Categories
EKOSOB slide

Cerita Kakek La Baa yang Pertahankan Lahannya dari PT GKP

Excavator milik PT GKP saat memasuki lahan perkebunan milik warga, Foto; Diambil dari media online kumparan.com

 

Perseteruan antara warga Desa Sukarela Jaya, Kecamatan Wawonii Tenggara, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra) dan PT Gema Kreasi Perdana (GKP) seakan tidak ada habisnya. Sejak perusahaan tambang milik Harita Grup itu masuk pada 2016 di Wawonii, gesekan dengan warga setempat sudah terjadi. Penyebabnya pembebasan lahan.

Sampai sekarang, ada tiga warga yang menolak lahannya diambil alih PT GKP. Ketiganya masing-masing La Baa, Amin, dan Wa Ana.

Kemarin, La Baa bertolak dari Wawonii ke Kota Kendari. Kepergiannya ke Kendari tiada lain meminta perlindungan hukum.

Saat ditemui di sekretariat bersama Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Pusat Kajian Dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Puspaham), La Baa mengaku sudah 35 tahun mengelola lahannya.

Selama itu pun, La Baa mengaku terus menyetor uang pajak ke negara, Rp 70 ribu pertahun. Dari hasil berkebun di lahan seluas setengah hektar, La Baa menghidupi istri dan delapan orang anaknya.

La Baa pemilik lahan yang di ambil paksa oleh PT GKP, Foto; Diambil dari media online kumparan.com

 

“Alhamdulillah dari hasil berkebun juga saya sudah umrah. Tidak seperti mereka (warga) yang sudah jual lahan, dijanji mau diberangkatkan umrah tapi tidak jadi-jadi,” kata Labaa di sekretariat bersama KPA dan Puspaham Sulawesi Tenggara di Kelurahan Lepo-lepo, Kendari.

Kakek berusia 78 tahun itu mengaku mulai terusik sejak PT GKP masuk. Jalan hauling sepanjang lima kilometer dengan lebar 20 meter yang dibangun PT GKP melalui lahan perkebunan milik La Baa, Amon, dan Wa Ana.

Puncaknya Jumat malam (21/8), saat PT GKP melakukan pengerjaan jalan di dikuasai ketiga warga tersebut. Warga desa marah dan mengikat 10 operator PT GKP. “Itu lahan kita. Jadi kita marahlah,” ucap La Baa.

La Baa menuturkan, pihak GKP sudah beberapa kali mendatangi rumahnya. Tujuannya meminta agar La Baa sudi menerima kompensasi atas lahannya. “Saya tidak mau memang. Saya keras, saya tidak mau,” ucapnya.

Korwil KPA Sultra, Torop Prudendi, mengakatakan lahan yang bermasalah ini adalah hutan negara. Namun, warga setempat sudah berhak memiliki sertifikat tanah karena sudah mengelola dan membayar pajak selama 35 tahun.

“Itu kan minimal 20 tahun sudah bisa diterbitkan setifikat,” ujar Torop Prudendi.

 

Catatan: Brita ini telah dimuat di media kumparan.com pada 27 Agustus 2019

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *