Categories
Berita Media EKOSOB slide

Sidang Gugatan Warga Paselloreng Terhadap BPN Wajo, Saksi Ungkap Ada Potongan Uang Ganti Rugi

Sidang gugatan masyarakat Desa Paselloreng terhadap BPN Wajo kembali digelar di Pengadilan Negeri Sengkang, Senin (29/6/2020).

Sidang permohonan gugatan keberatan ganti kerugian dengan agenda pembuktian. Tim Kuasa Hukum masyarakat Desa Paselloreng dalam persidangan menghadirkan dua orang saksi fakta.

Saksi, Baso Iskar menyebutkan, dasar permohonan gugatan keberatan ganti kerugian itu lantaran ada perbedaan harga tanah sawah pompanisasi yang dibayarkan pada 2018 lalu dengan milik para pemohon.

Dipaparkannya, pada 2018 ada tanah sawah pompanisasi milik warga bernama Malaing dengan luas 464 m2 sebesar Rp 305.200.000.

“Jika dibagi rata-rata harganya kurang lebih 70 ribu per meter, sementara tanah milik pemohon berbatasan langsung dengan milik Malaing, tanahnya juga sawah pompanisasi tapi harganya kalau dirata-ratakan harganya sekitar 45 ribu per meter,” katanya.

Pada sidang tersebut juga terkuak jika pada saat proses pencairan ganti rugi di bank ada potongan yang harus disetor pemilik tanah yang berdasarkan aturan pemerintah desa.

“Tidak dijelaskan peruntukanya untuk apa dan nanti dipotong oleh pihak bank,” katanya.

Pada 2018 lalu, saat saksi menerima undangan dari pihak BPN Wajo, selaku panitia pengadaan tanah tidak menjelaskan rincian apa saja yang bayarkan, tapi hanya surat undangan yang diterima dan di dalam undangan itu baru ada harga tapi tidak dirinci.

Hal sama juga diungkapkan oleh saksi lainnya, yakni Furqan. Tanah sawah tadah hujan milik Maseati dengan luas 464 m2 dengan harga Rp 35.865.000. Atau jika dibagi maka akan mendapat harga sekitar Rp. 77.000 per meternya.

Pendamping hukum masyarakat Paselloreng asal YLBHI-LBH Makassar, Ridwan menyebutkan, ada kejanggalan dari proses perhitungan dan pembayaran ganti rugi lahan warga untuk proyek Bendungan Paselloreng di Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo.

“Jadi berdasarkan bukti-bukti baik surat dan dikuatkan oleh keterangan saksi-saksi setidaknya mulai terlihat memang ada yang aneh dalam perkara ini baik dari proses penentuan nilai ganti kerugian hingga proses pencairan,” katanya.

Lebih lanjut, perkara perdata dengan nomor registrasi nomor 20/G/Pn.Skg itu akan kembali dilanjutkan pada Kamis (2/7/2020) mendatang.

 

 

Catatan: Berita ini telah diterbitkan di media online makassar.tribunnews.com edisi 30 Juni 2020

Categories
Berita Media EKOSOB slide

Petani Parapa Wonomulyo Polman Datangi Polres, Berikut Empat Tuntutannya

Puluhan petani dari kampung Parapa, Desa Rappang, Kecamatan Wonomulyo, Kabupaten Polman, mendatangi Polres Polman.

Mereka mengatasnamakan Aliansi Pertani Parapa Bersatu, Rabu (24/6/2020).

Mereka menyampaikan aspirasi ke pihak penegak hukum karena mengaku dikriminalisasi atas penguasaan tanah yang mereka kelola selama ini.

Salmia (50) salah satu petani yang dilaporkan kepolisi dengan tuduhan menyerobot tanah sawah yang berada di Parapa, Desa Rappang.

Padahal, tanah sawah yang dituduhkan diserobot adalah tanah sawah yang dibuka, dikelola secara turun-temurun oleh keluarganya. Ia tak pernah menjual, menghibahkan atau dikelola orang lain.

Hal serupa dialami Pinda (65). Dia mengaku juga dilaporkan dengan tuduhan yang sama dengan Salmia, yakni menyerobot tanah yang sudah dikuasai selama puluhan tahun.

Padahal, selain menguasai tanah, Pinda juga mengaku telah melaksanakan kewajiban dengan membayar pajak bumi setiap tahun kepada pemerintah.

“Kedua petani Parapa ini sudah berulang kali dilaporkan dan ditetapkan menjadi tersangka. Proses hukum yang mereka hadapi selalu dihentikan karena tak ditemukan unsur tindak pidana. Berdasarkan penguasaan lahan dan dokumen penguasaan, keduanya adalah pemilik tanah yang dituduhkan melakukan penyerobotan,”kata Ady Anugrah Pratama dari LBH Makassar yang mendampingi petani Parapa meminta keadilan kepada Tribun-Timur.com, Rabu (24/6/2020).

Dia menambahkan, kedua petani tersebut berulang kali dilaporkan dengan berbagai cara pelapor karena ingin menguasai lahan sawah Salmia, Pinda dan warga Parapa lainnya.

“Pertama kali dilaporkan tahun 2006. Tahun tersebut ia ditetapkan menjadi tersangka. Tahun 2012, 2013 dan 2016 ia dilaporkan lagi. Namun prosesnya berhenti karena tak cukup alat bukti. Yang terakhir, keduanya kembali dilaporkan pada Desember 2019 dan berproses sampai saat ini,”tuturnya.

Pelapor sering menggunakan putusan pengadilan untuk perkara perdata yang telah dieksekusi tahun 2005 sebagai dasar melaporkan kedua petani tersebut.

Namun, tanah yang dikuasai oleh Salmia, Pinda dan warga di Parapa bukalanlah tanah yang masuk dalam putusan tersebut sebagaimana batas-batas objek yang terdapat dalam putusan.

“Proses hukum yang saat ini dijalani oleh Salmia dan Pinda adalah hal yang sangat dipaksakan, termasuk penetapan tersangka. Sebelum melanjutkan proses hukum ke Pengadilan, harusnya aspek kepemilikan sudah jelas dan selesai,”katanya.

Menurutnya, laporan dugaan penyerobotan lahan yang dituduhkan ke Salmia dan Pinda sebenarnya lebih berdimensi perdata (sengketa kepemilikan).

Harusnya, kata dia, perkara ini diselesaikan dengan jalur keperdataan sebelum melaporkan keduanya pada ranah hukum pidana.

“Jika merujuk pada Perma Nomor 1 tahun 1951 dan SEMA Nomor 4 tahun 1980 yang bunyinya menyebutkan bahwa perkara pidana yang berdimensi perdata, harusnya perkara pidana dikesampingkan sambil menunggu suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang ada atau tidak adanya hak perdata lain,”jelasnya.

Kejaksaan Agung Republik Indonesia melalui surat edarannya Nomor B-230/Ejp/01/2013 Perihal Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum yang objeknya berupa tanah menghimbau kepada penegak hukum agar tidak tergesa-gesa untuk melakukan penuntutan.

“Namun penyidik yang memeriksa perkara ini tak mempertimbangkan aspek keperdataan (kepemilikan) yang belum selesai, sehingga melanjutkan proses hukum kasus ini,”ucapnyan

Kriminalisasi kedua petani Parapa, kata dia, akan menyebabkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini bisa dilihat jika merujuk pada ketentuan Undang-undang Dasar 1945: pasal 27 ayat (2).

“Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, Pasal 28 A “setiap orang berhak untuk hidup dan serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupanya,”katanya.

Hal ini juga diatur dalam ketentuan pasal 9, 36, dan pasal 40 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM yang berbunyi : Pasal 9 ayat (1) “Setiap orang berhak untuk hidup, dan mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.

Selanjutnya, dalam ketentuan pasal 11 ayat (1) UU No. 11 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob) menyebut bahwa; “Negara pihak pada kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus.

Demi penegakan hukum yang bebas dan merdeka, pemenuhan HAM dan keadilan bagi warga Negara, kami dari Aliansi Petani Parapa Bersatu meminta:

  1. Meminta penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan Negeri Polewali Mandar menghentikan proses hukum karena kasus ini bukanlah sebuah tindak pidana;
  2. Hentikan kriminalisasi terhadap petani Parapa, termasuk Salmia dan Pinda;
  3. Hentikan diskriminasai hukum terhadap petani Parapa;
  4. Berikan kepastian hukum atas tanah Petani Parapa.

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online makassar.tribunnews.com pada 24 Juni 2020

Categories
Berita Media EKOSOB slide

2 Petani Polman Dikriminalisasi, LBH Makassar-Aliansi Tuntut Penghentian Perkara

Aliansi Petani Parapa Bersatu yang turut didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, menuntut penghentian kriminalisasi petani Polman, Sulawesi Barat.

Menurut salah satu tim advokasi Aliansi Petani Parapa Bersatu, Ady Anugrah Pratama menyebutkan, kedua petani yang dikriminalisasi yakni, Salmia (52) kembali dikriminalisasi dengan tuduhan menyerobot tanah sawah yang berada di Parapa, Desa Rappang, Kecamatan Tapango, Polewali Mandar.

“Tanah sawah yang dituduhkan diserobot Salmia adalah tanah sawah yang dibuka, dikelola secara turun-temurun oleh keluarganya. Ia tak pernah menjual,menghibahkan atau dikelola orang lain,” ujar Ady, melalui siaran persnya yang diterima, Rabu (24/6/2020).

Sementara, petani lainnya yakni Pinda (65) dilaporkan dengan tuduhan yang sama dengan Salmia, menyerobot tanah yang sudah  dikuasai selama puluhan tahun, dituduh menyerobot tanah mereka sendiri. Selain menguasai tanah tersebut, Pindah membayar pajak bumi dan bangunan setiap tahun kepada Pemerintah.

Lanjut, Ady, kedua petani Parapa ini sudah berulang kali dilaporkan dan ditetapkan menjadi tersangka. Proses hukum yang mereka hadapi selalu dihentikan karena tak ditemukan unsur tindak pidana. Berdasarkan penguasaan lahan dan dokumen penguasaan, keduanya adalah pemilik tanah yang dituduhkan diserobot.

“Melapor penyerobotan tanah adalah cara yang sering sekali digunakan. Namun, tak pernah terbukti,” tegas Ady.

Ady merinci, keduanya pertama kali dilaporkan tahun 2006. Tahun tersebut ia ditetapkan menjadi tersangka.Tahun 2012, 2013 dan 2016 ia dilaporkan lagi. Namun, prosesnya berhenti karena tak cukup alat bukti. Yang terakhir, keduanya kembali dilaporkan pada Desember 2019 dan berproses sampai saat ini.

Pelapor sering menggunakan putusan pengadilan untuk perkara perdata yang telah dieksekusi tahun 2005 sebagai dasar melaporkan kedua petani tersebut. Namun, tanah yang dikuasai oleh Salmia, Pinda dan warga di Parapa bukalanlah tanah yang masuk dalam putusan tersebut sebagaimana batas-batas objek yang terdapat dalam putusan.

“Proses hukum yang saat ini dijalani oleh Salmia dan Pinda adalah hal yang sangat dipaksakan, termasuk penetapan tersangka. Sebelum melanjutkan proses hukum ke Pengadilan, harusnya aspek kepemilikan sudah jelas dan selesai,” papar Ady.

Laporan dugaan penyerobotan lahan yang dituduhkan ke Salmia dan Pinda sebenarnya lebih berdimensi perdata (sengketa kepemilikan). Harusnya perkara ini diselesaikan dengan jalur keperdataan sebelum melaporkan keduanya pada ranah hukum pidana.

Kriminalisasi kedua petani Parapa akan menyebabkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).  Demi penegakan hukum yang bebas dan merdeka, pemenuhan HAM dan keadilan bagi warga Negara, kami dari Aliansi Petani Parapa Bersatu meminta empat poin, yakni, penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan Negeri Polewali Mandar menghentikan proses hukum karena kasus ini bukanlah sebuah tindak pidana; Hentikan kriminalisasi terhadap petani Parapa, termasuk Salmia dan Pinda; Hentikan diskriminasai hukum terhadap petani Parapa; dan Berikan kepastian hukum atas tanah Petani Parapa.

 

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online sulselekspres.com pdaa 24 Juni 2020

Categories
Berita Media EKOSOB slide

Soal Gugatan Warga, BPN Wajo Tunggu Proses Pengadilan

Kepala BPN Wajo Sapang Allo mengatakan, mengenai gugatan warga Paselloreng, Kecamatan Gilireng, Wajo, terkait ganti rugi lahan, pihaknya siap menunggu proses di pengadilan.

Sappang menyebutkan, bahwa pada saat dilakukan musyawarah bentuk ganti rugi, kepada warga pemilik tanah, sebagai salah satu tahapan dalam proses pengadaan tanah, BPN selaku pelaksana pengadaan tanah menyampaikan nilai ganti rugi yang merupakan nilai dari penilai pertanahan (apprasial), kepada pemilik tanah.

“Pada saat musyawarah bentuk ganti rugi, kami sudah menjelaskan mengenai bentuk ganti rugi dan nilai, dan yang dimuysyawarahkan adalah bentuk ganti rugi yi bisa ganti dalam bentuk uang tunai, tanah pengganti, penanaman modal (saham) dan lainnya sesuai ketentuan yang diatur oleh Undang-undang pengadaan tanah dan aturan pelaksanaannya,” ujar Sappang, kepada sulselekspres.com, via pesan singkatnya.

Menyangkut nilai ganti rugi. Lanjut dia BPN tidak mempunyai kewenangan mengubah atau menaik turunkan nilai, hal ini secara transparan sudah dijelaskan pada saat musyawarah bentuk ganti kerugian.

Pihaknya juga telah menyampaikan, tanpa mengurangi hak keperdataan pemilik tanah, apabila keberatan terhadap nilai dari apresial, maka sesuai ketentuan Undang-undang pengadaan tanah, yang bersangkutan mengajukan keberatan ke Pangadilan Negeri setempat paling lambat 14 hari setelah musyawarah.

“Oleh karena itu gugatan yang diajukan para pemilik tanah kepada pengadilan (sebutannya dalam aturan adalah keberatan) tentunya merupakan hak pemilik tanah yang kita hormati. Sehingga kami BPN selaku pelaksana pengadaan tanah menuggu proses di pengadilan dan tentunya apa pun keputusan pengadilan kalau sudah berkekuatan hukum tetap, kita harus hormati dan laksanakan,” tandas Sappang.

Sebelumnya, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan LBH Makassar mendampingi puluhan Warga Desa Passeloreng, Kecamatan Gilireng, Wajo untuk melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Sengkang, Kamis (18/6/2020), terlait ganti rugi lahan pembangunan Proyek Bendungan Passeloreng.

 

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di median online sulselekspres.com pada 21 Juni 2020

Categories
Berita Media EKOSOB slide

Digugat Warga Paselloreng Wajo, Ini Kata BPN Wajo

Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Wajo, digugat oleh masyarakat Desa Paselloreng, Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo di Pengadilan Negeri Sengkang.

Gugatan tersebut sekaitan dengan pembayaran ganti rugi lahan proyek Bendungan Paselloreng.

Sekretaris Panitia Pengadaan Tanah (P2T) Bendungan Paselloreng, Andi Akhyar Anwar malah tak tahu menahu soal gugatan tersebut.

“Seharusnya kalau ada seperti itu mereka melapor dulu ke kita. Kalau sampai 25 Juni nanti belum datang, kita anggap mereka telah menerima nilai yang rencananya akan diajukan ke Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN),” katanya, Sabtu (20/6/2020).

Kasi Pengadaan Tanah BPN Wajo itu juga menambahkan, ia belum mengetahui berapa total nilai yang ada dalam bidang tanah yang diperkarakan.

Dirinya menyebutkan jika pihak BPN Wajo telah bekerja sebagaimana mestinya.

Baca Juga:

  1. Soal Gugatan Warga, BPN Wajo Tunggu Proses PengadilanWarga Paselloreng Gugat BPN Wajo Terkait Ganti Rugi Lahan Bendungan
  2. Digugat Warga Paselloreng Wajo, Ini Kata BPN Wajo
  3. Soal Gugatan Warga, BPN Wajo Tunggu Proses Pengadilan

 

Sebagaimana diketahui, BPN Wajo digugat oleh 17 masyarakat asal Desa Paselloreng pada Kamis (18/6/2020) lalu.

Masyarakat Pasellireng tersebut didampingi oleh YLBHI-LBH Makassar.

“Kami sudah mengajukan gugatan kepada pihak BPN selaku Ketua Pengadaan Tanah Bendungan Passeloreng di Pengadilan Negeri Sengkang, dan kami tinggal menunggu kapan agenda sidang berikutnya,” kata salah satu pendamping hukum masyarakat, Firmansyah.

Lelaki yang akrab disapa Anca itu menambahkan, jika ada beberapa proses yang tak dipatuhi oleh panitia pengadaan tanah, dalam hal ini BPN Wajo.

“Berdasarkan informasi yang kami terima dari klien kami bahwa ada perlakuan istimewa kepada kelompok tertentu. Nah, ini bisa jadi salah sumber dari ketidakadilan dan itu salah satu fakta yang akan kami uji dalam persidangan nantinya,” katanya.

Gugatan perdata tersebut terdaftar di Pengadilan Negeri Sengkang dengan nomor perkara 20/Pdt.G/2020/PN Skg. Sidang perdananya sendiri diagendakan pada Kamis (25/6/2020) mendatang.

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di median online makassar.tribuntimur.com pada 21 Juni 2020

Categories
Berita Media EKOSOB slide

Dukungan Berbalik Jadi Protes, Warga Adukan Tenaga Medis ke LBH Makassar

Jika sebelumnya tenaga medis mendapatkan dukungan penuh dari semua kalangan masyarakat untuk menjadi garda terdepan mengatasi penyebaran virus corona, COVID-19 di Sulsel. Belakangan ini, usai munculnya fenomena jemput paksa jenazah yang diklaim terinfeksi COVID-19, situasinya justru berbalik dan berubah menjadi luapan protes kepada para tenaga medis.

Penanggungjawab posko pengaduan korban vonis rekatif corona, Azis Dumpa dari LBH Makassar mengatakan, pihaknya akhirnya harus mengatensi tindakan vonis dini tersebut. Pasalnya berdasarkan data sementara yang dikumpulkan oleh lembaganya di bawah naungan YLBHI, sejumlah orang telah dirugikan atas vonis reaktif yang dilakukan tenaga medis.

Azis mengatakan, sejauh ini sudah ada beberapa aduan terkait vonis dini reaktif corona yang masuk. Diantaranya adalah pasien yang mengalami gejala mirip cOVID-19 dengan dan tanpa akurasi yang jelas ditetapkan sebagai PDP, meski kata Dia hasil swab test belum keluar.

“Wajar saja prosedur tersebut menuai protes, banyak masyarakat yang menolak pemakaman jenazah keluarganya yang meninggal dunia dengan Status PDP dilakukan dengan perosedur penanganan pencegahan COVID-19 dengan alasan bahwa proses penetapan status pasien yang tidak akurat dan proses pengurusan jenazah sampai pemakaman dikhawatirkan tidak dilakukan dengan menggunakan ritual budaya maupun keagamaan yang bersangkutan. Bahkan keluarga pasien yang kemudian dinyatakan negatif COVID-19 meminta pemindahan jenazah,” tukasnya kepada SINDOnews.

Azis mengaku hal tersebut bukan berarti LBH Makassar mendukung ketidakpercayaan publik terkait penyebaran corona. Ia menuturkan LBH Makassar hanya fokus dalam pemenuhan hak-hak yang seharusnya dipenuhi oleh negara di masa pandemi ini.

“Konteksnya inikan ada dari masyarakat kita yang justru menjadi korban dari penanganan virus corona yang tidak optimal, terlebih lagi persoalan transparansi dan akuntabilitas dalam pemebrian layanan kesehatan terasuk penaganan Jenazah,” jelas Dia.

Kendati banyak pihak yang menganggap hal itu sebagai hak periorigatif dokter dan tenaga medis, sebagai aksi cepat tanggap belaka. Namun tak sedikit juga menganggap tindakan berupa vonis PDP kepada pasien yang gejalanya mirip gejala COVID-19 adalah tindakan yang melanggar etik.

Terpisah Ketua IDI Makassar, dr Siswanto Wahab yang dikonfirmasi menolak berkomentar. “Saya tidak berkompeten menjawab, hubungi pengurus IDI,” singkatnya.

 

 

Catatan: Berita ini telah terbit di media online makassar.sindonews.com pada 17 Juni 2020

Categories
Berita Media EKOSOB slide

Warga Paselloreng Gugat BPN Wajo Terkait Ganti Rugi Lahan Bendungan

Ganti rugi lahan Bendungan Paselloreng di Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo kembali bermasalah.

Pasalnya, pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Wajo dinilai tidak transparan dalan menilai ganti rugi tanah warga.

Olehnya, ada sekitar 17 warga Desa Paselloreng mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Sengkang, Kamis (18/6/2020). Warga tersebut didampingi oleh YLBHI-LBH Makassar mengajukan gugatan.

Pada 2016 lalu, warga dan pemerintah desa telah sepakat menerima pembangunan proyek strategis nasional itu dengan catatan ganti rugi lahan benar-benar sesuai dan tidak merugikan masyarakat.

“Tapi BPN Wajo diskriminasi dalam rangka penilaian oleh karena sama-sama tanah sawah tapi harganya beda-beda padahal tanah saya juga sama tanah sawah,” kata salah satu warga, Mustari.

Masyarakat yang hendak dibayarkan ganti ruginya tersebut merasa dirugikan dan menggugat pihak BPN Kabupaten Wajo.

Perbadaan perhitungan pembayaran ganti rugi disebutkan Mustari, seperti tanah sawah ada tang dibayar 40.000 sementara ada juga yang dibayar 70.000. Disesalkan warga, pihak BPN Kabupaten Wajo tak pernah merincikan item yang ada dalam penilaian perhitungan lahan.

“Kami hanya dikasi undangan dan ada tertulis bidang tanah serta nilai tanah kami. Pihak BPN selaku ketua pengadaan tanah sama sekali mengabaikan kesepakatan kami dengan pemerintah desa pada tahun 2016,” katanya.

Tim kuasa hukum masyarakat Desa Paselloreng dari YLBHI-LBH Makassar, Firmansyah membenarkan pengajuan gugatannya ke PN Sengkang.

“Hari ini kami sudah mengajukan gugatan kepada pihak BPN selaku Ketua Pengadaan Tanah Bendungan Passeloreng di Pengadilan Negeri Sengkang, dan kami tinggal menunggu kapan agenda sidang berikutnya,” katanya.

Firman menambahkan, jika ada beberapa proses yang tak dipatuhi oleh panitia pengadaan tanah, dalam hal ini BPN Wajo.

“Berdasarkan informasi yang kami terima dari klien kami bahwa ada perlakuan istimewa kepada kelompok tertentu. Nah, ini bisa jadi salah sumber dari ketidakadilan dan itu salah satu fakta yang akan kami uji dalam persidangan nantinya,” katanya.

 

Catatan: Artikel ini telah tayang di tribun-timur.com dengan judul Warga Paselloreng Gugat BPN Wajo Terkait Ganti Rugi Lahan Bendungan  pada 18 Juni 2020

Categories
Berita Media SIPOL slide

Aksi Kamisan Jilid IV, Mahasiswa Teriakkan Kekerasan Akademik di Sinjai

Koalisi Pemuda dan Mahasiswa Sinjai Melawan, kembali menggelar aksi Kamisan jilid IV di jalan Persatuan Raya, kecamatan Sinjai Utara, kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Kamis, (4/4/2019).

Aksi tersebut dihadiri oleh puluhan mahasiswa dari berbagai organisasi yang tergabung dalam Koalisi untuk solidaritas cabut Surat Keputusan (SK) Drop Out (DO) 4 Mahasiswa Institut Agama Islam Muhammadiyah (IAIM) Sinjai.

Selain itu, kata Fitra selaku jenderal lapangan, bahwa pihaknya menuntut agar dibuka ruang demokrasi dan berharap terwujudnya transparansi anggaran dan informasi kampus.

“Kami mengecam kepada pendidikan tinggi, khususnya IAIM Sinjai untuk menjadikan pendidikan sebagai alternatif bagi masyarakat miskin dan marjinal,” tegasnya.

Dalam aksi Kamisan tersebut juga menyuarakan berbagai isu nasional terkait kekerasan akademik di beberapa kampus di Indonesia.

“Selain kami mengecam IAIM Sinjai, kami juga menyuarakan terkait kekerasan akademik, salah satunya di Universitas Andi Djemma (UNANDA) dan Universitas Sumatera Utara (USU)” tegasnya.

Menurut Fitra, aksinya akan terus berlanjut sampai kasus kekerasan akademik di kampus terselesaikan.

 

*Sebelumnya berita ini telah dimuat di media online suarajelata.com edisi 04 April 2019

 

Categories
Berita Media SIPOL slide

Melaluai Aksi Kamisan, KMPSM Sinjai Kecam Kekerasan Akademik IAIM Sinjai

Sejumlah Mahasiswa yang tergabung dalam Koalisi Mahasiswa dan Pemuda Sinjai Melawan (KMPSM) kembali melakukan aksi kamisan.

Aksi kamisan ini berlangsung di tugu bambu Sinjai, Jalan Persatuan Raya, kelurahan Balangnipa, Kecamatan Sinjai Utara, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Kamis, (28/03/2019).

Aksi kamisan ini adalah salah satu agenda rutin yang dilalsanakan oleh KMPSM sekali seminggu setiap hari kamis.

Di ketahui, peserta aksi melakukan Orasi secara bergantian dan membagikan brosur yang bertuliskan kronologi kekerasan akademik yang terjadi di IAIM Sinjai.

Irfan, selaku orator menyampaikan bahwa Kampus yang paling besar di kabupaten Sinjai adalah IAIM Sinjai, tapi rasa pabrik, dimana ketika mahasiswa nya mempertanyakan tranparansi anggaran langsung di DO dan di skorsing.

Senada yang diungkapkan Fauzan, ia mengatakan saya selaku mahasiswa IAIM Sinjai tidak setuju dikeluarkan nya SK DO dan skrosing kepada 4 mahasiswa, karena sangat tidak demokrasi dan tidak mempunyai etika.

Olehnya itu, hal-hal yang dilakukan oleh pihak Kampus IAIM Sinjai, tidak memperlihatkan etikan seorang akademisi kepada masyarakat pada umumnya, dalam hal mengeluarkannya SK DO dan Skorsing kepada 4 mahasiswanya, karena hanya persoalan dikritisinya dan dipertanyakan transparansinya, ada apa?

Aksi berakhir dengan menyanyikan yel-yel  IAIM Sinjai rasa ORBA dan anti kritik.(Taqwa).

 

*Sebelumnya bberita ini telah dimuat di media online a-satu.com edisi 28 Maret 2019

Categories
Berita Media SIPOL slide

Aksi Kamisan Jilid III, Mahasiswa Terus Suarakan Kekerasan Akademik di Sinjai

Koalisi Pemuda dan Mahasiswa Sinjai Melawan, kembali melakukan aksi Kamisan jilid III dengan isu yang sama, soal kekerasan akademik di Institut Agama Islam Muhammadiyah (IAIM) Sinjai. Kamis, (28/3/2019).

Aksi tersebut diikuti oleh beberapa organisasi yakni, Rumah Rakyat Sinjai (RRS), Mapala PTM Sinjai, SEMMI Sinjai, Himagro STIPM Sinjai, Himara STISIPM Sinjai, Pembaru Sinjai dan Pemuda Tani Merdeka.

Jenderal lapangan, Longsor mengatakan bahwa aksi tersebut adalah aksi ke-III  yang diperingati oleh mahasiswa dan pemuda Sinjai.

“Kami masih ada dan terus ada memperjuangkan nasib demokrasi kampus yang dizolimi oleh birokrsi kampus utamanya di IAIM Sinjai, kami menutut agar di IAIM Sinjai membuka ruang demokrasi serta kebebasan akademik,” teriaknya.

Selanjutnya, Akmal Uro selaku ketua umum Mapala PTM Sinjai, bahwa mahasiswa masih meneriakkan isu yang sama yaitu, cabut surat keputusan drop out (SK DO) dan Skorsing serta wujudkan transparansi anggaran dan informasi kampus IAIM Sinjai.

“Kami menuntut pihak IAIM Sinjai agar menghentikan dekan FEHI IAIM Sinjai, Dr. Muh. Anis agar diberhentikan dari jabatannya karena telah menciderai kehidupan kampus,” tegasnya.

Selain para demonstran orasi secara bergantian, mereka juga membagikan ratusan selebaran kepada pengguna jalan.

Aksi tersebut berlangsung ramai di Perempatan Tugu Bambu Sinjai, jalan Persatuan Raya, kecamatan Sinjai Utara, kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan.

 

*Sebelumnya berita ini telah dimuat di media online suarajelata.com edisi 28 Maret 2019