Categories
EKOSOB slide

Rencana aksi 3.000 Nelayan Takalar Tertunda Karena Mendapat Intimidasi Aparat Kepolisian

Minggu, 6 Agustus 2017 warga berencana melakukan aksi di kawasan reklamasi Centre Poin of Indonesia (CPI). Hal ini dilakukan untuk menghentikan aktivitas tambang pasir di laut Galesong-Sanrobone-Tanakeke Kab. Takalar yang selama ini telah meresahkan nelayan setempat. Hal mana pasir tersebut digunakan untuk bahan material urugan reklamasi CPI. Warga Takalar yang sudah bersiap menuju ke titik aksi mendapat intimidasi dari pihak Polres Takalar dan Polda Sulsel.

Alasan aparat menghalang-halangi aksi warga jelas tak masuk akal, aparat menilai bahwa aksi warga melanggar aturan, aparat melarang adanya aksi di hari minggu, dan mengancam akan membubarkan aksi tersebut dan siap melakukan penangkapan terhadap orang-orang yang terlibat dalam aksi protes.

Tak hanya itu, sejak tadi malam rakyat Takalar yang menolak pertambangan pasir tersebut, mulai mendapat intimidasi, Beberapa warga ditelepon, dimata-matai oleh orang tak dikenal. Bahkan salah satu warga yang getol menolak tambang, ditelpon oleh seseorang yang mengaku sebagai oknum polisi dan menuding warga sebagai teroris. Tepatnya jam 02.00 malam dini hari tadi, salah seorang pimpinan warga didatangi oleh anggota Kepolisian untuk melakukan introgasi malam. Aparat Polres Takalar melakukan penghadangan dan intimidasi di setiap simpul masyarakat Takalar yang menolak tambang.

Tindakan arogansi aparat telah melampaui batas dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Dimana setiap warga negara berhak atas rasa aman dari segala bentuk teror dan intimidasi serta berhak menyampaikan aspirasi di muka umum sebagaimana ketentuan dalam Pasal 28E UUD 1945, UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, UU No. 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik, UU No. 39 tahun 1998 tentang Hak Menyatakan Pendapat di Muka Umum.

Akibat intimidasi tersebut, maka aksi yang melibatkan paling kurang 3.000 nelayan direncanakan hari ini terpaksa ditunda demi menghindari bentrokan dengan aparat serta hal-hal yang tidak diinginkan. Atas kejadian ini, maka kami dari Gerakan Rakyat Tolak Tambang Pasir Laut Takalar (GERTAK) mengutuk keras tindakan aparat kepolisian dan akan kembali melakukan konsolidasi massa untuk melakukan aksi yang lebih besar dalam beberapa hari kedepan.

Takalar, 6 Agustus 2017

Gerakan Rakyat Tolak Tambang Pasir Laut Takalar (GERTAK)

Categories
EKOSOB

Kasus Perusakan Gembok di Lahan Sendiri Bergulir ke Pemeriksaan Saksi

Pangkep , 2 Agustus 2107. Persidangan kasus perusakan gembok di lahan sendiri yang terjadi di Kab Pangkep kec. Segeri. Persidangan kali ini cukup menarik oleh karena persidangan kali ini turut hadir anggota Komisi yudisial perwakilan Sulawesi Selatan dalam rangka memantau jalanya persidangan. (Video : Komisi Yudisial Pantau Sidang Pengrusakan Gembok di Lahan Sendiri). Awalnya kasus ini cukup menyita perhatian publik oleh karena kasus ini melibatkan satu keluarga yakni B selaku (ayah), N.L (istri) Sy (anak B) dan Aksa (menantu B.) selain itu, yang memprihatinkan dari kasus ini adalah anak dari S yang masih berumur 4 tahun harus merasakan kelamnya Rumah Tahanan Negara (RUTAN), semestinya dengan usia sebelia itu harus jauh dari suasana atau faktor-faktor yang berpotensi dapat merusak mental anak dalam masa pertumbuhanya. Bahkan tim kuasa hukum LBH-Makassar telah berupaya untuk melakukan peromohonanan penangguhan penahanan terhadap ibu (S) dari anak kepada Mejlis Hakim, namun hingga saat ini majelis hakim belum mempertimbangkan terkait permohonan tersebut.(video: https://www.youtube.com/watch?v=sN8Tm_yw05I) Selain melibatkan anak dalam kasus ini, dalam proses penanganannya (pra-penuntutan) terbilang aneh karena langsung melibatkan pihak Polda Sulsel mengingat kasus ini sama sekali tidak memiliki kepentingan publik yang mendesak sehingga harus melangkahi polres dan polsek.

2017-08-03 at 12.30.41 PM

Sidang dengan agenda pemeriksaan saski A charge yakni H. Muh Darwis dalam keterangannya sempat membuat pengunjung sidang tertawa. H. Muh Darwis menyampaikan keterangan yang saling bertentangan dengan keterangan sendiri. Majelis hakim sempat berulang kali memperingatkan bahwa saksi telah di sumpah dan untuk itu harus memberikan keterangan sebenarnya, jika saksi memberikan keterangan palsu maka itu mempunyai konsekuensi hukum yaitu dengan ancaman pidana hukuman selama 7 tahun. Salah satu majelis hakim mencoba mengecek apakah saksi benar lupa dikarenakan usia maka, hakim menanyakan kepada saksi, ”Apakah saksi punya istri“, dijawab saksi, “iya majelis. “Apakah punya anak dan berapa?” Dijawab saksi ,”Iya, anak saya ada enam.” “Dan tahu semua namanya?” Dijawab saksi, “Iya majelis”. Setelah menjawab pertanyaan mejelis tersebut maka hakim menyampaikan kepada saksi bahwa saksi harus bedakan mana lupa, tidak tahu dan mengarang. Sidang dilanjutkan pada rabu 9 agustus 2107 dengan agenda pemeriksaan saksi meringankan (A de charge).

Perlu di ketahui bahwa kasus ini berawal dari gugatan perdata oleh Hj.Rosliman/pelapor sebagai penggugat terhadap terdakwa B sebagai tergugat dan dalam sengketa hak tersebut di menagkan oleh piha tergugat berdasarkan putusan No 20/Pdt.G/2016/PN.PKj dengan amar gugatan penggugat tidak dapat di terima (Niet Ontvankelijke Verklaard).

Penulis : Charlie (PBH LBH Makassar)

Categories
Perempuan dan Anak SIPOL slide

Balita Korban Pencabulan Kembali Diperiksa oleh Polres Gowa

Minggu, 23 Juli 2017, Penyidik Polres Gowa melakukan pemeriksaan tambahan terhadap SN (usia 3 tahun), seorang korban pencabulan di Kab. Gowa, dengan didampingi keluarganya dan PBH LBH Makassar selaku Penasehat Hukum korban. Pemeriksaan tersebut dilakukan guna melengkapi alat bukti, setelah pihak Polres Gowa melakukan Gelar Perkara kasus ini pada Rabu, 12 Juli 2017 lalu. Selain memeriksa korban, Penyidik juga melakukan pemeriksaan tambahan terhadap saksi HJ (Ibu Korban).

Kasus yang tengah ditangani oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Gowa ini berawal dari pelaporan HJ atas adanya peristiwa pencabulan yang dilakukan oleh DT (50 tahun) terhadap korban. Terlapor DT yang adalah tetangga korban, juga masih memiliki hubungan kekerabatan, diduga melakukan perbuatan cabul terhadap SN di rumahnya pada sekitar bulan Maret 2017.

Ibu korban pencabulan mengadu ke LBH Makassar
Ibu korban pencabulan mengadu ke LBH Makassar

Penyidik Polres Gowa berencana akan segera merampungkan alat bukti yang dibutuhkan agar dapat meningkatkan status perkara ini dari Penyelidikan menjadi penyidikan. Salah satunya dengan melakukan pemeriksaan psikolog terhadap korban. Hasil pemeriksaan tersebut nantinya dijadikan sebagai salah satu alat bukti yang akan dilampirkan dalam berkas perkara.

Adanya laporan tersebut membuat terlapor diancam dengan tindak Pidana Cabul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E UU No. 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yakni “Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Jo. Pasal 82 ”Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”. ketentuan ini dapat dikenakan pemberatan dengan pidana tambahan berupa pidana tambahan 1/3 dari pidana Pokok, pengumuman identitas pelaku, serta rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.[]

Penulis: Abdul Azis Dumpa (PBH LBH Makassar)

Categories
EKOSOB

Dengarkan Suara Nelayan, Hentikan Tambang Pasir Laut di Galesong-Sanrobone

Press Release Gerakan Rakyat Tolak Tambang Pasir Laut Takalar (Gertak)

18.7.17.tambangpasir.01

Empat bulan lebih masyarakat menentang penambangan pasir laut di perairan Galesong-Sanrobone yang dilakukan oleh PT Boskalis. Penambangan pasir laut tersebut tidak lain merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan proyek reklamasi CPI yang juga tengah mendapatkan penentangan dari berbagai kelompok masyarakat di Sulawesi Selatan.

Berbagai upaya telah dilakukan masyarakat guna menghentikan proyek “merusak” tersebut. Mulai dari dialog dengan pemerintah desa, menduduki lokasi proyek CPI, hingga menggelar unjuk rasa di depan kantor Gubernur Sulsel. Namun, pemerintah kabupaten dan provinsi tidak bergeming dengan berbagai upaya masyarakat tersebut, malah yang terjadi, kegiatan penyedotan pasir laut tersebut terus berlangsung dan membuat amarah para nelayan di Galesong hingga Sanrobone semakin membesar.

Pada perinsipnya, kegiatan tambang pasir laut di Galesong dan Sanrobone merupakan bentuk ketidak hati-hatian pemerintah dalam menerbitkan izin. Berdasarkan kesaksian warga, sebelum izin diterbitkan, para nelayan tidak pernah diberitahukan terkait rencana kegiatan tambang pasir laut di perairan mereka. Sementara, nelayan sangat mempercayai bahwa kegiatan tambang tersebut akan membuat daerah tangkapan nelayan rusak, dan pemukiman nelayan ikut tergerus akibat abrasi.

Selain itu, pemerintah provinsi juga tentu saja memiliki peran penting dalam terbitnya IUP yang dikantongi 3 perusahaan, dimana salah satunya adalah PT Yasmin Bumi Asri. Walaupun pemerintah berkali-kali mengatakan bahwa kegiatan tambang tersebut tidak akan merusak pesisir takalar, namun faktanya, nelayan di pulau tanakeke, Sanrobone telah melihat secara langsung kerusakan berupa abrasi di daerah mereka. Hal ini tentu yang memicu seluruh nelayan tanakeke turut melibatkan diri dalam perlawanan masyarakat terhadap tambang pasir laut tersebut.

18.7.17.tambangpasir.02

Kami perlu informasikan kepada publik di Sulawesi Selatan bahwa kegiatan tambang pasir laut untuk proyek reklamasi CPI telah memicu gelombang perlawanan warga Galesong-Sanrobone yang dari waktu ke waktu semakin membesar. Kondisi tersebut tentu saja membuat kegaduhan di tanah Galesong-Sanrobone. Sehingga kami berharap pemerintah kabupaten takalar dan pemerintah provinsi Sulsel bersikap arif melihat dan mendengar suara masyarakat Galesong yang menghendaki agar kegiatan tambang pasir laut di perairan Galesong-Sanrobone dihentikan.

Melihat adanya tambang pasir laut ini, Wakil Ketua Forum Masyarakat Pesisir Nelayan Galesong Raya, H Mone, menuturkan, saat ini masyarakat sangat panik, karena belum musim barat, abrasi sudah terjadi di sejumlah tempat. Kemudian masyarakat tidak mengerti apa alasan PT Bokalis melanjutkan kegiatan tambang tersebut, sementara hampir semua kepala desa se-Galesong Raya – Sanrobone menandatangani penolakan tambang pasir tersebut. Jadi tidak ada alasan bagi pemerintah untuk melanjutkan penambangan.

Kami tidak mau melihat konflik yang berkepanjangan di tanah kelahiran dan tempat hidup kami. Sejak ada tambang ini, masyarakat selalu ingin bertindak anarkis. Jadi memang tambang ini sumber malapetaka bagi masyarakat kami.

Direktur Fik KSM yang juga warga asli Galesong menerangkan, alasan utama kami menolak tambang pasir laut adalah karena hasil tangkapan nelayan semakin menurun, terutama nelayan-nelayan kecil, seperti pencari udang, cumi-cumi, ikan katombo. Dan kami perkirakan penurunannya mencapai 80%.

“Perekonomian di pulau tanakeke lumpuh total, nelayan pencari gurita sudah tidak berproduksi, karena air keruh, dan gelombang air laut tinggi. Selain itu, rompong dan jaringan nelayan juga hilang. Ini masalah besar buat kami”.

“Sekarang di pulau sanrobengi bagian selatan sudah longsor, desa mangindara abrasi di musim kemarau, pelelangan ikan juga sudah mulai terkikis. Ini fakta dampak buruk tambang pasir laut di galesong-sanrobone”.

Direktur Blue Forest, Yusran Massa menyebutkan, Perairan sekitar wilayah konsesi tambang pasir laut terutama wilayah sekitar perairan Tanakeke adalah habitat dan daerah migrasi beberapa biota laut yang masuk kategori terancam (endangered) dan rentan (vulnatable). Kuda Laut menjadikan perairan sekitar Tanakeke sebagai habitat mereka. Beberapa spesies lumba-lumba dan penyu sering bermigrasi di sisi barat Tanakeke. Begitupun dengan dugong yang sering ditemukan masyrakat. Mengeruk pasir di perairan Galesong, Galesong Utara dan sekitar perairan Tanakeke mengancam keberadaan beberapa spesies penting ini.

“Pengerukan pasir laut meningkatkan potensi abrasi dan erosi pantai baik di pesisir Galesong-Galesong Utara maupun di kepulauan Tanakeke. Pantai Galesong dan Galesong Utara termasuk tipe pantao terbuka dan tidak dilindungi oleh ekosistem lamun, terumbu karang maupun mangrove. Juga hanya mengandalkan keberadaan pulau Sanrobengi sebagai benteng aktifitas gelmbang dan angin. Mengeruk pasir merubah geomorfologi dasar laut yang menyebabkan semakin tingginya kekuatan gelombang dan arus menggempur pantai. Arah datang ombak dan angin di perairan adalah barat dan barat daya, mengambil atau menghilangkan pasir di kawasan utara dapat menyebabkan pasir atau sedimen di sekitar perairan Tanakeke tertransport kesana karena arah arus perairan berasal dari barat dan barat daya dimana Tanakeke berada. Ini diduga dapat mengancam stabilitas pulau dan menyebabkan abrasi/erosi. Juga tentu dapat mengganggu pertumbuhan mangrove di pulau ini”.

Atas semua itu, Direktur Eksekutif WALHI Sulsel, Asmar Exwar menjelaskan bahwa Proyek reklamasi di kota makassar telah memberikan dampak lingkungan dan sosial yang meluas. Pemberian izin dan operasionalisasi penambangan pasir laut untuk penimbunan lokasi reklamasi telah mencederai rasa keadilan masyarakat. Kebijakan ini sungguh mengabaikan hak masyarakat untuk menentukan sikap yang berkaitan dengan ruang hidupnya.

“Kebijakan reklamasi dan tambang pasir laut di takalar menunjukkan bahwa pemprov tidak berniat menaikkan kesejahteraan masyarakat pesisir, namun sebaliknya merusak ruang hidup masyarakat pesisir dan pulau kecil”.

Demi kepentingan masyarakat banyak, kami menghimbau agar pemerintah provinsi Sulsel juga menghentikan proyek reklamasi CPI, karena kami percaya bahwa reklamasi CPI adalah sumber masalah yang terjadi. Kami menyarankan agar pemerintah memulihkan pesisir Makassar dan membuat area tersebut menjadi ruang terbuka yang dapat diakses oleh publik.

Kami juga menuntut segera:

  1. Penghentian secara total penambangan pasir laut di perairan Takalar
  2. Pencabutan izin-izin yang berkaitan dengan tambang pasir laut di perairan Takalar.

Dan bila tuntutan ini tidak dijalankan oleh pemerintah provinsi, terang Direktur ACC, Abd Muthalib, maka kami selaku pendamping dan kuasa hukum warga akan terus melakukan perlawanan yang lebih serius, termasuk menempuh jalur hukum berdasarkan pranata-pranata hukum yang berlaku.

Makassar, 18 Juli 2017

Narahubung:

  • Asmar Exwar (ED WALHI Sulsel), 0812 4212 1825
  • Nurlinda Dg Taco (Warga Galesong), 0812 2208 8844
  • H. Mone (Forum Masyarakat Nelayan Galesong Raya)
  • Haswandi Andi Mas (Direktur LBH Makassar) 0813 5524 0654
  • Abdul Muthalib (Direktur ACC Sulawesi) 0813 5530 8489
  • Asram Jaya (Koordinator FIK Ornop) 0813 5594 8459
  • Yusran Massa (Direktur Blue Forest) 0813 5520 3030
Categories
EKOSOB SIPOL slide

Gara – Gara Tanam Sayuran, 13 Petani Bonto Ganjeng Dikriminalisasi

“Bukan kami yang menyerobot, tapi pihak Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) yang menyerobot hak kami. Karena kami sudah bermukim dan menggarap tanah secara turun temurun sebelum Indonesia merdeka. Kami juga tidak tahu bagaimana ceritanya kampung kami dijadikan kawasan hutan,” Ujar Dg. Linrung salah satu pimpinan organisasi tani Bonto Ganjeng.  

Berdasarkan Laporan Polisi Nomor : LP.B/100/II/2017/SPKT Res. Gowa,  tertanggal 2 Februari 2017, sejumlah 13 (tiga belas) orang anggota Serikat Tani Bonto Ganjeng, Lingkungan Bulu Ballea, Kelurahan Pattapang, Kecamatan Tinggimoncong, Kab. Gowa dilaporkan oleh Abdul Rahman Hamid Dg. Serang selaku pihak dari Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) atas dugaan melakukan tindak pidana penyerobotan dan perusakan secara bersama-sama di muka umum sesuai ketentuan Pasal 167 dan 170 KUHPidana. Mereka yang dilaporkan bernama Dg. Linrung (umur 72 tahun), Hamzah (umur 28 tahun), Minggu, Kahar, Sudirman C, Nurdin C, Muh. Yahya C, Halik, Rais, Nurdin, Bado, dan Samsul. Mereka dituduh telah melakukan penyerobotan terhadap perhutanan sosial dan kemitraan lingkungan. Tidak hanya itu, mereka juga dituduh telah melakukan perusakan tanaman murbei milik PSKL dan juga dituduh merusak pagar kawasan. Untuk diketahui, tanaman murbei adalah makanan ulat sutra.

Saat ini status ke-13 petani tersebut diperiksa sebagai saksi/terlapor, dengan didampingi oleh 2 (dua) orang tim hukum LBH Makassar yakni Edy Kurniawan Wahid dan Ridwan. Meski masih berstatus saksi/terlapor, namun terdapat indikasi jika kasus ini akan dinaikkan ke tahap penyidikan. Indikasi ini terlihat saat proses pemeriksaan berlangsung. Penyidik yang memeriksa terkesan memaksakan kehendak dengan merangkai pertanyaan berdasarkan hipotesis/teori yang menyudutkan posisi para petani yang dilaporkan tersebut. Di sisi lain, terlapor (Dg. Linrung) memberikan jawaban berdasarkan fakta yang ia alami.  Jawaban Dg Linrung, justru dibantah oleh penyidik dan kemudian mencurigai Dg. Linrung bahwa ia tidak memberikan keterangan yang sesungguhnya. Dari beberapa pertanyaan dan keterangan, seperti saat Dg. Linrung memberikan keterangan bahwa ia menanam sayuran di sela-sela tanaman murbei, namun dibantah oleh penyidik dengan membangun asumsi bahwa mustahil tanaman (sayuran) akan tumbuh di sela-sela tanaman murbei. Namun, Dg. Linrung menantang penyidik dengan mengatakan “jika tidak percaya maka silahkan bapak ke kebun saya lihat sendiri”.

kriminalisasi petani.01

Selanjutnya saat Dg. Linrung mengatakan bahwa ia hanya memangkas sebagian batang tanaman murbei dan menyisakan bagian batang bawah setinggi setengah meter . Bagian atas tanaman yang dipangkas kemudian dibuang dan saat ini sudah kering tidak dapat tumbuh, akan tetapi bagian bawahnya akan kembali mengeluarkan tunas dan tumbuh kembali. Akan tetapi, lagi-lagi penyidik membangun hipotesis bahwa tanaman murbei yang sudah dipangkas tidak dapat tumbuh kembali. Menanggapi hal tersebut, Dg. Linrung kembali menegaskan “jika bapak tidak percaya, silahkan lihat sendiri”. Atas hal tersebut, tim LBH Makassar yang mendampingi saat itu meminta kepada penyidik untuk memasukkan keterangan tambahan sesuai dengan fakta yang dialami oleh Dg. Linrung. Sampai saat ini, pihak Polres Gowa baru memeriksa 2 (dua) orang terlapor yakni Dg. Linrug dan Pak Yahya, masih ada 11 (sebelas) orang terlapor yang belum diperiksa.

kriminalisasi petani.02

Dasar Klaim Hak

Secara legal-formal, masyarakat/petani memang tidak memiliki dokumen surat kepemilikan, namun bukan berarti mereka tidak memiliki dasar hak untuk mengklaim tanah garapan mereka. Tanah tersebut pada awalnya milik orang tua dan nenek moyang mereka. Sedangkan pihak kehutanan (saat ini bernama PSKL) melalui proyek Sutra Alam hanya meminjam tanah mereka dengan perjanjian mereka tetap menggarap tanah mereka, namun tanamannya sesuai dengan permintaan proyek pihak Citra Alam. Selain itu, sebagai tawarannya mereka juga dipekerjakan sebagai buruh proyek seperti sopir mobil operasional dan satpam[1].

Namun setelah tanahnya diambil, Proyek Sutra Alam hanya memanfaatkan lahan tersebut selama kurang lebih 3 (tiga) tahun dan selama 30 (tiga puluh) tahun terakhir tanah tersebut telah ditelantarkan[2]. Sehingga masyarakat/petani kembali memanfaatkan tanah tersebut untuk tanaman sayuran dan holtikultura lainnya.[]

Penulis : Edy Kurniawan (PBH YLBHI-LBH Makassar)

[1] Menurut keterangan kepala dusun setempat dan beberapa warga lainnya.

[2] Menurut masyarakat setempat tanah tersebut tidak lagi dimanfaatkan sehingga menjadi semak belukar yang gersang.

Categories
EKOSOB slide

Pembangunan Bendungan Karalloe Telah Merampas Ruang Penghidupan Petani

Selama puluhan tahun bahkan sebelum Indonesia merdeka, nenek moyang dan orang tua kami sudah tinggal di desa ini secara turun temurun. Dari dulu desa kami sangat aman dan tenteram, pencuri pun tidak berani masuk kesini. Tapi kami tidak habis pikir mengapa pemerintah justru mau mengambil tanah kami, apalagi kami dengar berita bahwa desa ini mau ditenggelamkan. Kami kira hanya Belanda yang sering mengambil hasil panen petani, ternyata pemerintah [Indonesia] lebih kejam karena tidak hanya mengambil hasil panen tapi juga ingin menenggelamkan desa kami”. Tutur salah satu tokoh masyarakat Desa Garing yang terkena dampak pembangunan Bendungan Karalloe.

Pesan ini disampaikan dalam bahasa campuran Makassar-Indonesia, tapi kurang lebih seperti itulah ungkapan suasana yang menyambut kami saat pertama kali datang ke Desa Garing untuk melakukan invetigasi awal pada Senin, 16 April 2017. Saat kami tiba di desa,  hari mulai gelap dan warga mulai berdatangan mengerumuni kami yang sedang menyeruput kopi di teras rumah panggung milik salah seorang warga. Pikir mereka, kami adalah orang kota yang akan menolong mereka, memberikan perlindungan keamanan dari teror dan intimidasi, bahkan salah seorang warga yang sudah dua bulan melarikan diri ke gunung/hutan karena merasa dirinya termasuk DPO (daftar pencarian orang), saat itu pun dia memberanikan diri masuk ke perkampungan karena merasa kami akan melindungi dia dari penangkapan aparat. Mereka juga berharap kami adalah orang kota yang akan mengembalikan hak – hak mereka yang direnggut. Kami kemudian meyakinkan mereka bahwa kami bukanlah seperti yang mereka bayangkan. Kami hanyalah anak nelayan, anak petani yang ingin berjuang dan menerima resiko bersama warga yang terkena dampak ketidakadilan pembangunan Bendungan Karalloe.

Seperti diketahui bahwa rencana lokasi pembangunan Bendungan Karallloe terletak di Kab. Gowa, Kecamatan Tompobulu Desa Garing dan Desa Datara, untuk Kecamatan Biringbulu terletak di Desa Kelurahan Tonrorita dan Desa Taring. Daerah genangan dan daerah aliran sungai terletak di Kab. Gowa, sedangkan jaringan irigasi dan daerah irigasinya terletak di Kabupaten Jeneponto. Luas lahan yang dibutuhkan adalah 215 Ha. Penanggungjawab proyek ini adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dengan anggara sebesar 584 milyar bersumber dari APBN.[1]

Salah satu daerah genangan bendungan adalah Desa Garing yang memiliki jumlah penduduk ± 3.000 jiwa, tepatnya di Dusun Pa’lopiang dan Dusun Bangkeng Ta’bing. Desa ini dikenal sebagai daerah tersubur yang selama ini menjadi lumbung pangan. Sebab daerah ini dilintasi sungai besar yang diberi nama oleh masyarakat setempat sungai Karalloe aliran dari hulu gunung Lompobattang. Menurut masyarakat setempat, sungai ini memiliki persediaan air yang besar dan tidak pernah kering meskipun musim kemarau. Sehingga lintasan sungai ini merupakan berkah bagi mayarakat yang bermukim dan bercocok tanam di sekitarnya, hal ini dibuktikan dengan hasil panen masyarakat setempat yang selalu melimpah pada setiap tahun[2]. Penghasilan utama masyarakat dari bertani dan berkebun seperti jagung, padi, sayuran, jambu mente, cokelat, kopi, kelapa, pentes, pisang, jati putih, kemiri dan lain lain.

Secara geografis, Desa Garing berada pada perbatasan antara Kabupaten Gowa dan Kabupaten Jeneponto. Daerahnya berada dalam kategori pegunungan, sementara permukiman masyarakat tersebar di beberapa tempat, diantaranya daerah lembah, punggungan dan dataran tinggi pegunungan.

Setiap rumah tangga Petani mampu memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari termasuk kebutuhan keluarga lainnya, seperti biaya kesehatan dan pendidikan. Meski demikian, kondisi ekonomi masyarakat cukup dekat dengan garis kemiskinan dikarenakan kekuatan produksi masyarakat hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar dan keperluan pokok lainnya. Hal ini dikarenakan mereka belum bisa memproduksi hasil pertanian dalam jumlah besar dan keterbatasan dalam pemasaran hasil panen.

bendungan.gowa.01
pertemuan dengan warga desa Garing. (doc: Aswin)
bendungan.gowa.02
pertemuan di rumah warga desa Garing. (doc. Aswin)

Awal Mula Masuknya Proyek Bendungan Karalloe

Pada tahun 2014, secara diam-diam pihak Balai Pompengan Jeneberang bersama Badan Pertanahan Negara Kabupaten Gowa melakukan pengukuran akses jalan dan batas-batas bendungan. Atas pengukuran itu, masyarakat setempat keberatan karena tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Mereka kemudian mendesak pemerintah daerah untuk menghentikan proses pengukuran. Proses pengukuran pun berhenti dengan adanya perjanjian antara masyarakat setempat dengan BPN Gowa dan Balai Pompengan Jeneberang, yang mana menyebutkan “tidak ada kegiatan pengukuran sebelum ada musyawarah ganti rugi”.

Namun, sejumlah pihak, termasuk pemerintah kecamatan Tompobulu dan pemerintah desa Garing terus mendesak masyarakat untuk melepaskan tanah garapannya. Akibat desakan disertai ancaman secara terus-menerus, bahwa menolak dan menghalagi pembangunan bendungan merupakan perbuatan melawan pemerintah, mengakibatkan sejumlah masyarakat ketakutan dan mulai terbuka untuk melepaskan tanah garapan dan pemukiman mereka. Pelepasan ini disertai dengan beberapa syarat, dan saat itu terbangun kesepakatan bersama diantaranya : pelaksanaan pengukuran harus didampingi oleh pemilik tanah; hasil pengukuran akan dikembalikan kepada pemilik tanah untuk diverifikasi dan diberikan sertifikat Program Nasional (Prona) secara gratis; pengerjaan fisik mengutamakan potensi lokal; dan masyarakat dibuatkan akses jalan.

Pada kenyataanya, pihak BPN melanggar semua kesepakatan, misalnya dalam hal pengukuran tidak transparan dan tidak melibatkan pemilik lahan. Penilaian ganti rugi ditetapkan secara sepihak oleh Tim Penilai. Hingga pembayaran ganti rugi dilakukan dengan intimidasi dari Brimob dan Aparat TNI Kodim Kab. Gowa yang dilakukan pada malam hari hingga subuh selama tiga hari secara berturut-turut.

Tidak hanya itu, Masyarakat dipaksa menandatangani suatu lembaran kertas yang mana isinya tidak diperlihatkan. Saat masyarakat menanyakan isi kertas tersebut, justru diancam balik oleh panita pengadaan tanah yang saat itu ditemani oleh Brimob dan TNI. Akhirnya sebagian masyarakat terpaksa menandatangani. Kendati demikian, sebagian masyarakat tetap tidak mau bertandatangan. Bagi yang tidak bertandatangan dan tidak mengambil uang ganti rugi, saat ini uangnya sudah dititipkan di Pengadilan Negeri Sungguminasa.

Peristiwa Tanggal 16 Maret 2017 (Penggusuran Permukiman Warga di Dusun Pa’lopiang dan Bangkeng Ta’bing)

Warga yang sudah maupun yang belum mengambil uang ganti rugi tetap tidak mau meninggalkan tanahnya secara sukarela karena biaya ganti rugi yang tidak sesuai dan tidak layak serta tidak transparan. Pihak pelaksana proyek kemudian memaksakan pembebasan lahan dengan mengerahkan ± 800 personil gabungan Brimob, TNI dan Satpol PP serta preman bayaran. Warga yang tetap bertahan mengalami kekerasan, 4 (empat) orang warga ditangkap oleh Kepolisian Resort Gowa atas dugaan senjata tajam berdasarkan UU Darurat. Mereka bernama Herman, La’bi, Sitaba dan Ridwan. Dua orang kemudian dilepaskan karena tidak cukup bukti bernama Ridwan dan Sitaba, sedangkan sisanya bernama Herman dan La’bi  tetap diproses secara hukum.  Warga berusaha melakukan mediasi dengan pihak aparat karena tanaman warga sudah siap panen. Warga hanya meminta agar pembebasan lahan ditunda hingga 1 minggu kedepan setelah panen. Namun pihak aparat tidak peduli dan tetap melakukan penggusuran secara paksa. Atas peristiwa tersebut, kurang lebih 300 orang petani kehilangan tempat tinggal (permukiman) beserta tanah garapan.

Hingga saat ini kurang lebih 2 (dua) bulan, sebagian masyarakat masih memilih bertahan di lokasi dengan mendirikan tenda darurat. Sebab mereka tidak memiliki keluarga di tempat lain dan di satu sisi mereka tidak punya uang yang cukup untuk membeli lahan baru dan mendirikan rumah. Sebagian dari mereka yang memiliki keluarga, saat ini masih tinggal menumpang di rumah keluarganya dan tetap saja tidak bisa membeli lahan baru untuk ditempati mendirikan rumah karena uang mereka tidak cukup. Disebabkan harga tanah di tempat lain lebih mahal dan biaya material rumah yang tidak terjangkau. Adapun sisa material rumah mereka yang digusur 90% persen tidak dapat digunakan kembali karena dibongkar secara paksa oleh Brimob hingga rusak.

penulis: Edy Kurniawan (PBH YLBHI-LBH Makassar)

bendungan.gowa.04 bendungan.gowa.05 bendungan.gowa.07 bendungan.gowa.03

kondisi rumah warga yang telah digusur

bendungan.gowa.06
Sekolah di desa Garing yg terancam akan digusur. Edy berfoto bersama anak-anak sekolah yang akan terancam kehilangan hak atas pendidikan akibat pembangunan bendungan
Categories
SIPOL slide

Penggalian Fakta Kejanggalan Kematian, otopsi jenazah Agung dilakukan

Setelah kurang lebih 5 (lima) bulan penyidikan oleh Polda Sulawesi Selatan tidak menemui titik kejelasan atas penyebab kematian Agung Pranata, pihak kepolisian akhirnya mengambil langkah otopsi terhadap jenazah Agung Pranata (korban). Hal ini juga dilatarbelakangi dengan hasil visum oleh pihak Rumah Sakit Bhayangkara sebulan setelah meninggalnya korban, yang mana belum cukup bagi penyidik untuk menentukan penyebab kematian korban. Korban telah dikebumikan bulan Oktober 2016, dan sedari awal melaporkan kasus kematian korban, keluarga telah menyetujui dilakukannya otopsi.

Upaya Otopsi sempat mengalami 2 (dua) kali penundaan selama 2 (dua) minggu dari jadwal yang direncakanan, dikarenakan penyidik sedang tugas luar daerah. Setelah pihak penyidik Polda Sulsel berkoordinasi dengan Dokkes RS Bhayangkara sebagai mitra untuk melakukan otopsi, serta berkoordinasi dengan pihak keluarga, proses otopsi akhirnya dilaksanakan pada hari Kamis lalu, 2 Maret 2017, di Jl. Pa’borongan desa Tolo Barat, kec. Kelara, kab. Jeneponto, lokasi pemakaman korban, setelah sebelumnya. Selain pihak keluarga korban, proses ini dihadiri oleh pihak Polsek dan Polres Takalar, Babinsam dan sejumlah masyakarat sekitar lokasi. Sementara, tim Dokpol yang melakukan otopsi terdiri atas 3 (tiga) tim, Dokkes RS Bhayangkara yang diketuai oleh Dr Kompol Eko, Tim RS Unhas (Dr Sari dan Dr Heri), dan Tim RS Labuan Baji (Dr Dony).

Proses otopsi dengan menggunakan 3 (tiga) tim, dimana 1 tim dari pihak kepolisian (RS Bhayangkara) dan 2 (dua) tim lainnya dari rumah sakit swasta. Mekanisme 3 (tiga) tim ini dlakukan untuk menjaga independensi hasil dari otopsi, dimana setiap tim akan melaporkan sesuai hasil temuan masing-masing. Dari penjelasan Dr Kompol Eko, tugas Tim Dokpol RS Bhayangkara berakhir setelah hasil hasil otopsi oleh RS Bhayangkara dikirim ke Labfor Polri. Sementara Tim RS Unhas dan RS Labuan Baji melakukan proses pemeriksaan hasil otopsi di RS Unhas. Hasil pemeriksaan otopsi akan dikeluarkan setelah dua pemeriksaan baik dari Labfor Polri maupun RS Unhas telah dipadu. Hasil tersebut kemungkinan akan keluar sekitar 1 bulan setelah proses otoposi dilakukan.

otopsi.agung.01otopsi.agung.02otopsi.agung.04

Pihak keluarga korban berharap dengan adanya proses otopsi ini, penyebab kematian korban dapat diketahui dan segera dilimpahkan ke proses persidangan. Sementara LBH Makassar, selaku kuasa hukum korban, menegaskan akan terus mengawal proses hukum dan penggalian fakta kematian korban. Terkait otopsi, dengan fakta yang ditemukan sudah semestinya pihak kepolisian tidak memiliki alasan lagi untuk tidak melanjutkan penanganan kasus kematian korban. Di sisi lain, LBH Makassar mendorong profesionalisme kepolisian dalam menangani kasus ini, sehingga tidak perlu ragu dan tidak tebang pilih, walau pelaku yang dilaporkan oleh keluarga korban adalah oknum polisi.

Agung Pranata ditangkap pada tanggal 28 September 2016, dini hari di rumahnya dengan tuduhan penggunaan narkotika. Dalam proses penangkapannya, Agung mengalami pemukulan berkali-kali dengan popor senjata. Pihak kepolisian pun tidak memberi informasi jelas mengenai keberadaan korban, sehingga paska ditangkap hingga esoknya (29/09/2016), pihak keluarga mendatangi sejumlah kantor polisi di kota Makassar (Polsek Panakkukang, Pos Polda Hertasning, Polsek Rappocini, dan Polsek Tamalate). Keluarga mendapati korban kemudian telah berada di RS Bhayangkara dalam kondisi tak sadarkan diri, penuh luka lebam disekujur tubuhnya, saraf telinga sudah tidak berfungsi, leher patah dan telah dibantu alat pernafasan. Agung Pranata meninggal pada Jumat, 30 September sekitar pukul 02.55 WITA di RS Bhayangkara. Di hari yang sama, pihak keluarga melaporkan kasus kematian tersebut ke Polrestabes Makassar namun tidak direspon. Tanggal 3 Oktober 2016, keluarga lalu melaporkan kasus tersebut ke Polda Sulawesi Selatan.[]

  otopsi.agung.03  otopsi.agung.05

Categories
Perempuan dan Anak SIPOL slide

LBH Pers dan ICJR AjukanKeterangan Tertulis Sebagai Amicus Curiae di Kasus Yuniar

Mendekati akhir proses perkara Yusniar di pengadilan, LBH Pers dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengajukan Keterangan Tertulis Sebagai Amicus Curiae dalam perkara tersebut ke PN Makassar. Amicus Curiae atau Sahabat Pengadilan, merupakan pihak yang berkepentingan terhadap suatu perkara yang memberikan pendapat berdasarkan kapasitasnya atas perkara tersebut ke pengadilan. Meskipun pendapatnya diberikan agar dapat dipertimbangkan oleh hakim, posisi Amicus Curiae berada di luar dari para pihak dalam perkara.

Praktik terhadap konsep yang berkembang dalam tradisi common law ini di Indonesia dapat dilihat dalam sejumlah kasus, diantaranya; kasus peninjauan kembali kasus Majalah Time versus Soeharto, kasus peninjauan kembali praperadilan atas Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) Bibit-Chandra, kasus penggusuran Papanggo, Jakarta Utara, kasus Prita Mulyasari, serta kasus Upi Asmaradana.

Kasus Yusniar sendiribergulir setelah Yusniar dilaporkan oleh Sudirman Sijaya, anggota DPRD Kota Jeneponto yang tersinggung atas status Facebook Yusniar yang ditulis pada 14 Maret 2017. Status Facebook tersebut dibuat Yusniar setelah peristiwa pengrusakan rumahnya oleh sejumlah orang yang dikomandoi oleh Sudirman Sijaya. Adapun proses perkara Yusniar telah sampai pada pembacaan nota pembelaan tim penasehat hukum di pengadilan (22/2), dan akan dilanjutkan pada Rabu, 8 Maret 2017 dengan agenda pembacaan replik jaksa penuntut umum.[]

Categories
SIPOL slide

Catatan Persidangan Pemeriksaan Ahli Kasus Pencemaran Nama Baik Terdakwa Kadir Sijaya

PBH LBH Makassar, selaku Kuasa Hukum Kadir Sijaya menunggu gelaran sidang di Ruang A Pangeran Pettarani
PBH LBH Makassar, selaku Kuasa Hukum Kadir Sijaya menunggu gelaran sidang di Ruang A Pangeran Pettarani

Persidangan terdakwa Kadir Sijaya kembali disidangkan di Pengadilan Negeri Makassar  pada hari kamis 18 Agustus 2016, setelah 1 bulan ditunda karena ketidakjelasan Jaksa Pengganti yang menangani kasus Kadir Sijaya, yang didakwa telah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik melalui grup facebook massanger di media elektronik berdasarkan Undang Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.  Sebelumnya, Jaksa yang menangani perkara ini adalah jaksa Fahrul dan saat ini digantikan oleh  jaksa Adrian. Dalam sidang tersebut diagendakan pemeriksaan ahli yang di hadirkan oleh jaksa penuntut umum yakni ahli bahasa dan ahli IT.

Pada saat persidangan, penasehat hukum terdakwa sempat menyatakan menolak dan mempertanyakan keabsahan ahli bahasa Drs. David G. Manuputty,M.Hum yang ditugaskan oleh Balai Bahasa Provinsi Sulsel-Bar karena pada saat di BAP saksi ahli tidak memperlihatkan serifikat kompetensi selaku ahli bahasa dan saat di persidangan pun tidak di perlihatkan, namun ahli tetap disumpah berdasarkan keputusan majelis hakim. Dalam keterangannya ahli menjelaskan bahwa saksi ahli menggunakan metode pragmatik dalam melakukan penelitian terhadap barang bukti yang diberikan penyidik kepolisian kepadanya, barang bukti yang diberikan kepada ahli pun bukan keseluruhan percakapan melainkan hanya print out penggalan kata-kata yang dianggap penyidik mengandung kata-kata pencemaran nama baik, ahli juga tidak terlalu jelas dalam menjelaskan kata mana yang memuat pencemaran nama baik  dalam konten percakapan tersebut sesuai dengan pasal yang didakwakan. Sehingga ahli memberi kesimpulan bahwa bila kata atau kalimat tersebut benar maka bukan pencemaran nama baik namun bila kata atau kalimat tersebut tidak benar maka merupakan pencemaran nama baik. Setelah pemeriksaan saksi ahli majelis hakim sempat ingin menunda persidangan dengan alasan bahwa sidang sudah tidak efektif lagi untuk mendengarkan keterangan ahli IT karena sudah menjelang pukul 17.00 WITA, namun Jaksa Penuntut umum meminta agar tetap dilanjutkan karena ahli berdomisili di jakarta dan diagendakan kembali hari itu juga sehingga sidang tetap dilanjutkan.

Ahli IT yang dihadirkan jaksa berasal dari Kementrian Komunikasi dan Informatika RI atas nama Albert Aruan, S.H yang merupakan STAF/PPNS ITE. Dalam keterangannya, ahli hanya menjelaskan jenis alat bukti dalam perkara ITE dan unsur unsur pasal yang didakwakan kepada terdakwa kadir sijaya berdasarkan print out penggalan konten kata atau kalimat yang dianggap penyidik mengandung kata-kata pencemaran nama baik tidak keseluruhan percakapan yang dibicarakan dalam grup facebook masangger tersebut. Sehingga pada saat diminta keterangannya oleh penasehat hukum terdakwa tentang keotentikan barang bukti berupa prin-out percakapan yang dianggap memuat pencemaraan nama baik, ahli tidak bisa menjelaskan karena bukan keahlianya terkait teknis IT dan ketika ditanya tentang dapatkah hasil print-out tersebut diedit, ahli mengatakan bahwa kemungkinan itu ada. Dalam penjelasan lainya juga ahli mengatakan terkait barang bukti yang diterimanya bahwa dia tidak pernah melihat informasi elektronik atau tampilan asli percakapan tersebut di media elektronik baik di handphone atau laptop dan lainnya karena hanya diberi print out percakapan tersebut. Selain itu ahli juga mengatakan bahwa print-out tersebut bisa dijadikan sebagai alat bukti surat. Namun penasehat hukum terdakwa mengatakan bahwa hal tersebut tidak bisa karena tidak melalui uji forensik sehingga diragukan keotentikannya sesuai dengan ketentuan syarat pembuktian alak bukti elektronik berdasarkan UU No 11 Tahun 2008 tentangInformasi dan Transaksi Elektronik.

Sehingga penasehat hukum terdakwa mengatakan kasus tersebut terkesan dipaksakan dan terdakwa menjadi korban kriminalisasi atas kasus tersebut. Hal tersebut sudah sempat dipermasalahkan dan diutarakan oleh penasehat hukum terdakwa pada sidang prapradilan kasus tersebut, namun hakim beranggapan bahwa masalah tersebut nanti dibuktikan di sidang pokok perkara kasus tersebut sehingga praperadilan terdakwa sebagai pemohon tidak dikabulkan dan dilanjutkan untuk disidangkan di Pengadilan Negeri Makassar yang berjalan sampai saat ini.

sumber foto : http://news.inikata.com/

Categories
Perempuan dan Anak slide

Ketuk Badan Mobil Karena Kakinya Terinjak Ban, Mahasiswi Dianiaya Pengemudi Hingga Masuk Rumah Sakit

putri

Putri (22 tahun) beberapa kali terlihat meringis kesakitan ketika dimintai keterangan tambahan oleh tim penyidik Polsek Panakukkang yang datang ke Rumah Sakit Pelamonia Makassar, Senin (8/8). Sudah lebih sebulan Putri tidak dapat beraktivitas secara normal karena rasa sakit yang dideritanya pasca penganiayaan terhadapnya pada 2 Juli 2016 lalu. Putri selaku korban sempat diantar petugas untuk melakukan visum setelah membuat laporan polisi di Rumah Sakit Grestelina Makassar, akan tetapi besar kemungkinan untuk dilakukannya visum lanjutan mengingat dampak dari penganiayaan tersebut mengharuskan korban dirawat di rumah sakit.

Berdasarkan keterangan Putri, kejadian terjadi di Jalan Mira Seruni Kota Makassar sekitar pukul 17.00 WITA. Kondisi jalan saat itu sedang macet sehingga Putri, yang saat itu hendak menuju ke Jalan Pengayoman, mengendarai sepeda motornya dengan pelan. Kafrawi Rahman (pelaku/terlapor) yang berada di sisi kiri korban melintas sehingga ban mobil yang ia kemudikan menginjak kaki korban. Korban lalu mengetuk badan mobil dan meminta terlapor memajukan mobilnya karena kakinya terinjak. Namun terlapor justru memundurkan mobilnya, korban yang kakinya semakin terjepit reflek mendorong spion mobil terlapor dan menarik kakinya. Tiba-tiba terlapor keluar dari mobil dan langsung memukul kepala korban hingga korban tersungkur. Belum sempat korban bangkit terlapor langsung menginjak dan menendang korban pada bagian belakang mulai dari kepala, punggung, hingga kaki, juga bagian dada dan perut korban, berkali-kali. Orang-orang pun berdatangan berusaha menahan terlapor, bersama korban ia dibawa ke Polsek Panakukkang untuk diperiksa.

Sebelumnya tim penasehat hukum Putri dari LBH Makassar telah melakukan koordinasi dengan penyidik, termasuk mengirim surat permintaan SP2HP beserta protes pada 2 Agustus lalu dikarenakan tim penyidik dinilai tidak melakukan pelayanan informasi penyidikan secara cepat dan tepat waktu.[Pratiwi]