Categories
EKOSOB slide

Saksi Kasus Penebangan Pohon Kawasan Hutan Laposo Niniconang Sebut 3 Terdakwa Telah Kelola Tanahnya Selama 4 Keturunan

3 (tiga) orang saksi yang dihadirkan oleh Penasihat hukum terdakwa kasus penebangan pohon di dalam Kawasan hutan lindung Laposo Niniconang Kabupaten soppeng yakni Jamadi (41 tahun), Sukardi (39 tahun) dan Sahidin (45 tahun) mengatakan bahwa kebun yang dikelola oleh terdakwa Sahidin telah dikelola oleh 3 (tiga) keturunan sebelum dia mengelolanya saat ini.

Dalam pemeriksaannya, pertanyaan hakim fokus pada penguasaan lahan terdakwa. Hakim mempertanyakan kepada saksi tentang sejak kapan kebun terdakwa dikekola. Salah satu saksi yakni Galibe mengatakan bahwa kebun yang dikelola oleh terdakwa telah dikelola sebelumnya oleh 4 (empat) keturunan berturut-turut, yakni Settang, Lagolli, Kadire (bapak Sahidin) dan Sahidin saat ini. Ia juga mengatakan bahwa di dalam kebun tersebut sebelum dikekola oleh Sahidin, tidak pernah melihat pohon besar dan yang ada di dalam kebun tersebut hanya tanaman kopi, kemiri dan cengkeh. Ia juga menambahkan bahwa sebelum ada kasus ini, ia tidak pernah mengetahui bahwa kebun yang dikelola terdakwa masuk dalam Kawasan hutan linding.

Hal tersebut juga dibenarkan oleh A.Aris sebagai saksi. Dia mengatakan bahwa apa yang di ungkapkan oleh Galibe memang benar adanya. Ia juga menegaskan bahwa sebelumnya ia tidak pernah mengetahui kalau kebun terdakwa merupakan Kawasan hutan lindung. Ia menambahkan bahwa di dalam kebun terdakwa hanya ada tanaman kopi dan cengkeh.

Pada 27 Februari 2018, Sidang pokok perkara terpidana kasus penebangan pohon di dalam Kawasan hutan lindung Laposo Niniconang kabupaten soppeng kembali digelar di Pengadilan Negeri Watansoppeng. Agenda sidang kali ini adalah pemeriksaan saksi yang di hadirkan oleh Penasihat hukum terdakwa terhadap Sahidin. LBH Makassar sebagai Penasihat hukum terdakwa yang pada sidang kali ini didampingi oleh Edy Kurniawan Wahid, S.H. dan Ridwan, S.H. menghadirkan 3 (tiga) orang saksi yang masing-masing bernama A. Baso Petta Karaeng, Galibe dan A. Aris.

Sampai saat ini keluarga dan kerabat terdakwa masih semangat untuk menghadiri persidangan. Terbukti, dari sidang pertama sampai saat ini, peserta sidang melebihi kapasitas kursi yang disediakan. Mereka terus memberikan dukungan kepada terdakwa dan juga menaruh harapan agar terdakwa bisa divonis bebas.

Sebelumnya, 3 (tiga) terdakwa telah ditangkap oleh Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPPHLHK) dalam operasi yang dilakukan pada 22 oktober 2016. Para terdakwa telah didakwa melakukan tindak pidana bidang kehutanan dalam Pasal 12 jo. Pasal 82, atau Pasal 17 Ayat 2 jo. Pasal 92 Ayat 1 UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan, dengan ancaman pidana hingga paling lama 10 tahun dan denda 5 miliar rupiah.

Categories
SIPOL slide

Diperlakukan Tidak Manusiawi, Ratusan Pengungsi dari Luar Negeri Demonstrasi di Depan Gedung IOM dan UNHCR

Pengungsi dari berbagai negara melakukan aksi damai pada Rabu, 21 Februari 2018. Aksi tersebut dilakukan di depan kantor perwakilan International Organization for Migration (IOM) dan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) Komisioner Tinggi PBB untuk Pegungsi, yang berada di Menara Bosowa, Jalan Jendral Sudirman No.5, Pisang Utara, Kota Makassar.

Aksi ini dilakukan setelah berbagai dugaan peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap pengungsi yang dilakukan oleh Pihak Imigrasi Makassar, di beberapa Tempat Penampungan Pengungsi-Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Makassar. Beberapa pengungsi diambil dari tempat penampungannya lalu dibawah ke Rudenim Makassar, Bolangi, Kabupaten Gowa, tanpa alasan yang jelas terkait pelanggaran yang dilakukan.

Adapun dalam aksi damai tersebut turut dibagikan selebaran yang memuat tunutan mereka, yakni : Penarikan petugas imigrasi dari shelter pencari suaka.; Rumah pengungsi harus tetap dibuka hingga jam 11 malam dan para pengungsi dapat bergerak bebas tanpa pembatasan.; Para pengungsi harus diperbolehkan untuk melayani tamu di kamar mereka tanpa pembatasan. ; Para pengungsi harus diizinkan untuk bergerak bebas di dalam kota tanpa pembatasan.; Pihak berwenang (IOM, UNHCR, dan imigrasi) harus memperjuangkan hak-hak pengungsi berdasarkan hukum internasional; Pembebasan bagi para pengungsi yang ditahan tanpa alasan.; Hak atas pelayanan kesehatan bagi pengungsi yang sakit.; dan Percepatan proses perpindahan tempat ke Negara tujuan.

Salah satu korban kekerasan, yang ikut berdemontrasi menceritakan dirinya pernah dijemput paksa oleh Petugas Imigrasi dari rumah penampungannya tanpa mengetahui dengan jelas kesalahan yang dilakukan dan ditahan selama satu hari di Kantor Imigrasi Makassar.

“Saat itu, saya diambil oleh petugas imigrasi di rumah penampungan. Saya dpukuli hingga mengalami luka-luka. Saya ditahan selama satu hari di tahanan Khusus di Rumah Detensi Imigrasi Makassar, tanpa alasan yang jelas. Setelah itu, saya hanya diberi uang pete-pete lalu diperintahkan untuk pulang.” Tutur salah seorang imigran yang identitasnya dirahasiakan.

Akibat perlakuan kekerasan yang ia dapatkan, beberapa hari sesudahnya ia selalu merasakan sakit di bagian ulu hatinya akibat dipukuli. Bahkan, saat ditemui ia memperlihatkan luka-luka yang menurutnya adalah bekas kekerasan yang dilakukan oleh Petugas Imigrasi.

Indonesia bukan negara yang ikut menandatangani Konvensi tahun 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol tahun 1967. Namun demikian, hak untuk mencari suaka dijamin di dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, Pasal 28G ayat (2) yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”. Lebih lanjut, juga dijamin dalam Undang-undang HAM No.39 Tahun 1999 Pasal 28 juga menjamin bahwa: “Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain.” Sehingga tindakan kekerasan yang dilakukan pihak Imigrasi Makassar terhadap pengungsi meskipun dengan alasan penertiban sama sekali tidak dibenarkan. Dan dikategorikan sebagai pelanggaran HAM.

Categories
EKOSOB slide

Tidak Ada Dialog, Petani Kawasan Hutan Niniconang Soppeng Justru Direpresi

Sidang atas 3 (tiga) Petani Kawasan Hutan Laposo Niniconang Kab. Soppeng kembali digelar di Pengadilan Negeri Soppeng, Selasa (20/2). Agenda sidang berlanjut dengan pemeriksaan Ahli, Saksi Kepala Desa setempat, serta Anggota Tim Operasi Patroli yang dilakukan oleh Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPPHLHK) yang menangkap ketiga terdakwa.

Dalam keterangannya di persidangan, Kepala Desa dan Ahli pada pokoknya menerangkan bahwa, di sekitar kawasan hutan, keduanya tidak pernah melihat papan pengumuman tentang kawasan hutan lindung. Keduanya pun menerangkan tidak ada sosialisasi tentang kawasan hutan lindung kepada warga. Fakta tersebut menunjukkan bahwa pendekatan kepada warga kawasan hutan tidak mengedepankan dialog, sebaliknya BPPHLHK justru represif dengan melakukan penangkapan kepada 3 terdakwa.

Hal ini berbeda dengan isi surat edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Penanganan Kasus-kasus Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Nomor SE.1/Menlhk-II/2015, dimana dalam penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus lingkungan hidup dan kehutanan, khususnya yang menyangkut klaim masyarakat setempat / masyarakat hukum adat, harus dihindari tindakan represif dan mengedepankan dialog dengan memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Penangkapan terhadap para terdakwa pun pada akhirnya telah melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 95/PUU-XII/2014 tertanggal 10 Desember 2015 yang pada pokoknya menyatakan bahwa “Ketentuan Pidana Kehutanan dikecualikan terhadap masyarakat yang secara turun – temurun hidup di dalam kawasan hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersil”. Hal mana putusan ini telah ditindaklanjuti melalui Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan R.I. Nomor : SE.2/Menlhk./Setjen/Kum.4/2/2016 tertanggal 1 Februari 2016 yang menjadi pedoman terhadap penegakan hukum menyangkut kawasan hutan khususnya bagi masyarakat yang hidup secara turun – temurun dalam kawasan hutan.

Hal ini penting sebab warga mengaku mengelola kebun dalam kawasan hutan semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan sandang, papan, dan pangan. Perkebunan yang mereka garap pun merupakan lahan yang digarap dari orangtua mereka yang sebelumnya dikelola secara turun-temurun. Hal tersebut juga diterangkan oleh saksi dari warga kawasan hutan di muka persidangan.

Penangkapan atas ketiga terdakwa membuat warga khawatir dengan posisi mereka yang hidup di dalam kawasan hutan karena banyak dari mereka yang juga memiliki lahan perkebunan yang lokasinya diklaim oleh Kehutanan termasuk dalam Kawasan Hutan Lindung Niniconang. Dalam persidangan nampak puluhan warga yang memberikan dukungan terhadap para terdakwa dan berharap ketiganya divonis bebas oleh Hakim. Hal ini dilakukan oleh warga sebagai bentuk dukungan kepada para terdakwa. Warga sangat prihatin melihat kondisi para terdakwa yang telah ditahan selama lebih dari 3 (tiga) bulan, sedang ketiganya memiliki keluarga yang harus dinafkahi kehidupannya.

Categories
EKOSOB slide

Warga Kawasan Hutan Laposo Niniconang Diberi Penyuluhan Hukum

Cuaca yang mendung menyambut baik kedatangan Tim LBH Makassar yang mendampingi korban kriminalisasi petani di kawan hutan lindung Laposo Niniconang, Kabupaten soppeng, Senin (12/02). Tim memasuki kawasan hutan Laposo Niniconang untuk bertemu dengan warga sekitar kawasan hutan untuk menelusuri fakta terkait perkara yang kini mendera ketiga petani kawasan hutan, Sukardi, Jumadi, dan Sahidin. Di sana selain melakukan investigasi, Tim juga melakukan penyuluhan hukum yang disambut dengan antusias oleh warga.

Salama’, Ketua Forum Bersama Petani Latemmamala, serikat tani yang telah dibentuk oleh warga, membuka forum penyuluhan dengan kata sambutan yang menjelaskan singkat tujuan pelaksanaan kegiatan tersebut. Di sela penyuluhan banyak warga yang hadir mengaku cemas semenjak kriminalisasi dilakukan oleh BPPHLHK, warga sekitar menjadi khawatir akan terjadi penangkapan lagi di kemudian hari. Edy kurniawan, selaku pengacara ketiga terdakwa memberikan penjelasan kepada warga bahwa sebenarnya apa yg telah dilakukan oleh BPPHLHK melanggar keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 95 Tahun 2014.

Penangkapan yang dilakukan oleh BPPHLHK pun merupakan proses yang cacat secara administrasi karena penangkapan yang sebelumnya dilakukan terhadap ketiga petani tidak disertai dengan Surat Tugas dan Surat Penangkapan. Edy juga memberikan penjelasan kepada warga terkait posisi mereka yang hidup di kawasan hutan beserta sejumlah hukum yang mengaturnya. Dengan adanya penyuluhan hukum tersebut, warga mulai paham akan posisi mereka yang hidup di kawasan hutan.

 

Categories
EKOSOB slide

Forum Bersama Petani Latemmamala Soppeng; BPPHLHK Telah Rampas Hak Asasi 3 Petani di Kawasan Hutan

Memperoleh kehidupan yang layak dan mendapatkan pekerjaan merupakan dua dari sekian banyak hak yang dimiliki oleh warga negara Indonesia. Hal tersebut dipertegas dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945 pada pasal 7 ayat (2) yang berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Pasal tersebut berbicara tentang hak warga negara Indonesia dalam pekerjaan dan penunjang kehidupan dengan ukuran kriterianya adalah layak bagi manusia. Pasal tersebut sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat yang dipertanggung jawabkan oleh negara.

Selain itu, dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang dapat dibaca pada ketentuan pasal 4 yang menyebutkan bahwa “Hak untuk hidup, Hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui, sebagai pribadi dan persamaan di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang tidak berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.

Dalam kenyataannya, masih banyak kita jumpai masyarakat yang belum merasakan kehidupan yang layak dan pekerjaan untuk memperoleh kebutuhan hidup mereka. Bahkan sampai-sampai biasa kita temukan pemberitaan di media massa tentang tindakan kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat negara terhadap warganya sendiri. kejadian ini sangat ironis dengan amanat Undang-undang Dasar Tahun 1945.

Salah satu contoh kongkrit tentang kriminalisasi yang dilakukan oleh negara adalah ditangkapnya 3 (tiga) orang petani yang masing-masing bernama Sahidin (45 tahun), Jumadi (41 tahun) dan Sukardi (39 tahun) yang sekarang telah menjadi terdakwa atas membukan perkebunan dan menebang pohon di Kawasan hutan lindung. Pada tanggal 22 oktober 2017, Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPPHLHK) melakukan patroli di kawasan hutan lindung Niniconang, Kabupaten Soppeng. Pada saat patroli, petugas BPPHLHK mendapati ketiga terdakwa sedang menanam beberapa tanaman di kebun mereka masing-masing dan terlihat ada beberapa bekas penebangn pohon. Atas dasar itulah mereka mereka ditahan dan dijadikan terdakwa.

Jika ditelusuri lebih dalam, ketiga terdakwa membuka lahan perkebunan tersebut hanya untuk memenuhi kebutuhan sandang, papan, dan pangan. Selain itu, tidak ada perbuatan komersialisasi yang dilakukan oleh ketiga terdakwa. Perbuatan yang mereka lakukan murni untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan. Terlebih lagi, ketiga terdakwa, keluarga dan masyarakat yang bermukim di Kawasan hutan tersebut, sudah lama menetap di Kawasan hutan tersenbut. Sebelum adanya penunjukan pada tahun 1982 dan penetapan pada tahun 2014 kawasan hutan lindung, masyarakat setempat sudah menetap di sana. Bahkan masyarakat mengaku kalau mereka menetap di Kawasan tersebut jauh sebelum kemerdekan Republik Indoneasia.

Jika melihat fakta yang ada, ketiga terdakwa tidak seharusnya dijadikan terdakwa atas perbuatan mereka. Seharusnya BPPHLHK mempelajari Undang-undang yang berlaku dan mempunyai kajian mendalam tentang kondisi masyarakat setempat. Hal ini sesuai dengan amanat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 95/PUU-XII/2014 tertanggal 10 Desember 2015 yang pada pokoknya menyatakan bahwa “Ketentuan Pidana Kehutanan dikecualikan terhadap masyarakat yang secara turun-temurun hidup di dalam kawasan hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersil”. Bedasarkan keputusan tersebut, apparat BPPHLHK tidak seharusnya mempidanakan ketiga terdakwa.

Fakta-fakta tersebut membuktikan bahwa adanya penindasan yang dilakukan oleh negara, dimana BPPHLHK telah melanggar HAM masyarakat di Kawasan hutan Niniconang. Ini merupan tindakan yang sangat merugikan masyarakat.

Atas dasar tesebut, warga yang tergabung dalam Forum Bersama Petani Latemmamala, L-haerindo dan LBH-Makassar melakukan Aksi di Pengadilan Negeri Watansoppeng pada tanggal 13 Februari 2018. Sekitar 100 orang warga yang tergabung dalam Forum Bersama Petani Latemmamala terlibat dalam aksi tersebut. Rico sebagai perwakilan L-Haerindo dalam orasinya mengatakan bahwa, “Aksi ini dilakuakn sebagai jalan yang terakhir ditempuh diluar jalur persidangan. Aksi kami bukan aksi anarkis. Kami hanya menuntut keadilan kepada pemerintah”. Massa aksi menuntut kepada pemerintah agar membebaskan ketiga terdakwa yang telah terpidanakan. Massa aksi melayangkan 4 (empat) tuntutan, yakni; Bebaskan saudara kami, Sahidin, Sukardi dan Jamadi; Revisi SK Menteri Kehutanan R.I. Nomor 5356/Men.Hut-UII/KUH/2014 tentang penetapan Kawasan hutan Laposo Ninicoinang; Tegakkan Putusan MK Nomor 95/PUU-XII/2014; dan Stop Kriminalisasi Petani dalam Kawasan Hutan.

Categories
EKOSOB slide

Tiga Petani Kawasan Hutan Laposo Niniconang Didakwa Lakukan Pidana Kehutanan, Ancaman Pidana Hingga 10 Tahun

Proses hukum atas 3 (tiga) Petani Kawasan Hutan Laposo Niniconang Kab. Soppeng berlanjut ke sidang pokok perkara dengan agenda pembacaan dakwaan jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Soppeng, Selasa (6/2). Sebelumnya, kendati penangkapan para petani dinyatakan dilakukan dengan cara melawan hukum oleh hakim praperadilan, penetapan tersangka dan penahanan terhadap tiga petani tersebut dinyatakan sudah sesuai dengan prosedur sehingga proses hukum tetap berlanjut. Ketiga terdakwa didakwa melakukan tindak pidana bidang kehutanan dalam Pasal 12 jo. Pasal 82, atau Pasal 17 Ayat 2 jo. Pasal 92 Ayat 1 UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan, dengan ancaman pidana hingga paling lama 10 tahun dan denda 5 miliar rupiah.

Lebih lanjut dalam dakwaan jaksa penuntut umum, terdapat keganjilan misalnya dakwaan terhadap Terdakwa Sukardi, mengenai luas lahan. Oleh penuntut umum Sukardi disebut mengklaim lahan seluas ± 50 Ha dalam kawasan hutan sebagai milik almarhum ayahnya, yang kemudian diolah oleh terdakwa. Penuntut umum dalam dakwaannya menyebut terdakwa Sukardi tidak memiliki bukti kepemilikan berupa sertifikat atau PBB atas tanah tersebut, dan di atas tanah kebun tersebut telah didirikan bangunan berupa pondok milik terdakwa. Uraian dalam dakwaan tersebut berbeda dengan fakta yang ada di lapangan, berdasar hasil investigasi yang dilakukan oleh LBH Makassar, luas kebun yang dimiliki oleh Sukardi hanya berkisar ± 1 Ha. Ini adalah salah satu indikasi bahwa dakwaan yang diberikan kepada Sukardi merupakan hal yang mengada-ada.

Di samping uraian dalam dakwaan, Tim Penasihat Hukum dari LBH Makassar yang mendampingi ketiga terdakwa juga terhambat dalam memperoleh berkas perkara, yang saat persidangan sebenarnya telah dimohonkan untuk diberikan kepada Majelis Hakim. Salinan berkas perkara para terdakwa ini penting diperoleh dalam rangka melakukan pembelaan atas ketiganya.

Saat ini, pihak keluarga berharap agar para terdakwa cepat dibebaskan karena tuduhan yang dilayangkan kepada mereka dianggap tidak sesuai dengan kondisi riil di lapangan, di samping melanggar beberapa aturan. Selain itu, mereka juga berharap agar keadilan bagi para petani benar-benar ditegakkan dalam kasus ini. Jika tidak, akan banyak petani kawasan hutan yang mengalami hal yang sama seperti Sukardi, Jumadi, dan Sahidin.

Categories
EKOSOB slide

Penangkapan Petani Hutan Laposo Niniconang Melawan Hukum, Hakim Putus Penetapan Tersangka dan Penahanan Tetap Sah

Hakim Praperadilan kabulkan sebagian permohonan 3 (tiga) Petani Kawasan Hutan Laposo Niniconang Kab. Soppeng (9/1) yang ditangkap pihak BPPHLHK pada 22 Oktober 2017. Sidang pembacaan Putusan Praperadilan di Pengadlan Negeri Makassar dipimpin oleh Hakim tunggal Budiansyah, S.H., M.H. Dalam amar putusannya, menyatakan bahwa penangkapan terhadap Jamadi (45 tahun) dan Sukardi (39 tahun) adalah tidak sah. Lebih lanjut dalam pertimbangannya, Hakim menilai bahwa penangkapan yang dilakukan oleh pihak kehutanan/Termohon dilakukan dengan cara melawan hukum, karena Jamadi dan Sukardi tidak sedang melakukan tindak pidana. Sehingga alasan ‘tertangkap tangan’ tidak dapat dibenarkan. “Putusan ini menjadi pelajaran bagi pihak kehutanan/Termohon agar kedepannya tidak lagi melakukan tindakan penangkapan secara sewenang-wenang,“ ujar Hakim Budiansyah.

Namun di sisi lain, Hakim juga menyatakan dalam amar putusannya bahwa penetapan tersangka dan penahanan terhadap tiga petani tersebut sudah sesuai dengan prosedur. Sehingga pokok perkaranya tetap dilanjutkan. Menanggapi hal ini, LBH Makassar selaku penasehat hukum petani menyayangkan putusan Hakim yang tidak sepenuhnya berpihak pada keadilan bagi kaum miskin dan marjinal. Jika penangkapan dilakukan dengan cara melawan hukum, maka proses selanjutnya berupa penetapan tersangka dan penahanan menjadi tidak sah. Karena proses awalnya tidak sah, maka proses selanjutnya secara mutatis mutandis akan batal demi hukum/tidak sah. Dalam perkara ini, seharusnya Hakim bertindak lebih progresif dan melihat perkara ini secara utuh yaitu proses penangkapan, penetapan tersangka dan penahanan adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Dalam sidang sebelumnya dengan agenda mendengarkan keterangan saksi fakta dari pihak termohon, muncul fakta bahwa Surat Perintah Penangkapan baru dikeluarkan pada tanggal 25 Oktober 2017, 3 (tiga) hari setelah penangkapan para pemohon. Fakta ini membuktikan bahwa penangkapan selama 3 (tiga) hari pada tanggal 22 s/d 24 Oktober 2017 terhadap 3 (tiga) petani tanpa status hukum yang jelas merupakan pelanggaran HAM, karena pihak BPPHLHK telah mengekang kebebasan mereka secara sewenang-wenang dan tanpa dasar hukum.

Petani Kelola Kebun di Kawasan Hutan Secara Turun-Temurun

Dalam fakta persidangan pada tanggal 3 Januari 2018, 4 (empat) saksi dari pemohon menerangkan bahwa mereka yang ditangkap benar berasal dari kampung Coppoliang dan kampung Jollle, Desa Umpungeng, Kab. Soppeng, serta telah tinggal dan berkebun di kampungnya secara turun-temurun. Lebih lanjut saksi menyatakan bahwa pada tahun 1975 orangtua mereka telah menanam kopi di kebunnya, Sedangkan penunjukan kawasan hutan Laposo Niniconang baru pada tahun 1987 dan penetapannya pada tahun 2014.

Artinya, ketiga petani yang ditangkap sudah mengelola kebunnya sebelum penunjukan dan penetapan kawasan hutan Laposo Niniconang. Dengan demikian, penangkapan terhadap 3 (tiga) petani tersebut di atas telah melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 95/PUU-XII/2014 tertanggal 10 Desember 2015 yang pada pokoknya menyatakan bahwa “Ketentuan Pidana Kehutanan dikecualikan terhadap masyarakat yang secara turun – temurun hidup di dalam kawasan hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersil”.

Categories
SIPOL

Preman Teriak Akan Menculik Korban Penganiayaan Satpol PP Bone

MAKASSAR – Andi Takdir, difabel daksa kinetik yang merupakan korban penganiayaan oleh oknum Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Bone kembali menerima teror. Jika dini hari Jumat, 5 Januari 2018 lalu, orang tak dikenal (OTK) melakukan pengrusakan di rumahnya, kali ini ancaman penculikan.

Ketua Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kabupaten Bone itu menuturkan soal teror yang baru dialaminya, Minggu, 7 Januari 2017 pagi tadi. “Tadi pagi ada orang yang berteriak dekat rumah. Itu preman yang pernah datang ke rumah.  Dia bilang ‘hati-hati nanti ada yang culik’,” kata Takdir menirukan teror preman tersebut.

Menurutnya orang berteriak-teriak dan meninggalkan rumah Takdir. “Dia lewat-lewat saja di samping rumah, ” tambah dia. Pria 30 tahun ini menduga kuat, jika orang tersebut adalah preman yang juga pernah datang ke rumahnya sebelumnya. Ancaman itu diduga sebagai upaya untuk mengendorkan semangat Takdir dalam penuntasan kasus yang minimpahnya pada 23 Desember 2017 lalu.

Apalagi sebelumnya, ia juga sempat menerima teror dalam bentuk pelemparan batu atau pengrusakan fasilitas, hingga kaca jendela rumahnya pecah. Takdir juga mengaku telah melaporkan kasus ini ke pihak kepolisian untuk ditindaklanjuti. “Belum ada yang ditahu pelakunya. Namun saya curigai preman yang pernah datang di rumah,” kata Takdir.

Kendati begitu ia tetap mempercayakan kasus ini bisa dituntaskan kepolisian. Menurutnya, ini merupakan kali kedua ia harus menerima ancaman dalam bentuk tekanan mental. “Sudah saya laporkan lagi, kata polisi sudah ditahap penyelidikan untuk dicari pelakunya,” kata Takdir lagi.

Tim pendamping hukum Andi Takdir, Ridwan Rido mengatakan, pihaknya juga telah melayangkan laporan ke Polres Bone untuk mengungkap upaya teror ini. Sejauh ini kata Rido, pihaknya sangat dirugikan dengan tindakan teror tersebut. “Apa lagi kasus penganiayaannya ini masih sementara berproses jadi kita harap bisa diungkap lagi apa motif lainnya,” kata Rido.

Sementara Kasat Reskrim Polres Bone, AKP Hardjoko mengaku saat ini pihaknya tengah melakukan upaya penyelidikan soal pelaku pelemparan dan teror terhadap Andi Takdir. “Siap masih dalam proses penyelidikan,” singkat Hardjoko.

Categories
EKOSOB slide

Pasca tertundanya aksi 3.000 nelayan, GERTAK mendatangi Kantor Polda Sulsel

galesong.8.2017.03

Tertundanya rencana aksi “68” (6 Agustus 2017) di lokasi proyek reklamasi Centre Point of Indonesia (CPI) yang melibatkan ± 3.000 nelayan tradisional di Kecamatan Galesong, Sanrobone dan Tanakeke Kab. Takalar tidak serta merta menyurutkan semangat perjuangan para nelayan. Pada Senin, 7 Agustus lalu, para pimpinan/perwakilan nelayan bersama mahasiswa dan pendamping yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Tolak Tambang Pasir Laut Takalar (GERTAK) mendatangi kantor Polda Sulsel untuk memenuhi panggilan Kapolda yang sebelumnya sudah berjanji kepada nelayan untuk melakukan mediasi antara nelayan dan pihak penambang serta pemerintah provinsi Sulawesi Selatan.

Pertemuan dilakukan di Direktorat Intelkam Polda Sulsel, dimana turut diundang para Kepala Desa pesisir yang mengalami dampak langsung akibat tambang pasir laut, yaitu Desa Kaluku Bodo, Desa Kobo, dan Desa Bontomarannu. Sementara dari pihak Polda yang menerima adalah H. Parinringi (Kasubdit. Sosbud.), AKBP. Akbar Nur (Kasubdit. Politik), dan H. Abubakar (Kasubdit. Kamneg.). PBH LBH Makassar untuk sektor Ekosob, yakni Edy Kurniawan Wahid dan Firmansyah, sebagai pendamping para nelayan Galesong juga hadir dalam pertemuan tersebut.

Edy dan Firmansyah meminta kepada Polda Sulsel untuk melakukan peninjauan kembali perizinan tambang pasir laut Takalar serta menghentikan sementara aktivitas tambang selama proses peninjauan kembali. Tidak hanya itu Edy juga mendesak pihak Polda untuk segera melakukan penyelidikan terkait adanya dugaan tindak pidana lingkungan hidup. Hal ini diungkapkan berdasarkan keterangan dari beberapa nelayan terkait meningkatnya tingkat abrasi, banyaknya lumba-lumba dan jenis ikan lainnya yang secara tiba-tiba ditemukan mati terdampar di pantai Galesong sejak aktivitas tambang berlangsung. Alat tangkap nelayan seperti jaring, keramba, rompong juga ikut hilang, dan nelayan menduga kapal penyedot pasir menambang di luar konsesi tambang.

Di pihak lain, para Kepala Desa menuturkan bahwa sudah beberapa kali meminta kepada pihak perusahaan dan Dinas Lingkungan Hidup Sulsel untuk turun langsung kepada masyarakat untuk melakukan sosialisasi. Akan tetapi sampai hari ini tindak kunjung turun. Ini semakin nyata membuktikan bahwa sejak awal perizinan tambang tersebut tidak pernah melibatkan masyarakat secara luas yang terkena dampak langsung maupun tidak langsung.

Dari hasil pertemuan tersebut, maka disepakati beberapa hal, diantaranya:

  1. Pihak Polda Sulsel berjanji akan segera melakukan mediasi mempertemukan nelayan dengan pihak perusahaan dan Pemerintah Provinsi Sulsel;
  2. Pihak Polda akan melakukan penyelidikan terkait adanya dugaan tindak pidana lingkungan hdup tambang pasir laut Takalar;
Categories
EKOSOB slide

LBH Tantang Keseriusan Polda Sulsel Usut Dugaan Tindak Pidana Lingkungan Hidup

galesong.8.2017.04

Terkait dengan aktivitas tambang pasir laut Takalar yang sudah kurang lebih 3 (tiga) bulan mendapat penolakan keras dari nelayan disepanjang pesisir Kec. Galesong, Sanrobone dan Tanakeke, Kab. Takalar. LBH Makassar menantang pihak Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan untuk serius mengusut dugaan tindak pidana lingkungan hidup. Hal ini disampaikan oleh Edy Kurniawan Wahid (Koord. Bidang Lingkungan Hidup LBH Makassar) dalam pertemuan bersama jajaran Polda Sulsel pada Senin, 7 Agustus 2017, di Direktorat Intelkam Polda Sulsel. Pertemuan tersebut dihadiri oleh Kasubdit. Kamneg (H. Abubakar), Kasubdit Sosbud. (H. Andi Parinringi), dan Kasubdit Politik (AKBP Akbar Nur).

Edy menyampaikan desakan tersebut dengan didasarkan banyaknya keluhan nelayan selama aktivitas tambang berlangsung, seperti peningkatan abrasi di sepanjang pesisir Galesong, nelayan kehilangan wilayah kelola tradisional karena dijadikan area tambang serta kehilangan alat tangkap berupa jaring, keramba dan rompong. Tak sedikit pula beberapa jenis ikan seperti lumba-lumba dan ikan besar lainnya ditemukan mati terdampar di pesisir Galesong. Terjadinya peristiwa tersebut diduga kuat karena adanya aktivitas tambang yang mengganggu habitat ekosistem laut. Atas situasi sekarang, Dg Tompo, salah seorang nelayan Galesong, menyampaikan adanya dampak signifikan terhadap penurunan kualitas hidup puluhan ribu nelayan Galesong-Sanrobone-Tanakeke karena menurunnya pendapatan nelayan hingga 80 % dari biasanya. Di sisi lain, para nelayan menduga jika perusahaan melakukan penambangan di luar konsesi tambang.

galesong.8.2017.01

“Jangan sampai kasus ini akan menambah daftar panjang ketidakpercayaan publik terhadap proses penegakan hukum, untuk itu kami akan menaruh hormat jika Polda Sulsel serius melakukan penyelidikan kasus tersebut”, Ujar Edy K. Wahid.[]