.H.

Kepala Divisi Hak Sipil dan Keberagaman

Kontak: 0852-9999-9514

Categories
EKOSOB slide

Pers Release Aliansi Juru Parkir Makassar: Hentikan Pemasangan Terminal Parkir Eletronik dan Hentikan Intimidasi Terhadap Juru Parkir

Juru parkir sebagai sebuah pekerjaan adalah usaha yang dimulai sendiri oleh juru parkir. Lahan-lahan parkir yang tempat mereka bekerja, merupakan hasil dari usaha jukir dengan meminta izin kepada pemilik toko. Pada perkembanganya, lahirlah perusahaan daerah yang mengurus perparkiran di kota Makassar yang melihat ada potensi pendapatan dari sektor perparkiran.

PD Parkir memungut retribusi dari jukir berdasarkan ketentuan yang dibuat oleh PD Parkir. Retribusi yang dibayar setiap harinya ini menjadi pendapatan dari PD Parkir. Jukir adalah tulang punggung pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor perparkiran di kota Makassar. Sebagai sebuah profesi, juru parkir harus mendapatkan kesejahteraan sebagai hasil dari proses kerja yang dilakukannya.

Perjuangan akan kesejahteraan adalah hal yang terus menerus mereka lakukan. Terdapat banyak kebijakan PD Parkir yang merugikan mereka sebagai jukir. Pelibatan pihak ketiga (swasta) adalah hal yang sering dilakukan oleh PD Parkir, dan hal tersebut membuat jukir terus mengalami penurunan kesejahteraan.

PD Parkir sebagai perusahaan daerah yang mengurusi perparkiran di Makassar, baru-baru ini membuast kebijakan terminal parkir elektronik. Untuk menjalankan, PD Parkir menggandeng/bekerja sama dengan pihak ketiga (swasta) untuk mengadakan alat parkir elektronik. Kebijakan ini ditolak oleh seluruh juru parkir Makassar. Penolakan kebijakan ini lantaran akan membuat kesejahteraan juru parkir semakin memburuk. Program ini dinilai hanya akan menguntungkan pihak ketiga yang digandeng oleh PD parkir dalam menjalankan program ini.

Jika program ini dijalankan, juru parkir akan digaji sebesar 1,5 juta rupiah/bulan. Nilai nominal gaji yang ditetapkan oleh PD Parkir dinilai tak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga juru parkir, seperti; membayar kontrakan, uang sekolah anak, makan sehari-hari dan biaya-biaya rumah tangga lainnya. Sebagai perbandingan, buruh setiap bulannya diupah sebesar 3,1 juta rupiah beserta dengan jaminan kesehatan, ketenagakerjaan. Penghitungan upah buruh tersebut berdasarkan standar kehidupaln layak. Nilai nominal gaji yang ditawarkan PD Parkir tentu sangan juah dari standar hidup layak.

Program ini juga akan membuat beberapa tukang parkir terancam kehilangan pekerjaanya. Pasalnya, jika program ini dijalankan, tidak semua tukang parkir yang selama ini bekerja dititik parkir mereka masing-masing akan direkrut dan digaji. Sebagaimana awalnya, disetiap titik parkir, ada beberapa jukir yang bekerja sesuai dengan luasan lahan parkir.

Selama bekerja, jukir tak pernah mendapatkan hak-hak mereka sebagai mitra, seperti; rompi parkir yang tak pernah diganti, pertanggung jawaban PD parkir ketika pengguna parkir kehilangan barang, jaminan kesehatan yang tak dibayarkan, dan jaminan ketika terjadi kecelakaan kerja dan kematian. PD Parkir hanya tahu mengambil retribusi dan tak memberi hak jukir. Dari program ini, tak jaminan akan hak-hak juru parkir.

Berdasarkan Peraturan Daerah tentang Perparkiran di Makassar (Perda 17/2006/Pengelolaan parkir tepi jalan), wilayah pungutan PD Parkir hanya yang berada di tepi jalan, sedangkan yang berada di front toko masuk kewenangan Badan Pendapatan Daerah (BAPENDA) yang dibayarkan pemilik toko sebagai pajak parkir setiap bulannya. Sementara dilapangan, kedua wilayah ini diambil alih oleh PD parkir.

Jika merujuk pada peraturan tentang perparkiran yang ada, hubungan hukum jukir dan PD Parkir adalah kemitraan, artinya hubungan antara keduanya setara dan tak ada hubungan buruh dan majikan (gaji dan menggaji). Kebijakan menggaji jukir secara hukum juga tak punya dasar yang jelas.

Tahun lalu, program terminal parking electronic (TPE)  diterpakan di 25 titik, masing-masing di Jalan R. A Kartini, Somba Opu dan jalan Penghibur. Program ini juga ditolak oleh jukir namun dipaksakan oleh PD Parkir dengn menggunakan kekuatan Polisi. Dalam pengoperasianya, program ini membuat jukir merugi. Jukir digaji 1,5 juta, biaya parkir yang terlalu tinggi membuat banyak pengguna parkir tak mau membayar, selisihnya harus dibayar sendiri oleh jukir. Belum lagi, tak ada jaminan kesehatan dan keselamatan mereka sebagai jukir. Praktek di 25 titik adalah gambaran nyata dari kegagalan upaya swastanisasi parkir dan kegagalan PD parkir dalam penyeloaan perparkiran dan memberi kesejahteraan untuk jukir.

Dari awal rencanan ini sangat dipaksakan. Tak pernah ada pelibatan juru parkir sebagai tulang punggung perkarkiran di Makassar. Jukir hanya dipaksa menerima, melaksanakan rencana tersebut. Tukang parkir yang menolak, diancam diganti dengan juru parkir yang baru.

Jukir sudah berulang kali melakukan upaya penolakan dengan menyampaikan penolakan saat program ini disosialisasikan, menggelar aksi penolakan dan menghadiri rapat dengar pendapat di DPRD Kota Makassar.

Dibeberapa titik, kebijakan ini sudah mulai di uji coba. Jukir yang sedari awal menolak harus bersitegang dengan pihak juru parkir yang memaksanakan kebijakan ini. Tak main-main, PD parkir Makassar dalam pemasangan alat menggunakan kekuatan Brimob, Provos, Satpol PP dengan senjata lengkap. Pelibatan Brimob, Provos dan Satpol PP merupakan sebuah tindakan berlebihan yang dilakukan oleh PD Parkir. Hal ini bisa dimaknai sebagai upaya pemaksaan di tengah penolakan jukir yang semakin massive.

Pada 21 Maret 2020, lima orang jukir  yang menolak pemasangan alat parkir elektronik diangkut paksa oleh Brimob bersama petugas dari PD Parkir. Kelima jukir dibawa ke POLRESTABES Makassar dan menjalani pemeriksaan. Kelimanya diangkut saat menyampaikan pendapat tentang alasan mereka menolak dan menegur PD parkir yang bertindak diluar kewenanganya. Saat beradu pendapat, kelimanya diangkut paksa. Tindakan ini bisa dimaknai sebagai sebuah upaya kriminalisasi terhadap jukir.

Tindakan kriminalisasi jukir dan pemaksaan terhadap kebijakannya adalah sebuah tindakan yang otoriter, melanggar hukum dan tak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Terlebih ini dilakukan oleh sebuah perusahaan milik daerah. Tindakan ini tak boleh terus dilakukan. Perlu ada koreksi dan teguran dari seluruh unsur yang terkait.

Sebagai mitra utama dari PD Parkir, sudah seharusnya juru parkir diberi ruang berpartisipasi terhadap seluruh rencana dan kebijakan PD parkir. Penolakan juru parkir adalah hal yang tak bisa dielakkkan jika melihat tindakan PD parkir yang tak memberi ruang partisipasi kepada jukir.

Tindakan-tindakan pemaksaan dan kriminalisasi yang dilakukan oleh PD Parkir juga berpotensi melanggar hak asasi manusia. Hal ini bisa dilihat jika merujuk pada ketentuan Undang-undang Dasar 1945: pasal 27 ayat (2) “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, Pasal 28 A “setiap orang berhak untuk hidup dan serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupanya”, Pasal 28 C ayat (1) “setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan hak dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh mamfaat dari ilmu pengetahuan dan tekneologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”,

Hal ini juga diatur dalam ketentuan pasal 9, 36, dan pasal 40 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM yang berbunyi : Pasal 9 ayat (1) “Setiap orang berhak untuk hidup, dan mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya’,

Selanjutnya, dalam ketentuan pasal 11 ayat (1) UU No. 11 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob) menyebut bahwa : “Negara pihak apda kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus. Negara pihak akan mengambil langkah-langkah yang memadai untuk menjamin perwujudan hak ini dengan mengakui arti penting kerjasama Internasional yang berdasarkan kesepakatan sukarela”.

Jukir sebagai warga Negara harus dilindungi , dihormati dan dipenuhi haknya. Tindakan pemaksaan dan kriminalisasi yang dilakukan oleh PD Parkir adalah sebuah pelanggaran serius yang tak boleh dibiarkan. Penolakan adalah hak konstitusioanal jukir dan itu harus dihormati. Jaminan kesejahteraan bagi jukir adalah tugas konstitusional pemerintah, termasuk PD parkir.

Berdasarkan hal di atas, maka kami menuntut :

  1. Hentikan Kebijakan terminal parkir elektoronik sebelum mendapatkan persetujuan dari juru parkir sebagai mitra dari PD parkir;
  2. Hentikan intimidasi dan kriminalisasi juru parkir yang menolak kebijakan terminal parkir elektoronik PD parkir;
  3. Tolak kehadiran Brimob, Provos dan Satpol di area parkir jukir;
  4. Wujudkan kesejahteraan kepada juru parkir.

 

Makassar, 24 Maret 2020

Aliansi Juru Parkir makassar

SERIKAT JURU PARKIR MAKASSAR, LEMBAGA BANTUAN HUKUM MAKASSAR, ANTI CORRUPTION COMMITE,FORUM STUDY ISU-ISU STRATEGIS, KOMUNITAS MARGINAL, PEMBEBESAN MAKASSAR, PMII RAYON FAI UMI,  FORUM NAHDIYIN UNTUK KEDAULATAN AGRARIA MAKASSAR

 

 

Narahubung

Petrus                                      :085212444173 (SJPM)

Mirayanti Amin                       :085395906326 (LBH MAKASSAR)

Ali Asrawi Ramadhan             :082393381991 (ACC Sulawesi)