Categories
EKOSOB slide

Forum Bersama Petani Latemmamala Soppeng; BPPHLHK Telah Rampas Hak Asasi 3 Petani di Kawasan Hutan

Memperoleh kehidupan yang layak dan mendapatkan pekerjaan merupakan dua dari sekian banyak hak yang dimiliki oleh warga negara Indonesia. Hal tersebut dipertegas dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945 pada pasal 7 ayat (2) yang berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Pasal tersebut berbicara tentang hak warga negara Indonesia dalam pekerjaan dan penunjang kehidupan dengan ukuran kriterianya adalah layak bagi manusia. Pasal tersebut sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat yang dipertanggung jawabkan oleh negara.

Selain itu, dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang dapat dibaca pada ketentuan pasal 4 yang menyebutkan bahwa “Hak untuk hidup, Hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui, sebagai pribadi dan persamaan di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang tidak berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.

Dalam kenyataannya, masih banyak kita jumpai masyarakat yang belum merasakan kehidupan yang layak dan pekerjaan untuk memperoleh kebutuhan hidup mereka. Bahkan sampai-sampai biasa kita temukan pemberitaan di media massa tentang tindakan kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat negara terhadap warganya sendiri. kejadian ini sangat ironis dengan amanat Undang-undang Dasar Tahun 1945.

Salah satu contoh kongkrit tentang kriminalisasi yang dilakukan oleh negara adalah ditangkapnya 3 (tiga) orang petani yang masing-masing bernama Sahidin (45 tahun), Jumadi (41 tahun) dan Sukardi (39 tahun) yang sekarang telah menjadi terdakwa atas membukan perkebunan dan menebang pohon di Kawasan hutan lindung. Pada tanggal 22 oktober 2017, Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPPHLHK) melakukan patroli di kawasan hutan lindung Niniconang, Kabupaten Soppeng. Pada saat patroli, petugas BPPHLHK mendapati ketiga terdakwa sedang menanam beberapa tanaman di kebun mereka masing-masing dan terlihat ada beberapa bekas penebangn pohon. Atas dasar itulah mereka mereka ditahan dan dijadikan terdakwa.

Jika ditelusuri lebih dalam, ketiga terdakwa membuka lahan perkebunan tersebut hanya untuk memenuhi kebutuhan sandang, papan, dan pangan. Selain itu, tidak ada perbuatan komersialisasi yang dilakukan oleh ketiga terdakwa. Perbuatan yang mereka lakukan murni untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan. Terlebih lagi, ketiga terdakwa, keluarga dan masyarakat yang bermukim di Kawasan hutan tersebut, sudah lama menetap di Kawasan hutan tersenbut. Sebelum adanya penunjukan pada tahun 1982 dan penetapan pada tahun 2014 kawasan hutan lindung, masyarakat setempat sudah menetap di sana. Bahkan masyarakat mengaku kalau mereka menetap di Kawasan tersebut jauh sebelum kemerdekan Republik Indoneasia.

Jika melihat fakta yang ada, ketiga terdakwa tidak seharusnya dijadikan terdakwa atas perbuatan mereka. Seharusnya BPPHLHK mempelajari Undang-undang yang berlaku dan mempunyai kajian mendalam tentang kondisi masyarakat setempat. Hal ini sesuai dengan amanat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 95/PUU-XII/2014 tertanggal 10 Desember 2015 yang pada pokoknya menyatakan bahwa “Ketentuan Pidana Kehutanan dikecualikan terhadap masyarakat yang secara turun-temurun hidup di dalam kawasan hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersil”. Bedasarkan keputusan tersebut, apparat BPPHLHK tidak seharusnya mempidanakan ketiga terdakwa.

Fakta-fakta tersebut membuktikan bahwa adanya penindasan yang dilakukan oleh negara, dimana BPPHLHK telah melanggar HAM masyarakat di Kawasan hutan Niniconang. Ini merupan tindakan yang sangat merugikan masyarakat.

Atas dasar tesebut, warga yang tergabung dalam Forum Bersama Petani Latemmamala, L-haerindo dan LBH-Makassar melakukan Aksi di Pengadilan Negeri Watansoppeng pada tanggal 13 Februari 2018. Sekitar 100 orang warga yang tergabung dalam Forum Bersama Petani Latemmamala terlibat dalam aksi tersebut. Rico sebagai perwakilan L-Haerindo dalam orasinya mengatakan bahwa, “Aksi ini dilakuakn sebagai jalan yang terakhir ditempuh diluar jalur persidangan. Aksi kami bukan aksi anarkis. Kami hanya menuntut keadilan kepada pemerintah”. Massa aksi menuntut kepada pemerintah agar membebaskan ketiga terdakwa yang telah terpidanakan. Massa aksi melayangkan 4 (empat) tuntutan, yakni; Bebaskan saudara kami, Sahidin, Sukardi dan Jamadi; Revisi SK Menteri Kehutanan R.I. Nomor 5356/Men.Hut-UII/KUH/2014 tentang penetapan Kawasan hutan Laposo Ninicoinang; Tegakkan Putusan MK Nomor 95/PUU-XII/2014; dan Stop Kriminalisasi Petani dalam Kawasan Hutan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *