Categories
SIPOL slide

Mati Dianiaya Polisi

Agung Pranata (26) ditemui keluarga dalam keadaan tidak sadar di Rumah Sakit (RS) Bhayangkara, Makassar pada 29 September 2016 lalu. Di sekujur tubuhnya sudah penuh luka lebam, lehernya patah, saraf telinga tidak berfungsi dan telah dibantu alat pernafasan. Dalam keadaan kritis demikian, esoknya pada siang hari Agung dinyatakan meninggal oleh pihak rumah sakit.

Dua hari sebelum kematiannya (28/9), Agung ditangkap polisi dari Polsek Ujung Pandang di rumahnya di Minasaupa. Kesaksian ibu Agung, Mawar mengatakan bahwa rumahnya didobrak oleh polisi pada pukul 02.00 dini hari. Saat itu, kata Mawar, anaknya ditangkap dan digebuki di depan sang istri. Ia diketahui ditangkap atas dugaan penggunaan narkotika.

Pasca penangkapan, pihak keluarga tak diberi informasi jelas oleh pihak polisi mengenai keberadaan Agung. Pihak keluarga pun mendatangi sejumlah kantor polisi di Kota Makassar, namun tak ada kabar. Keberadaan Agung akhirnya diketahui di RS Bhayangkara dengan sekujur tubuh luka-luka yang mengantarnya pada kematian. Agung diduga kuat telah dianiaya hingga berujung kematian saat proses penangkapannya.

Kasus seperti itu tak hanya dialami oleh Agung. Dalam laporan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, untuk tahun 2019, pihaknya telah menangani tiga kasus kekerasan dan penyiksaan berujung kematian oleh polisi.

Korbannya yakni Sugianto (23), warga Bantaeng yang meninggal setelah ditangkap polisi atas tuduhan pencurian pada awal November 2019. Sugianto meninggal dengan tiga luka tembak di kakinya. Dilansar dari SindonewsAziz Dumpa, Kepala Divisi Hak Sipil dan Keberagaman mengatakan bahwa setelah ditangkap, Sugianto mendapatkan serangkaian penyiksaan, tangan terikat lakban dan dipukuli saat masih berada di atas mobil.

“Dalam kasus ini, Sugianto tewas diduga akibat penyiksaan oleh aparat kepolisian, di mana pada jasad Sugianto ditemukan luka lebam dan luka bakar diduga akibat penyiksaan, berikut adanya tiga luka tembak pada bagian betis kiri dan kanan serta dibagian kanan lutut,” ungkap Azis.

Kasus serupa juga dialami Rawal (37) warga Luwu Utara. Dia adalah DPO kasus narkotika yang kabur. Dia kemudian ditembak mati satuan Reserse dan Narkoba Polres Luwu Utara.

“Luka tembak di bagian perut, tapi ada juga luka di tubuh. Sehingga diduga terjadi penganiayaan dan penyiksaan sebelumnya,” katanya.

Korban ketiga yakni Riswan alias Ciwang (21). Dia dituduh DPO begal dengan 43 TKP. Ciwang ditembak Resmob Polda Sulsel pada 20 juni 2019. Dengan tuduhan berusaha merebut senjata api saat penangkapan. Tiga peluru bersarang di dada kiri dan meninggal di RS Bhayangkara.

Mereka berempat adalah korban yang diduga mengalami kekerasan dan penyiksaan berujung kematian saat penangkapannya.

 

Kasus Mengendap dan Pasal Dinilai Ringan

Meski kematian Agung dianggap ganjil, namun butuh tiga tahun lebih lamanya bagi pihak kepolisian untuk bisa mengusut kasus kematian tersebut. Pada awal Januari 2020 ini, kelima polisi yang melakukan penganiayaan kepada Agung akhirnya resmi ditetapkan sebagai tersangka. Meski begitu, dalam proses hukum penanganannya dinilai masih menuai kejanggalan.

Andi Haerul Karim, Divisi Anti Korupsi dan Reformasi Birokrasi LBH Makassar menilai, pasal yang disangkakan kepada tersangka masih terlalu ringan. Kejanggalan tersebut karena tersangka hanya disangkakan melakukan tindak pidana yang bertentangan dengan pasal 351 ayat 1 dan pasal 3 serta pasal 359 KUHP.

Padahal, berdasarkan fakta serta keterangan saksi yang diperiksa oleh kepolisian, seharusnya polisi dan jaksa bisa menyangkakan pasal yang lebih banyak dan berat.

Pasal yang disangkakan terhadap para tersangka adalah rumpun kejahatan terhadap nyawa dan tindak pidana penganiayaan. Namun, pasal-pasal yang memiliki ancaman pidana berat seperti pasal 338 tentang pembunuhan, 353 ayat 3, 352 ayat 2 pasal 357 KUHP justru tidak dimasukkan. Pun termasuk pasal 170 ayat 3 yang memiliki ancaman pidana maksimal 12 tahun penjara.

“Seharusnya, kepolisian menambahkan pasal pemberatan karena berdasarkan keterangan saksi bahwa korban sebelum meninggal sempat dipaksa meminum diterjen oleh tersangka,” terangnya Kamis (10/1/2020) dalam keterangan tertulisnya.

Kata Haerul, tersangka pun masih bebas dan tidak dilakukan penahanan. Padahal pasal yang disangkakan terhadap para tersangka seharusnya dilakukan penahanan. Selain itu, para tersangka belum dikenakan sanksi pelanggaran etik dan disiplin dari institusi kepolisian Polda Sulsel.

“Padahal secara internal kepolisian dianggap telah mengakui ada tindakan pidanan yang dilakukan oleh aparatnya melalui surat penetapan tersangka,” jelasnya.

Untuk itu, pihaknya meminta kepada Jaksa yang menangani kasus untuk dapat memeriksa ulang kasus tersebut, dan menambahkan pasal berdasarkan analisis fakta dan keterangan saksi.

Kasus penanganan Agung cukup beruntung, meskipun pengusutan kasus membutuhkan waktu yang lama. Namun, untuk pengusutan kasus korban kekerasan lain bisa jadi tak semulus itu.

 

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online aksaraintimes.id pada 14 Januari 2020.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *