Categories
SIPOL slide

Direktur LBH Makassar: Hukuman Mati Tak Memberi Efek Jera Pelaku Pidana

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar mengkritisi penerapan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana. Hukuman mati dinilai bukalan sebuah solusi untuk memberi efek jera kepada pelaku.

Di Sulawesi Selatan (Sulsel) setidaknya ada enam warga telah dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri sepanjang 5 tahun tahun terakhir dengan beragam kasus tindak pidana yang dilakukan. Seperti, kasus pembakaran rumah di Kelurahan Panampu, Kecamatan Tallo Makassar. Muhammad Ilham alias Ilho (23) dan Sulkifli Amir alias Ramma (22), divonis mati oleh Pengadilan Negeri Makassar, pada Kamis (11/4/2019).

Kedua warga asal Makassar itu dinyatakan terbukti bersalah melakukan pembakaran yang menewaskan enam warga di Kelurahan Panampu.

“Melihat fakta hukum yang terungkap di persidangan, maka tindakan pelaku dalam kasus ini memang kategori perbuatan yang kejam dan sudah sepatutnya divonis dengan hukuman yang berat, namun kami sangat tidak setuju jika terdakwa dijatuhi dengan hukuman mati,” kata Direktur LBH Makassar, Haswandi Andi Mas kepada Tribun.

Haswandi menilai hukuman mati adalah salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak atas hidup yang merupakan hak asasi manusia yang paling fundamental dan tidak bisa dicabut dengan alasan apapun.

Saking fundamentalnya, atas dasar hak hidup maka lahirlah tuntutan pemenuhan jenis jenis hak asasi lainnya, seperti hak bebas dari penyiksaan dan hukuman kejam lainnya, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan dan seterusnya.

“Jika dikatakan agar terjadi efek jerah, maka indikatornya apa terhadap Pelaku ? sementara mereka sudah menjelang dieksekusi mati,” tutur Haswandi.

Shock-terapi kepada masyarakat atau penjahat lainnya, hingga saat ini tidak ada hasil penelitian yang dapat membuktikan vonis mati dapat mengurangi tingkat kejahatan.

“Sebagai contoh, vonis mati terhadap bandar besar pengedaran narkotika, namun nyatanya masih banyak yang menjadi pelaku,” ujarnya

“Bahkan dalam kasus terpidana mati Amir alias ACO setelah divonis mati, ternyata masih mengulangi perbuatannya sehingga pengadilan hanya dapat memberikan vonis nihil,” lanjutnya.

Kata dia dalam teori tujuan pemidanaan hukuman mati adalah pembalasan. Teori yang sebenarnya sudah usang dan sejak lama telah ditinggalkan oleh banyak negara.

Sekedar diketahui, selain tiga terdakwa yang telah divonis mati. Masih ada beberapa warga di Sulsel juga dijatuhi dengang hukuman yang sama.

Berdasarkan hasil data yang dihimpun Tribun pada 2017 dua tahuj lalu. Seorang warga Luwu, Sulawesi Selatan, Ikbal alias Bala (33), divonis mati oleh Hakim Mahkamah Agung.

MA menguat putusan Pengadilan Negeri Malili dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi yang menvonis seumur hidup. Iqbal divonis mati  karena terbukti melakukan pembunuhan berencana dan penganiyaan berat terhadap 23 wanita di Luwu Timur. Bahkan, dari puluhan wanita yang ditusuk alat vitalnya, seorang di antaranya tewas menggenaskan.

Lalu, pada tahun 2015 vonis mati dialami oleh Dawang, warga asal Marawi, Tiroang, Kabupaten Pinrang. Ia dijatuhi hukuman mati atas kepemilikan sabu seberat 6,8 kilogram di tingkat pengajuan kasasi. Dawang yang dikenal sebagai Raja  Laut ditangkap   bersama istrinya H Maemunah alias H Muna. Untuk istrinya divonis dengan hukuman penjara selama 20 tahun kurungan.

Selanjutnya, di 2016. Pegadilan Negeri Parepare men vonis mati  Hartono atas kepemilikan narkoba sebanyak 10 kg. Dalam perkara itu, Hartono tidak sendiri. Ia ditangkap bersama dengan dua orang rekanya bernama  Makmur dan Yunus. Tetapi hukuman yang dijatuhkan berbeda.  Keduanya divonis seumur hidup.

Catatan: Berita ini telah dimuat di tribunnews.com edisi 14 PAril 2019

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *