Categories
Opini

Membela Aksi Mahasiswa Makassar

Sejak aksi penolakan kenaikan harga BBM mulai menjadi semacam trend bagi mahasiswa Makassar, setidaknya sejak tahun 2009, posisi media dalam pengamatan saya, secara umum tidak mendukung gerakan mahasiswa. Klaim ini merujuk pada fakta bahwa dari tahun ke tahun, yang menjadi headline – silahkan dicek – di koran-koran lokal Makassar bila musim demo BBM tiba adalah aksi rusuh dan bentrok Mahasiswa vs Polisi. Aksi mahasiswa hampir tidak punya tempat positif sama sekali dalam pemberitaan media.

Membela-Aksi-Mahasiswa-Makassar

Download PDF

Categories
Opini

Fadly dan Problem Demokrasi Kita

Demokrasi adalah from the people, by the people, and for the people. Begitulah adigium masyhur yang dilontarkan Abraham Lincoln. Walaupun sebetulnya Lincoln agak munafik ihwal gagasannya ini. Lincoln sendiri sesungguhnya adalah seorang bangsawan/sipil borjuis yang berbicara tentang demokrasi dan kebebasan dengan motif tertentu agar budak-budak kulit hitam/negro atau warga Afro Amerika (Malcom X menggunakan istilah Afro Amerika menggatikan istilah Negro yang sebelumnya digunakan sebagai penyebutan bagi warga Amerika berkulit hitam) dibebaskan dari sisa-sisa sistem perbudakan yang berlaku di Amerika ketika itu.

Di bawah ini kami lampirkan opini selengkapnya dari salah seorang PBH LBH Makassar. Opini ini sebelumnya diterbitkan di koran Harian Fajar edisi Kamis 8 Januari 2015

Fadly-dan-Problem-Demokrasi-Kita

Download PDF

Categories
Opini

Hak Atas Kota

Proyek reklamasi wilayah pesisir untuk kepentingan pembangunan Centre Point of Indonesia dan rencana swastanisasi PD Parkir Makassar Raya adalah 2 model pembangunan yang gagal mengidentifikasi kebutuhan warga kota. Dua program pembangunan ini sama sekali bukan untuk kepentingan/kebutuhan warga.

(Tulisan ini sebelumnya dimuat di harian Tribun Timur edisi Kamis, 11 Juni 2015)

Hak-Atas-Kota

Download PDF

Categories
EKOSOB

Isteri Korban Penembakan Petani Mengadu ke LBH Makassar

img_20131127_145433Bau Arma istri  korban  penembakan yang dilakukan Polisi di Desa Bontomangiring Kab. Bulukumba mendatangi Kantor LBH-Makassar di Jln Pelita Raya VI, Bau Arma ditemani beberapa warga Desa Bontomangiring termasuk kepala Dusun Bulusani untuk mendapatkan Perlindungan serta pendampingan hukum di Kantor LBH Makassar terkait penembakan yang merenggut nyawa suaminya Marzuki (28) yang terjadi pada hari sabtu tanggal 23 Nopember 2013 di Jalan Desa Poros Bontomangiring Dusun Bulusani Kec. Bontomangiring Kab. Bulukumba,

Marzuki awalnya  dikeroyok oleh dua orang bersaudara yaitu Yusuf dan Alam   karyawan perkebunan Karet PT Lonsum termasuk tiga orang Anggota Polisi yang ditugaskan oleh Polres Bulukumba sebagai petugas pengamanan Perkebunan Karet PT Lonsum  melakukan penembakan kepada korban. Marzuki dicegat oleh pelaku di Jalan Desa Poros Bontomangiring dimana sebelumnya para pelaku sudah mencar-cari korban, ujar Arfah salah seorang saksi pada saat mengadu di LBH-Makassar

saya dicegat oleh Yusuf  yang ditemani oleh anggota polisi yang mengenakan jaket hitam serta membawa senjata laras panjang dimana yusuf pada saat itu menanyakan keberadaan Marzuki (korban)”. Arfah pada saat itu juga dituduh melakukan pengrusakan portal milik Perkebunan Karet PT Lonsum. Pada saat sedang bicara yusuf memanggil anggota polisi dan kemudian memukuli Arfah dengan menggunakan senjata laras panjang pada bagian punggung kemudian menyuruhnya pulang.

Sementara Pattaning dan Syamsir saksi yang berada di TKP pada saat terjadinya penembakan berkisah  pada saat terjadinya  pengeroyokan yang berujung pada penembakan  terhada korban kami berdiri kurang lebih tiga meter dari korban dimana yusuf bersama-sama Alam mengarahkan badiknya kearah korban dimana korban pada saat itu sama sekali tidak melakukan perlawanan “saya dan syamsir datang mendekat dengan maksud ingin melerai, namun diancam oleh Pelaku. Ujar Pattaning.

Yusuf dan alam memegang  kedua tangan korban masing-masing satu tangan, dan yusuf menyuruh polisi untuk menembak korban.  Polisi yang bernama pak khalik langsung menembak paha kiri korban sebanyak 1 kali dari jarak dekat ke arah paha kiri, korban langsung jatuh  kemudian pak khalik menembak lagi paha kanan korban sebanyak 2 kali dengan jarak dekat.

Korban yang sudah tidak berdaya hanya teriak-teriak “Apa salah saya pak kenapa saya ditembak” sambil terjatuh. Ujar syamsir mengenang peristiwa penembakan itu. Pattaning menambahkan Sebelum penembakan kedua dan ketiga Saya berteriak melarang polisi menembak korban jangan ditembak pak itu marzuki masyarakat kita  juga, namun pelaku tidak mengubrisnya, Polisi kemudian memborgol korban lalu menyeret ke jalan masuk sekitar 7 meter. Kemudian dianaikkan diatas mobil strada warna silver hijau.

LBH-Makassar akan mengawal proses hukum  kasus tersebut dan akan melaporkan tidakan aparat kepolisian langsung ke Polda Sulselbar “karena apabila diproses di Polres Bukukumba kami yakin Polres tidak akan bekerja professional malah akan melindungi pelaku” Ujar Haswandy Andy Mas, Wakil Direktur LBH Makassar. Kami  juga akan menyurat ke Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di Jakarta untuk meminta agar saksi-saksi kita dilindungi karena sudah ada upaya teror yang diterima oleh saksi-saksi saat ini.[Suharno]

Categories
Perempuan dan Anak

Tim Advokasi Korban Pelecehan Seksual Anggota DPRD Majene Tuntut Penuntasan Kasus

IMG_20150414_170059Kasus pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh Asriadi, SH salah satu Anggota DPRD Kab. Majene, terkuak ke publik saat Asriadi dilaporkan ke Polres Majene oleh perempuan korban yang berinisial NA (22 tahun)  staf honorer di Kantor DPRD Kab. Majene Sulawesi Barat. Korban telah melaporkan pelecehan seksual yang dialaminya sejak 28 Januari 2015 lalu, namun dalam perkembanganya laporan tersebut masih dalam status penyelidikan dan terlapor sampai saat ini belum ditetapkan menjadi tersangka oleh Penyidik Polres Majene.

Pelecehan seksual yang dialami oleh NA terjadi pada 26 Januari 2015, tepatnya hari Senin sekitar pukul 15.30. wita. Saat itu korban dan beberapa staf anggota DPRD Kab. Majene menemani 2 Anggota DPRD Kab. Majene atas nama Asriadi, SH dan Antoni dalam rangka kunjungan kerja ke Kab. Mamuju. Pelecehan seksual  yang menimpa korban terjadi di dalam mobil, di daerah sekitar Tappalang dalam perjalanan pulang dari Kab. Mamuju menuju Kab. Majene.

Penyidik Polres Mejene belum meningkatkan laporan tersebut  ke proses Penyidikan dengan alasan belum cukup bukti untuk ditingkatkan proses hukumnya. Penyidik telah mengambil keterangan korban dan saksi-saksi yang pada saat itu berada satu mobil dengan korban, namun diduga saksi-saksi yang diambil keterangannya menyembunyikan fakta-fakta yang sebenarnya karena memiliki relasi yang cukup dekat dengan terlapor.

Elemen Pemuda dan Mahasiswa Sulbar Bentuk AMPERA

Selain membentuk tim hukum, untuk mengawal proses hukum di Polres Majene berjalan secara adil dan objektif maka pemuda dan mahasiswa Sulawesi Barat memutuskan membentuk aliansi untuk mengawal penuntasan kasus tersebut. Langkah ini juga ditempuh sebagai bentuk keprihatinan masyarakat Majene atas kasus-kasus sejenis yang dilaporkan sebelumnya dan tidak mendapat tindaklanjut yang memadai. Hal tersebut juga menjadi suatu bentuk akumulasi kekecewaan atas laporan kasus hukum terhadap Asriadi sebelumnya yang juga tidak pernah diusut tuntas.

Tahun lalu tepatnya, 19 April 2014, Asriadi juga dilaporkan ke Polres Majene terkait dengan dugaan menyetubuhi anak  di bawah umur. Saat itu, yang melapor adalah korban dan orang tuanya langsung. Atas laporan tersebut, Polres Majene menetapkan Asriadi, SH sebagai tersangka dengan dugaan melanggar pasal 81 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Namun, dalam perkembanganya laporan tersebut dihentikan penyidikannya oleh Polres Majene, dengan alasan korban telah mencabut laporannya di Polres Majene dan penyidik tidak mengetahui lagi keberadaan korban. Walau ada informasi lain, korban mencabut laporannya karena Asriadi berhasil membujuk keluarga korban untuk mencabut laporan dengan memberikan imbalan puluhan juta rupiah.

Padahal laporan tentang menyetubuhi anak di bawah umur bukan merupakan delik aduan, sehingga proses hukum tidak boleh dihentikan dengan adanya pencabutan laporan oleh Korban dan keluarganya. Namun, penyidik Polres Majene menghentikan proses hukumnya.

Sebagai bentuk keprihatinan dan kekecewaan terhadap Polres Majene atas penanganan kasus hukum Asriadi, yang tidak bisa dijerat oleh hukum dan proses penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di Polres Majene yang tidak berpihak kepada korban dan rasa keadilan masyarakat Majene, beberapa elemen pemuda dan mahasiswa di Sulbar membentuk Aliansi Mahasiswa Pemuda Untuk Perjuangan Rakyat (AMPERA). Aliansi akan mengawal agar kasus hukum Asriadi yaitu dua kasus yang dilaporkan pelecehan seksual dan kasus kekerasan terhadap anak diproses secara adil dan profesional.

Sementara untuk mengawal proses hukum dan pendampingan hukum korban kekerasan seksual di Kab. Majene, LSM dan OBH telah membentuk Tim Hukum. Tim Hukum terdiri dari LBH-APIK, LBH-Makassar, FIK ORNOP, YLBHM, LBHP2i dan ICJ. Tim ini dibentuk untuk menyikapi laporan dan permintaan korban dan AMPERA, agar bisa mengawal kasus tersebut terutama dari sisi pendampingan hukumnya. Untuk menguatkan laporan korban, tim hukum telah berkoordinasi dengan penyidik Polres Majene agar bukti SMS yang pernah dikirimkan kepada korban beberapa saat setelah peristiwa, yang bisa menguatkan laporan korban, segera diminta di Grapari Telkomsel Makassar.

Perwakilan tim hukum korban NA yang juga Pekerja Bantuan Hukum LBH Makassar, Suharno, SH dan Ayu Husnul Hudayah, SH telah bertemu dengan penyidik yang menangani kasus pelecehan seksual di Polres Majene dan mempertanyakan perkembangan kasus yang dilaporkan, tanggal 7 April 2015 lalu. Informasi dari Penyidik, laporan belum ditingkatkan ke Proses Penyidikan karena semua saksi yang berada satu mobil dengan korban tidak menguatkan keterangan korban. Pihak Telkomsel juga kabarnya telah menolak permintaan penyidik terkait  Data Call Record (DCL) karena tidak memiliki alasan hukum yang kuat.

Belum adanya perkembangan yang berarti dari hasil penyelidikan Polres Majene, serta beberapa kendala lainya, Tim Hukum memastikan membicarakan kembali langkah-langkah hukum yang harus dilakukan agar laporan tersebut  bisa ditingkatkan ke proses Penyidikan. Kampanye penuntasan semua kasus pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan di Sulbar juga akan terus-menerus digalakkan oleh aliansi.[Suharno]

Categories
Perempuan dan Anak

Hendak Bersekolah Tetapi Dilapor Penelantaran Rumah Tangga

277027_142160289182855_1216309732_nSeorang Istri di Kabupaten Bone hendak melanjutkan sekolah seperti janji sang suami tetapi kemudian dilaporkan dan disangka melakukan penelantaran rumah tangga. Sang Istri bernama Nur Eka Pratiwi, saat menikah masih berumur 15 tahun dan duduk di bangku Kelas I SMA. Kasus ini bermula pada tahun 2012, saat Eka masih berumur 15 tahun dan duduk di bangku Kelas I SMA. Ketika itu orang tua Eka berkeinginan untuk menikahkannya dengan seorang pemuda yang tidak lain adalah sepupunya sendiri yang bernama Danial. Awalnya, renvana ini ditolak Eka dengan alasan ingin melanjutkan sekolah. Namun, orang tuanya tetap membujuknya bahkan mengajaknya untuk menemui pihak calon suami. Dalam pertemuan tersebut, calon suami dan calon mertua memberikan jaminan kepada Eka dan orang tua Eka bahwa Eka nantinya tetap dapat bersekolah bahkan akan dibiayai hingga perguruan tinggi. Karena syarat dan jaminan itulah, akhirnya Eka bersedia menikah dengan Danial. Akhirnya pernikahan Eka dan Danial dilangsungkan pada tanggal 29 Oktober 2012 dengan syarat atau perjanjian pra nikahnya adalah Eka tetap bisa bersekolah.

Seminggu setelah pernikahan, Eka meminta izin suaminya untuk pergi ke sekolah. Jarak antara rumah dan sekolahnya cukup jauh serta harus menggunakan katinting[1] terlebih dahulu sebelum akhirnya mencapai kota menuju sekolah di SMA Negeri 5 Bajoe Kab. Bone. Setiap minggu jika hari sekolah Eka menginap di rumah salah seorang keluarganya dan kembali ke rumahnya di desa pada hari sabtu sore.

Keingianan dan tindakan Eka untuk kembali bersekolah ini ternyata memunculkan persoalan di keluarganya. Baru saja seminggu Eka masuk ke sekolah, suaminya kemudian melarang Eka untuk bersekolah lagi. Larangan itu kemudian setiap hari disampaikan ke Eka karena begitu berang, bahkan suaminya datang ke sekolah. Sang suami memaksa pihak sekolah untuk mencoret nama Eka serta mengancam akan menceraikan Eka jika larangannya tersebut tidak diindahkan. Peristiwa tersebut menjadi bagian dari rentetan kekerasan phsikis yang dialami Eka dan membuatnya begitu tertekan. Namun Eka mencoba bertahan pada kondisi yang ada, Eka tetap bersekolah.

Beberapa minggu kemudian, dalam perjalanan Eka dari sekolah ke rumah keluargnya di Bajoe, Eka mengalami sebuah kecelakaan dan harus dilarikan ke rumah sakit. Akibat kecelakaan tersebut Eka mendapat beberapa jahitan di bagian tangan kanannya. Saat Eka sakit dan menjalani perwatan, suaminya tidak ikut merawat dan tidak membiayaai pengobatannya. Sang Suami  hanya sekali menjenguk dan waktunya pun tidak lama dengan alasan orang tuanya memanggilnya pulang.

Lantaran sudah tidak kuat dengan tekanan yang ada, Eka kemudian memutuskan untuk meninggalkan rumah tanggal 30 November 2012. Tidak hanya itu Eka juga memutuskan melayangkan gugatan cerai kepada suaminya 1 Maret 2013. Gugatan cerai yang diajukan ke Pengadilan Agama Bone ini telah diputus pada tanggal 25 April 2013 dan telah memiliki kekuatan hukum tetap.

Ternyata di saat proses gugatan perceraian berjalan, Sang suami melaporkan Eka atas dugaan penelantaran dalam rumah tangga ke Polrestabes Bone tanggal 28 Maret 2013. Kasus dugaaan penelantaran dalam rumah tangga  terhadap suami ini sementara disidangkan di Pengadilan Negeri Watampone dengan dugaan melanggar Pasal 49 huruf a UU PKDRT. Kasus ini Eka didampingi oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar dan telah memasuki agenda pemeriksaan saksi,. Adapun ketentuan Pasal 49 huruf a UU PKDRT menyatakan bahwa :

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,- (lima belas juta rupiah), setiap orang yang:

a.Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9ayat (1)”

Pertanyaannya kemudian adalah, jika dihubungkan fakta tersebut di atas dengan dugaan tindak pidana yang dialamatkan kepada Eka adalah dapatkah seorang Eka sebagai istri dituduh melakukan penelantaran dalam rumah tangga. Jawabanya tentu dimungkinkan, tetapi harus diletakkan dalam konteks relasi suami-istri. Dalam kasus ini apakah Eka (istri) lebih dominan dalam arti memiliki relasi kuasa yang lebih tinggi dalam rumah tangga. Karena awal mula atau prasyarat utama sebuah dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah ketimpangan relasi kuasa yakni pelaku harus memiliki relasi kuasa yang lebih tinggi dari korbannya. Selain itu kejadian harus dalam bentuk siklus, tidak hanya terjadi sekali[2]. Politik hukum dan semangat lahirnya UU PKDRT adalah untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan. Kaerena meskipun Negara telah menjamin dalam konstitusi persamaan hak laki-laki dan perempuan. Namun faktanya masih sering terjadi ketimpangan yang berimplikasi pada meningkatnya kekerasan terhadap perempuan sebagai salah satu bentuk diskriminasi terhadap kelompok rentan terutama dalam wilayah domestic.

Sementara dalam kasus Eka, berdasar fakta yang ada justeru Eka yang memiliki kuasa relasi yang lebih rendah. Tindakan yang dilakukannya dengan meninggalkan sang suami sebagai  upaya untuk keluar dari siklus kekerasan phisikis. Selain itu dalam karena adanya pengingkaran perjanjian pra nikah oleh sang suami dan tidak adanya perawatan dari sang suami saat Eka mengalami kecelakaan lalulintas. Dengan kata lain unsure yang dituduhkan kepada Eka sangat berbeda dalam prefektif perempuan dan fakta hokum yang ada (fakta persidangan).

Sebaliknya justeru dalam konteks kekerasan terhadap perempuan, Eka adalah korban dari suaminya yang memiliki relasi yang lebih tinggi. Begitu juga hal kaitannya dengan unsur pidana, sang suami justeru yang tidak melakukan perawatan terhadap sang istri (Eka) sebagai salah satu syarat terpenuhinya unsure penelantaran rumah sebagaimana dimaksud Pasal 49 huruf a UU PKDRT tangga. Apalagi sang suami juga telah menginkari perjanjian pra nikah yang. [Aulia Susantri]


 

[1] katinting : perahu kecil untuk alat transportasi di daerah Bugis-Makassar

[2] Keterangan  saksi ahli Sri Nurherwati (Komisioner Komnas Perempuan)  pada  sidang pemeriksaan saksi ahli tanggal 18 Juni 2014 di Pengadilan Negeri Watampone, Sulawesi Selatan

Categories
SIPOL

Mahasiswa Korban Kekerasan Polisi Divonis Bersalah

IMG_20150416_203358Makassar – Setelah menjalani proses hukum di kepolisian, kejaksaan, hingga pengadilan, dan ditahan selama kurang lebih 5 bulan lamanya, mahasiswa korban kriminalisasi dan kekerasan aparat Kepolisian di Univesitas Negeri Makassar (UNM) akhirnya divonis oleh hakim Pengadilan Negeri Makassar. Ketua Majelis hakim yang membacakan putusan, menetapkan Putusan Pemidanaan (veroordeling) terhadap terdakwa Nasrullah dan Wahyu Khaeruddin karena telah terbukti secara sah dan meyakinkan  melakukan Tindak Pidana secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap barang atau orang sebagaimana Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHPidana. Kedua terdakwa divonis 6 bulan penjara dikurangi selama masa penahanan. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntutnya selama 7 bulan penjara.

Meski vonis yang diterima oleh kedua terdakwa tergolong ringan, namun putusan ini jauh dari rasa keadilan. Sebab, Nasrullah dan Wahyu dan beberapa mahasiswa yang diadili dalam perkara yang lain, adalah korban kriminalisasi oleh Kepolisian. Penasehat hukum terdakwa dalam pembelaannya, menjelaskan dengan rinci kronologi peristiwa serta tindakan penangkapan sewenang-wenang pada saat peristiwa yang menyeret para terdakwa ke meja hijau tersebut.

Dalam peristiwa itu, 46 orang ditangkap secara sewenang-wenang dari dalam kampus UNM, dan mengalami penyiksaan dan kekerasan. Saat kedua terdakwa diperiksa di Polrestabes Makassar, mereka dipaksa mengaku melakukan pelemparan ke arah aparat dan ikut dalam demo yang berakhir dengan brutalitas aparat kepolisian di dalam kampus UNM.

Saat proses pemeriksaan saksi, beberapa Saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) memberikan keterangan yang tdak jelas terkait dengan tindak pidana yang didakwakan, bahkan keterangan saksi-saksi yang dihadirkan oleh JPU berbelit-belit dan bertentangan satu sama lain.

Andi Ilman selaku saksi korban menjelaskan bahwa tempat (locus) peristiwa tersebut terjadi di depan kantor DPRD Kota Makassar. Sekitar 100 massa mahasiswa melakukan pelemparan batu ke arah polisi dari jarak 20 hingga 30 meter, sehingga dirinya terkena lemparan batu di bagian dahi dan kakinya. Keterangan tersebut dibantah oleh kedua terdakwa terkait tempat penangkapan yang dilakukan terhadap keduanya yang berada di tempat yang sama, yaitu di dalam ruang kelas dan tidak tahu menahu terjadinya bentrokan di depan kantor DPRD Kota Makassar yang diuraikan saksi.

Sedangkan dua orang saksi lainnya yang dihadirkan oleh JPU yang juga anggota Polisi justru menjelaskan locus peristiwa yang berbeda, yaitu bukan di depan kantor DPRD Kota Makassar melainkan di depan kampus UNM. Dan hanya menjelaskan ciri-ciri fisik pelaku pelemparan yang diarahkan kepada Terdakwa Wahyu, sedangkan terdakwa Nasrullah tak ada yang melihat dan memastikan keberadaannya saat peristiwa di depan kampus UNM tersebut.

Meski fakta penangkapan sewenang-wenang dan peristiwa pelanggran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh aparat kepolisian terekam dengan jelas bahkan menjadi headline di media lokal dan nasional saat itu, tak membuat Hakim memutus terdakwa bebas dari tuntutan pidana. Dalam perkara yang diadili terpisah Ahmad Faris Al Amri yang didakwa sebagai pembusur Wakapolrestabes Makassar divonis 18 Bulan penjara. Rusmadi mahasiswa Unismuh Makassar yang kebetulan berada di kampus UNM saat itu dan tak ikut dalam aksi demontrasi, sehari sebelumnya juga divonis bersalah oleh hakim yang mengadili dengan pidana penjara selama 5  Bulan 7 hari atas kepemilikan satu buah mata busur yang baru diambil dari dalam tas miliknya. Padahal fakta persidangan berdasarkan keterangan saksi-saksi yang dihadirkan mejelaskan bahwa tas miliknya itu tidak dalam penguasaannya saat terjadi penangkapan dan penyerangan brutal aparat kepolisian. Dia baru diperlihatkan tas tersebut saat berada di Polrestabes Makassar.

Suasana di Pengadilan pun sempat ricuh, massa mahasiswa dari Solidaritas Mahasiswa Makassar yang terus mengawal proses persidangan, dan turut hadir mendengarkan putusan, tidak menerima putusan hakim yang dianggap tak memenuhi rasa keadilan itu. Mereka menganggap putusan bersalah kepada para mahasiswa yang mengalami serangkaian kekerasan dan tindakan sewenang-wenang Aparat Kepolisian itu adalah bukti nyata kembalinya kekuasaan otoriter khas orde baru dan merupakan pengkhianatan terhadap demokrasi.

Sementara di sisi lain, tindakan brutal aparat kepolisian terhadap mahasiswa, termasuk kekerasan dan penghalang-halangan peliputan oleh anggota Polisi terhadap kurang lebih sembilan orang jurnalis di kampus UNM saat itu, tak pernah diusut secara tuntas. Para anggota polisi brutal yang melakukan kekerasan pada peristiwa itu bebas beraktivitas tanpa proses hukum.

Atas vonis hakim tersebut tim penasehat hukum terdakwa dari LBH Makassar masih mempertimbangkan opsi melakukan upaya hukum (banding) sebagai perlawanan atas putusan hakim yang dinilai tidak memenuhi rasa keadilan dan menciderai demokrasi itu. [Abdul Azis Dumpa]

Categories
SIPOL

BEM Sastra UNHAS Menangkan Sengketa Informasi Publik Melawan Dekan

kasus-sengketa-informasi-di-jabar-cukup-tinggiKisah ini berawal dari bagaimana Keluarga Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin (Unhas) merasa terpukul melihat keadaan dan kondisi di Fakultas Sastra yang sangat jauh dari sejahtera, yah sejahtera dalam hal akademik, infrastruktur, dan juga fasilitas fasilitas penunjang lainnya. Lembaga Kemahasiswaan dalam hal ini KMFS-UH, telah menempuh beberapa cara untuk mengkomunikasikan bagaimana kondisi fakultas sastra yang sangat menyedihkan tersebut yakni  dengan negosiasi lansung kepada dekan fakultas sastra dan juga dengan mengadakan aksi massa.

Bukannya memperbaiki kondisi fakultas sastra dengan adanya berbagai kritikan dari semua civitas akademik, dekan fakultas sastra malah mengacuhkan dan cenderung mengabaikan kondisi tersebut. Atas pengabaian tersebut, maka kami dari lembaga kemahasiswaan KMFS-UH yang diwakili oleh BEM KMFS-UH mengadvokasi masalah tersebut dengan jalan meminta informasi secara tertulis mengenai Rincian Anggaran Belanja Fakultas Sastra Unhas tahun 2013 melalui surat dengan Nomor 004/B/BEM/KMFS-UNHAS/I/2014, Tertanggal 22 januari 2014.

Setelah BEM KMFS-UH menyurat, pihak dekan lagi-lagi tidak melihat baik bagaimana keinginan kawan-kawan dari lembaga kemahasiswaan KMFS-UH dalam menegakkan kampus yang menganut asas transparansi dan akuntabilitas dalam kegiatannya. Tidak adanya respon yang baik dari pihak dekanat, maka kami mengajukan keberatan melalui surat nomor 014/B/BEM/KMFS-UNHAS/III/2014 tertanggal 11 maret 2014 yang ditujukan kepada rektor Unhas selaku atasan dari dekan fakultas sastra.

Dua minggu setelah surat keberatan kami ajukan ke rektor dan tidak ada sama sekali tanggapan atas keberatan pemohon hingga pada tanggal 23 April 2014, lembaga kemahasiswaan KMFS-UH mengajukan permasalahan ini ke Komisi Informasi Publik (KIP) provinsi Sulawesi Selatan dengan nomor register kasus 006/IV/KIP/PSI/2014 dengan tuntutan bahwa “Komisi Informasi Publik provinsi Sulawesi Selatan untuk menyatakan termohon dalam hal ini dekan fakultas sastra Unhas telah salah karena tidak memenuhi permohonan informasi dan memerintahkan termohon untuk memenuhi permohonan informasi sebagaimana yang dimohonkan”.

Dalam proses persidangan di Komisi Informasi Publik, Ada dua macam bentuk persidangan yakni sidang MEDIASI dan sidang AJUDIKASI. Tahap pertama merupakan sidang mediasi, namun dalam sidang ini tidak menghasilkan apa-apa, sebab pihak dekan fakultas sastra tidak hadir, sehingga kasus sengketa informasi ini dilanjutkan ke tahap sidang adjudikasi. Dalam sidang adjudikasi ini pemohon dalam hal ini  BEM KMFS-UH yang diwakili oleh Arifuddin S selaku Ketua BEM KMFS UNHAS dan termohon yang diwakili oleh Dr. Andi Muhammad Akhmar, M.Hum selaku Wakil Dekan III fakultas sastra Universitas Hasanuddin; bertindak untuk dan atas nama dekan fakultas sastra Universitas Hasanuddin.

Sidang Ajudikasi di KIP diadakan sebanyak dua kali dengan agenda pertama, tanggal 23 Mei 2014, yakni pemaparan alasan dan tujuan pemohon serta termohon terhadap sengketa informasi ini dan yang kedua, tanggal 5 juni 2014, yakni pembuktian alasan dan tujuan pemohon dan termohon terhadap sengketa informasi ini. Setelah melakukan dua kali sidang ajudikasi, maka kami dari BEM KMFS -UH tinggal menunggu hasil Dikabulkan atau Ditolak

Enam bulan Pasca sidang ajudikasi terakhir di KIP, tepatnya pada tanggal 15 Januari 2015, kami menghadiri Sidang pembacaan Keputusan, dimana hasil sidang keputusan tersebut menyatakan bahwa :

  1. Mengabulkan permohonan pemohon;
  2. Menyatakan bahwa rincian anggaran belanja fakultas sastra Unhas tahun 2013 adalah informasi terbuka;
  3. Memerintahkan kepada termohon untuk memfasilitasi pelaksanaan putusan di atas.

Setelah mendengar hasil keputusan tersebut, BEM KMFS-UH harus menunggu hasil  revisi dari KIP. Kemudian, pada tanggal 9 Maret 2015 akhirnya rekomendasi amar putusan dari KIP kami terima dan pihak termohon dalam hal ini dekan fakultas sastra wajib menjalankan putusan tersebut selambat-lambatnya 14 hari kerja sejak keluarnya rekomendasi putusan KIP.

Tepat empat belas hari kerja setelah keluarnya rekomendasi amar putusan dari KIP atau tertanggal 26  maret 2015 pihak dekan menjalankan keputusan dari KIP dengan memberikan ruang kepada pihak mahasiswa untuk mengakses hal tersebut, namun pihak Dekan Fakultas Sastra tidak menjalankan sepenuhnya apa yang mejadi rekomendasi dari Keputusan KIP.

Pertemuan tersebut berlangsung pada pukul 10:30 WITA. Bertempat di Lt.4 Rektorat Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin. Dekan fakultas sastra memberikan akses yang terbatas kepada BEM KMFS-UH. Pihak Dekan hanya memperbolehkan 5 orang anggota perwakilan BEM KMFS-UH untuk menyaksikan dan membaca Rincian Anggaran Belanja Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin tahun 2013. Padahal, dalam putusan KIP disebutkan bahwa rincian anggaran belanja fakultas sastra Universitas Hasanuddin tahun 2013 adalah informasi terbuka. Pertemuan ini dihadiri oleh jajaran pejabat dekan fakultas sastra, diantaranya: Dekan, Wakil Dekan II, Wakil Dekan III, Bendahara Fakultas, Ketua Komdis, Kepala Biro KTU, dan dua orang dari Badan Pemeriksa Keuangan.

Saat pertemuan dimulai, pihak dekan fakultas sastra menjelaskan bahwa rincian anggaran belanja fakultas sastra Universitas Hasanuddin tidak dapat diperbanyak maupun di foto dengan menggunakan kamera handphone dengan alasan informasi tersebut bersifat tertutup. Juga dengan alasan bahwa hal tersebut tercantum dalam Undang-Undang Perbendaharaan Negara. Selain itu, pihak Dekan Fakultas Sastra mengklaim bahwa mereka tidak berhak memberikan keterangan atas hal-hal yang ingin ditanyakan oleh pemohon. Selain itu, pihak Dekan Fakultas Sastra juga tidak memperbolehkan pers untuk masuk dan menyaksikan hal tersebut. Atas dasar itulah, pihak pemohon (BEM KMFS-UH) menolak untuk menandatangani berita acara yang isi perihalnya “Membacakan dan Menyaksikan Laporan Rincian Anggaran Belanja Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin Tahun 2013”

Untuk itu, Dekan fakultas Sastra Unhas telah melanggar Pasal 52 Undang- Undang Nomor 14 Tahun 2008, mengatakan bahwa Badan Publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidakmemberikan, dan/ atau tidak menerbitkan Informasi Publik berupa Informasi Publik secara berkala, Informasi Publik yang wajib diumumkan secara serta-merta,Informasi Publik yang wajib tersediasetiap saat , dan/ atau Informasi Publik yang harus diberikan atas dasar permintaan sesuai dengan Undang-Undang ini, dan mengakibatkan kerugian bagi Orang lain dikenakan pidana kurungan paling lama 1(satu) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp 5.000.000,00( lima juta rupiah)”.[Pengurus BEM Sastra Unhas]

Categories
SIPOL

Ancaman Terhadap Kebebasan Berorganisasi & Berpendapat Di Kampus

images21Kampus seharusnya menjadi ruang-ruang merdeka bagi mahasiswa untuk membangun dan menyalurkan gagasan, serta tempat mendidik anak bangsa untuk menjadi manusia yang peka terhadap keadaan. sehingga, mereka nantinya akan menjadi generasi bangsa yang mampu merumuskan sendiri keadaan dan merubah bangsa ini ke arah yang lebih baik. Bukannya menjadi manusia robot yang sepenuhnya dikendalikan oleh remot kapital. Namun, untuk membangun dan menyalurkan gagasan, mahasiswa memerlukan alat organisasi untuk mengorganisir diri serta menjadi wadah penyatuan intelektual dan menjadi tempat berdialektika dalam proses perjalanan intelektual mereka. Segalanya Berawal dari organisasi untuk menciptakan tatanan sosial yang lebih manusiawi. Sehingga, ruang – ruang berorganisasi sudah semestinya mendapat porsi besar untuk mewujudkan sistem pendidikan yang tidak berjarak dengan ketimpangan sosial.

Belakangan ini, kampus tidak lagi mencerminkan sebagai institusi pendidikan yang murni untuk membuat manusia menjadi manusia. Bahkan, Kampus telah berubah ibarat pasar tempat bersarangnya investasi dan akumulasi modal. Sehingga, semua aturan – aturan kampus diciptakan dengan orentasi bisnis. Pola pengelolaan kampus berbasis investasi hampir terjadi pada semua kampus di Sulawesi selatan baik Perguruan Tinggi Negeri apalagi Swasta.

Salah satu kampus yang mengalami keadaan seperti ini adalah Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Mega Rezky Makassar. kita ketahui belakangan ini Perguruan Tinggi kesehatan menjadi favorit para orangtua untuk menyekolahkan anak – anak mereka, berhubung tuntutan Negara akan ketersediaan lapangan kerja tenaga medis semakin meningkat. tidak heran jika banyak mahasiswa yang berbondong – bondong kuliah di perguruan tinggi bidang kesehatan. Hal ini tidak terlepas pula dari kebutuhan masyarakat akan pentingnya kesehatan. Olehnya itu, seharusnya kampus juga ikut serius untuk memenuhi kebutuhan masyarakat bukannya memanfaatkan situasi untuk dijadikan ladang usaha yang notabene menghisap sendiri mahasiswanya.

Algazali adalah ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Stikes Mega Rezky yang menaungi beberapa organisasi Himpunan pada setiap jurusan. Berawal dari kebijakan Birokrasi kampus yang menetapkan anggaran kegiatan Praktek Kerja Masuk Desa (PKMD). Penetapan anggaran tersebut dianggap terlalu mahal dan tidak sesuai dengan peruntukannya, sehingga menyulitkan mahasiswa. Maka, untuk menjawab keluhan mahasiswa, Algazali beserta pimpinan organisasi Himpunan lainnya meminta transparansi pihak kampus terkait penetapan anggaran tersebut. Akan tetapi, pihak kampus menolak untuk transparan.

Algazali cs kemudian melakukan advokasi anggaran dengan menelusuri setiap pos peruntukan biaya praktek baik di kampus maupun di lokasi praktek yaitu di kec. Bontomarannu, kab. Gowa. Dari hasil advokasi, ditemukan beberapa kejanggalan peruntukan anggaran yang tidak sesuai dengan pembayaran yang dibebankan kepada mahasiswa. Kemudian, Algazali cs kembali menghadap kepada pimpinan kampus untuk mempertanyakan masalah tersebut. Namun, pihak kampus tetap bersikukuh menolak transparan. Justru Algazai cs ditawari uang, dengan catatan tidak lagi mempersoalkan masalah transparansi anggaran praktek. Tawaran itu ditolak, kemudian mereka melakukan aksi boikot mahasiswa untuk tidak turun praktek sampai pihak kampus menerima tuntutan mahasiswa yaitu transparansi anggaran.

Aksi tersebut membuat geram para pimpinan kampus, dan mengancam mahasiswa yang terlibat untuk di Skorsing bahkan di Drop out. Sedangakan, lembaga mahasiswa yang terlibat akan dibekukan. Setelah melakukan aksi, pihak kampus tetap tidak menerima tuntutan mahasiswa, justru ditanggapi dengan keluarnya Surat Keputusan Skorsing ditujukan kepada Algazali yang saat itu sedang menjabat sebagai ketua Badan Eksekutif Mahasiswa. Keluarnya SK Skorsing dengan tujuan melumpuhkan gerakan protes mahasiswa yang dikhawatirkan akan terus berlanjut dan membesar, serta memberikan tekanan akademik kepada mahasiswa lainnya untuk tidak mengganggu stabilitas akumulasi modal di kampus.

Konflik antara birokrasi kampus dengan lembaga kemahasiswaan kemudian berlanjut pada Forum Musyawarah Besar (Mubes) Badan Eksekutif Mahasiswa Stikes Mega Rezky Makassar, pada proses pemilihan ketua BEM. pihak kampus kemudian melakukan intervensi langsung terhadap lambaga kemahasiswaan. Pada saat pemilihan ketua BEM, pihak kampus kemudian mencukongi mahasiswa untuk maju sebagai calon ketua BEM dengan maksud untuk memotong regenerasi mahasiswa yang selalu tidak sejalan dengan kepentingan pimpinan kampus. Pada proses pemilihan, pihak kampus melakukan intervensi langsung dengan melakukan manipulasi aturan main Mubes untuk memaksakan terpilihnya calon yang mereka cukongi. Sehingga, hasil dari pemilihan tersebut menjadiDeadlok. Beberapa organisasi jurusan sebagai pemegang hak suara tidak menerima hasil Pemilihan, kemudian menggelar pemilihan ulang. Akhirnya, terjadi dualisme lambaga kemahasiswaan dengan masing – masing versi birokrasi kampus dan versi mahasiswa.

Algazali beserta pimpinan organsaisi jurusan kembali memprotes keras sikap kesewenang – wenangan birokasi kampus. Menanggapi protes mahasiswa, pimpinan kampus yang secara sepihak langsung mengeluarkan Surat Keputasan Drop out ditujukan kepada Algazali dan SK Skorsing kepada Saputro yang saat itu sedang menjabat sebagai ketua Himpunan Analis, dan disusul dengan pembekuan 5 (lima) organisasi jurusan.

Kasus yang dialami oleh Algazali cs bukanlah kali pertama terjadi, sebelumnya pernah terjadi beberapa kasus pembungkaman ruang – ruang kebebasan organisasi dan pendapat mahasiswa seperti ; mahasiswa Fakultas Bahasa dan Sastra UNM, fakultas Ilmu Budaya Unhas, Lembaga Kemahasiswaan UIN alauddin, serta masih banyak lagi masalah Lembaga Mahasiswa di Perguruan Tinggi yang belum teridentifikasi. Modus pembungkaman organsiasi mahasiswa dikemas sedemikian rupa seolah kesalahan dilimpahkan sepenuhnya pada organsiasi mahasiswa yang melanggar aturan main/Statuta kampus, adapula yang dituduh sebagai mahasiswa yang tidak lagi memenuhi aturan akademik.

Yang jadi persoalan kemudian adalah, selama ini kampus tidak pernah demokratis dalam membuat aturan. Bahkan, mahasiswa tidak diberikan ruang untuk mengakses aturan tersebut. Sehingga, kesannya aturan tersebut cenderung diada – adakan yang dulunya tidak pernah ada. Semestinya, dalam perumusan aturan menyangkut kemahasiswaan, organisasi mahasiswa turut dilibatkan agar tidak terjadi ketimpangan dalam penerapannya. Ataukah, minimal aturan – aturan tersebut segera disosialisakan dan mestinya disediakan prosedur komplain bagi organisasi mahasiswa yang merasa dirugikan. Sehingga, kampus akan kembali pada khittahnya yaitu sebagai ruang untuk memanusiakan manusia dan sebagai titik awal ruang berdemokrasi.

Persoalan ini merupakan salah satu faktor penyebab menurunnya aktivitas mahasiswa dalam ruang – ruang sosial untuk mengadvokasi masyarakat miskin dan marginal. Mungkin persoalan ini merupakan strategi Rezim untuk melumpuhkan Gerakan Mahasiswa dengan sengaja disibukkan dengan urusan dalam rumahnya sendiri. Atau memang kampus hari ini tidak lagi menjadi sarana pendidikan melainakan berubah menjadi ruang kapitaliasasi yang menghisap mahasiswanya sendiri. [Edy Kurniawan]

Categories
EKOSOB

Tim Konsultan Ranperda RTRW Makassar Dikecam

IMG_20150522_082721MAKASSAR – Untuk kedua kalinya Rapat Dengar Pendapat (RDP) Ranperda RTRW Makassar dilakukan dengan melibatkan CSO dan akademisi pemerhati Tata Ruang. RDP II ini dihadiri oleh puluhan CSO, Organisasi Mahasiswa, Komunitas Masyarakat Pesisir Korban Reklamasi, yang tergabung dalam Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP) Makassar. Selain itu, hadir pula para Guru Besar dari Universitas Bosowa ‘45, UNHAS dan UIN yang masing-masing memiliki disiplin ilmu di bidang Planologi, Tata Ruang dan Penyusunan Peraturan Perundang-undangan. Sementara yang mewakili pihak eksekutif adalah Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Tata Ruang, Dinas Pendapatan Daerah, BAPPEDA dan Dinas Kelautan-Perikanan. Pertemuan kali untuk mendengarkan jawaban eksekutif selaku pihak yang menginisiasi Ranperda RTRW Kota Makassar, serta Pemaparan Konsultan RTRW dalam menjawab kritikan dan pertanyaan dari Akademisi dan Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP) Makassar.

Pada pertemuan kali ini, semua pihak yang hadir mengungkapkan kekecewaan kepada tim konsultan RTRW Makassar. Pemaparan tim konsultan tidak satupun dianggap mampu menjawab pertanyaan yang diajukan pada RDP sebelumnya. Salah satu anggota Pansus mengungkapkan bahwa tim konsultan RTRW tidak akomodatif, tidak serius dan terkesan tutup telinga atas masukan penting dari pihak-pihak pemangku kepentingan. Padahal, RTRW ini menyangkut hajat hidup orang banyak yang akan dirasakan 15 tahun ke depan. Jika salah memutuskan, maka akan sangat merugikan masyarakat luas dan yang paling menanggung beban moral maupun politik adalah anggota Pansus karena akan mendapat sorotan tajam dari semua pihak. Terkait Reklamasi, Pansus menegaskan bahwa aktivitas tersebut hanya akan menguntungkan kelompok kapitalis dan menghilangkan wajah Makassar sesungguhnya.

Secara terpisah, ketua Pansus Wahab Tahir yang memimpin jalannya RDP memperingatkan  konsultan RTRW dan Eksekutif agar tidak main-main dalam menyusun Ranperda RTRW. Lebih lanjut ia menghimbau agar menampung masukan semua pihak dan menjadikannya sebagai pertimbangan utama. Lebih tegas ia mengungkapkan tidak akan segan-segan menahan, dan bahkan menolak pengesahan Ranperda RTRW jika Konsultan tetap tutup telinga dan tidak mengakomodir masukan para pihak yang pro kepentingan rakyat. Anggota DPRD Makassar sampai saat ini masih memiliki integritas, dan tidak terpengaruh oleh godaan apapun, ungkap ketua Pansus yang juga merupakan eks. Aktivis Mahasiswa itu. Untuk itu, ia meminta kepada eksekutif yang hadir dan anggota tim Konsultan agar pada RDP selanjutnya dapat dihadirkan ketua tim konsultan Ranperda RTRW untuk memaparkan secara langsung.

Beberapa Guru besar dan akademisi pun turut menyayangkan sikap Konsultan dan eksekutif yang pasif menanggapi masukan dan pertanyaan dalam RDP. Berkali-kali mereka memberikan masukan strategis kepada tim Konsultan, akan tetapi sampai sekarang tidak diakomodir. Adapun perubahan naskah Ranperda RTRW hanya sampul depan saja, sedangkan secara substansi tidak ada yang berubah. Salah satu akademisi dari Universitas Bosowa mengungkapkan kejenuhannya dalam RDP, karena mereka dianggap hanya angin lewat. Menurutnya, dalam RTRW peruntukan Reklamasi tidak jelas dan setengah-setengah, apakah sebagai kawasan konservasi ataukah bisnis.

Sementara, Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP) tetap pada pandangan umum yang disampaikan dalam RDP sebelumnya, yaitu menolak alokasi Reklamasi dalam Ranperda RTRW Makassar.[Edy Kurniawan]